Sebenarnya saya ini bukan traveler-traveler banget. Kalau kata Rangga di AADC 2 (yang sukses bikin gagal move on), traveling itu kegiatan pergi ke suatu tempat, cenderung tanpa planning dan itinerary, mencari dan menemukan hal-hal yang orang lain tidak tahu dan lebih menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Sementara liburan lebih “nyaman” dari traveling. Tidur di hotel yang baik, itinerary-nya jelas dan lebih banyak santainya. Nah, gara-gara itu, saya tiba-tiba teringat, beberapa tahun yang lalu saya pernah traveling dari Banda Aceh ke Brastagi dan Pulau Samosir bersama beberapa orang teman. Mereka sahabat-sahabat saya sesama pekerja kemanusiaan pasca tsunami Aceh.

taksi apa besi tua ?
taksi apa besi tua ?

Bertolak dari Aceh ke Medan sih masih gaya horang kayah, alias naik pesawat. Padahal, kalau perjalanan darat Banda Aceh-Medan bisa ditempuh sekitar 12 jam saja. Nah, dari Medan ke Brastagi, kami benar-benar tidak punya clue harus naik apa. Kendaraan umum yang kami tahu cuma sejenis minibus sejenis L300.  Untuk menuju terminal L300 ini kami naik taksi  (baca: rongsokan taksi yang odong-odong banget). Kayaknya waktu itu kita lagi program pengiritan nasional.  Petualangan pertama kami dimulai dr L300 itu. Bayangin, isi mobil kecil itu penuh banget. Dari inang-inang, tulang-tulang, sayur mayur bahkan hewan ternak.  Perjalanan dengan kangkung dan ayam pernah saya rasakan beberapa tahun sebelumnya, ketika menumpang kereta ekonomi jurusan Jakarta-Pandeglang. Lumayan, dua jam menuju Brastagi sempit-sempitan di dalam kabin dan jauh dari nyaman membuat perjalanan itu menjadi tidak terlupakan.

IMG_1977

Brastagi itu, udaranya mirip-mirip Puncak Bogor. Tapi tentu saja tidak super padat dan sesak seperti Puncak. Kami hanya mampir sehari di Brastagi, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Danau Toba dan Pulau Samosir. Dari Brastagi ke Samosir ditempuh sekitar empat jam. Kali ini, karena anggota rombongan bertambah, kami memutuskan menyewa mobil plus supir. Sepanjang jalan kami dimanjakan oleh pemandangan perbukitan yang indah banget. Selanjutnya Ajibata menuju Tomok (Samosir) kami menumpang kapal ferry standar penyeberangan nasional deh. Yah, gitu-gitu aja.. Panas, bangkunya keras, makanannya gak enak dan penuh sesak. Tapi karena jaman itu masih muda, masa yang berapi-api (emang sekarang tua banget apaah?), kami menjalani semua dengan ikhlas dan damai.

DSC_0215
Pelabuhan Tomok

Kegiatan  kami selama tiga hari di Samosir mulai dari muterin pulau pake sepeda, nonton tarian tortor, belanja sampai sholat Ied! Serius… kebetulan saat itu bertepatan dengan Lebaran Idul Adha, jadilah kami kaum minoritas di kalangan penduduk samosir yang hampir seluruhnya non muslim. Disini ceritanya!

damai di tepi toba
damai di tepi toba

Banyak cerita yang selalu saya kenang dari liburan singkat ini. Cerita tentang Aceh dan kehidupan saya dulu selama disana, tidak ada habisnya. Sahabat-sahabat Saya di Aceh dulu adalah orang-orang terbaik yang pernah saya temui. Harus diakui, mereka sudah memberi banyak warna dan mempengaruhi hidup saya. Perjalanan ke Samosir ini adalah salah satu rangkaian yang masih selalu saya kenang. Sayang kalau tidak diabadikan ke dalam satu tulisan.

Hits: 1556

Kalau sesekali berkunjung ke Sumatera Selatan, bolehlah mampir-mampir ke Pagaralam, kota kecil di kaki Gunung Dempo berjarak kurang lebih 6 jam dari Kota Palembang. Enam Jam? Jauh juga yaa, bro.. Tapi tenang, pemandangan indah sepanjang perjalanan tidak akan membuat enam jam itu menjadi perjalanan yang membosankan. Kalau punya dana lebih, bisa juga naik pesawat kecil (yang sayangnya jadwalnya masih terbatas). Atau, jika sedang ke Bengkulu, tidak ada salahnya juga meluangkan waktu sekitar 4 jam menuju Pagaralam.

CIMG1331
Bye.. Jakarta.. 🙂

Mungkin banyak yang berpikir Puncak adalah maskot pegunungan dan kebun teh padahal Pagaralam juga kebun teh yang dikelola oleh PTPN VII. Kontur daerahnya pun nyaris sama dengan Puncak Bogor. Kantor Pemerintahan di Pagaralam menurut saya adalah salah satu lokasi yang paling unik karena berada di perbukitan menuju kebun teh. Dua lokasi kantor pemerintahan yang juga “lucu” menurut saya adalah Provinsi Gorontalo yang juga di perbukitan dan Kantor Bupati Badung, Bali yang mewah, luas ibarat Pura di perbukitan. Uniknya di Pagaralam ada undakan anak tangga yang sering disebut Tangga 1000 di tengah-tengah kebun teh. Lumayan kan, gak usah tracking kalau mau jalan-jalan kesini. Kalau mau menikmati sawah seperti di Ubud, pun ada di Pagaralam. Bedanya, disini daerahnya masih sangat alami. Belum banyak villa-villa mentereng, taman-taman wisata apalagi seperti hotel – hotel di Bali.

IMG_1754
Ini bukan Puncak!

Kembali ke Pagaralam adalah kembali ke alam. Disini ada beberapa air terjun yang masih sangat alami yang bahkan sepertinya kurang “diurus” oleh Pemerintah. Kurang lebih tercatat ada 6 air terjun disini: Curug Ayek Kaghang, Curug Batu Betulis, Curug Basemah, Curug Embun, Curug Lematang Indah, Curung Mangkok. Oya, orang sini menyebut Curug dengan Cughung (dengan penyebutan huruf r yang agak cadel. Nah, di perjalanan menuju Pagaralam pun, akan ditemui jurang berkelok seperti kelok 8 di Sumatera Barat. Bagi yang senang sejarah, Pagaralam juga banyak menyimpan sisa-sisa jaman megalitikum yang lagi-lagi memang belum dianggap aset yang penting. Beberapa tahun terakhir, pemerintah nampaknya mulai melek akan potensi Pagaralam. Karena tanahnya yang subur beberapa hasil perkebunan salah satunya teh dan kopi, sudah dikemas secara ekslusif yang cocok banget buat oleh-oleh. Asal tahu aja, Pagaralam adalah salah satu pemasok sayuran segar untuk wilayah Sumbagsel.

IMG_20140729_133127
paling enak makan di pinggir sawah…

Kalau ingin merasakan liburan ke rumah nenek, seperti lagu anak-anak jaman dulu, Pagaralam-lah tempatnya! Merasakan kembali makan di sawah, memetik sayur dan menangkap ikan sendiri adalah liburan yang terkadang nilainya lebih “mahal” daripada jalan-jalan di mall. Di daerah-daerah lain seperti Bogor, Bandung atau bahkan seperti agrowisata yang sudah penuh Hotel di Bali adalah hal yang sudah banyak dijumpai, namun belumlah demikian di Pagaralam. Biarlah Pagaralam tetap dengan keasrian dan alami-nya. Biarlah (untuk sementara) Pagaralam menjadi Pagar Alam yang sesungguhnya. Jauh dari polusi, jauh dari tangan-tangan jahil dan jauh dari hiruk pikuk dunia kota.

Hits: 896

Ketika tempat ini diliput oleh sebuah TV swasta nasional beberapa waktu lalu saya cuma berpikir : Oh, ada yaa tempat sebagus itu di Lahat  “kampung halaman saya”. Didorong rasa penasaran amat sangat, di kepulangan singkat saya minggu lalu, saya paksakan juga untuk mengunjungi air terjun ini.

Menurut keterangan beberapa teman dan kata Om Google, lokasinya tidak seberapa jauh dari rumah saya. Ya iyalah, secara Lahat itu kecil,.:p Dari kota Lahat, kami menuju arah Pagar Alam dan mengambil jalan arah kiri selepas Desa Selawi. Dari sini kita akan melewati jalan yang super mulus (maklum baru) dengan kontur perbukitan yang berliku dan berdampingan langsung dengan jurang-jurang. Ketika itu, yang paling kerasa (buruk) ada hutan-hutan yang terbakar (atau dibakar?). Meski demikian pemandangannya indah banget. Eitss…tapi jangan seneng dulu, itu baru perjalanan awal. Selanjutnya?. Hampir tidak ditemui pemukiman penduduk, so jangan harap ada tukang jajanan disini. Karena nyaris tidak ada papan penunjuk, setiap ada penduduk kami sempatkan untuk bertanya.  Dilala, penunjuk jalan menuju Curug Maug  justru sebuah papan bertuliskan “Bidan Desa”. Wakakakka..

jalan utama menuju lokasi
jalan utama menuju lokasi
20150927_113748
etape awal

Rasanya sudah hepi banget karena kata seorang penduduk, dari depan papan bidan desa tersebut “tinggal 15 menit menuju lokasi dan berjalan kaki hanya sekitar 50 meter”. Ternyata itu kebohongan besar, saudara-saudara!! Trip yang sesungguhnya justru dimulai setelah itu. Kami memarkirkan mobil sekitar 1-2 km setelah persimpangan bidan desa tersebut. Baru saja turun, kami disambut oleh tukang ojek yang menawarkan jasanya. Masih sekitar 2 km lagi menuju lokasi kata mereka. Oke, mengingat jalannya sempit dan takut mobil slip (plus males jalan kaki) maka kami pun memutuskan berojek ria.

Menuju lokasi kami melewati sawah dan kebun kopi serta pepohonan yang kalau liat fotonya berasa kayak bukan di Indonesia. Daun-daun tua berwarna cokelat yang kita injak membuat suasana makin terasa berbeda. Saya sudah hepi, saya pikir setelah turun ojek, air terjun indah itu sudah di depan mata. Ternyataaa… setelah itu, perjalanan yang sesungguhnya dimulai. Jreng..jreng..jreng.. Di depan masih ada ladang kopi yang harus kita lewati, mulanya sih datar, kita masih bisa jalan sambil cekikan. Selanjutnya mulai sangat terjal, berbatu dengan kemiringan nyaris 90 derajat. Tidak ada tempat berpegang kecuali dahan-dahan kopi yang sedikit terjulur. Itu pun harus super hati-hati karena medan yang cenderung licin. Sumpah saya gak nyangka medannya seperti ini, kaki yang gempor, jantung yang berdetak lebih kencang dikalahkan oleh rasa penasaran membuat saya tetap melanjutkan perjalanan.

Meski mulai banyak dikunjungi, jalanan setapak yang kita lalui tidah ubahnya jalan kebun dan hutan yang masih alami. Setelah berjuang sekitar 20 menit, kita sudah mulai mendengar suara air. Wow, pemandangannya indah sekali, karena ternyata diatas Curug Maung ada lagi curug kecil dengan kolam kecil dibawahnya yang membuat curug ini seperti bertingkat. Saya makin semangat.

curug maung di kejauhan
curug maung di kejauhan
IMG_20150928_214619
perlu minum vitamin nih…

Setelah terdengar suara air, bukan berarti makin dekat lohh.. Masih perlu lagi tenaga ekstra untuk etape terakhir dengan kontur jalan yang sama namun makin curam. Namun jangan khawatir, setelah tiba di lokasi, semua lelah tadi dijamin halal pasti hilang. Tidak ada yang perjuangan yang sia-sia memang… Saya ternganga. Menurut saya (yang sebenernya) lebih suka pantai ini, adalah air terjun terindah yang pernah saya lihat. Apalagi jika dibandingkan dengan banyak air terjun di Bogor yang sering saya kunjungi. Ada beberapa mata air dengan tinggi sekitar 80 meter. Uniknya airnya tidak jatuh di tebing, melainkan di tumbuh-tumbuhan yang tumbuh subur. Air sungai dibawah air terjun cukup deras tapi kita tetap bisa berenang. Suasan hutan tropis yang alami masih kental terasa. Sebuah acara TV mengatakan ini adalah salah satu air terjun terbaik di dunia. Puluhan tahun mengenal Lahat rasanya saya belum menemukan satu fenoma alam sebagus itu?! Saya sampai bingung sendiri, kok baru sekarang ketahuannya? Gue yang gak gaul atau gimana ? Eh..lucunya penduduk Lahat yang menetap pun banyak yang tahu baru baru ini saja. Selidik punya selidik ternyata tempat ini baru in setelah ditemukan oleh seorang pencinta trekking dan menyebar di kalangan blogger travel.  *kemudian duduk selonjoran sambil menikmati kupi Lahat…. *

C360_2015-09-29-17-48-20-812

Tidak seperti air terjun di Bogor yang sudah komersil, disini hampir tidak ada pedagang, hanya ada 1 ibu-ibu yang berjualan kopi dan mi instan hangat. Kopinya wajib dicoba, karena Lahat adalah salah satu penghasil kopi di Indonesia. Pun tidak ada toilet! Hanya ada terpal tertutup yang difungsikan sebagai toilet. Benar-benar masih perawan. Soal tarif masuk juga sebenarnya belum resmi. Hati-hati karena di persimpangan jalan sering ada yang meminta uang allias pungli. Tarif yang “setengah resmi” adalah saat masuk lokasi sebesar Rp3000/orang. Plus bayar parkir untuk mobil dan ojek per sekali jalan masing-masing Rp10 ribu. Kenapa setengah resmi? Karena tiket retribusi pun tak ada fisiknya. Nampaknya itu “cuma inisiatif” penduduk sekitar saja.  Pemerintah Lahat sepertinya punya PR besar sekali untuk menata wilayah ini. Terlihat memang sudah ada pembangunan jalan baru menuju lokasi. Tapi sebenernya di jalur menantang tadi, bisa dibangun anak-anak tangga sehingga wisatawan tidak perlu super berjuang untuk sampai disini. Soal retribusi, menurut saya sangat perlu dilakukan. Minimal untuk biaya kebersihan. Saya melihat banyak anak-anak muda membawa kertas berisi ungkapan perasaan untuk difoto, yang sangat dikhawatirkan menjadi sampah baru kekayaan alam yang bersih ini.

C360_2015-09-29-17-49-14-341

Buat kalian yang ingin kesini, Curug Maung terletak di Kecataman Gumay Ulu Kabupaten Lahat, Sumsel. Dari Palembang, ibukota provinsi sekitar 5 jam untuk tiba di Lahat. Kendaraan umum ke Lahat sebagian besar adalah mobil-mobil travel, bis dan kereta api (hanya 1-2 kali dalam 1 hari). Kayaknya sih belum ada open trip kesini, tapi kalau mau tanya-tanya lebih detail silakan email saya yah, kali aja saya bisa bantu…

Hits: 1166

Gak perlu jauh-jauh kalo pengen ngerasain gimana lebaran di negri minoritas muslim. Gak perlu ke belahan dunia bermusim empat seperi Zimbabwe atau Nicaragua (loh.. ??). Cukup ke Pulau Samosir yang menurut David Sitanggang terletak di tengahnya Danau Toba. Pulau dengan luas sekitar 1,265 km2 ini dihuni tidak kurang 131.000 jiwa dimana setidaknya 90% diantaranya adalah non muslim.

Ceritanya, lebaran Idul Adha kemarin dalam rangkaian liburan, aku dan teman-teman terdampar di Pulau ini. Walau begitu, mengingat pesan leluhur, yang namanya sholat Ied tetep sebisa mungkin dijalankan meski hukum-nya sunnat. Sejak hari pertama saja seingatku tidak pernah sekalipun mendengar suara azan. Kami agak sedikit was was, jangan-jangan emang gak ada mesjid yang bisa jadi artinya besok pun gak bisa Sholat Ied. Sehari sebelum lebaran, Lala Cs berkelana di daerah seputaran penginapan untuk nge-cek keberadaan mesjid atau musholla dengan harapan besoknya bisa ada acara sholat Ied. Alhamdulillah ada,..dan setelah tanya-tanya Sholat Ied-nya akan dimulai pukul 7.30 pagi besoknya.

Malamnya boro-boro ada aroma khas kambing yang siap dikurban-kan esoknya, suara takbir pun gak ada. Sepi. Memang pas hujan sih, tapi baru kali ngerasa lebaran yang bener-bener gak ada bau bau lebarannya. Di Bogor, meski aku beberapa kali kelewatan sholat Ied karena kesiangan bangun, tetep ada nuansa hari raya-nya. Paginya, jam 6 kami sudah siap-siap, takut gak dapet tempat. Jam 6.30 kami sudah bertolak menuju mesjid. Walah, ternyata jalannya becek mana abis ujan pula dan yang pasti gak ada ojek (ini beneran, gak niru Cinta Laura). Udah gitu, ngelewatin rumah-rumah penduduk di gang sempit. Ketemulah mesjid yang dimaksud. Mesjinya kecil banget, aku kira-kira luasnya gak lebih dari 7 x 8 m. Sempit dan agak pengap. Pas kita sampe masih sepi. Ustadz-nya pun belum eksis. Menjelang 7.30 baru umat-umat lain berdatangan. Aku inget yang ngatur saf-saf para jamaah dandanan dan muka-nya persis Muklas sohib-nya Amrozi yang baru aja kepancung. Kirain yang model begitu cuman ada di Lamongan aja, ternyata udah happening juga di Tuk Tuk. Hehehehe..
Alhamdulillah makin lama makin penuh. Mesjid kecil yang sempit itu akhirnya sesak dengan sekitar 100an orang jamaah. Bahkan posisiku yang semula di dalam harus ikhlas bergeser ke luar untuk member space bagi makmum yang lain. Pulangnya tetep ada lontong dan santan khas lebaran meskipun kita ketemu-nya setelah di Medan.

Hits: 2113