Tahun lalu, saya sempat berkunjung ke sebuah desa bernama Desa Salem tepat di Kaki Pegunungan Lio yang ditempuh hampir 3 jam dari Pusat Kota Brebes. Disini ada sekelompok Ibu-Ibu yang membatik sepulang dari sawah dengan menggunakan bahan-bahan yang sangat alami. Motif batiknya unik dan konvensional dengan warna natural tanpa sentuhan pabrik. Temanya pun diangkat dari keseharian masyarakat Brebes. Semuanya membuat batik dari Desa Salem kaya akan tradisi dan budaya.

Konon, batik memang selalu identik dengan kearifan lokal. Motifnya sering mencerminkan falsafah, makna bahkan cerita-cerita kehidupan. Seperti juga kain Tapis Lampung yang dipercaya bermakna penyelaras kehidupan baik terhadap lingkungan maupun Sang Pencipta Alam Semesta.  Di beberapa daerah si Sulawesi Selatan, motif kain tenun sutra yang kerap mereka gunakan, sering menjadi simbol kasta di masyarakat. Beda lagi di Tanah Batak, ulos selalu dilibatkan dalam upacara adat. Ulos memiliki ragam motif yang mengandung makna berbeda dan digunakan pula dalam kesempatan berbeda. Di Sumatera bagian Selatan, songket bahkan bisa menjadi investasi karena pembuatannya yang rumit dan materinya yang langka dan mahal.

Itu baru beberapa daerah, bagaimana dengan seluruh Indonesia? Jangan tanya jenisnya, apalagi motifnya pasti sudah tidak terhitung lagi.

Lucunya, dulu batik sempat identik dengan acara-acara resmi saja. Melihat Bapak-bapak berbaju batik dengan rapih, ada saja yang bertanya; “mau kondangan kemana, pak?” Tapi masa berevolusi, batik kini sudah jadi pakaian segala suasana bagi semua usia dan hampir semua suasana. Model-modelnya kian trendy dan kekinian. Kawula muda pun tidak segan lagi berbaju batik di berbagai kesempatan. Motifnya pun kini sudah banyak diambil dan diadaptasi untuk produksi yang lebih massal.

Meskipun kian umum digunakan sehari-hari, ternyata seperti barang tekstil pada umumnya, selalu ada rentang harga yang dilihat dari kualitas, motif, cara pembuatan bahkan kelangkaan. Selain buat kolektor segmen ini juga sekarang makin meluas. Rasanya kan lebih bangga kalau batik atau tenun yang kita kenakan berbeda dari kebanyakan. Apalagi kalau kualitasnya terhitung premium.

Nah, kalau biasanya kita hunting dari toko ke toko, sekarang ada Etniqa.Com. Online atau Market Place yang fokus kepada pengembangan pasar produk etnik, khususnya bahan kain tradisional Indonesia seperti batik, tenun, songket, ulos dan produk jadi yang menggunakan kain-kain tersebut. 
Meskipun baru berdiri tahun lalu, Etniqa kini sudah menggandeng puluhan mitra produsen maupun seller kain-kain lokal yang memiliki konsen yang tinggi pada detail setiap produksi mereka.

 

Kata pendirinya, Mbak Eka Budiana; Etniqa lahir dari sulitnya mencari referensi budaya Indonesia yang akurat dari sumber yang kredibel, khususnya kain tradisional Indonesia. 
Katanya lagi, pengetahuan tentang produk yang dijual dari para pengerajin atau produsen masih lemah, ditambah Tidak banyak pembeli yang mengetahui produk etnik kain tradisional misal dari sisi cara pembuatan, motif dan asal daerah. 


Intinya Etniqa hadir bukan hanya menjual kain saja, tapi sebagai sebuah wadah buat belajar banyak tentang kain nusantara. Etniqa percaya selalu ada cerita dibalik selembar kain. Etniqa ingin membawa kita melihat Indonesia dari sisi berbeda, berbelanja sekaligus melihat keragaman Indonesia dari kain-kainnya yang indah. Etniqa juga terus bergerak agar lebih banyak lagi menghimpun para pengerajin di daerah yang pemasarannya masih terbatas.

Mendukung Etniqa sama artinya dengan mendukung pengembangan kreativitas bangsa. Yuk…

 

Hits: 1188

Ketika diajak seorang teman ke Gunung Padang, Cianjur dan berangkat pagi-pagi banget dari Bogor, rasanya mualesss banget!! Tapi akhirnya saya setuju, daripada seharian di rumah saja dan membusuk jadi fosil. Syaratnya, saya gak mau nyetir mobil. Yeay!! Setelah menerobos hujan di Bogor dan jalanan penuh kabut di puncak, saya bersama dua orang teman tiba di Cianjur. Dari sini masih menuju arah selatan, ikuti saja papan penunjuk arah hingga tiba di simpang Warungkondang menuju Gunung Padang. Dari simpang ini, masih sekitar 20 km menuju lokasi. Jaraknya memang cukup jauh ditambah jalanan mendaki namun pemandangan sawah, jurang dan kebun teh membuat perjalanan sangat tidak terasa. Oya, sebenarnya ada metode lain yang cukup praktis kesini yaitu dengan menumpang Kereta Sukabumi (via Cianjur) dari Bogor. Turun di stasiun Lampegan kira-kira 5 km dari Gunung Padang. Kereta ini bukan kayak KRL, jadi harus pesan dulu (bisa via online). Nah dari sana, bisa nyambung ojek. Sorry, saya gak survei harganya, tapi perkiraan saya kereta dan ojek sekali jalan sekitar Rp50 ribu/orang.

Yeay! Sampai setelah 3 jam dari Bogor!

Tiba di lokasi, sudah disediakan tempat parkir, untuk mobil dikenakan parkir Rp10 ribu sedangkan setiap pengunjung dipungut biaya Rp4000 /orang. Ada dua tangga, yang baru bangun dan lebih landai serta tangga batu yang konon bagian asli dari situs. Kami memilih yang kedua dengan 400 anak tangga yang sukses bikin ngos-ngosan!! Setelah lumayan ngos-ngosan, jreng, Jreng.. Sampai di puncak bukit dan melihat tumpukan bebatuan andesit dengan indahnya Gunung Pangrango sebagai latar, capek dan ngos-ngosan-nya hilang! Rasa males yang tadi pagi dibawa dari Bogor juga ikut lenyap! Dan…. tiba-tiba saya ingat Machu Piccu di Peru yang merupakan salah satu situs warisan dunia (World Heritage) versi Unesco.

Undakan 400 anak tangga. Dijamin gempor!
Undakan 400 anak tangga. Dijamin gempor!

Gunung Padang adalah situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara yang terletak di ketinggian 885 dpl. Konon usianya sudah mencapai 8000-9000 tahun. Wow! Pada tahun 1970an, menurut para sesepuh daerah sana, ini adalah bangunan berundak yang menyerupai piramid. Namun karena tidak dirawat dan letaknya di tengah hutan, banyak pohon tumbang yang merusak situs ini. Baru di tahun 2000an, pemerintah memberi perhatian lebih dengan membuatnya menjadi lokasi wisata yang layak disambangi. Situs ini sudah diteliti banyak orang, dimana sebagian besar diantaranya adalah orang asing (hmmm….). Kalo gak percaya, silakan googling aja! Susunan batu-batu yang rapih menunjukkan dulunya banyak ruangan di bangunan ini. Kata Mang Google, dulunya tempat ini diduga adalah tempat pemujaan yang lebih tua dari candi Borobudur. Di puncaknya terdapat batu yang menyerupai singgasana dengan pandangan yang luas ke depan dan bawahnya. Konon inin adalah tempat pimpinan mereka. Udara yang sangat sejuk dan view yang keren membuat kita betah berlama-lama.

dulu ini seperti candi
dulu ini seperti candi

Kalau mau disamakan dengan Machu Piccu mungkin agak berlebihan sih. Saya pun belum pernah kesana (ada yang mau sponsorin ke Peru?) Tapi dari hasil baca-baca di internet, struktur undakan dan batuan Gunung Padang menyerupai Machu Piccu. Lokasi keduanya juga terletak di atas bukit, meskipun posisi Machu Piccu lebih tinggi (sekitar 2000 dpl). Sebagai peruntukan keduanya pun diperkirakan sama, sebagai tempat pemujaan. Bahkan diprediksi Gunung Pandan berusia lebih tua hampir 5000 tahun dari Machu Piccu. Bisa jadi ini yang membuat Machu Piccu masih lebih “awet” dibanding Gunung Padang. Nah, di sisi lain kita sebagai orang Indonesia harusnya bangga dong, karena sebenarnya peradaban nenek moyang kita lebih dulu dibanding suku Inca yang membangun Machu Piccu

Bagi saya, kesini sama saja dengan belajar sejarah peradaban manusia. Dan makin yakin Indonesia adalah negeri yang kaya, bukan cuma alamnya yang indah, budayanya yang unik tetapi juga bukti kebesaran nenek moyang dunia juga ada di sini.

Hits: 2148

Bandung memang gak ada matinye! Sejak Tol Cipularang dibuka, sudah menjadi pemandangan jamak ratusan bahkan ribuan mobil mendesaki kota ini setiap harinya. Apalagi di akhir pekan. Bandung pun makin tenar sejak Walikota-nya yang hebring, Kang Ridwan Kamil membuat berbagai terobosan untuk membuat kota ini makin menarik. Blogger pun rasanya tidak pernah kehabisan membahas tentang Bandung. Selain mengupas tentang surga belanja, para blogger juga kerap membahas magnet lainnya, yaitu wisata alam, kuliner, hingga ulasan tentang hotel-hotel favorit, mulai dari yang mewah sampai hotel murah yang ada di wilayah Bandung. Hal senada juga dapat ditemukan kalau sering nonton liputan di berbagai media, karena biasanya mereka meliput tempat kuliner yang recommended dan salah satunya pasti kota Bandung yang selalu melahirkan tempat makan baru setiap saat. Jadi kalau ke Bandung sebenernya kita tidak akan pernah bosan karena selalu ada yang baru untuk dicicipi. Coba deh, kalau mau cari referensi, lokasi bahkan rute ke tempat-tempat asyik dimanapun termasuk di Bandung, kita pasti googling kan? Setelah kemarin sukses (ciyee.. sukses) membuat tulisan tentang warung kopi di Bogor, saya berniat banget pengen nulis tentang rekap warung kopi di Bandung. Doakan sayah!!

Walaupun kerap bertandang ke Bandung, ajakan seorang teman untuk menemaninya ke Bandung minggu lalu tidak kuasa untuk ditolak. Selain untuk satu urusan pekerjaan, tentu saja tujuannya mencari makanan enak. Meski saya sama sekali tidak berdarah sunda, bagi saya makanan Ala Sunda adalah makanan terenak di dunia. Tidak perlu masuk resto mahal yang bayarnya bisa gesek kartu elektronik, makan di pinggir jalan pun rasanya nikmat luar biasa. Maklumlah bagi saya hanya makanan Sunda yang bisa “mengakomodir” hobi saya makan dengan tumpukan lalapan yang bisa menyaingi kambing. Hehehe..

Pasti sebagian besar turis yang datang ke Bandung sudah memiliki tempat makan favorit dan yang pasti lagi hampir semuanya masuk kategori “mainstream”. Batagor Riri, Batagor Kingsley, Martabak SanFrancisco, Kartika Sari sepertinya sudah jadi menu wajib oleh-oleh mereka yang datang dari Bandung. Ini beda banget dengan saya! Percaya gak, setiap ke Bandung saya selalu mampir ke pasar tradisional. Yah, pasar tradisional alias pasar becek! Dua “komoditi” yang saya harus bawa pulang adalah tahu kuning Bandung dan Cabe Gendot. Apaan tuh? Sabar..sabar.. Saya cerita satu-satu deh…

Tahu Kuning
Tahu Kuning

Dua jenis makanan tadi sudah saya kenal sejak tujuh tahun lalu, karena dioleh-olehi teman yang memang orang Bandung. Tahu kuning Bandung adalah tahu tergurih. Memang di daerah lain juga banyak jenis tahu atau tahu yang “mengaku-ngaku” dari Bandung. Tapi tidak ada yang se-otentik jika kita beli sendiri di Bandung. Selain gurih dan enak, tahu ini tidak menggunakan pengawet. Penjualnya di pasar sering berpesan di kulkas hanya bisa bertahan dua hari. Lebih dari itu, rasanya akan berubah. Kita bisa memilih berbagai merek yang ditawarkan, namun rasanya relatif sama. Tinggal tanya ke penjualnya mana yang paling asli. Tekstur tahu ini cukup padat. tidak begitu kenyal, tetapi tidak juga gampang hancur. Harganya murah banget! Untuk satu kantong berisi sekitar 10 potong hanya sekitar Rp5000,- Upss..itu harga setelah BBM naik loh! Mungkin saja di toko oleh-oleh, ada tahu jenis ini juga. Namun saya lebih menyarankan mampir ke pasar tradisional di mana pun di sudut kota Bandung. Lumayan buat oleh-oleh yang murah dan enak.

Cabe Gendot
Cabe Gendot

Padanan yang paling nyambung untuk memasak tahu Bandung adalah Cabe Gendot. Pasti pernah ada yang mendengar Cabe Habanero. Nah, cabe gendot ini sebenernya satu jenis dengan Habanero yang merupakan salah satu dari cabe terpedas di dunia. Di dunia!! Habanero lebih umum digunakan sehari-hari di Amerika Selatan. Saya pernah menemukan cabe gendot ini sebuah supermarket di Jakarta. Tapi kalau di Bandung, cabe gendot sangat umum dijual di pasar tradisional. Wajarlah, karena cabe jenis ini hanya hidup di dataran tinggi seperti Lembang dan Ciwidey. Terakhir harga cabe gendot hanya sekitar Rp25.000/kg. Bandingkan dengan harga cabe merah yang sekarang naik hingga Rp100.000/kg. Sayang ya, distribusi cabe ini memang terbatas sehingga banyak yang tidak tahu rasanya sedap dan bisa menggantikan harga cabe yang menggila akhir-akhir ini.

Tahu Tumis Cabe Gendot
Tahu Tumis Cabe Gendot

Bocoran resep tersederhana dari keduanya adalah cukup dengan ditumis dengan ke bawang putih dan kecap yang banyak. Gurihnya tahu berbaur dengan pedasnya habanero pasti (PASTI) bikin ketagihan. Buat yang doyan pedes silakan melupakan diet untuk sementara waktu. Oya, sebenernya orang Bandung sendiri selalu menggunakan cabe gendot dalam masakan sehari-hari. Namun untuk menu khusus berbahan dasar cabe ini, memang masih jarang ditemukan di restoran-restoran di Bandung. Tapi, jika masuk rumah makan Sunda dan menemukan potongan besar seperti tomat yang gede-gede, lebih baik tanyakan dulu. Kalau tidak siap pedas, bisa-bisa sakit perut. Serius!

 

Hits: 1947

Ada dua kota kecil yang sekarang mulai menjadi pembicaraan di pariwisata nasional: Banyuwangi dan Cirebon. Penasaran juga sih,.. dan akhirnya minggu lalu saya sempat main ke Cirebon yang dijuluki kota Para Wali. Saya bersama tiga orang teman berangkat dari Stasiun Gambir pukul 9 pagi menumpang Kereta Argo Jati. Dengan biaya sekitar Rp140.000,- untuk kelas eksekutif, perjalanan selama kurang dari tiga jam ini sangat tidak terasa. Ini kali pertama saya ke Cirebon, kaget juga ternyata Jakarta-Cirebon hanya 3 jam! Katanya sih kalau pake bis atau bawa mobil bisa hingga 6 jam. Selain bis, ada alternatif kereta ekonomi yang cukup murah, tapi mungkin laju-nya gak se-ngebut Argo Jati. Hehehe..

tiff infomation
Cirebon yang kian berbenah..

Tiba di stasiun Cirebon, kota kecil dan baru menanjak pariwisatanya, sudah berdiri sebuah Starbucks. Tidak bisa dipungkiri, keberadaan kedai kopi van Amerika itu bisa jadi indikator pembangunan sebuah daerah. Kami kemudian menuju sebuah hotel tidak jauh dari stasiun. Hampir di setiap sudut Cirebon kini dipenuhi hotel, bahkan beberapa diantaranya adalah hotel jaringan dunia. Kami menginap di Hotel Sidodadi yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari stasiun. Hotel yang murah, bersih dan dekat dengan pusat kota.

Meskipun tidak terlalu istimewa, jalanan di kota Cirebon sepertinya mulai ditata sebagai kota wisata. Sebuah sumber mengatakan, Cirebon makin ramai dengan pelancong sejak infrastruktur dan rute kereta api kesini dibenahi total. Thanks Pak Jonan!

Dari hasil googling, Things to do di Cirebon ada 3 jenis: wisata religius, belanja batik dan yang pasti wisata kuliner. Baru sampai dengan perut yang super keroncongan kami mampir makan di Nasi Jamlang Bu Nur. Beragam lauk yang mengundang selera membuat antrian yang lumayan panjang menjadi tidak terasa. Nasinya dibungkus kecil-kecil dengan daun jati, tipikal bungkusan yang sering dipakai di daerah pesisir. Saya memilih lauk pauk yang jarang saya temui di tempat lain seperti tumis kering tauco dan pepes rajungan. Dengan porsi yang lumayan penuh plus satu gelas es teh manis harganya hanya Rp14 ribu saja!. Rekor murahnya buat turis lokal setelah harga BBM naik. Hihih.. Saat makan siang, kami mencoba Empal Gentong yang sudah sangat tenar. Makanan sejenis soto ini memang enak, tapi lumayan nambah lemak dan kolesterol. Hati hati buat yang lagi diet. Nah, saat makan malam kami sempat bingung mau makan apa lagi. Untungnya Mas Yudi, pengemudi mobil rental kami mengusulkan makan di Restoran Klapa Manis, sebuah restoran di jalan raya Kuningan yang memiliki view keren. Resto ini letaknya di dataran tinggi, seperti jalanan menujuk Puncak Bogor. Sayangnya karena malam dan habis hujan saya tidak mendapatkan foto yang bagus disini. Oya, makanannya enak dan harganya cukup bersahabat.

Besoknya, kami mampir ke Keraton Kasepuhan yang masih dihuni oleh keturunan ke-18 Sunan Gunung Jati bernama Pangeran Adipati Arief dan keluarganya. Kesan pertama saya, hmmm..keraton bersejarah ini kurang terawat. Saat saya kesana, terlihat beberapa pekerja bangunan sedang merenovasi beberapa bagian. Beberapa bangunan dijadikan museum, sayangnya lagi barang-barang yang dipamerkan sepertinya kurang sentuhan jadi nilai sejarahnya kurang terbawa.

satu sudut di Kasepuhan
satu sudut di Kasepuhan

Semoga pemerintah Cirebon makin punya perhatian lebih terhadap aset budaya ini.  Sayangnya saya tidak sempat menyambangi Keraton Kanoman dan dua keraton lain. Sebenarnya masih banyak lagi tempat wisata unik di Cirebon seperti Masjid Agung, Gua Belanda, Makan Sunan Gunung Jati dan Gedung Perundingan Linggar Jati. Selain itu juga ada wisata alam seperti Situ Sedong dan Cikahalang.

Pintu masuk Kasepuhan
Pintu masuk Kasepuhan

Bagian paling menarik tentu saja; shopping! Sebuah kawasan bernama Plered sangat terkenal dengan Batik Trusmi-nya. Trusmi adalah nama legenda pembatik di daerah ini. Batik ini dikenal karena warna dan coraknya yang lebih berani. Jadi gak usah takut dibilang mau kondangan kalau pake batik Trusmi. Saking banyaknya yang jualan batik, kita dibuat bingung mau mampir ke toko yang mana. Dari harga jutaan hingga 20 ribuan ada di sini. Akhirnya kami pun berlabuh di sebuah toko grosir yang harganya lebih murah. Oya, di daerah ini juga ada makam Eyang Trusmi sang legenda batik Cirebon yang turut sering dikunjungi turis.

..dipilih..dipilih...dipilih...
..dipilih..dipilih…dipilih…

Sebelum kembali ke Jakarta, jangan lupa mampir membeli oleh-oleh. Deretan toko oleh-oleh menjamur di pusat kota Cirebon. Lagi-lagi untuk mendapatkan harga murah (#uhuk) kami memilih belanja di Pasar Pagi Cirebon. Asikk..disini bisa nawar. Saya paling doyan dengan tape ketan berbungkus daun jambu yang rasanya manis dan legit. Saya juga membeli beberapa jenis ikan asin. Ini wajib, karena hasil laut adalah komoditas unggulan Cirebon. Selain buat dinikmati, membeli hasil produksi nelayan dan produsen macam-macam makanan disini sama dengan membantu ekonomi mereka.

ragam ikan asin favorit sayah!
ragam ikan asin favorit sayah!

Meski baru beranjak, yuk kita sama-sama bantu wisata Cirebon dan nasional. Tidak usah muluk-muluk sampai harus menarik wisatawan asing, orang lokal Indonesia aja sendiri masih banyak yang ogah jalan-jalan di negaranya sendiri. Bapak dan Ibu di Pemda Cirebon, masih butuh kerja lumayan keras nih, untuk menaikkan pamor Cirebon yang mulai kelihatan. Sebagai blogger saya cuma bisa bantu menulis. Semoga makin banyak yang tertarik main ke Cirebon, kota kecil, tenang dan penuh makanan enak!

Hits: 1513

Minggu lalu, saya bersama seorang teman menghabiskan  akhir pekan di Bandung. Sekedar refreshing.  Kebiasaan ini seperti sudah umum bagi sebagian orang Jakarta. Bandung memang  tujuan wisata yang murah, meriah dan tidak begitu jauh dari Ibukota. Lebih lebih sejak Tol Cipularang dibuka sekitar tiga tahun lalu. Bandung pun semakin dekat.

 

Lucunya, untuk rute kembali ke Jakarta, kami memilih menggunakan kereta. Yes!! Saya sendiri emang rada norak, karena belum pernah seumur-umur naik kereta jarak jauh yang punya embel-embel kereta eksekutif. Hihihi…. Kereta Bandung-Jakarta yang kami pilih adalah Argo Parahyangan yang berangkat pukul 12.00 siang dari Stasiun Bandung.  Bayangan kereta yang sumpek dan tidak nyaman (seperti KRL yang sering saya tumpangi), sama sekali hilang. Argo Parahyangan  kelas eksekutif sangat nyaman. Dari kursinya, kebersihannya, pelayanannya dan ketepatan waktu berangkatnya. Namun bukan itu, yang mau saya ceritakan. Bonus lain yang kita dapatkan dengan membayar Rp 80 ribu saat akhir pekan atau Rp 60 ribu saat hari biasa, adalah pemandangan alam yang sangat indah, terutama sepanjang jalan Bandung-Purwakarta. Komplit-lah, dari sungai, gunung, sawah, rumah rumah penduduk desa yang eksotis ditambah lagi jembatan jembatan dan rel tua peninggalan belanda membawa nuansa baru dalam perjalanan itu.

Saya pikir, memang sebagian nyawa kereta ini didesain dengan konsep kereta wisata, karena di beberapa spot unik, kru kereta akan menjelaskan deskripsi daerah tersebut. Belum lagi, jalannya memang terhitung pelan untuk kereta eksekutif (hingga 3 jam perjalanan).  Sayangnya, sejak Cipularang dibuka, peminat kereta ke Bandung memang berkurang karena munculnya berbagai travel dan bis yang lebih terjangkau. Mungkin PT KAI bener-bener harus lebih serius merombak positioning kereta ini menjadi kereta wisata.

So, buat yang lagi cari alternatif perjalanan yang unik.. Ini bisa dicoba loo!

Hits: 1824