“My mother is traveling alone to LA, using wheel chair and now she is awaiting for me at the boarding gate, please help me to see her just for a moment… ” Dengan terbata-bata dan ingin menangis saya jelaskan ke petugas imigrasi bahwa mama saya sendirian, pakai kursi roda dan sedang menunggu saya membeli makanan. Perasan berkecamuk, menatap mata Mbak-Mbak imigrasi yang kulitnya putih kinclong dengan harap-harap cemas.

***

Sebagai pemegang green card, Ibu Saya memang punya hak yang sama dengan warga negara USA, bedanya Ia tidak punya hak politik. Alias tidak boleh memilih dan dipilih dalam legistlatif. Tidak enaknya, beliau tidak bisa meninggalkan Amerika lebih dari 6 bulan setiap tahunnya, which is… kalau pulang kampung (ke Indonesia) ya, maksimal 6 bulan. Katanya sih, kecuali kalau sudah lebih dari 5 tahun jadi green card holder, boleh pulang ke negara maksimal hingga 1 tahun lamanya.

Kata orang enak, bisa sering-sering  ke USA. Kata saya sih, sekarang gak enak-enak (amat) lagi. Pertama, kalau ke USA saya hanya bisa di akhir tahun atau di awal tahun banget. Periode itu lagi musim dingin, dimana saya TIDAK SUKA DINGIN! Suhu AC kamar saja saya bisa senewen apalagi ketemu suhu minus. Saya tidak peduli namanya salju, namanya musim gugur. Pokoknya kalau dingin, saya menderita. Titik. Saya bisa mati karena rindu matahari. Kedua, harus preparing dana ekstra setiap tahun, karena mama sering pengen pulang dan saya harus jemput atau nganterin balik. Kita sekeluarga belum tega membiarkan Mama jalan sendirian lebih dari 20 jam dengan transit di negara-negara yang bandaranya super luas dan hurufnya saja belum tentu huruf latin. Apalagi Mama tidak begitu lancar berbahasa Inggris dan cepat lelah kalau jalan jauh dari gate ke gate di bandara yang terlalu besar.

Nah, kejadian ini baru saja Agustus lalu. Kondisi saya dan keluarga benar-benar sedang tidak bisa mengantarkan Mama (macam-macam alasannya, termasuk situasi keuangan yang kurang mendukung). Sementara Mama sudah hampir 6 bulan pulang kampung, yang artinya harus segera balik ke “kampung barunya” itu kalau nggak mau kena “black list”  Pemerintah USA. Setelah melalui berbagai pertimbangan, kami mencarikan Mama  tiket pesawat yang transitnya cuma sekali, pesawat lokal Asia dan saya bisa mengantar sampai bandara transit sebelum direct flight ke Los Angeles plus murah tentu saja. Dan dari semua kriteria itu saya memilih Phillipine Airlines. Beberapa tahun lalu saya juga pernah naik pesawat Filipina yang full service ini, dan not bad-lah. Masih recommended. 

Maka tibalah hari keberangkatan. Saya membeli tiket pesawat yang sama dengan Mama sampai Manila. Niatnya memang mau nganterin sampai Manila saja, dan memastikan beliau masuk pesawat direct ke LA, yang artinya tidak turun-turun lagi dan langsung dijemput Saudara di LA. Ini perjalanan Mama yang pertama  dan sendirian sejauh ini. Agak cemas juga plus nggak tega. Tapi mau bagaimana lagi, Mama harus kembali ke USA bulan ini. Dari Bandara Soetta, saya sudah memesankan wheel chair, biar mama nggak capek jalan dan tidak repot mencari gate sendirian saat landing. Intinya, kalau pakai wheel chair, crew pesawat akan lebih memperhatikan. Itu saja. 

Rencananya, setelah tiba di Manila pada pagi harinya (kami berangkat dini hari dari Jakarta), saya akan langsung balik siangnya ke Jakarta via KL dengan Cebu Pacific. Bokek, males mampir-mampir Manila. Tentu saja saya memilih jam setelah pesawat Mama take off ke LA. Setiba di Manila, Mama langsung ke gate transit dengan wheel chair bersama petugas. Sementara saya tetap harus keluar imigrasi dulu lalu check in pesawat pulang dan kembali ke boarding gate menemani Mama yang transit 3 jam (rempong ya boo…) Oya, kalau ada yang nanya, kenapa nggak check in online aja trus langsung masuk boarding gate sama nyokap, nih gw jawab ya : biarpun lo udah check in online,tetep kudu keluar imigrasi karena pesawat Saya bukan connecting flight. Gitu.

Saya juga keluar rencananya mau menukar Rupiah ke Peso buat bekal Mama beli makanan pas transit di dalam, karena Mama tidak punya kartu kredit. Kelar imigrasi, mau check in, baru sadar sebuah ketololan telah terjadi. Ternyata Phillipines Air (PA) dan Cebu beda terminal, saudara-saudara!! Cebu di terminal baru yang jauhhh.. dari Terminal PA. YANG ARTINYA GW NGGAK BISA MASUK LAGI NEMUIN MAMA YANG NUNGGU SENDIRIAN.  Jauhnya pake banget, lebih jauh dari sekedar T1 ke T3 di Soetta, mirip-mirip dari Soetta ke Kota Tangerang dipinggir Soetta. Duh, kenapa bisa stupid begini, seharusnya pada saat memesan tiket, ini sudah Saya antisipasi.

***

Tiba-tiba bingung dan agak linglung, saya coba ke imigrasi untuk minta tolong; minta ijin masuk ke gate dan ketemu sebentar saja. Seorang petugas masih muda berumur 20an, bilang tidak bisa, karena Saya tidak punya pass masuk gate PA. Oke, Saya ke counter tiket PA, cari tiket kemana pun yang terdekat, yang penting bisa masuk gate dan ketemu mama sebentar. But it was sold out! Mulai stress, bener-bener stress. Mama pun HP nya mati. 

Ok, duduk sebentar tarif nafas.

Dalam kalut, saya mencoba menelpon Kedutaan RI di Manila. Intinya sekedar minta penjaminan bahwa Saya memang cuma berniat ketemu Ibu Saya walau sebentar. Pagi itu hujan deras dan masih pukul 06.30.  Seorang di seberang sana menjawab dalam Bahasa Inggris; petugas kedutaan belum ada yang masuk kantor. Masih kepagian. Hikss…ini gimana mau bantu WNI 24 jam??  

Duh, kebayang,…selama Mama di Jakarta-Bogor, rasanya waktu Saya buat Mama sedikit sekali. Saya suka sibuk sendiri, dan jarang menghabiskan waktu dengan beliau. Sekarang mau ketemu saja pakai bawa-bawa negara.

Ya wes, satu-satunyanya jalan.. balik lagi ke imigrasi memohon-mohon dengan ratapan anak tiri. Mungkin karena iba, petugas yang tadi akhirnya meminta saya menghadap “supervisor”. Seorang perempuan Pilipino setengah baya yang cantik. Katanya ini “special case” banget, tidak pernah ada yang begini. Saya mencoba menjelaskan dengan Bahasa Inggris seadanya tapi  dengan clear bahwa ini sangat mendesak.

Terbayang Mama yang pasti sedang kebingungan kenapa Saya tidak juga muncul. Saya memberikan nama Mama, nomer flight dan ciri-cirinya. Awalnya dia tetap bilang tidak bisa. Tapi saya berkilah, bahwa sebagai sesama warga Asia Tenggara (yang tidak perlu VISA) Mama bisa keluar sebentar menemui Saya di depan jika Saya tidak bisa masuk. Ternyata menurut hukum, jika sudah  masuk ke boarding gate internasional, kita dianggap sudah meninggalkan negara bersangkutan. Si Pilipino pun sepertinya bingung tapi mencoba memahami perasaan Saya. Hening sesaat. Tidak berapa lama, Ia memaggil seorang stafnya, berbicara dalam Bahasa Tagalog (yang tentu saja tidak saya pahami). Sekitar 10 menit kemudian, staf tadi datang dengan Mama. Saya berkaca-kaca sambil mengucapkan terima kasih. Saya peluk Mama dengan erat dan Mama pun bingung apa yang terjadi.

Saya cuma diberi waktu 10 menit buat ketemu Mama. Untungnya tadi saya sempat membelikan roti dan minuman buat bekal menunggu penerbangan berikutnya. Rasanya ini 10 menit paling berharga bagi Saya bersama Mama. Sedih, banget! Karena belum tahu lagi, kapan bisa ketemu beliau. Sungguh saya tidak suka drama, tapi kejadian ini benar-benar drama buat Saya. Namun dengan senyum manis petugas bandara yang baik hati menguatkan Saya; “dont worry, we’ll take care of her.. 

Now, I miss you,..mom..

 

 

.

Hits: 2452

Februari lalu Saya beroleh kesempatan “melancong” eh…dinas ke Filipina selama seminggu. Ceritanya,  Pemerintah Filipina tertarik untuk mengadopsi sebuah aplikasi sistem informasi yang digunakan di masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias pasca tsunami.  Kita semua tahu, beberapa wilayah Filipina di akhir 2013 lalu terkena bencana topan hayyan (dalam bahasa lokal disebut Yolanda) yang kerusakannya tidak kalah besar dengan tsunami 2004 lalu.  Ini kali pertama saya mengunjungi kampungnya Imelda Marcos. Pengalaman yang lumayan mengesankan, karena gak nyangka aja, sesuatu yang pernah kami lakukan di Aceh dulu dipandang begitu penting sampai-sampai ingin diadopsi negara lain. Plok…plok…plok… Disana kami melakukan serangkaian knowledge sharing  dan presentasi tentang kita dulu ngerjain apa saja di Aceh terutama pemanfataan TI untuk mengurus lebih dari 800 donor dan NGO. *pyuhhh.. ngomongnya aja udah susah yah. Tapi topik ini kayaknya terlalu serius kalau harus dibahas disini. Hehehe…

Mahfud, salah satu teman yang juga ikut kesana, sempat mencatat beberapa obyek wisata menarik yang mungkin bisa kita kunjungi disana. Saya sendiri sih, gak kepikir bikin catatan, karena setahu saya destinasi wiasata Filipina kalah tenar dibanding negara Asean lain seperti Malaysia dan Thailand yang sangat gencar berpromosi. Eh, setiba disana… *ya, namanya juga dinas ya, bo*..boro-boro jalan, agenda yang dijadwalkan oleh pengundang sangat padat. Kami nyaris keluar hotel di pagi hari dan selalu kembali menjelang tengah malam.  *capekk deh…

Namun saya masih mencatat hal-hal kecil yang memorable di Manila dan Makati, yang sayang kalau tidak di-blog-in. Hihihi.. Pertama tiba di Bandara Ninoy Aquino, agak kaget juga sih.. kok bandara internasional-nya  biasa banget. (kalau gak enak dibilang jelek…). Malah jauh lebih keren beberapa bandara lokal di Indonesia. Tidak ada kesan gemerlap, fasilitas pun terhitung biasa-biasa saja bahkan bisa dibilang minim. Kami mendarat menjelang malam, memasuki Manila yang macet dan tidak ada aura gemerlapnya, saya hanya berharap cepat sampai hotel dan tidur.  Diperjalanan Saya mengamati kendaraan umum, yang mirip bis-bis seperti Mayasari di Jakarta dan eh…ada satu yang cukup mencolok namanya Jeepney. Bentuknya seperti jip panjang tetapi sudah dimodifikasi hingga bisa muat sekitar 20 penumpang dengan posisi duduk berhadapan persis seperti naek angkot. Konon, mobil ini aslinya buatan Amerika Serikat untuk Perang Dunia II, namun sekarang sudah diproduksi sendiri oleh Filipina. Jeepney dicat berwarna warni dengan ornamen yang meriah persis angkot di pedesaan.  Unik, karena sangat kontras dengan penampilan Manila dan Makati yang termasuk kota Metropolitan. Di hari-hari terakhir, saya baru mengetahui bahwa ada Jeepney yang Full AC!! Namun posisi duduknya udah gak kayak angkot, tapi seperti bus kopaja.  Ongkos naik kendaraan lucu ini lumayan murah, untuk jarak paling jauh hanya sekitar Peso 7 (sekitar Rp2500).

Yuk, naek Jeepney (sumber: livesharetravel.com)
Yuk, naek Jeepney (sumber: livesharetravel.com)

Tidak ada yang terlalu istimewa dari Manila dan Makati. Manila, ibukota Filipina sepertinya beradu dari kota tradisional menjadi kota modern. Urbanisasi masih nampak memenuhi sudut-sudut kota. Jalanan macrettt, cret, cret, cret. Belum lagi supir-supir di Manila dan Makati mungkin les nyetirnya sama supir Medan semua. Gaya nyetirnya bikin pusing dan mual.  Huekkk…

Pusat pemerintahan sebagian besar terpusat di Manila. Harus diakui, di banyak sisi, kantor pemerintahan kita memang lebih keren dibanding Filipina. Sementara itu, Makati memang di-setting sebagai pusat bisnis. Letaknya kurang lebih 20 km dari Manila. Ini bedanya, pusat bisnis dan pemerintahan sudah terpisah, gak tumplek blek di seputaran segi tiga emas seperti di Jakarta. Secara konsep, Makati layaknya SCBD atau Kawasan Mega Kuningan di Jakarta tetapi dalam areal yang lebih luas.  Bangunan tingginya sih belum sebanyak Jakarta, tetapi yang saya perhatikan, Makati dan sekitarnya mulai ditata sebagai kawasan bisnis yang nyaman dan bersahabat dan terpadu. Mungkin ini yang bisa dicontoh Jakarta.

Macet di Bonifacio
Macet di Bonifacio

Nah, yang paling gak enak di Manila atau mungkin juga di negara non muslim lainnya adalah susahnyaaaa…cari makanan halal!  Miss Piggy dimana-mana, mencari menu halal yang tidak terkontaminasi mahluk imut itu susah luar biasa. Kalau udah mentok, apa boleh buat, ke “kedai kopi internasional” itu dan makan roti! Alhamdulillah karena saya memakai jilbab, orang Filipina yang baik dan ramah selalu mengingatkan kalau yang saya pilih bukan makanan muslim.  Beruntung, di Makati kami sempat ketemu Restoran khas Indonesia yang enak banget, sebagai alternatif makanan halal selain restoran Timur Tengah dan India.  Di sela-sela waktu kerja yang padat kami sempat makan malam ke satu kawasan yang namanya Paluto. Konsep tempat ini persis seperti Pasar Ikan Muara Baru dan Muara Angke di Jakarta Utara. Kita beli ikan sendiri trus dimasakin sama restorannya.  Bedanya, karena diperuntukkan khusus buat turis, tempatnya lebih bersih dan jauh dari bau amis seperti di Muara Baru. Makanan di tempat ini pun Insya Allah terjamin halal.  Hihihi. Dan.. harus diakui kalau masakannya sangat enak!! Yang kurang enak, cuma kurang sambel terasi doang…! Lucunya pelayan-pelayan restorannya hampir semuanya “waria” 😀

Memilih ikan segar di Paluto
Memilih ikan segar di Paluto

Di Manila, kami juga melewati Golden Mosque di kawasan muslim Manila dan sempat sholat disana. Masjid yang katanya terbesar di Manila ini menjadi kebanggaan warga muslim di Filipina. Tapi saya agak kecewa juga sih, selain letaknya yang agak mblusukan alias masuk-masuk lewat pasar tradisional, masjid ini nyaris tidak terawat baik.  Bayangin, tempat wudhu aja dikunci, dan tempat sholat perempuan tidak dilengkapi sajadah.  Sebagai orang muslim, sedih dan miris juga rasanya. Nama kerennya Golden Mosque gak sebanding dengan wujud masjidnya. Tentu jauh lebih bagus Masjid Kubah Emas di Depok. Maybe its called when moslem become a minority.

Manila Golden Mosque
Manila Golden Mosque

Secara bahasa, sejauh yang saya tahu (atau menurut saya), penduduk Filipina berbahasa Inggris paling baik diantara negara-negara Asean seperti Malaysia, Singapura, Indonesia apalagi Thailand! Pengucapannya dan strukturnya pun sangat jelas, tidak banyak terkontaminasi oleh bahasa lokal kecuali pada pengucapan seperti kata function yang seharusnya dibaca “fang-syen” tetapi dilafalkan dengan: fang-tion”. Artinya setiap kata yang berakhiran “ion” akan diucapkan bulat-bulat menjadi ‘ion”.  Namun selebihnya, penguasaan Bahasa Inggris sangat jamak di masyarakat Filipina. Mereka terbiasa menggunakan dua bahasa sekaligus, Inggris dan Tagalog sebagai bahasa sehari-hari.

Hal menarik lain yang sempat saya rekam adalah ternyata banyak kesamaan antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Tagalog lho.. Contohnya mereka menyebut pulang dengan “balek” yang artinya sama dengan kata balik di kita. Mereka menyebut payung dengan payong, kanan dengan kanan, sabon untuk sabun, bato untuk batu dan sepato untuk sepatu. Hmm… katanya sih nenek moyang mereka memang satu buyut dengan orang Melayu kebanyakan. Namun yang benar-benar “lost in translation” adalah mereka mengartikan “tunggu sebentar ya..” dengan “sandal Ilang” Sumpah, ini saya yang ini gak ngerti asal-usulnya dari mana! Yang saya tahu, sandal ilang kebanyakan dialami jamaah sholat jumat yang kelamaan menunggu khotbah selesai… Hahaha…..

Hits: 1381