Kalau masih bisa mudik, mudiklah. Biarpun ribet, macet, mahal dan capek. Karena pada saatnya nanti, saat semua sudah terpisah, berkumpul dengan keluarga menjadi sesuatu yang sangat mewah
Siang ini saya seharian di rumah, menonton TV yang hampir seluruh siarannya berisi berita arus mudik. Ah, baru sadar sudah berapa lama saya tidak ada dalam rombongan itu. Beberapa tahun lalu saya masih merasakan mengantri hingga belasan jam di Pelabuhan Merak untuk menyebrang ke Bakauheni. Mobil kami berdesak-desakan dengan ribuan kendaraan lain. Saking penuhnya, untuk membuka pintu mobil pun tidak bisa. Kebelet pipis ? Yah, silakan keluar lewat jendela. Serius loh! Di masa kuliah tidak kalah parahnya. Namanya mahasiswa yang hidup pas-pasan, saya pernah mudik dengan bis ekonomi tanpa AC dan kaca jendela yang tepat di kursi saya copot. Jadilah selama perjalanan yang hampir 24 jam itu, saya tertampar-tampar angin malam dan udara lepas. Masuk angin deh, ketika sampai kampung. Ketika bekerja di Aceh, saya juga pernah mudik dengan rute yang lumayan. Banda Aceh-Medan-Jakarta-Palembang disambung 5 jam perjalanan darat ke Lahat. Pake pesawat terbang memang, cuma namanya musim liburan, bandara pun tidak ubahnya terminal bis. Apalagi, saat itu tiket pesawat Banda Aceh tujuan Jakarta habis. Terpaksalah saya transit di Medan hingga setengah hari lamanya. Tidak heran kalau saya sering sekali tiba di rumah menjelang Sholat Ied.
Kalau pun sekarang sudah lebih mampu dan mudik pasti pakai pesawat, ternyata saya merindukan masa-masa itu. Berdesak-desakan dengan sejumlah oleh-oleh buat handai taulan, macet, antri lama seolah tidak berarti jika ingin berlebaran bersama keluarga. Bahkan tidak sedikit yang mudik dengan menantang bahaya. Bermotor dengan keluarga dengan barang bawaan yang tidak sedikit dan jarak tempuh ke kampung yang hingga ratusan kilometer. Malah, tetangga teman saya yang seorang pengemudi bajaj, pernah mudik dengan bajajnya! Gila memang. Hebatnya orang Indonesia, mereka menjalani itu setiap tahun tanpa kapok dan bosan! Persiapan mudik, mulai dari mencari tiket hingga menyiapkan oleh-oleh terkadang malah melebih persiapan ibadah puasa itu sendiri. Kalau pun sekarang moda dan infrastruktur transportasi kian dibenahi, namun itu tidak mengurangi “kehebohan” ritual tahunan ini.

Family Time
Sekarang kondisi di keluarga saya sudah berubah. Setelah anak-anak sudah pindah, menetap jauh hingga ke luar negeri dan orang tua saya ikut salah satunya anaknya, rasanya keseruan mudik seperti yang dulu-dulu hanya sudah menjadi kenangan manis yang tersimpan di pigura-pigura foto di rumah Ibu Saya. Sedih? Pasti. Sampai tiba masanya, terasa sekali waktu bersama keluarga adalah hal yang paling mewah. Kerepotan dan kelelahan menjalani mudik ternyata tidak ada artinya jika kita menyadari kembali ke kampung halaman, berkumpul dengan sanak saudara adalah sesuatu yang sangat berharga.
***
Data menyebutkan total pemudik atau migrasi orang saat lebaran rata-rata sekitar 26 juta orang per tahun. Saya yakin, jutaan pemudik tersebut menyadari indahnya kebersamaan di kampung halaman. Ya, memang ada sih yang niatnya mudik adalah untuk pamer kesuksesan. Tapi di sisi lain, hal itu justru memacu para perantau untuk bekerja lebih giat di perantauannya. Meskipun mudik juga terlihat konsumtif, tapi sejatinya mudik justru mampu menggiatkan perekonomian. Ada berapa banyak THR yang dibagikan ke keluarga di kampung? Ada berapa banyak perdagangan yang bergerak karena budaya ini? Namun yang perlu menjadi perenungan adalah; Indonesia memang terlalu luas ya… sehingga pembangunan di beberapa tempat khususnya Pulau Jawa, jauh lebih cepat dibandingkan daerah lain. Mungkin nantinya jika pembangunan sudah lebih merata, arus mudik tidak akan sedahsyat ini.
Ah, apapun namanya…bagi saya mudik adalah berkumpul dengan keluarga. Setelah satu tahun berjibaku dengan pekerjaan yang terkadang menjemukan dan monoton. Mudik adalah hakikat kita agar tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Mudik adalah momen untuk merasakan kebersamaan, yang bisa saja tidak terulang lagi. Yuk Mudik!
