Kita pasti pernah mendengar berita tentang atlet asing yang dinaturalisasi, ormas-ormas yang dibekukan, hingga polemik surat wasiat harta peninggalan. Bahkan beberapa waktu lalu, media cetak dan online meliput besar-besaran berita pembekuan 9 yayasan di bawah sebuah travel haji umroh yang ditutup karena kasus penelantaran ribuan jamaah. Namun mungkin banyak yang belum tahu, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum & HAM RI adalah lembaga penting dibalik isu-isu terebut.

Tidak kalah hits saat ini adalah tumbuhnya bisnis-bisnis pemula dan start up berbasis teknologi. Pertumbuhannya yang kian masif dan menjanjikan tentu saja memerlukan legalisasi dan AHU adalah institusi yang memegang kendali utama pada legalisasi perusahaan di negara ini. Tidak salah jika keberadaan AHU sangat penting demi mendorong majunya kewirausahaan di tanah air.

AHU masih memiliki banyak tupoksi yang tidak kalah penting dan beberapa diantaranya, sangat dekat dengan keseharian kegiatan kita, seperti:

1. Pengesahan badan hukum,
2. Penyelesaian permohonan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian notaris,
3. Penyelesaian permohonan perubahan nama;
4. Penyelesaian permohonan penggunaan ahli hukum Warga Negara Asing;
5. Pengurusan harta peninggalan;
6. Pemberian surat keterangan wasiat;
7. Penyelesaian permohonan Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Masih ada rangkaian tugas-tugas lainnya, yang bisa disimak selengkapnya di Portal Ahu. AHU telah merintis layanan digital sejak 2013, saat ini sudah ada 15 aplikasi yang ada di AHU online diantaranya; pendaftaran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan pengurusan perusahaan terbatas (PT). Adanya aplikasi ini membuat pengurusan perusahaan yang  secara manual memakan waktu 30 hari, saat ini  bisa selesai dalam tujuh menit saja. Melalui aplikasi bernama Legalisasi Elektronik (Alegtron) ini, masyarakat dapat mengajukan permohonan pelayanan legalisasi dokumen secara online. 

Wah, kompleks juga ya, tugasnya.

Meskipun, sebagian besar layanan sudah dapat diakses secara online, AHU tetap membuka kantor pelayanan di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Bapak Sudaryanto Abdul Chalik, SH, Kepala Bagian Humas & Tata Usaha AHU, mengatakan; “Semua ini merupakan bagian dari upaya AHU agar lebih dekat dengan masyarakat”.

AHU menyadari, sudah bukan masanya lagi Pemerintah berjarak dengan masyarakat. Sudah jamak, unit-unit di Pemerintahan, terutama yang terkait langsung dengan pelayanan melakukan berbagai upaya untuk menjangkau dan berinteraksi dengan masyarakat.

Nah, terkait dengan itu, minggu lalu AHU mengundang beberapa blogger yang juga penggiat dunia digital untuk berdiskusi tentang mengoptimalkan penggunaan platform-platform digital seperti blog dan media sosial. Diskusi terkesan sangat cair, jauh dari kesan birokrat yang kuno dan kaku. Pak Sudaryanto dan tim menerima dengan terbuka berbagai masukan dan usulan teman-teman blogger.

Dari diskusi diketahui, saat ini AHU sudah memiliki akun-akun media sosial seperti instagram dan twitter. Harus diakui, pengelolaannya memang belum optimal. Namun AHU percaya bahwa pengembangan pelayanan online harus didukung oleh distribusi informasi yang juga digital. Oleh karenanya, perlahan namun pasti, media sosial akan menjadi pusat informasi AHU serta menjadi wadah berinteraksi langsung dengan masyarakat dalam kemasan yang menarik dan kekinian.

Apapun medianya, dukungan harus diberikan kepada AHU yang terus berbenah memperbaiki pelayanan pada masyarakat.

Setuju, kan?!

Hits: 924

Membaca status Facebook seorang teman, saya sering terkagum-kagum sendiri. Hari ini dia bisa berkomentar lancar tentang Partai Golkar yang tiba-tiba menyatakan dukungannya ke Pemerintah. Kemarin, dengan canggihnya ia mengeluarkan analisis teror Bom Thamrin (Sarinah). Saat bersamaan, ia membagi berita tentang Gafatar, kelompok aliran terlarang disertai komentar yang (kelihatannya) cukup cerdas. Kemudian ia tiba-tiba jadi detektif ulung mengomentari kasus kriminal pembunuhan Mirna yang sedang ramai dibicarakan.  Dan populasi orang seperti itu tidak sedikit. Coba buka  sosial media, masyarakat kita selalu mampu menjadi pakar ahli atau komentator ulung terhadap kasus-kasus yang lagi marak. Eh, dilala.. saya pun kadang merasa diri saya bagian dari mereka. Hahahha..

Wow, luar biasa, darimana kita bisa begitu multitasking?!

Dengan hanya membaca satu berita, kita sudah cukup percaya diri untuk berkomentar. Kadang baca beritanya pun hanya dari satu media -dimana kini sebagian besar media memang tidak netral-. Cckckck.. Belum lagi, kita sering sekali menelan mentah-mentah apa kata media tanpa mencari informasi pembanding. Lebih lucu lagi, kalau baca berita, coba lihat bagian komentarnya. Saya salut, meski banyak yang belum tentu punya  pengetahuan yang cukup tentang topiknya, ternyata tidak menghalangi mereka untuk berkomentar. Wah, seru-seru.Bahkan kadang ada yang saling berantem, mengeluarkan kata-kata tidak pantas padahal sejatinya mereka tidak saling mengenal. Kalau dibikin Komentator Championship, saya yakin pesertanya pasti banyak!  Kebalikannya, di media sosial kolom komentar justru sudah sangat lazim digunakan sebagai tempat promosi jualan. Makin banyak follower, siap-siap akan akan dapet makin banyak komentator buka lapak. Nah, loh?!

8906476-Illustration-of-a-Group-of-Kids-Talking-Stock-Illustration-talking-children-people

Jangan heran kalau sekarang komentator menjadi sebuah profesi. Kalau dulu cuma ada profesi komentator bola, sekarang semua  bisa punya komentator yang kalo di televisi sering disebut dengan julukan keren seperti: pengamat atau pakar. Saya tidak bilang, komentator itu jelek loh, banyak dari mereka memang pakar di bidangnya. Contohnya beberapa ajang pencarian bakat di Televisi sangat mengandalkan komentator. Mereka umumnya memang tidak memberi penilaian kepada peserta, tetapi komentar mereka nyaris bisa mempengaruhi vote penonton di rumah. Tapi lebih banyak lagi komentator karbitan yang mendadak ditodong stasiun televisi untuk memberi pendapat tentang satu kasus yang lagi marak, tapi knowledge-nya terhadap kasus yang dia komentari masih sepotong-sepotong. Para komentator ini, entah yang profesional maupun yang amatir, tanpa disadari mampu menggiring opini publik. Setiap komentator hampir selalu mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan komentator satunya. Celakanya, sebagian masyarakat kita belum cukup dewasa dan cerdas untuk melihat semuanya secara imbang. Akhirnya, mana yang paling banyak disorot, mana yang paling sering tampil, perlahan tapi pasti akan mempunyai lebih banyak “pengikut”.

Gejala apa ini?! Coba tanyakan kepada ahli psikologi atau ahli sosial kemasyarakatan. Boleh juga tanya sama pakar IT, telekomunikasi atau telematika. Satu dekade yang lalu, fenomena ini mungkin nyaris tidak ada, setelah dunia digital makin marak, rasanya hidup itu garing kalau tidak berkomentar setiap hari. Hahahaha..Nah, berkomentar sebenernya sah-sah saja.

Cuma baiknya kalau mau berkomentar, coba cari tahu dulu lebih banyak bukan asbun mengikuti trend. Baiknya sih, berkometarlah hanya untuk sesuatu yang benar-benar kita pahami, gak cuma bikin rame doang. Lebih penting lagi, jangan cuma berkomentar, tapi do something real!

Hits: 697

Ada yang berbeda dari teror bom di Jakarta, 14 Januari 2016 lalu dengan aksi-aksi serupa sebelumnya. Saya awalnya cemas, bukan hanya cemas tentang keselamatan diri sendiri dan keluarga, namun juga cemas akan pengaruhnya kepada ekonomi kita yang baru merangkak naik lagi. *Duh, bahasa gw berat banget ya…udah kayak pejabat keuangan negara. Hehehe.. Tapi serius, teror-teror bom sebelumnya benar-benar berdampak bagi berbagai aspek di negara ini. Dari nilai rupiah yang jeblok, kunjungan wisatawan yang turun dan yang rusaknya kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia. Belum lagi “tatapan” orang asing terhadap bangsa kita yang “seolah-olah” semuanya adalah antek-antek teroris. Tidak heran, beberapa negara besar “mempersulit” memberikan Visa kunjungan kepada WNI apalagi bagi mereka yang memiliki nama berbau-bau Arab dan Islam.

Namun semangat yang lain saya rasakan setelah tragedi 14 Januari 2016 lalu. Rasa cemas yang dulu-dulu selalu hadir di peristiwa serupa, justru melahirkan rasa optimis, bahwa kita mampu mengenyahkan teroris dari muka bumi Indonesia. Kehadiran Presiden Jokowi hanya beberapa saat setelah kejadian, ketika lokasi belum sepenuhnya steril, tanpa baju pelindung,  berjalan gontai namun tetap tegas seolah menjadi simbol bagi dunia luar. Jokowi ingin menunjukkan jika Ia saja berani, lalu tidak ada alasan bagi rakyatnya untuk tidak berani. Seingat saya, di peristiwa-peristiwa sebelumnya Presiden-presiden terdahulu tidak hadir langsung setelah kejadian.  Kemudian, di sore harinya mulai muncul berbagai macam tagar di sosial media untuk menunjukkan bahwa kita tidak takut dengan segala ancaam teror ini. Sungguh, ini adalah sesuatu yang akhirnya membuat rupiah tidak jadi terpuruk. Berbagai rumor yang menyebutkan ini adalah sekedar pengalihan dari beberapa isu pun akhirnya tidak terbukti.

Lepas dari berbagai ironi, antara musibah dan realita satir -seperti pedagang asongan yang cuek beralu lalang, masyarakat yang asyik menonton aksi baku tembak, tukang sateng yang tetap eksis jualan atau obrolan tentang polisi ganteng-, bagi saya teror yang dilakukan entah siapapun itu kemarin bisa dibilang gagal. Jika dilihat dari jumlah korban, justru korban dari terduga pelaku yang lebih banyak daripada masyarakat sipil. Ini satu-satunya yang pernah terjadi di dunia! Memang, sedikit atau banyak jumlahnya, ini tetap masalah nyawa, bukan bahan becandaan. Namun kalau dihitung-hitung toh metromini  “membunuh” masyarakat lebih banyak setiap tahunnya. Hehehe.. Ya secara sederhana apa yang perlu dikhawatirkan, jika “kekejaman” lain seperti metromini tadi sudah biasa ada dalam keseharian orang Indonesia. Yang lebih berbahaya justru adalah kekhawatiran rusaknya ideologi bangsa karena aliran-aliran sesat yang dibawa oleh para teroris.

Ada lagi yang bilang, bahwa aksi dan kampanye di sosial media dengan tagar #KamiTidakTakut, sebenarnya hanya sebuah kamulflase dari rasa takut yang terselimuti. Saya kok tidak setuju ya, saya yakin dasarnya orang kita adalah orang-orang yang berani dan kuat. Kita bukan bangsa yang manja, karena hidup di negeri ini nyaris minim fasilitas tidak seperti negara-negara maju. Adalah salah pula, jika dikatakan aksi di sosial media ini justru akan membuat kita lupa akan kewaspadaan jika hal serupa terjadi. Hey,..masalah kewaspadaan, keamanan serahkan urusannya kepada yang berwenang, yang bisa kita lakukan satu-satunya adalah mempererat persatuan diantara kita dan sosmed adalah salah satu media untuk itu. Ada yang salah? Gak kan? Tidak Takut dengan Tidak Waspada adalah dua hal yang sangat berbeda.  Justru masyarakat sebenarnya marah namun cara pengungkapannya  yang berbeda.

Ketika Paris dibom beberapa waktu lalu, media-media disana memunculkan berita-berita yang membuat situasi makin mencekam. Paris Under Attack yang kemudian diikuti oleh pernyataan Presiden Perancis yang mengatakan: We are at War. Memang, secara jumlah korban bom Sarinah kemarin jauh lebih sedikit dibanding Bom Paris. Namun lagi-lagi ini masalah nyawa bukan hanya jumlah. Lalu, apakah Presiden kita mengeluarkan pernyataan serupa? Tidak! Presiden Jokowi justru seolah menantang dan mengajak masyarakat bersatu bersama-sama memerangi teroris. Bagaimana dengan media? Ini dia hebatnya, meski beberapa media memang suka lebay, namun sehari setelah kejadian, hampir semua media justru memunculkan rasa optimisme masyarakat yang besar untuk melewati semua ini. Kita pun saling meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahkan di Facebook ada gerakan untuk tidak menambah banyak posting foto-foto kejadian dan korban  yang dikhawatirkan juga akan membuat heboh. Meskipun akhirnya yang muncul justru meme-meme lucu yang kadang memang agak garing yang sedikit lepas dari fokus kejadian yang sebenernya. But, it is Indonesia!

Berkaca dari banyak kejadian, bangsa kita ini justru makin erat bergandengan tangan jika terjadi bencana. Sebagai contoh,  saat tsunami 11 Tahun lalu semua datang ke Aceh untuk saling membantu, tanpa melihat suku, bangsa, agama, ideologi apalagi partai. Sebelas tahun berlalu, Aceh lebih maju.. Tapi kita justru nyaris terpecah belah, karena perbedaan “pandangan” yang tidak seberapa penting. Sibuk mencaci maki, sibuk mencela, sibuk menjadi haters, sibuk berburuk sangka. Kini, ketika musibah terjadi lagi dalam wujud yang berbeda, terasa bahwa kita sejatinya masih punya rasa solidaritas yang tinggi.  Ya, kita harusnya banyak belajar tentang persatuan dari bencana dan musibah.

Hits: 682

Eforia pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, awalnya pembatalan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, September 2015 lalu adalah keputusan final. Namun tiba-tiba mengemuka di media, bahwa proyek ini dilanjutkan dengan menggandeng satu konsorsium dari China. Kenapa China, karena hanya China yang mau menggunakan skema B2B (Business To Business), sementara Jepang sebagai kandidat lawan tidak dapat menggunakan skema ini, karena menghendaki adanya campur tangan negara dalam bentuk jaminan dari Pemerintah. Mungkin itulah alasan Jokowi membatalkan di awal, karena tentu saja jaminan itu akan memberatkan APBN.

Jujur, Saya tidak sependapat dengan gagasan proyek ini. Alasan utama saya, kenapa harus Jakarta-Bandung? Kenapa tidak daerah lain? Pada saat pembatalan, jelas Jokowi bilang: jika dibebankan ke APBN tidak adil proyek ini tetap dilaksanakan di jalur dengan moda transportasi yang sudah padat sementara daerah-daerah lain masih belum terjamah pembangunan.

Dalam rencana Menteri BUMN, ada lima stasiun yang akan menghubungkan Jakarta dengan Bandung yaitu: Gambir, Manggarai, Walini, Bandung Kopo dan Gede Bage. Kita semua tahu, moda transportasi apa yang tidak ada  dari Jakarta menuju Bandung? Gojek pun kalau sanggup, bisa diorder ke Bandung. Kenapa harus tambah kereta cepat lagi?.

Alasannya dengan adanya jalur ini diharapkan terjadi multiplier effect terhadap ekonomi di daerah sekitarnya.  Tapi menurut saya tetap kurang adil jika fokus pembangunan “seolah” hanya ada di wilayah ini saja. Sebagai catatan,  PAD Kota Bandung adalah yang terbesar di Jawa Barat pun daerah-daerah lain di Jawa Barat yang secara rata-rata lebih tinggi dari Kabupaten/Kota lain di Indonesia.

Entah bagaimana hitung-hitungan Bu Menteri, dengan kondisi “given” yang ada sekarang, menurut saya pembangunan jalur kereta ini tidak akan berdampak signifikan terhadap multiplier effect Bandung dan sekitarnya. Bandung adalah daerah  yang -tidak saja sudah berpotensi menangguk PAD besar- tapi juga punya SDM yang lihai mendatangkan investor secara mandiri.  Mau tidak mau harus diakui jika keterbasan SDM dan kualitas pimpinan yang tidak seragam, membuat banyak daerah lain masih memerlukan “pertolongan” pemerintah pusat.

Belum lagi masalah lingkungan, berapa banyak lahan hijau yang harus dikorbankan? Lagi-lagi jika bicara data, apakah benar pertumbuhan mobilisasi orang dari Jakarta-Bandung semakin meningkat sehingga memerlukan moda transportasi baru. Jangan-jangan (salah satu contoh) malah akan berdampak terhadap bisnis travel Jakarta-Bandung yang marak pertumbuhannya dalam lima tahun terakhir. Opini ini mungkin terlihat sederhana, soalnya saya orang awam, namun dalam pandangan saya sejatinya proyek ini cuma proyek mercusuar pemerintah (baca: menteri BUMN)

Mungkin memang daerah ini jadi primadona investor, tapi kenapa pemerintah tidak “jualan” daerah lain? Sebagai contoh, menteri PU pernah menjelaskan bahwa pembangunan Tol Trans Sumatera dalam waktu paling singkat atau tiga tahun hanya baru bisa mengerjakan bagian dari Bakauheni – Bandar Lampung – Palembang – Tanjung Api Api (MBBPT), sepanjang 434 Km. Bayangin, tiga tahun cuma bisa sampai Lampung! Yakin Pak Jokowi akan awet sampai 5 tahun? Sementara panjang tol Sumatera adalah 2.400 Km. Memang secara hitung-hitungan bisnis, bikin kereta cepat terhitung “murah” hanya sekitar Rp70 Triliun. Lah, tapi duit segede itu, kalau dipake buat bangun jalan lebih baik di Sumatera, apakah multiplier effect-nya tidak lebih baik daripada bangun Jakarta-Bandung yang sudah sangat penuh?!

Dari sisi pendanaan, dalam Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta-Bandung, Presiden menegaskan tidak akan menggunakan dana APBN ataupun jaminan pemerintah. Oleh karena itu BUMN harus pinter pinter cari duit sendiri. Kemudian muncullah China Development Bank (CDB) menawarkan jatuh tempo pinjaman 40 tahun, di mana 10 tahun masa tenggang dan 30 tahun pengembalian untuk pinjaman sekitar Rp56 Triliun. Hemm, iyaa sih tidak menjadi beban APBN, tapi tetap saja wujudnya menjadi hutang negara. No, saya tidak anti dengan hutang, konteks saya tetap sama, lebih baik nilai sebesar itu di-oper ke daerah lain, yang sudah megap-megap butuh bantuan.

Aduh, Bu Menteri dan Pak Presiden, sejujurnya saya juga ingin merasakan naik kereta cepat super keren ini. Tapi nanti deh, gw ke Jepang ajah.. :p Kita masih  punya PR besar yaitu masalah kesenjangan. Jangan membuat kejomplangan dan kesenjangan pembangunan makin besar. Hal yang sedikit terlupa diukur oleh rezim lama. Indikator ekonomi yang naik terus tidak berarti mempersempit kesenjangan antara si miskin dan kaya. Di kota besar mungkin iya, tapi di daerah lain, banyak yang hidupnya masih tergantung pemerintah pusat.

Sudah masanya pembangunan makin digerakkan ke daerah. Saya saja sudah bosen bu, tinggal di macetnya Jakarta, tapi mau gimana… daerah belum tentu memberikan kesempatan sebaik di Jakarta.

Terus membangun Bapak/Ibu,.. kalo masih bisa dibatalkan atau minimal ditunda dululah proyek ini hingga lima tahun kedepan. Tanpa punya kereta cepat, kalau petani kita makmur, distribusi hasil alam lancar, sarana tranportasi di daerah makin mapan, kita tetap jadi Indonesia yang keren!

Hits: 984

Dua hari lalu saya tergelitik ketika membaca headline hampir semua media online tentang permintaan Presiden Jokowi kepada semua menterinya untuk membuat Laporan Kinerja selama bekerja 6 bulan terakhir. Isu yang berhembus, ini berkaitan dengan wacana reshuffle kabinet. Saya tidak akan menyoroti soal reshuffle, tapi saya bingung soal laporan. Agak lucu aja, ketika seorang Presiden harus menunggu laporan dari bawahannya setelah enam bulan bekerja. Selama ini pola pelaporannya bagaimana? Dulu di masa SBY, ada UKP4 yang meng-compile pokok-pokok kinerja menteri secara bulanan. Jadi Presiden tidak perlu repot-repot “menunggu” laporan menteri-nya untuk melakukan pembenahan pada kabinet. Bingungnya lagi, di salah satu berita, Presiden bilang, laporan itu detail namun cukup dua halaman saja. Sungguh saya kurang paham, dua halaman tapi harus ditunggu selama enam bulan!

petaniHmm,.. saya mencoba berbaik sangka. Saya berkeyakinan ada missing link dari berita-berita itu. Atau bisa juga apa yang disampaikan oleh media, bukan maksud asli dari Presiden. Kita sama-sama tahu, presiden yang satu ini belum punya jubir, sehingga banyak sekali ucapan dan kebijakannya yang tidak tersampaikan dengan sebenarnya kepada media.

Namun lepas dari itu semua, saya sebagai pendukung Jokowi rasanya punya kewajiban untuk sedikit memberikan pendapat. Meski ada rasa “ Saya mah apa atuh” seperti kata Cita Citata. Hehehe.. Mungkin ini hikmah kecil mengapa Tuhan “mendaratkan” saya untuk bekerja di sebuah bank. Satu pekerjaan yang rasanya gak nyambung banget dari pekerjaan yang sebelumnya-sebelumnya. Ternyata nyambung juga,  minimal tulisan yang saya beranikan untuk dimunculkan di blog ini adalah buah dari tiga bulan membaca berita ekonomi dan perbankan setiap hari dan sedikit pengetahuan dari pernah bekerja di pemerintahan.

Coba cek berita perekonomian. Dalam dua tiga bulan terakhir hampir tidak ada hari tanpa berita perlambatan ekonomi. Ini bukan cuma masalah rupiah yang melemah terhadap dollar, IHSG yang sangat fluktuatif atau “iming-iming” bahwa kondisi makro ini terjadi hampir di semua negara karena penguatan ekonomi Amerika Serikat. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi tahun ini digadang-gadang hanya tumbuh tidak sampai 5% dari rata-rata 7% setiap tahunnya. Nilai ini bahkan disoroti sebagai pertumbuhan terendah dalam enam tahun terakhir. Lalu, salah siapa? Banyak pihak yang mengatakan menteri-menteri Kabinet Kerja seperti ketiban pulung bom waktu masalah-masalah rezim terdahulu. Mungkin die hard-nya Jokowi akan mengamini pernyataan itu, tapi saya -yang awam ini-, tidak akan sepenuhnya setuju dengan pendapat itu. Sisi paling tegas adalah krisis ini dialami hampir seluruh Negara, tapi lebih dari itu, banyak hal yang masih memerlukan slogan kerja, kerja dan kerja dua kali lipat lagi.

Mari kita urai, dengan indikator-indikator pelemahan ekonomi, pemerintah sudah banyak melakukan pembenahan khususnya di sektor keuangan. Kredit usaha yang seharusnya tumbuh diatas 17%, tahun ini terpaksa direvisi oleh hampir semua bank menjadi tidak lebih dari 13% saja. Kredit turun tapi jumlah tabungan dan deposito meningkat. Artinya, lebih banyak orang yang memilih jalur aman untuk dananya, bukan diputar dalam bentuk produktif. Untuk membuat semua bergairah kembali, ambillah contoh aktifnya pemerintah meminta semua perbankan menaikkan kredit di sektor pertanian dan maritim. Bahkan  pembangunan maritim, menjadi satu gerakan nasional (Bravo Bu Susi!). Sektor ini dulunya hampir tidak pernah dilirik, karena dianggap tidak “bankable”.  Lalu target bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) turun hingga 12-15% di tahun 2015 dari kisaran 22% tahun-tahun sebelumnya, bahkan untuk ini digelontorkan subsidi hingga Rp 1 triliun. Jokowi berusaha mengembalikan khittah, Indonesia sebagai negara agraris dan negara maritim. Sektor yang dulu sedikit dilupakan, bahwa sepatutnya kita bisa “kaya” dari sana. Sektor yang sempat terabaikan; negara pemakan tempe, tetapi bahan baku tempe pun kita impor. Masyarakat pedesaan pun dibuat melek finansial dengan adanya program bank inklusif (bank tanpa cabang). Tidak itu saja, kredit konsumsi pun dibuat lebih ringan, contoh pelonggaran LTV (Loan To Value) untuk kredit rumah dan apartemen, yang artinya sekarang kita bisa bayar DP lebih murah untuk memiliki dua jenis barang tersebut atau nilai yang ditanggung bank sebagai pinjaman kita ke pihak ketiga menjadi lebih besar. Di sisi lain, subsidi dipangkas, bunga bank “dipaksa” turun, pembangunan infrastruktur ditingkatkan. Sejatinya secara teori ini adalah upaya mencapai posisi keseimbangan dalam ekonomi. Pertanyaan besarnya: butuh waktu berapa lama untuk mencapai semua itu?!

Memang, beberapa indikator berukuran jangka menengah bahkan jangka panjang bukan seketika seperti Deddy Corbuzier membengkokkan sendok. Adalah optimisme pemerintah yang sangat percaya diri bahwa semua upaya itu akan membuahkan hasil pada semester kedua tahun ini. Sayangnya, jarang banget media yang menulis atau mengompori pemerintah bahwa ada unsur krusial lain yang harus digenjot pemerintah. Saat sektor swasta melempem, cuma APBN dan APBD yang bisa membuat ekonomi tetap melaju. Masalahnya keterlambatan realisasi dua dana tersebut, sudah jadi penyakit lama. Jangankan saat pergantian rezim seperti sekarang, saat rezim lama pun, pola realisasi yang tidak tepat menjadi PR yang sulit dibenahi. Sejalan dengan itu, pembangunan infrastruktur dari APBN/APBD yang memang menjadi nawacita Jokowi tentu bukan perkara simsalambim. Dari hasil penelusuran, hingga Mei 2015 ini baru 25% APBN yang terealisasikan. Jumlah yang sangat kecil, yang mungkin hanya dicairkan untuk biaya operasional SDM saja. Artinya, Jokowi dan kabinetnya belum banyak bergerak pada bidang fisik infrastruktur. Berdasarkan pengalaman, kendala pencairan APBN dan APBD lebih banyak disebabkan masalah administrasi yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan memangkas birokrasi. Saya sedikit yakin, hal ini masih terjadi. Lagi-lagi, perubahan rezim, pergantian personil dan pergantian sistem jadi masalah klasik yang selalu terjadi siapa pun presidennya.

Dari semua itu, ada satu hal yang sangat perlu dijaga oleh pemerintah saat ini. Kepercayaan. Kembali lagi ke alinea pertama tentang laporan menteri tadi, seharusnya Jokowi meniru SBY di awal masa pemerintahannya. SBY punya program 100 hari yang tidak saja untuk mengontrol kinerja menteri-nya, tetapi sebagai media campaign dan corong “keberhasilan” program-programnya. Memang sedikit abstrak, tetapi fungsi komunikasi dan jubir yang Jokowi belum punya saat ini bisa sedikit ter-cover disana. Selain itu, ini adalah cara SBY untuk menunjukkan keberhasilan programnya dalam periode yang singkat, walaupun setelah itu deretan program jangka panjang masih menjadi PR yang berat. Menurut saya, ini adalah bagian dari upaya untuk menjaga kepercayaan itu. Kepercayaan masyarakat, investor dan dunia secara umum.

Saya dan saya yakin jutaan masyarakat Indonesia masih percaya dengan pemerintahan kini. Saya tahu mereka yang duduk disana adalah orang-orang pilihan. Masalahnya hanya dua, kepercayaan kita dan kesabaran kita bahwa semua ini akan berbuah manis.

Namun jangan lupa, percaya bukan berarti membiarkan,mendukung bukan berarti menutup mata akan kekurangan.

Hits: 774

Dulu saya berpikir, karena sudah rutin membayar pajak, artinya urusan saya dengan negara ini selesai. Saya bebas komplain, bebas memprotes semua hak saya sebagai warga negara yang belum sempurna. Macet dikit, saya sudah ribut ngomongin ketidakbecusan pemerintah mengelola lalulintas. Pelayanan kesehatan yang amburadul saya omelin. Belum lagi kalau nonton koruptor ditangkep KPK. Langsung terucap “Oh, jadi uang pajak gue, dipake buat membiayai hidup mewah para koruptor?”

pajakSekarang pun sebenarnya masih begitu. Tapi akhir-akhir ini saya mulai menguranginya. Saya membaca banyak sumpah serapah dan caci maki masyarakat di sosial media. Sebagian diantaranya memang banyak yang asbun. Contoh menggelikan adalah pada pelaksanaan KAA minggu lalu. Selama sekitar tiga hari, jalan-jalan protokol di Jakarta terkena jadwal buka tutup untuk memberikan kelancaran bagi delegasi tiap negara. Saya yang berkantor di bilangan Semanggi pun terkena imbasnya. Selama tiga hari, ongkos ke kantor naik signifikan karena saya males jalan kaki, mau tidak mau harus berputar arah dengan biaya lebih mahal. Lucunya, saat begitu ada saja meme di sosial media yang menyebutkan kondisi begitu sebenarnya cuma pencitraan ke para tamu, bahwa Jakarta itu tidaklah macet. Memang sih, Panitia juga tidak menyediakan alternatif seperti bis tambahan. Tapi tau gak kalau dalam pelaksanaan acara kenegaraan ada Pro-tab yang harus dilakukan? Dan penutupan jalan itu adalah salah satunya. Jelas itu bukan pencitraan tapi bentuk tuan rumah menjaga keamanan para tamunya. Lebih konyol lagi ada yang menimpali: loh, saya sudah bayar pajak..harusnya gak begini!. Hahahha.. Ngakak sendiri. Apa hubungannya?! Kikiki.. Justru saat-saat seperti itulah, negara minta kita “berkorban” sedikittt dan sebentar saja di luar pajak yang kita bayar, untuk kebaikan nama bangsa sebagai tuan rumah.

Jika sering menonton program TV Kick Andy, sering sekali kita melihat “orang-orang” biasa yang memberi arti bagi lingkungan sekitar. Dari supir bis malam yang bisa mendirikan madrasah, petani kecil yang membangun pembangkit listrik hingga anak lulusan SMA yang membuka sekolah kecil untuk anak jalanan. Mereka mungkin tidak mengerti politik, mereka juga tidak paham hitungan pajak. Bisa jadi mereka juga belum sepenuhnya paham hak-hak mereka sebagai warga negara. Tapi menurut saya mereka-lah sebenarnya yang lebih memberi berkontribusi daripada mereka berpikir njelimet, komplain dan sibuk menyebarkan kekecewaannya di sosial media.

Saya juga salut dengan gerakan Indonesia Mengajar. Anak anak muda berprestasi lulusan perguruan tinggi terkemuka, rela mengorbankan karir mentereng di kota besar demi mengajar di pelosok negeri, yang kadang listrik pun belum tentu ada. Bahkan seorang rekan saya, rela meninggalkan karirnya di sebuah perusahaan multinasional di Singapura demi memenuhi idealisme untuk mengajar putra bangsa di pedalaman Maluku. Saya memang belum bisa seperti mereka. Tapi minimal saya menyadari bukan berarti gara-gara  bayar pajak (yang banyak itu), lalu semua urusan selesai dan saya bebas mem-bully pemerintah. Saya menyadari belum bisa berkontribusi banyak untuk lingkungan.. Jangankan untuk mengajar anak-anak di kampung sebelah, bertegur sapa dengan tetangga saja, bisa dibilang sangat jarang. Mimpi saya, suatu saat bisa mempunya satu pekerjaan yang bisa memberikan lapangan pekerjaan juga buat orang lain. Saya juga masih berkhayal untuk lebih banyak berkegiatan sosial.

Eh, bukan berarti saya melanggar orang protes atau komplain ya,. Tapi saya ingin mengajak agar kita sama-sama menelaah, melihat lagi peran kita dimana. Komplain pada tempatnya dan yang paling penting tahu dulu masalahnya baru komplain. Bukan asbun. Bayar pajak saja tidak cukup bikin macet kelar. Coba, apakah kita masih sering bawa mobil dengan penumpang yang cuma satu? Atau apalah contoh-contoh lain yang kira-kira sebenarnya penyebabnya kita-kita juga? Pemerintah memang masih banyak carut-marutnya, tapi tanpa kepercayaan masyarakat niscaya pekerjaan mereka tidak akan berjalan baik.

Hits: 926

Beberapa waktu lalu saya sedikit geli membaca status teman di Facebook yang menuliskan bahwa dirinya ogah menjadi PNS, karena enggan bekerja santai yang tidak ada tantangan. Opini-opini begini mungkin ramai muncul sejak pendaftaran PNS mulai dibuka secara online tahun ini. Yang menulis status itu sih usianya masih cukup muda. Tapi teman lain yang lebih berumur, juga “masih” berpaham sama, bahkan sejak dulu ia memang malas menjadi PNS dengan alasan yang kurang lebih sama. Saya sendiri, sama saja. Tapi itu dulu, duluuu banget waktu masih muda (Hahahha…ketauan sekarang udah bongkotan). Sejak lulus S1, saya belum pernah sekalipun mengikuti test PNS. Padahal, dulu saya sempat ditawari masuk “jalur khusus” menjadi abdi negara ini lewat salah satu kerabat Ibu Saya. Meski akhirnya  dengan pede saya tolak karena merasa ini cuma kerjaan absen rutin lalu pulang, hidup santai, tanpa tantangan dan dapat pensiun. Beda banget sama karakter Saya yang pengennya high achiever. Hahahha..

Namun, lagi-lagi garis hidup berkata lain. Terdamparnya Saya di sebuah lembaga   pemerintahan setelah beberapa kali menclok di perusahaan swasta, membuat Saya HARUS merubah   paham itu di otak Saya, orang-orang sekitar Saya, bahkan kalau perlu generasi muda Indonesia tercinta ini. Ciyeeee….. #Uhuk.

source: http://romokoko.com
source: http://romokoko.com

Konsep PNS adalah santai ini, menurut saya adalah peninggalan rezim lama yang dampaknya sudah mengakar di sebagian besar penduduk Indonesia. Dulu, memang seleksi PNS tidak seketat sekarang, tapi bukan rahasia lagi banyak jatah kursi kerabat pejabat dan jalur-jalur khusus lainnya. Lalu, bagaimana bisa menyaring kualitas SDM terbaik jika proses perekrutannya lebih banyak diwarnai titipan? Belum lagi, kita sudah terlalu lama terlena dengan budaya doktrinisasi. Keputusan hanya bisa diambil oleh segelintir pihak, kebebasan berpendapat dan berkreasi juga tidak seluas sekarang. Tidak heran, akhirnya sebagian besar PNS menjadi wahana yang penting kerja, berseragam keren, gajian rutin dan anti dipecat.

Anak-anak muda terbaik bangsa ini tidak dipungkiri masih senang bekerja di perusahaan multinasional bergaji spektakuler daripada bersaing memperebutkan satu kursi menjadi abdi negara. Pilihan menjadi PNS cenderung masih dipandang sebelah mata. Ya, memang ada sih lembaga-lembaga negara yang menjadi favorit para pencari kerja. Selebihnya, lagi-lagi menjadi PNS adalah pilihan bagi mereka yang ingin bekerja dengan “santai”.

Kini jaman sudah berubah, sayang banget jika sebagian besar orang masih menganggap menjadi PNS itu bersinergi dengan santai dan hidup aman dan terjamin hingga ke anak cucu serta nyaris tanpa gejolak. Seharusnya kosa kata santai segera hilang dari benak mereka yang berniat ataupun tidak berminat sama sekali menjadi PNS. Masalah dan tantangan bangsa ini masih banyak banget! Mulai dari birokrasi yang ribet, sumberdaya alam yang belum termanfaatkan dengan optimal, infrastruktur yang minim, pendidikan untuk anak-anak bahkan masalah toleransi beragama. Bisakah semua itu diselesaikan dengan “santai”? Bersyukur sekarang masyarakat semakin melek politik, gerak gerik dan sepak terjang pemerintah tidak luput dari kritikan dan sorotan. Semoga saja bentuk perhatian seperti itu membuat generasi muda tergerak untuk terjun langsung di dalamnya, bukan cuma repot jadi pengamat dan komentator. Buang jauh-jauh paradigma santai yang sudah mendarah daging itu. Sepatutnya orang-orang yang mengurus negeri ini dari level terkecil adalah orang-orang yang terbaik.

TAPI, pemerintah memang masih punya PR banyak, salah satunya bagaimana membuat kompensasi bekerja di pemerintahan menjadi semenarik bekerja di perusahaan besar. Apalagi sekarang (katanya) “semakin sulit mencari “sampingan”. Berita bagusnya proses itu sekarang sedang berjalan. Salah satu terobosan, kini sudah ada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan membuat iklim bekerja di lembaga pemerintahan menjadi semakin kompetitif. Silakan googling sendiri ya….

Jangan lupa seperti halnya di perusahaan swasta, kita digaji dari keuntungan perusahaan, oleh karena itu juga WAJIB bekerja sebaik-baiknya untuk perusahaan. Di pemerintahan, personilnya digaji dari pajak yang diperoleh dari rakyat. So, juga WAJIB bekerja sebaik-baiknya untuk rakyat. Iya kan! Santai? Malu dong!!

Oya, satu lagi..perlu saya tegaskan  banyak juga loh anak-anak negeri terbaik yang sudah berada di dalam pemerintahan. Saya hanya ingin membantu meluruskan bahwa menjadi PNS atau bekerja di pemerintahan itu pekerjaan mulia, banyak tantangan dan semakin kompetitif. Mari kita merubah mindset kita sendiri yang bisa kita tularkan ke lingkungan sekitar kita. Ingat, kalau bukan bangsa sendiri, siapa yang mau membangun negeri ini? Dan itu butuh kerja keras, sama sekali tidak santai!!!

 Tulisan dari orang yang bukan PNS..

Hits: 1008