Kalau ada yang bilang home is where the love is, mungkin Museum Peranakan Penang bisa menjadi contoh rumah yang penuh cinta.

Museum ini awalnya rumah biasa, kediaman seorang keturunan Tiongkok bernama Chung Keng Kwee yang didirikan pada akhir abad ke-19. Babah, sebutan untuk Chung Keng Kwee konon merupakan orang paling kaya di Penang pada masanya. Babah menikah dengan beberapa wanita lokal Melayu, karena itulah museum ini sering juga disebut Museum Babah Nyonya. Hebatnya istri-istrinya itu, dulu hidup rukun di rumah yang kini sudah menjelma menjadi museum tersebut. Kalau jaman sekarang ada gak yaaa, para madu yang mau tinggal serumah begitu?  Ada sih pasti ya, apalagi kalau suaminya semapan dan sekaya Baba. Hehehe.. 

museum9
Ruang Utama di Pintu Masuk

Salah satu itinerary jalan-jalan saya ke Penang beberapa waktu lalu adalah berkunjung kesini. Awalnya saya tidak memang terlalu banyak berekspektasi. Saat tiba di lokasi pun, museum ini hanya seperti rumah Melayu yang dari luar terlihat biasa saja, bahkan tidak tampak seperti museum. Halamannya sempit dengan kapasitas parkir tidak lebih dari lima enam buah mobil saja. Saya sempat berpikir: apa sih istimewanya sih tempat ini…

Ruang Keluarga
Ruang Keluarga

img-20160814-wa0155

Ternyata memang istimewa…

Ada dua bagian utama  yang saling terhubung di museum ini. Bagian pertama dulunya merupakan tempat tinggal keluarga Babah sementara bagian kedua menjadi tempat untuk mengelola bisnisnya. Pengunjung terlebih dulu akan memasuki rumah utama di bagian pertama sebelum menjelajah sisi bangunan yang lain. Baru masuk, sebuah ruang besar akan menyambut kedatangan pengunjung. Bagian tengah ruangan ini dibiarkan kosong dan terbuka tanpa plafon agar cahaya matahari bebas lepas masuk ke dalam rumah. Konsep ini sebenarnya ditemukan juga di kelenteng atau vihara. Fungsinya, selain memperlancar sirkulasi udara, juga mengandung filosofi  rejeki yang yang lebih lancar mendatangi empunya rumah.  

 

museum7

Berhadapan langsung dengan ruang terbuka itu, ada meja besar yang berfungsi selain sebagai meja makan keluarga, juga sering digunakan untuk menerima tamu bisnis. Uniknya, di kiri dan kanan meja tersebut, diletakkan dua kaca berukuran besar yang berfungsi layaknya CCTV. Seluruh aktivitas ruangan utama terpantul pada kedua cermin tersebut. 

Masih di lantai satu, berdampingan dengan ruang utama ada jalan tembus menuju vihara pribadi dan masih digunakan hingga saat ini. Konsepnya masih sama, kosong di bagian tengah, namun penuh ornamen khas Tionghoa. Bedanya hanya tidak didominasi warna merah, melainkan warna abu-abu dengan ukiran-ukiran besar yang didominasi warna hijau, abu abu dan emas.

vihara
vihara

Hampir seluruh sudut rumah penuh dengan guci antik dan kristal-kristal mahal. Semuanya dipajang pada lemari-lemari kaca yang tidak boleh disentuh. Lukisan lukisan bergaya tiongkok terlihat di beberapa bagian ruangan. Dengan penataan yang cenderung minimalis, dipilih perabot yang berkesan klasik dan menunjukkan kelas sosial sang pemilik rumah. Walau dipenuhi aksesoris, tata letak keselurahan tetap memberi kesan luas, yang membuat pengunjung bebas mengamati barang-barang koleksi. Mungkin dulunya memang dibuat leluasa, agar anggota keluarga dapat nyaman bercengkarama.  Secara total jumlah koleksi museum ini mencapai 1000 buah. Benar-benar gila dan gak tanggung-tanggung buat semua “rumah biasa”.

museum2

Dari lantai dua, seluruh aktivitas di lantai satu bisa dipantau, karena keduanya dibuat terbuka dan dihubungan dengan tiang kayu yang sangat eksotis. Lantai dua sebenarnya tidak terlalu luas, namun penempatan kaca-kaca yang nyaris sebesar dinding membuat ruangan tampak lebih leluasa. Disini juga ada kamar tidur utama, lengkap dengan seperangkat kursi dan dipan antik yang berkelambu. Pada satu sisi dipajang pula koleksi kain milik Nyonya Rumah. 

Ruang Tidur Utama
Ruang Tidur Utama

Nah, bangunan kedua yang terletak di belakang rumah utama dulunya memang digunakan sebagai workshop empunya rumah. Salah satu bisnis Baba dulunya adalah pembuat perhiasan emas. Di satu sisi, dipresentasikan perangkat pengerajin emas. Sementara pada sisi berdampingan, dipamerkan koleksi perhiasan keluarga ini. Wah, sampe tak berkedip mata ini melihat kinclongnya deretan perhiasan mahal dalam kaca-kaca kristal yang tebal. dengan pengamanan berlapis.

menempa emas..
menempa emas..

Kebayang dong harganya,… kalau jadi warisan kita di Indonesia, bisa gila bayar tax amnesty-nya!! Hehehehe. Sementara itu dinding workshop dihiasi koleksi  tekstil dan busana perempuan melayu kuno yang tertata apik dalam bingkai tembus pandang. Tidak itu saja, belok sedikit dari workshop, dipamerkan deretan perangkat dapur yang kini mungkin hanya bisa kita temui di rumah nenek. Uniknya, lantai di bangunan kedua, konon didatangkan dari Inggris. Motifnya memang unik, seperti ada karpet yang nempel di lantai.

museum8
Ruang Koleksi Perhiasan

Keseluruhan, isi museum ini menakjubkan. Pantas saja menjadi salah satu bagian dari World Heritage Site of Georgetown. Tampak depan yang biasa-biasa saja, ternyata tidak mencerminkan isi dalamnya. Buat yang mau ke Penang, saya rekomen deh tempat ini. Bukan cuma keren buat foto, tapi juga edukatif banget, pas untuk liburan keluarga.

 source featured image: www.kasublog.com

 

 

Hits: 1313

“Gue mau ke Penang, minggu depan”…kataku ke seorang teman.

“Oh ya, siapa yang sakit?” responnya.

Begitulah, bagi sebagian teman-teman terutama yang bermukim di Medan dan Aceh, ke Penang aka. Pineng identik dengan berobat. Tidak heran, selain pelayanan kesehatan disana diakui banyak orang lebih baik (dan lebih murah), secara geografis jarak Medan, Aceh ke Penang memang lebih dekat. Kalau ke Jakarta butuh terbang sekitar 3 jam-an, ke Penang kurang dari 1,5 jam saja. Belum lagi sekarang makin banyak pilihan pesawat langsung kesana. Tapi…sekarang saya bukan mau cerita tentang Rumah Sakit di Penang, loh!

senja di Penang
senja di Penang

Saya sudah beberapa kali jalan-jalan ke Malaysia, tapi untuk negara bagian Penang, ini adalah kali pertama. Kepergian (ciyee kepergian…macem bahasa puisi) saya minggu lalu, memang dalam rangka sebuah short weekend gateway. Jika biasanya barengan para backpacker atau budget traveler kemarin bersama Ibu Ibu “Sosialita” kantor. Kalau biasanya dengan rombongan ber-carrier segede gaban lengkap dengan peralatan snorkeling, kali ini dengan Ibu-ibu berkoper cantik warna-warni. Jika biasanya dengan teman-teman blogger berkamera besar profesional, kemarin dengan Ibu-ibu ber HP canggih. Dan kalau biasanya dengan teman-teman yang tanpa kostum liburan yang jelas (baca: amburadul) kali ini dengan rombongan Ibu Ibu yang liburan dengan dresscode! Serius!!

blog18
heboh, tapi seru…

Dulu-dulu kalau ke Malaysia, saya jalan sendiri ngalor ngidul dan tidak menggunakan jasa travel. Nah.. kali ini, Ibu Ibu yang baik baik tadi membuat perjalanan lebih ter-organisir dengan semua yang sudah dipesan lebih dulu. Pun karena ini private tour jadi kami ber-8 bisa mengatur sendiri itinerary-nya. 

Tapi itulah yang membuat liburan kemarin berbeda! 

***

Kesan pertama ketika tiba di George Town, Ibukota Penang adalah: Bersih Banget. Hampir tidak ditemui pedagang kaki lima yang buka lapak sembarangan dan menganggu pemandangan. Lalu lintas yang teratur dan nafas kota wisata yang sangat terasa. Sama seperti Malaka, Penang juga kaya dengan bangunan heritage yang dijaga dengan baik. Bedanya, Malaka itu kental dengan bangunan Portugis sementara Penang sering disebut perpaduan tempat berpadunya tiga budaya sekaligus yaitu Inggris, Tiongkok dan Melayu dengan campuran budaya India yang kuat. Salah satu jalan di pusat kota dijuluki Harmony Street, karena di jalan ini berdiri gereja, kelenteng dan Masjid yang didirikan oleh muslim India. Kata driver kami, Penang bahkan lebih ramai di hari libur karena kunjungan turis, dibandingkan hari kerja.

Kami mampir ke beberapa tempat wisata seperti Museum Pinang Peranakan, Kek Lok Si Temple, Bukit Bendera, Armenian Street hingga Taman Kupu Kupu. Museum Pinang Peranakan akan saya ceritakan dalam tulisan tersendiri.  

kupu kupu di Enthopia
kupu kupu di Enthopia

Tujuan pertama kami dihari kedua adalah Kek Lok Si Temple. Mungkin ini adalah salah satu kuil Budha terbesar di Asia. Bangunannya terletak di perbukitan dan untuk sampai di puncaknya, kita harus menumpang trem kecil. Kuil ini sangat megah, luas dan terkesan mewah.  Di salah satu sisi, terdapat jejeran batu berwarna kuning emas, yang nampaknya menjadi perlambang para dewa. Jalan menuju lokasinya memang berkelok kelok, kalo gak kuat bisa membuat mabok. Mirip-mirip deh sama jalanan menuju tulisan Hollywood di LA (Los Angeles bukan Lenteng Agung) Dan…Alhamdulillah, saya sudah beberapa kali gitu  ke LA (eh…intermezzo sombong dikit..). 

Kek Lok Si Temple
Kek Lok Si Temple

Kami juga melipir ke Bukit Bendera, Penang Hill. Saya pikir,  ini cuma perbukitan biasa. Ternyata kontur, lokasi, pemandangan bahkan trem-nya mirip dengan The Peak di Hongkong. Dari ketinggian sekitar 700 dpl, kita bisa melihat pemadangan Pulau Pinang. Keren banget! Sepertinya sih, ini juga salah satu peninggalan Inggris. Tempatnya dikelola sangat baik, bersih, rapih, modern dan meninggalkan kesan yang dalam. Di bukit ini saya belajar (serius amaat sih..), bahwa Malaysia sangat sangat serius mengelelola pariwisata-nya. Padahal dengan lokasi dan kontur serupa, saya yakin di Puncak atau Lembang bisa dibuat obyek yang sama.

view di Penang Hill
view di Penang Hill

Dari semuanya, saya paling terkesan dengan Armenian Street. Namanya memang berbau Rusia, tapi akulturasi tiga budaya tadi sangat kental terasa disini. Bisa dibilang inilah pusat turis di Malaka. Jalan kecil yang panjangnya kurang dari 500 meter ini, menyajikan gedung gedung tua cantik, kelenteng antik dan mural-mural yang jadi ciri khas Penang. Bangunan-bangunanya diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke18-19. Sebagian besar memang sudah direnovasi, tapi tidak membuang ciri khas lama-nya. Rumah-rumah toko bertiang kokoh berarsitektur Eropa, dibuat warna warni bervariasi. Ornamen-ornamen tiongkok menghiasi berandanya. 

satu toko unik di Armenian Street..
satu toko unik di Armenian Street..

Padahal nih ya,..mural-mural di Armenian Street itu biasa banget, entah kenapa jadi begitu tenar. Mungkin karena banyak foto (editan) yang viral yang kemudian mengundang orang untuk antre foto di satu lokasi.

antre foto depan mural yang tak seberapa...
antre foto depan mural yang tak seberapa…

Kalau saya lebih melihat Armenian Street sebagai bagian dari perkembangan peradaban. Harus diakui, Tiongkok adalah satu satu peradaban tertua di dunia yang membuat banyak keturunannya tersebar hampir di seluruh belahan dunia. Coba deh sebutin, mana sih kota besar di dunia yang tidak memiliki China Town? Penang pun memiliki China Town sendiri, namun Armenian menjadi lebih kaya karena berbagai budaya yang menjadi satu. 

Wefie Armenian Street
Wefie Armenian Street

Oya, secara gw “enganged” banget sama Aceh, di dekat Armenian Street ada jalan dan Mesjid Aceh. Memang disini banyak warga keturunan Aceh yang bermigrasi. Bahkan ada kampung nelayan yang isinya orang Aceh semua. Wajar karena itu tadi…secara geografis keduanya memang berdekatan.

blog8
Masjid Aceh

Soal kuliner, makanan paling tenar sejagad raya Penang namanya nasi kandar.  Awalnya saya kira, mungkin makanan ini dulunya dipopulerkan oleh Iskandar (ngarang banget….) hahahaha.. Kemudian tenar dengan nama Nasi Kandar. Ternyata saya salah!! Nasi kandar ibarat sebutan buat nasi padang, terdiri dari bermacam lauk pauk yang rempah dan bumbu Hindi-nya sangat terasa.  

antre nasi kandar
antre nasi kandar paling tenar se-Penang

Penang adalah penghasil durian terbesar di Malaysia. Gak heran deh bermacam-macam jenis durian dijajakan disini. Selain dibudidayakan, daerah pesisir Pulau Pinang sendiri adalah kebun durian original. Kami yang awalnya cuma pengen nyoba satu biji, keterusan hingga 3 biji. Enak sih.. Isi daging yang tebal, varian yang beragam, dari yang super manis hingga agak pahit semua tersedia. Yummy!

blog7 

Nah, bagian paling absurd neh, namanya jalan sama rombongan Ibuk-Ibuk, dilala gw lebih banyak jadi tukang foto. Yah, itung-itung cari pahala. Beneran, rombongan jalan-jalan kali ini foto-foto selfie dan wefie-nya bisa masuk MURI. Sampe-sampe foto landscape lokasi amat sangat sedikit, karena ternyata ponsel kamera saya penuh dengan foto wefie. Hahaha..

tukang foto karbitan..
tukang foto karbitan..

***

Terakhir, memang harus diakui, pariwisata kita harus harus belajar banyak dari Malaysia. Tahun lalu, pendapatan Malaysia dari Pariwisata  mencapai USD 21,8 miliar bahkan melampaui Singapura dan sangat jauh dari Indonesia yang hanya sekitar USD 9.8 miliar. Padahal destinasi wisata kita adalah yang terbanyak di Asia Tenggara. Malaysia mampu mengemas potensinya yang sebenarnya biasa-biasa saja dengan luar biasa. 

Tempat yang bersih, teratur, biaya yang murah dan masyarakat yang sudah sadar wisata menjadi kekuatan mereka. Satu lagi, mungkin promosi sih…yang membuat orang berduyun duyun datang kemari. Mau bicara promosi pariwisata digital, silakan buka Kama Digital Nusantara disini!

Ayooo..belajar dari Malaysia!

Hits: 1018

Setelah beberapa kali ke Kuala Lumpur, saya rasanya sudah enggan sekali ke Malaysia. Sekarang mind set liburan saya adalah ke tempat yang tenang dan adem ayem, dimana kita bisa duduk santai dengan secangkir kopi panas dan membiarkan waktu berjalan perlahan. Satu ketika  di TV, saya menonton liputan kota tua Malaka yang nampaknya sangat menarik. Mulailah saya berburu informasi tentang kota ini di Embah google. Cita-cita itu akhirnya kesampaian juga di awal 2014 ini. Tepat tanggal 1 Januari, saya berangkat dari Jakarta dan tiba di LCCT Kuala Lumpur pukul 20.30 (waktu Malaysia). Sudah cukup malam memang… Dari informasi yang saya dapatkan,  beberapa traveler blogger rata-rata menyarankan masuk ke Kota Kuala Lumpur dulu baru menumpang bis ke Malaka.  Ternyata, dari LCCT sendiri ada lohh…bus langsung ke Malaka, namun bus terakhir hanya hingga pukul 21.00. Bagi yang landing di KLIA, masih ada bus hingga pukul 23.30.  So, saya masih kebagian bus terakhir meski pake lari-lari. Biar aman, ada baiknya bus sudah di-booking online dengan harga sekitar 20 RM. Karena saya beli di tempat, dapat harga lebih mahal (RM 24).

Dua jam lam perjalanan ke Malaka sungguh tidak terasa. Saya tiba di guest house yang sudah dipesan secara online tepat pukul 23.00. Guest house ini berada di pinggir Sungai Melaka yang menjadi pusat peradaban kota ini. Harganya juga lumayan murah, buat dua malam hanya menghabiskan RM 110 (sekitar Rp 390.000,). Saya masih sempat naik ke balkon untuk melihat lampu-lampu di sepanjang sungai.  Tempat yang sangat inspiring buat yang sedang nulis laporan tahunan (seperti saya saat ini). Hahaha…

Menyusuri Sungai Melaka
Menyusuri Sungai Melaka

Pagi harinya, petualangan dimulai. Saya menyusuri jalan Kampung Pantai, Kampung Jawa, Hang Jebat (dikenal dengan nama Jonker Street) hingga tiba di Gereja Merah atau yang sering disebut The Stadthuys, Benteng Formosa dan Gereja St Paul yang letaknya di puncak sebuah bukit kecil.  Kota yang ditetapkan Unesco sebagai salah satu World Heritage ini menawarkan atmosfer abad 17-19 yang sangat kental. Bangunan-bangunan tua terpelihara rapih dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Sepertinya memang dijaga karena pemerintah Malaysia melarang untuk mendirikan bangunan modern di lokasi ini. Malaka dulunya pernah dijajah oleh Portugis, Belanda dan Inggris. Karena itulah, perpaduan arsitektur Eropa, Cina dan Melayu menjadi eksotika lain kota kecil ini.

deretan bangunan tua Jonker Street
deretan bangunan tua Jonker Street

Menariknya lagi, Sungai Melaka yang membelah kota ini sangat bersih bahkan wisatawan dapat menyusuri sungai ini dengan menumpang Melaka Cruise seharga RM 15 untuk perjalanan sekitar 45 menit. Saya sempat mencoba wahana ini di malam hari. Lumayan seru, menyusuri sungai dengan lampu-lampu yang meriah dan pemandu kapal yang menjelaskan sejarah setiap bangunan yang kami lewati.  

Benteng Formosa
Benteng Formosa

Melengkapai “ketuaannya”, Malaka menyajikan banyak museum. Dalam catatan saya, tidak kurang ada lima museum yang saya lewati yaitu Maritime Muzium, Youth Muzium, The Baba Nyonya Heritage Muzium, Straitz Chinese Jewelry Muzium dan Tun Teja Muzium. Dari peta yang saya dapatkan di  konter informasi wisata, ternyata masih ada museum-museum lain di sisi lain Malaka. Hmm, menarik buat yang doyan pengen tahu sejarah atau doyan barang antik. Sayangnya saya tidak terlalu berminat..karena bangunan museum umumnya bangunan “agak” baru, sementara saya lebih senang hunting bangunan-bangunan kunonya. Hehehe..

Yang tidak kalah penting, adalah soal kuliner. Jonker street selain menawarkan souvenir-souvenir buat oleh-oleh, disini juga pusat kuliner khas Malaka. Sama seperti gedungnya, kuliner Malaka pun perpaduan masakan Eropa, Cina dan Melayu. Di sore hari, coba masuk ke café di pinggir Sungai Malaka sambil menikmati cendol khas Malaka. Yummy..  Wah, sayangnya lupa foto makanannya nih..  Disini saya juga sempat menemukan durian crepe yang sering kita sebut juga  pancake durian. Enakk….. Oya, di Malaka memang banyak ditawarkan varian makanan dari durian loh… Satu yang saya sesalkan adalah, tidak sempat menikmati warung kopi di sini.  Nyesel banget deh, apalagi saya memang penikmat kopi. Sayang waktunya mepet dan saya kali ini traveling dengan Ibu saya yang gak suka ngopi…Ya udah…terpaksa ngalah.. Hiks..

 

20140102_110339
satu sudut kota

Satu lagi, Malaka ini kotanya santai banget. Toko-toko baru buka sekitar jam 10-11 siang. Sebagian besar juga sudah tutup menjelang gelap. Tidak ada hingar bingar hiruk pikuk ala kota besar. So, Malaka is so recommended buat yang butuh liburan penenangan diri dan mencari inspirasi yang murah dan dekat!

 

 

Hits: 1037