Forget love, Fall in love with coffee..

Bagi saya kopi adalah penghalau galau dan terapi inspirasi. Kalau lagi stress dan butuh ide-ide segar saya pasti mencari kopi. Minum kopi sachet buat saya sudah tidak kekinian lagi. Makin cinta kopi, makin jadi tukang ngopi pasti makin bisa merasakan berapa “tidak nikmatnya” kopi instan. Tapi percaya nggak, beberapa tahun  lalu sebelum ke Aceh, saya benar-benar anti kopi. Masih jelas di memori saya, kali pertama diajak ke sebuah warung kopi di Aceh, saya pesannya teh manis! Ini sama saja, kamu diajak ke bar, yang lain pesan cocktail, kamu pesannya orange jus. Hehehe..

Kopi yang disajikan di warung-warung kopi sederhana di Aceh menawarkan kekerabatan yang bukan basa-basi. Secangkir kopi memberikan rasa kekeluargaan tanpa sampul dan tidak penuh hedonisme seperti Ibukota. Aceh-lah yang membuat saya jatuh cinta dengan kopi. Sayangnya di Jakarta -walaupun warung kopi Aceh sudah menjamur- saya belum pernah ketemu kopi dengan rasa otentik Aceh yang bisa membuat saya seperti kembali kesana. 

Eh, kemarin saya dan beberapa sahabat diajak ngopi di Kopi Selasar. Lokasinya di Rumah Jawa Gallery Kemang. Tidak ada mesin-mesin kopi yang canggih disini, semua kopi dibuat dengan teknik manual brewing persis seperti di Aceh. Bahkan peralatannya pun diimpor dari Aceh. Biji kopi yang disajikan asalnya juga dari Aceh. Sementara baristanya -memang bukan orang asli Aceh- tapi belajar teknik pembuatan kopi dari orang asli Aceh. Lokasinya bukan seperti café, tapi beranda sebuah gallery lukisan berbentuk Joglo dengan segala pernak pernik antik khas Jawa yang insta-catchy banget. Tempat duduk yang disediakan agak terbatas, sebab memang dirancang untuk suasana yang lebih private dan intimate seperti di rumah. Pas buat ngobrol tanpa banyak pegang gadget.

Sambil ngobrol santai, kami menyantap kue kue tradisional dan soto mie gerobak yang lewat. Di belakang kami, Bang Fahri sang peramu kopi asyik membuat kopi dan teh tarik yang prosesnya memang ditarik-tarik. Namanya juga dibuat dengan manual, kepekaan Bang Fahri menjadi sangat krusial. Dari berapa lama menit rebusan air, komposisi kopi dan gula hingga berapa kali tarikan sangat menentukan cita rasa. Pengalaman dan kecintaan pada kopi-lah yang membuat seduhan dan rasa kopi menjadi konsisten.

Sanger pun panas tiba di meja. Duh, baru menghirup aromanya saja sudah mengingatkan saya pada banyak cerita. Ah, sudahlah… Kopi memang selalu menyuguhkan cerita. Di balik rasa pahit selalu ada manis setelah meneguknya. Persis seperti kehidupan. Selalu ada cerita getir sebelum manis terasa.

Kopi Selasar juga punya cerita. Tujuan digagasnya kedai kopi ini salah satunya untuk meningkatkan taraf hidup petani kopi. Tidak heran semua bahan baku dan komponen yang digunakan adalah produk lokal. Bahkan dalam waktu dekat, Kopi Selasar akan bekerja sama Yayasan Kehati agar bisa menggandeng lebih banyak petani lokal. Tidak cuma kopi siap minum, Kopi Selasar akan dikemas ekslusif untuk segmen pasar yang lebih tinggi. Harga per gelas tetap harga lokal yang bersahabat, dalam kisaran Rp18.000-25.000 saja. Cukup ekonomis, kan?

 

Ada beberapa varian kopi, teh tarik dan lychee tea yang bisa diorder. Biar lebih mudah dinikmati dimana saja, kini Kopi Selasar juga bisa dipesan melalui Go Food. Kalau punya acara atau event tertentu, bisa loh Kopi Selasar dihadirkan lengkap dengan barista dan atraksinya. Ini namanya Koling (Kopi Keliling). Cukup order minimal 100 gelas, maka Bang Fahri dan perlengkapannya akan hadir di venue. Silakan cek IG @kopiselasar_id atau kontak no 0816 1777 9826

Sore bergerak menuju senja tapi kami belum juga beranjak, masih betah disini berlama-lama. Obrolan rasanya tidak habis-habis. Saya sampai lupa menghitung, sudah berapa kelas kopi dan teh tarik yang saya habiskan. Jauh memang dari Aceh, tapi Kopi Selasar membuat saya jatuh cinta lagi dengan kopi Indonesia. Seperti dulu.

pic by Arisman Riyadi dan Arief Pokto

 

 

 

 

Hits: 2227

Kembali ke Sabang bagi saya adalah kembali menyusuri harapan. Harapan yang sembilan tahun lalu pernah menemani hari-hari saya. Dulu, Sabang mungkin hanya sebuah kata yang saya dengar dari salah satu lagu wajib anak sekolah. Sabang cuma sebuah kata yang menunjukkan pangkal dari luasnya wilayah negara ini. Pesona Bahari Sabang laksana magnet yang terlalu kuat sehingga saya tidak kuasa untuk menolak panggilannya kembali,

Melewati kontur Sabang yang berkelok mengingatkan saya pada jalan menuju Pantai Senggigi di Pulau Lombok, tempat pertama kita bertemu. Saya mencoba meresapi sisa-sisa cinta yang mungkin masih membekas di tepi Pantai Iboh dan Pantai Gapang. Dulu disini kita pernah memandang temaramnya bulan dari bibir pantai berpasir putih yang landai hanya beralaskan tikar lusuh. Saat itu saya berharap ada bintang jatuh, kemudian saya ingin meminta kepada Penciptanya, agar kita bisa disini lebih lama. Membangun villa kecil di tepi Iboh dan mewujudkan mimpi saya untuk lebih banyak menulis sambil memandang laut lepas berhiaskan pohon nyiur dari jendela kamar kita. Ya, saya bosan dengan kehidupan dan hiruk pikuk Jakarta. Memandang laut lepas dengan siluet perahu nelayan dan membiarkan waktu seolah berhenti berputar adalah tujuan saya kembali kesini.

Malamnya, kita menikmati seafood yang bumbunya kamu racik sendiri sembari mendengar debur ombak yang seolah bercerita tentang kita. Obrolan malam kita selalu dilengkapi dengan meneguk nikmatnya kopi Aceh. Meskipun banyak perbedaan diantara kita, kamu sama seperti saya; penikmat kopi. Kopi itu sama seperti cinta, dia menyatukan meskipun selalu terasa getir diawal, manis akan kita rasakan di ujung hirupannya. Seperti cinta, kopi pun membuat candu, meskipun rasa pahit tak sepenuhnya hilang dari aromanya. Dan ini Aceh, si penghasil kopi kelas dunia. Namun sejatinya Ini bukan hanya tentang kopi. Ini bukan hanya tentang dimana kita menikmati kopi itu. Ini adalah cara kita berbagi cerita, cari kita berbagi rasa. Kopi adalah suara hati dan potongan rindu. Rindu kamu, rindu Aceh, rindu Sabang.

Di sebuah pagi kamu menantang untuk berenang dari Iboh menuju Rubiah yang hanya berjarak sekitar 350 meter. Gila memang… tapi itu biasa bagi turis, divers dan penikmat wisata bahari seperti kita. Bagi saya, pesona taman laut Rubiah tetap bisa dinikmati tanpa harus berenang menuju pulaunya. Teman-teman divers yang saya kenal, bahkan pernah mengatakan Rubiah adalah salah satu spot terbaik untuk diving dan snorkeling terbaik di Indonesia bahkan di dunia. Begitu banyak kegiatan wisata bahari di Sabang yang kamu ceritakan kepada Saya. Saya bahkan baru tahu, Sabang juga menawarkan kegiatan memancing di laut dalam (deep sea fishing) di dekat Pulau Rondo.

 

Mari-Rayakan-Sabang-Marine-Festival-2016-Lewat_Tulisan (1)

 

Kamu juga sempat mengajak Saya, berjalan kaki menuju Tugu KM 0. Menyusuri tepian tebing dengan pepohanan rindang. Luar biasa bahagianya saya bisa sampai di ujung terbarat Indonesia itu. Sesuatu  yang dulu mungkin cuma mimpi. Tugu itu, kini telah direnovasi menjadi lebih menarik, meskipun bentuk aslinya masih sama. Konon di Merauke, batas terujung timur Indonesia pun memiliki bentuk tugu yang seragam. Yang selalu saya ingat, kamu bahkan hapal hewan-hewan yang sudah lama berdiam di seputaran tugu itu. Sampai-sampai kamu punya nama untuk menyebut seekor monyet dan seekor babi hutan yang sepertinya sudah sangat welcome terhadap turis-turis disana. Uniknya lagi, mungkin Tugu KM 0 adalah satu-satunya tempat di Indonesia yang memberikan sertifikat kepada para pengunjungnya. Dan, nomer sertifikat saya adalah 59525. Artinya saya adalah pengunjung ke 59525 yang mendapat sertifikat dari Walikota Sabang. Cinderamata paling unik yang pernah saya dapatkan dari sebuah daerah bahari. Tidak hanya tugu, dibanding dulu hampir semua fasilitas wisata mulai dibenahi. Saya merasakan nafas wisata bahari sudah menjadi bagian seluruh penjuru Sabang. Kota kecil yang tenang, rindang, penduduk yang ramah membuat saya betah berlama-lama disini. 

Hari ini, disini, Saya duduk di batuan terujung Indonesia. Tadi malam sepertinya hujan, pepohonan disini pun masih basah. Namun Saya suka bau hujan,  seperti rasa suka saya pada kopi Aceh, pun seperti  rasa damai yang menyergap kala memandang birunya air Samudera Hindia. Merasakan indahnya negeri ini membuat saya makin bangga jadi warga nusantara. Bedanya, saat ini Saya sendiri. Sembilan tahun lalu, saya kehilangan berita tentang kamu, namun cerita sesaat kebersamaan kita akan selalu jadi cerita abadi bagi Saya. Kamu memang pergi, tapi jejak-jejak cerita kita di Sabang akan selalu jadi prasasti di hati Saya. Kapan pun dan kemana pun saya melangkah, Sabang adalah tempat kembali.

 

Hits: 1436

Saya lupa pastinya kapan biji biji hitam itu mengisi separuh hidup saya. Yang saya ingat sekitar tujuh tahun lalu, meminumnya dengan campuran susu yang banyak saja sudah membuat jantung berdebar debar sepanjang hari. Saya terheran heran jika bertemu pencandu kopi yang bahkan meminumnya lebih banyak daripada air putih. Mbah Surip kata saya. Saya juga bingung menerka kenikmatan apa dibalik si hitam yang digandrungi dunia itu. Hingga kepindahan saya ke Aceh setelah itu merubah semuanya.

Dan kemudian saya tidak bisa lagi menghitung berapa tulisan di blog ini yang tercipta di warung kopi. Bahkan sebuah buku pernah terselesaikan hanya dengan duduk dengan segelas latte hangat. Sulit juga mengukur bagaimana segelas kopi telah membantu saya memberi banyak energi dan inspirasi untuk pekerjaan saya. Kata seorang teman kopi dan ngopi-ngopi adalah cara baru pembagi perspektif. “Ngopi-ngopi”-lah yang mampu menjernihkan pikiran dari virus-virus media yang mampu membelokkan pola pikir. Kopi juga ibarat pembasmi lemak jahat, sesekali kita perlu diet dari informasi yang simpang siur. Dan kopilah obat diet itu. Lucunya, kini makna kata “ngopi” seolah telah meluas. Seorang teman bertanya pada saya; dimana tempat ngopi yang enak di Bogor. Dengan bersemangat saya merekomendasikan beberapa tempat beserta ulasan tentang rasa dan keragaman kopinya. Eh, dia justru memilih resto yang menurut saya bukan kopi banget. Oh, baiklah,.mungkin saya saja yang memendekkan arti kata ngopi.

aroma-of-heaven_20150411_113123Sayangnya saya bukan pencinta kopi berlogo kepala manusia berwarna hijau -yang menenteng gelasnya ketika antri di lift- memuat derajat sosial pembawanya seperti naik dua kali lipat. Senang rasanya karena tahun-tahun belakangan mulai muncul gerai gerai kopi asli Indonesia. Dua tiga tahun yang lalu saya kenal dengan seorang Bapak yang membuka kedai kopi di garasi rumahnya. Bapak separuh baya ini telah lama malang melintang membantu petani kopi di belahan Aceh sana. Dia bilang, sebenarnya harga kopi yang dijual di kedai hijau tadi bisa lima kali lipat dari harga kopi yang bisa kita racik sendiri. Saya paham idealismenya. Kopi Indonesia berkualitas terbaik di jual di gerai-gerai Internasional. Branding yang luxury membuat harganya naik berkali lipat. Kopi telah menjelma menjadi bagian gaya hidup modern. Namun semua itu belum sejalan dengan nasib petani kopi kita. Pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan swasta untuk membuat negara penghasil kopi terbesar ke-empat di dunia ini menjadi kaya karena kopi, Memangkas jalur pemasaran yang ribet dan berliku dan membuat petani kopi kita bangga karena hasil kerja mereka diakui dunia.

Ah, kopi. Urusan kecilmu jadi panjang, karena kamu tidak hanya bagian dari saya dan mereka tapi juga bagian dari negara dan dunia. Namun sejatinya Ini bukan hanya tentang kopi. Ini bukan hanya tentang dimana kita menikmati kopi itu. Ini adalah cara kita berbagi cerita, cari kita berbagi rasa. Ini adalah tentang kamu, dia dan mereka yang kita cinta. Kopi adalah suara hati., karena kopi adalah bahasa yang tidak terucap. Kopi adalah potongan rindu.

Semalam aku bermimpi
Kamu menjemputku di suatu tempat yang ramai
Kamu kelihatan segar sekali dengan kaus hitammu
Aku menyuguhkanmu secangkir kopi kesukaanku
Katamu:  “rasanya pahit… “
Kamu meminta aku menambahkan gula
..dan.. aku pun terbangun..
Is that true, when somebody appears in your dreams, its because that person misses you?

Tulisan ini dibuat untuk turut meng-kampanye-kan Pencanangan Hari Kopi Internasional di Indonesia, 1 Oktober 2015. Baca juga tulisan teman-teman saya dibawah ini:

 

Hits: 1294

Tidak terasa tujuh tahun berlalu sejak kedatangan saya pertama kali ke Tanah Rencong. Masih teringat jelas pagi itu 2 Juli 2007 dengan pesawat paling pagi saya diantar beberapa orang sahabat. Masih pula teringat pakaian apa yang saya pakai hari itu, apa isi koper saya, bahkan type ponsel baru yang sengaja saya beli satu hari sebelum berangkat. Pindah dan menetap (sementara) di Aceh bisa jadi salah satu keputusan terberat (atau mungkin terhebat) yang pernah saya ambil. Setelah lama menetap di Bogor dan bekerja di Jakarta yang nyaris tanpa masalah (bahkan punya potensi karir yang bagus). Ssst, bocorannya sebelum ini saya takut banget untuk kerja ke luar kota. Saya ada di zona nyaman mbak mbak kantoran Jakarta yang masuk jam 9 pulang jam 5 dengan hiburan karaoke dan teman-teman yang itu-itu saja. Sounds so boring, isnt it?

buku1Dan kemudian, Aceh menjadi bagian dari perjalanan hidup Saya, seperti juga menjadi bagian cerita yang tidak pernah habis untuk dituliskan di blog ini. Aceh mengubah dan menuntun pandangan saya tentang paradigma hidup, kehidupan spritual, kedewasaan berpikir, memberi cerita cinta (hmmm), jatuh bangun, susah senang dan tentu saja menjadi bagian terbesar dalam kehidupan pekerjaan saya. Lebih luas lagi, dari Aceh-lah saya menemukan sahabat-sahabat terbaik yang telah menjadi keluarga baru dan akan selalu dan selamanya ada di kehidupan Saya. Lebay mungkin.. Tapi jujur, apa yang Saya dapat sejauh ini adalah karena saya pernah di Aceh. Ya, hampir semua… 

Mengenal dunia menulis dan blogger pun karena Aceh. Pada waktu itu, satu-satunya yang bisa menjadi hiburan disana adalah internet kantor yang kencang. Di waktu senggang, mengutak ngatik blog adalah hal baru yang sangat menyenangkan. Jika akhirnya saya nekad menempuh Master di bidang Manajemen Sistem Informasi, juga karena terinspirasi pekerjaan di Aceh yang banyak berhubungan dengan IT. Agak gak nyambung memang dari S1 saya di Ilmu Perikanan dan Kelautan. Hehehe.. Contoh lain adalah kopi. Tak pernah terpikirkan saya jadi penggemar si hitam ini? Bisa dibayangkan, sebelum ke Aceh, minum kopi adalah pantangan buat saya karena bisa membuat kembung plus jantung yang rasanya berdetak lebih kenceng. Setahun di Aceh, semua berbalik. Sulit membayangkan bagaimana rasanya gak ngopi satu hari saja. Sampai-sampai pernah terpikir untuk punya warung kopi sendiri.

IMG-20120930-00653Tsunami telah mensyuhadakan hampir 10% penduduk Aceh saat itu. Mungkin banyak lupa Aceh dibantu lebih dari 600 organisasi yang datang dari 50 negara. Ini sungguh bantuan terbesar dalam semua bencana yang pernah terjadi di dunia. Tidak ada waktu untuk memilih siapa menolong siapa. Tidak ada batas negara, budaya dan agama. Alasan kemanusiaan-lah yang menjadi pondasi untuk membangun Aceh. Jika perbedaan bangsa, ras, warna kulit saja terabaikan apalagi hanya perbedaan etnik, suku, ideologi dan agama bagi sesama pekerja kemanusiaan asal Indonesia. Sesuatu yang akhir-akhir ini menjadi barang langka. Ketika makin kerap kita temui perpecahan karena perbedaan pandangan, golongan, agama dan paham-paham tertentu. Bahkan setelah usai Pilpres tahun ini masih saja ada fitnah terhadap pihak-pihak tertentu yang terkadang jauh dari kata logis. Bukan cerita baru jika banyak persahabatan yang retak, hubungan saudara yang merenggang bahkan kebencian pada kelompok-kelompok tertentu.

Ketika semua bisa bersatu saat bencana, Mengapa kini kita harus terpecah hanya karena perbedaan pandangan?

Lucu, kenapa kita bisa bersatu justru saat terjadi bencana? Kenapa kini perbedaan membuat kita harus terpecah. Padahal sejatinya perbedaan ibarat minyak dan air. Tidak bisa bersatu tetapi bisa berdampingan. Saya percaya perbedaan itulah yang membuat hidup kita kaya dan berwarna. Dulu, pasca tsunami kita hanya punya satu tujuan yaitu membangun Aceh kembali setelah bangkit dari keterpurukan. Kita percaya pada siapa pun yang menjadi pimpinan kita. Tidak ada bedanya dengan Indonesia saat ini. Keinginan kita sama; hidup damai dan sejatera di negara yang sama-sama kita cintai. Seperti saat kita mencintai Aceh yang porak poranda setelah diterjang tsunami. Sudah seharusnya kita bisa belajar dari tsunami 2014.

Hits: 1750

Buat kalian yang berkunjung ke Pulau Weh, ujung terbarat Indonesia, jangan lupa memburu selembar kertas seukuran folio ini. Kayaknya kurang afdol saja kalau sudah dari Sabang, tapi belum mengoleksi dokumen ini. Hehehe.. Saya, baru mendapatkan selembar kertas ini pada kunjungan ketiga saya di Sabang. Biarpun gak bisa dipake ngelamar kerja (apalagi ngelamar pacar), rasanya seneng aja, karena tidak banyak orang yang bisa menikmati langsung indahnya ujung Indonesia. Di sertifikat yang ditandatangani Walikota Sabang  ini tertulis nama dan nomor urut pengunjung kita. Tentu saja nomor ini dikeluarkan berdasarkan jumlah sertifikat yang sudah terdistribusi, bukan hitungan banyaknya orang yang kesana.  Untuk mendapatkan sertifikat ini, sekarang tepat di bawah Tugu KM 0 sudah ada petugas Dinas Pariwisata yang akan menghadiahi wisatawan cukup dengan biaya penggantian Rp20.000 per orang. Jika kalian berkunjung di hari kerja, silakan langsung ke Dinas Pariwisata Kota Sabang, jika petugas di lapangan juga tidak ada.

IMG_20140623_002123
Pada saat saya kesana, Tugu KM 0 sayangnya sedang dalam proses renovasi, sehingga petugas Dinas Pariwisata pun ikut absen. Namun..jangan khawatir, Pemda Kota Sabang telah bekerja sama dengan beberapa toko Souvenir yang juga menyediakan sertifikat ini. Salah satunya adalah Piyoh, toko kecil yang menjual pernak pernik lucu bertuliskan hal-hal lucu dan unik tentang Sabang. Saya yakin, semua pelaku wisata di Sabang pasti bisa mengantarkan kamu ke Piyoh. Sayangnya, jika memesan di Piyoh, tidak bisa langsung jadi, tapi pemilih toko akan dengan senang hati mengirimkan ke Jakarta, asal kita tidak lupa menitipkan uang pengiriman via pos.Kayaknya saya gak perlu cerita soal keindahan Sabang. Semua bisa googling sendiri. Saya cuma ingin berpesan, jangan mengaku jadi traveler dari Indonesia kalau seumur hidup belum pernah ke Sabang. Oya, tolong doanya juga biar saya bisa sampai di ujung paling timur Indonesia di Merauke. Yuk cusss….

20121215_125148

Hits: 1283

Saya tidak tinggal aceh, sama sekali tidak berdarah Aceh, tidak juga lahir di Aceh dan tidak punya keluarga di Aceh.. Tapi saya cinta Aceh, bukan karena saya pernah jatuh cinta dengan orang Aceh bukan juga karena saya pernah mampir bekerja di Aceh. Alasannya sederhana, karena saya feel hommy sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana.

Saya pertama kali ke Aceh pertengahan 2007, untuk bekerja di suatu lembaga yang menangani proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami.  Itu adalah pengalaman pertama saya bekerja di luar Jakarta. Jenuh dengan segala tetek bengek ibu kota dan ingin sesaat lepas dari Jakarta, saya terima sebuah kontrak kerja selama enam bulan dan meninggalkan pekerjaan tetap saya yang cukup menjanjikan di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta.  Keputusan yang agak sedikit ribet dan meragukan waktu itu, tapi dengan berbagai lika liku, singkat cerita tepat 2 Juli 2007 saya terbang ke Aceh.

Apa bayangan saya sebelum berangkat? Aceh itu menyeramkan! Isu GAM masih mewarnai pemberitaan media, daerah rawan dimana mana, belum lagi saya akan bekerja untuk pembangunan kembali daerah yang sempat porak poranda karena tsunami ini. Bayangan saya tentang Aceh pun ketika itu jauh dari kondisi normal. Ibarat di pedalaman, jauh dari keramaian dan hedonitas penduduk Jakarta yang senang karaoke seperti saya. Saya ingat, koper pertama saya ke Aceh besarnya hampir segede kulkas satu pintu. Mau tau isinya? Mulai dari sabun cuci, peralatan mandi, indomie sampai buku buku bacaan untuk membunuh waktu, karena dalam pikiran saya pasti akan banyak waktu tanpa aktivitas berarti selain di rumah saja. Kalo ingat itu saya ketawa sendiri sekarang. Betapa waktu itu mata saya sangat tertutup akan Aceh.  Saya pikir selama 6 bulan kontrak kerja itu, akan sangat sulit pulang ke Jakarta, jadi semua stok harus siap.  Lebih Lucu lagi waktu berangkat, beberapa sahabat saya ikut mengantar ke Bandara, ibarat saya mau pergi jauh dan lama baru kembali, persis seperti rombongan kecil pengantar jamaah haji.  Eh, kalo sekarang inget itu gak lucu lagi sih.. Malah jadi norak. Hahahahaha.

Tiba di Aceh pertama kali jam 12 siang, disambut cuaca yang sangat panasss. Setelah mendarat saya sms semua kerabat mengabarkan saya sudah tiba di tujuan dengan selamat. Isi smsnya pun saya masih ingat: “Alhamdulillah saya udah sampe,.. Banda Aceh panass gilaaaa” dan dibalas dengan kata kata menyemangati.  Lalu, dasarnya saya bukan orang yang cepat bisa beradaptasi dengan lingkungan yang benar benar baru.. Saya takut sekali homesick, sayat gak betah, sampai takut gak punya teman (ini serius) yang akhirnya dikhawatirkan mempengaruhi ke kerja profesional saya. Terus terang ketakutan itu sempat membuat bimbang seminggu sebelum keberangkatan.  Yang ajaib, tiba tiba hal itu sirna begitu saja ketika pertama menginjakkan kaki di pintu gerbang tanah rencong ini, tepatnya ketika melewati Simpang Surabaya.

Why? I don’t know…. It was an undefined feeling.

Hari itu juga pertama berkantor di Lueng Bata. Bayangan saya akan penuh bekerja dengan penduduk asli Aceh sedikit berubah, karena ternyata di divisi saya itu, separuh lebih juga orang pendatang seperti saya. Lambat laun saya pun bisa menyesuaikan diri dengan rekan rekan kerja yang baru, lingkungan dan masyarakat disana. Asumsi saya sebelumnya, akan banyak waktu tanpa kegiatan yang jelas ternyata salah besar.  Hari hari saya disibukkan dengan menikmati Aceh yang sebenarnya. Kontrak enam bulan pertama itu akhirnya pun berlanjut hingga 2 tahun lebih itu masih ditambah sekitar 1 tahun  bolak balik Jakarta-Banda Aceh. Selama masa kontrak saya juga hampir sebulan sekali kembali ke Jakarta, sekedar melampiaskan rindu akan ibukota. Jauh dari bayangan saya sebelumnya yang seolah olah akan “terbenam” di pedalaman.

Aceh itu indah, hingga dua tahun menetap disana, saya hampir lupa dengan Jakarta. Nyaris tidak ada kesan seram yg selama ini didengungkan. Yah, ini juga mungkin karena saya menetap setelah Perjanjian Helsinki. Namun konotasi akan masyarakat yg tidak ramah, kejam yang beritanya sempat diwakili oleh GAM nyaris tidak pernah saya temui.

Kalau soal pantai, saya memang bukan traveler, tapi saya pernah berkunjung ke beberapa lokasi pantai di Indonesia seperti Bali, Yogya, Lampung, Makassar dan Lombok termasuk negara tetangga seperti Thailand, tapi saya berani bilang: Heiii.. Come to Aceh you will see more than those!! Intinya gak usah jauh jauh.. Aceh tidak kalah indah bahkan lebih indah dari semua itu.

Sebelum ke Aceh saya hampir tidak suka kopi pun nongkrong di warung kopi,  tapi balik dari Aceh saya adalah tukang ngopi, meski bukan kopi hitam. Saya penikmat berat sanger dingin (sejenis kopi susu ala Aceh), sekali duduk saya bisa minum hingga dua gelas ukuran besar. Hmm.. Apa nikmatnya? Jangan samakan warung kopi di Aceh dengan Starbucks yang menjual penyajian berstandar internasional, kursi empuk dan AC superdingin.  Semua itu hampir tidak akan ditemui di warung kopi Aceh. Kursinya keras (sungguh sebenarnya bukan dirancang untuk duduk berlama lama), tidak ada pelayanan kelas dunia dan jangan berharap ada AC.  Harga kopinya pun bisa hingga sepersepuluh Starbucks. Tapi saya yakin kalau anda pernah mencoba dan mengerti akan kopi, anda bisa jadi merasa rugi beli Starbucks yang lebih menjual gaya hidup itu. Kopi Aceh is amazing. Lebih dari itu ada hal lain karena ternyata dengan uang 5000 perak ada makna kekerabatan yang sangat kental dari segelas kopi. Pembauran berbagai strata masyarakat seolah mencerminkan kebersamaan dan kekeluargaan yang tanpa batas.

Ah, saya tidak bisa bercerita banyak soal pantai, keindahan alam dan segelas kopi Aceh dengan bau bau promo pariwisata. Terlalu banyak web dan artikel yang sangat ahli untuk itu. Saya cuma ingin bilang: Saya pernah menikmati semua itu dan its really priceless. Saya mencintai Aceh..mencintai sahabat sahabat saya dan masyarakat disana yang ramah dan mulai terbuka akan dunia luar, jangan salah lho, Aceh sekarang sudah menjelma menjadi salah satu provinsi digital di Indonesia. Saya berani bilang, jumlah WiFi di Aceh mungkin lebih banyak dari Jakarta dan semua itu bisa dinikmati dengan gratis alias  free, cukup dengan duduk di warung kopi dan memesan minuman seharga tidak lebih dari Rp 6000,-  Anda sudah bisa menjelajah dunia ditemani cuaca Aceh yang panas namun bebas polusi.

Datang ke Aceh nikmati indah alamnya, keramahan penduduknya, keunikan budayanya dan pelajari begitu banyak lesson learn pasca tsunami 2004 yang merupakan salah satu bencana besar dunia. Rasakan bagaimana tsunami yang sempat meluluhlantakkan Aceh kini nyaris tak bersisa kecuali berbagai monumen, museum, pemakaman massal dan tonggak tonggak sejarah lain sebagai wujud pembangunan yang siginifikan sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh patut diperhitungkan. Hikmah besar tsunami adalah Aceh menjadi lebih terbuka akan pembaharuan demi kemajuan.

Aceh adalah cerita buat anak cucu-ku kelak. Pekerjaanku, sahabat-sahabatku, hari-hariku dan romantika suka duka didalamnya, dan yang paling penting; saya bangga pernah menjadi bagian dari Aceh meski itu hanya sesaat..

(tulisan ini menjadi Pemenang ke-3 Lomba Menulis dalam Rangka Visit Banda Aceh Year, 2011)

Sukses untuk Visit Banda Aceh Year 2011.

Berikut beberapa tulisan saya tentang Aceh :

http://www.vikaoctavia.com/2010/01/ngupi-ngupi/

http://www.vikaoctavia.com/2009/08/kenangan-puasa-tahun-lalu/

http://www.vikaoctavia.com/2009/03/296/

http://www.vikaoctavia.com/category/tentang-aceh/

http://www.vikaoctavia.com/2008/08/berburu-makan-enak-di-banda-aceh/

Hits: 1604

Bagi yang sudah pernah ke Aceh atau setidaknya pernah membaca tentang Aceh, pasti tau budaya masyarakat Aceh yang satu ini.Apalagi kalo bukan ngupi ngupi. Mau gak mau waktu tinggal di Aceh, aku pun terikut budaya ini. Yah, selain karena emang disana minim hiburan dan keramaian, ternyata emang menyenangkan kok. Mungkin banyak yg berpikir, warung kopi hanya disambangi oleh penggemar kopi. Waduh, jangan salah!!! Warung kopi di Aceh dikunjungi oleh segala lapisan masyarakat dari yang gak doyan kopi, penggemar berat kopi, pejabat bahkan petani kecil. Apalagi pada masa jayanya pekerja kemanusiaan di Aceh,..tempat apa lagi yang lebih nikmat selain warung kopi ??

Source: http://www.gopixpic.com
Source: http://www.gopixpic.com

Jangan membayangkan deretan kursi empuk dengan ruangan full AC dan pelayanan kelas dunia bak Starbucks, Coffee Bean atau Gloria Jeans Coffee. Sama sekali beda. Dalam sebuah halaman internet, kebiasaan ngupi ngupi masyarakat Aceh ini, kalau bisa dimasukkan ke dalam Guiness Book of Record secara rata-rata laki-laki di Aceh memiliki jam duduk paling lama di warung kopi. Sekedar ilustrasi kalau laki-laki (terutama di desa) bisa menghabiskan minimal 12 jam sehari di warung kopi kalau sedang tidak meladang atau melaut, Selepas subuh sampai menjelang zuhur (5 jam), sambung lagi selepas ashar sampai menjelang magrib (3 jam) sambung lagi selepas ‘isya sampai tengah malam (4 jam). Wow..Luar Biasa bukan ??

Dari sekian banyak warung kopi di Banda Aceh khususnya, warung yang paling sering kukunjungi bersama teman-teman adalah Chek Yuke, letaknya persis di tengah kota menghadap sungai Krueng Raya dengan deretan meja kayu dan kursi plastik keras yang sebenernya gak enak didudukin lama-lama. Tapi anehnya tempat itu nyaris tidak pernah sepi… Waktu rutin kami nangkring disana biasanya setelah lewat jam 8 malam, namun sering juga menghabiskan sarapan pagi disana pada akhir pekan. Di masa ramainya para pekerja kemanusiaan di Banda Aceh, jangan heran jika satu meja harus “dibooking” dulu. Tentu bukan lewat telpon atau reservasi online ya,..melainkan mengirimkan satu orang teman lebih dengan tugas mencari meja strategis untuk dikerubungi berlama-lama,

Apa sih yang diomongin, sebenernya gak ada yang penting…paling membahas hal hal gila dari pekerjaan kita sehari-hari, rencana liburan dan yang paling seru adalah menggosipkan tingkah bos-bos di kantor. Ada aja celahnya yang bisa bikin kita ketawa hingga sakit perut sambil menunggu tengah malam tiba. Tapi buat kelompok lain, warung kopi tidak hanya tempat kongkow-kongkow, tapi juga sumber informasi, lobi lobi bisnis hingga lobi politik.

Minuman favoritku apalagi kalo bukan Sanger. Ini sebenernya sejenis kopi susu ala Aceh, tapi adonannya agak beda. Jadi kalo ke warung kopi Aceh, mau pesen Sanger yaa harus bilang sanger, jangan sampai bilang kopi susu, karena bakal beda dihidangkannya. Rasanya mantap banget, pas..baik disajikan dingin atau panas.. Jika ngopi-nya dipagi hari tentu saja sanget hangat plus nasi gurih (nasi uduk ala Aceh), nah kalo malem sanger dingin ditemani nasi kuning cumi cumi atau mi aceh dengan udang. Uhhhh..yummii banget…

Hits: 1114

Sebelum kesini dulu, gak sedikit temen-temenku di Jakarta bilang, makanan di Aceh enak-enak. Wah, itu versi mereka, karena versi aku belum tentu banget. Ternyata bener, sampe disini, aku merasa makanan disini “biasa” banget. Pertama, umumnya makanannya berbumbu pedas, berminyak, berlemak daging-dagingan dan ini yang terparah (menurutku) : less of vegetable. Secara gue gak demen daging baik sapi mapun ayam (apalagi kambing), kecuali kalo bener-bener gak ada pilihan lain. Yah, gue termasuk kategori herbivora yang pemakan segala daun-daunan selain daun pintu dan daun jendela (apalagi daun telinga).

Duh, susahnya cari yang namanya lalapan segar dengan segala “hehijauan” tertata di piring persis kayak kebon raya versi mini apalagi ditambah sambel ijo pedes. Slurpp…

Walau begitu,Aceh sebagai salah satu propinsi dengan garis pantai terpanjang tentu menghasilkan hasil laut yang melimpah ruah. Wah, ini sumpah gak bisa dipungkiri. Serupa dengan masa kecilku di Makassar yang sering banget ikut Mama ke pelelangan ikan.  Tapi sayangnya, variasi pengolahan hasil laut itu minim banget. Beda sama Pelabuhan Ratu  yang rajin kusambangi jaman kuliah dulu dimana tukang bakso ikan dimana-mana yang mungkin saja (mungkin banget) ikannya adalah ikan hiu  mengingat  banyaknya species ikan yang ada pasar ikan disana. Tapi di Aceh ada  mie Aceh yang konon ngetop itu se-antero nusantara . Namun… walah.. lagi-lagi masalah ada di gue. Gue gak doyan mie! Kecuali mie ayam di samping Toko Tajur Fashion di Bogor. Gilingan……… enak banget!!!

Tapi…eitss… jangan underestimate dulu.. Setelah menunggu dan melakukan pengamatan secara mendalam, ada dua makanan yang highly recommended, karena gue suka banget.  Pertama, ayam tangkap. Gak ngerti darimana asal muasal nama itu wong yg namanya ayam pasti ditangkep dulu sebelum digoreng.  Aneh. Sajian ini yang paling ngetop dari RM Aceh Rayeuk. Sebenernya ayam goreng kampung biasa  (ayamnya yang masih muda) dipotong kecil-kecil trus digoreng dengan bumbu-bumbu dapur biasa  dan cabe ijo yang segede-gedenya tanpa dipotong.

Tapi yang bikin khas adalah dicampur gorengan garing daun khas Aceh yang namanya daun temurui.

Rasanya enak banget, meskipun aku sih banyakan makan daunnya dibanding ayamnya. Hehehe.. Apalagi di rumah makan itu, disajikan pula sayur daun melinjo yang dipotong halus-halus ditambah tumisan bunga pepaya.  Trus minumnya adalah es serutan timun. Seger dan komplit!  Hehehhe.. endang banget. Kalo makan disini, persis kayak di Thailand bulan lalu, gue bisa makan gila-gilaan dan malu-maluin. Hemmmm..

Kedua, balik ke masalah mie. Setelah setahun di Aceh, akhirnya ketemu juga namanya mie Aceh yang paling enak sedunia dengan merek Mie Lala. Letaknya di deket kostnya Rynal (loh…siapa lu??!!)  itu temen kantor gue yang sok ganteng. Dia yang nampaknya tanpa sengaja menemukan mie yang enak luar biasa ini.  Mie-nya disajikan dengan berbagai pilihan dari ayam, daging, jamur hingga kepiting yang gede-gede. Yummy banget deh. Minumnya air kelapa muda yang seger banget. Tapi gak enaknya,…ini bener-bener menyiksa!! Nunggu pesenan datang bisa sampe satu jam!! Coba bayangin kalo lu niat makan sendiri, cengok-cengok deh satu jam. Belum lagi kalo datengnya agak sore selain pengunjung manusia-nya rame, pengunjung nyamuknya pun gak kalah rame. Tapi beneran..kalo udah icip-icip. Pasti deh addicted!!! Satu lagi, dari jaman dulu.. aku pun gak doyan namanya indomie. Itu bener-bener makan alternative terakhirrrrrrrrrrrrrrrrrrrr banget.  Kalo lagi bener-bener miskin atau bener-bener gak ada pilihan apa-apa di rumah dan gak bisa keluar cari makanan lain yang lebih beradab.

Tapi, kalo kamu ke Aceh, harus-lah nyicipin namanya Indomie rebus ala Aceh! Apa istimewanya ?  Karena bumbunya gak pake bumbu sachet-an dari bungkus indomie-nya. Tapi pake bumbu mie Aceh. Pedes dan penuh rempah pake lalapan timun dan acar bawang. Beda deh!  Kuahnya agak kental tapi gurih yang pasti bikin kita pengen nyereput sampe abis.

Ayo, kapan nraktir gue ?!!

 

Hits: 2601