Membaca status Facebook seorang teman, saya sering terkagum-kagum sendiri. Hari ini dia bisa berkomentar lancar tentang Partai Golkar yang tiba-tiba menyatakan dukungannya ke Pemerintah. Kemarin, dengan canggihnya ia mengeluarkan analisis teror Bom Thamrin (Sarinah). Saat bersamaan, ia membagi berita tentang Gafatar, kelompok aliran terlarang disertai komentar yang (kelihatannya) cukup cerdas. Kemudian ia tiba-tiba jadi detektif ulung mengomentari kasus kriminal pembunuhan Mirna yang sedang ramai dibicarakan.  Dan populasi orang seperti itu tidak sedikit. Coba buka  sosial media, masyarakat kita selalu mampu menjadi pakar ahli atau komentator ulung terhadap kasus-kasus yang lagi marak. Eh, dilala.. saya pun kadang merasa diri saya bagian dari mereka. Hahahha..

Wow, luar biasa, darimana kita bisa begitu multitasking?!

Dengan hanya membaca satu berita, kita sudah cukup percaya diri untuk berkomentar. Kadang baca beritanya pun hanya dari satu media -dimana kini sebagian besar media memang tidak netral-. Cckckck.. Belum lagi, kita sering sekali menelan mentah-mentah apa kata media tanpa mencari informasi pembanding. Lebih lucu lagi, kalau baca berita, coba lihat bagian komentarnya. Saya salut, meski banyak yang belum tentu punya  pengetahuan yang cukup tentang topiknya, ternyata tidak menghalangi mereka untuk berkomentar. Wah, seru-seru.Bahkan kadang ada yang saling berantem, mengeluarkan kata-kata tidak pantas padahal sejatinya mereka tidak saling mengenal. Kalau dibikin Komentator Championship, saya yakin pesertanya pasti banyak!  Kebalikannya, di media sosial kolom komentar justru sudah sangat lazim digunakan sebagai tempat promosi jualan. Makin banyak follower, siap-siap akan akan dapet makin banyak komentator buka lapak. Nah, loh?!

8906476-Illustration-of-a-Group-of-Kids-Talking-Stock-Illustration-talking-children-people

Jangan heran kalau sekarang komentator menjadi sebuah profesi. Kalau dulu cuma ada profesi komentator bola, sekarang semua  bisa punya komentator yang kalo di televisi sering disebut dengan julukan keren seperti: pengamat atau pakar. Saya tidak bilang, komentator itu jelek loh, banyak dari mereka memang pakar di bidangnya. Contohnya beberapa ajang pencarian bakat di Televisi sangat mengandalkan komentator. Mereka umumnya memang tidak memberi penilaian kepada peserta, tetapi komentar mereka nyaris bisa mempengaruhi vote penonton di rumah. Tapi lebih banyak lagi komentator karbitan yang mendadak ditodong stasiun televisi untuk memberi pendapat tentang satu kasus yang lagi marak, tapi knowledge-nya terhadap kasus yang dia komentari masih sepotong-sepotong. Para komentator ini, entah yang profesional maupun yang amatir, tanpa disadari mampu menggiring opini publik. Setiap komentator hampir selalu mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan komentator satunya. Celakanya, sebagian masyarakat kita belum cukup dewasa dan cerdas untuk melihat semuanya secara imbang. Akhirnya, mana yang paling banyak disorot, mana yang paling sering tampil, perlahan tapi pasti akan mempunyai lebih banyak “pengikut”.

Gejala apa ini?! Coba tanyakan kepada ahli psikologi atau ahli sosial kemasyarakatan. Boleh juga tanya sama pakar IT, telekomunikasi atau telematika. Satu dekade yang lalu, fenomena ini mungkin nyaris tidak ada, setelah dunia digital makin marak, rasanya hidup itu garing kalau tidak berkomentar setiap hari. Hahahaha..Nah, berkomentar sebenernya sah-sah saja.

Cuma baiknya kalau mau berkomentar, coba cari tahu dulu lebih banyak bukan asbun mengikuti trend. Baiknya sih, berkometarlah hanya untuk sesuatu yang benar-benar kita pahami, gak cuma bikin rame doang. Lebih penting lagi, jangan cuma berkomentar, tapi do something real!

Hits: 697

Ada yang berbeda dari teror bom di Jakarta, 14 Januari 2016 lalu dengan aksi-aksi serupa sebelumnya. Saya awalnya cemas, bukan hanya cemas tentang keselamatan diri sendiri dan keluarga, namun juga cemas akan pengaruhnya kepada ekonomi kita yang baru merangkak naik lagi. *Duh, bahasa gw berat banget ya…udah kayak pejabat keuangan negara. Hehehe.. Tapi serius, teror-teror bom sebelumnya benar-benar berdampak bagi berbagai aspek di negara ini. Dari nilai rupiah yang jeblok, kunjungan wisatawan yang turun dan yang rusaknya kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia. Belum lagi “tatapan” orang asing terhadap bangsa kita yang “seolah-olah” semuanya adalah antek-antek teroris. Tidak heran, beberapa negara besar “mempersulit” memberikan Visa kunjungan kepada WNI apalagi bagi mereka yang memiliki nama berbau-bau Arab dan Islam.

Namun semangat yang lain saya rasakan setelah tragedi 14 Januari 2016 lalu. Rasa cemas yang dulu-dulu selalu hadir di peristiwa serupa, justru melahirkan rasa optimis, bahwa kita mampu mengenyahkan teroris dari muka bumi Indonesia. Kehadiran Presiden Jokowi hanya beberapa saat setelah kejadian, ketika lokasi belum sepenuhnya steril, tanpa baju pelindung,  berjalan gontai namun tetap tegas seolah menjadi simbol bagi dunia luar. Jokowi ingin menunjukkan jika Ia saja berani, lalu tidak ada alasan bagi rakyatnya untuk tidak berani. Seingat saya, di peristiwa-peristiwa sebelumnya Presiden-presiden terdahulu tidak hadir langsung setelah kejadian.  Kemudian, di sore harinya mulai muncul berbagai macam tagar di sosial media untuk menunjukkan bahwa kita tidak takut dengan segala ancaam teror ini. Sungguh, ini adalah sesuatu yang akhirnya membuat rupiah tidak jadi terpuruk. Berbagai rumor yang menyebutkan ini adalah sekedar pengalihan dari beberapa isu pun akhirnya tidak terbukti.

Lepas dari berbagai ironi, antara musibah dan realita satir -seperti pedagang asongan yang cuek beralu lalang, masyarakat yang asyik menonton aksi baku tembak, tukang sateng yang tetap eksis jualan atau obrolan tentang polisi ganteng-, bagi saya teror yang dilakukan entah siapapun itu kemarin bisa dibilang gagal. Jika dilihat dari jumlah korban, justru korban dari terduga pelaku yang lebih banyak daripada masyarakat sipil. Ini satu-satunya yang pernah terjadi di dunia! Memang, sedikit atau banyak jumlahnya, ini tetap masalah nyawa, bukan bahan becandaan. Namun kalau dihitung-hitung toh metromini  “membunuh” masyarakat lebih banyak setiap tahunnya. Hehehe.. Ya secara sederhana apa yang perlu dikhawatirkan, jika “kekejaman” lain seperti metromini tadi sudah biasa ada dalam keseharian orang Indonesia. Yang lebih berbahaya justru adalah kekhawatiran rusaknya ideologi bangsa karena aliran-aliran sesat yang dibawa oleh para teroris.

Ada lagi yang bilang, bahwa aksi dan kampanye di sosial media dengan tagar #KamiTidakTakut, sebenarnya hanya sebuah kamulflase dari rasa takut yang terselimuti. Saya kok tidak setuju ya, saya yakin dasarnya orang kita adalah orang-orang yang berani dan kuat. Kita bukan bangsa yang manja, karena hidup di negeri ini nyaris minim fasilitas tidak seperti negara-negara maju. Adalah salah pula, jika dikatakan aksi di sosial media ini justru akan membuat kita lupa akan kewaspadaan jika hal serupa terjadi. Hey,..masalah kewaspadaan, keamanan serahkan urusannya kepada yang berwenang, yang bisa kita lakukan satu-satunya adalah mempererat persatuan diantara kita dan sosmed adalah salah satu media untuk itu. Ada yang salah? Gak kan? Tidak Takut dengan Tidak Waspada adalah dua hal yang sangat berbeda.  Justru masyarakat sebenarnya marah namun cara pengungkapannya  yang berbeda.

Ketika Paris dibom beberapa waktu lalu, media-media disana memunculkan berita-berita yang membuat situasi makin mencekam. Paris Under Attack yang kemudian diikuti oleh pernyataan Presiden Perancis yang mengatakan: We are at War. Memang, secara jumlah korban bom Sarinah kemarin jauh lebih sedikit dibanding Bom Paris. Namun lagi-lagi ini masalah nyawa bukan hanya jumlah. Lalu, apakah Presiden kita mengeluarkan pernyataan serupa? Tidak! Presiden Jokowi justru seolah menantang dan mengajak masyarakat bersatu bersama-sama memerangi teroris. Bagaimana dengan media? Ini dia hebatnya, meski beberapa media memang suka lebay, namun sehari setelah kejadian, hampir semua media justru memunculkan rasa optimisme masyarakat yang besar untuk melewati semua ini. Kita pun saling meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahkan di Facebook ada gerakan untuk tidak menambah banyak posting foto-foto kejadian dan korban  yang dikhawatirkan juga akan membuat heboh. Meskipun akhirnya yang muncul justru meme-meme lucu yang kadang memang agak garing yang sedikit lepas dari fokus kejadian yang sebenernya. But, it is Indonesia!

Berkaca dari banyak kejadian, bangsa kita ini justru makin erat bergandengan tangan jika terjadi bencana. Sebagai contoh,  saat tsunami 11 Tahun lalu semua datang ke Aceh untuk saling membantu, tanpa melihat suku, bangsa, agama, ideologi apalagi partai. Sebelas tahun berlalu, Aceh lebih maju.. Tapi kita justru nyaris terpecah belah, karena perbedaan “pandangan” yang tidak seberapa penting. Sibuk mencaci maki, sibuk mencela, sibuk menjadi haters, sibuk berburuk sangka. Kini, ketika musibah terjadi lagi dalam wujud yang berbeda, terasa bahwa kita sejatinya masih punya rasa solidaritas yang tinggi.  Ya, kita harusnya banyak belajar tentang persatuan dari bencana dan musibah.

Hits: 682

Eforia pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, awalnya pembatalan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, September 2015 lalu adalah keputusan final. Namun tiba-tiba mengemuka di media, bahwa proyek ini dilanjutkan dengan menggandeng satu konsorsium dari China. Kenapa China, karena hanya China yang mau menggunakan skema B2B (Business To Business), sementara Jepang sebagai kandidat lawan tidak dapat menggunakan skema ini, karena menghendaki adanya campur tangan negara dalam bentuk jaminan dari Pemerintah. Mungkin itulah alasan Jokowi membatalkan di awal, karena tentu saja jaminan itu akan memberatkan APBN.

Jujur, Saya tidak sependapat dengan gagasan proyek ini. Alasan utama saya, kenapa harus Jakarta-Bandung? Kenapa tidak daerah lain? Pada saat pembatalan, jelas Jokowi bilang: jika dibebankan ke APBN tidak adil proyek ini tetap dilaksanakan di jalur dengan moda transportasi yang sudah padat sementara daerah-daerah lain masih belum terjamah pembangunan.

Dalam rencana Menteri BUMN, ada lima stasiun yang akan menghubungkan Jakarta dengan Bandung yaitu: Gambir, Manggarai, Walini, Bandung Kopo dan Gede Bage. Kita semua tahu, moda transportasi apa yang tidak ada  dari Jakarta menuju Bandung? Gojek pun kalau sanggup, bisa diorder ke Bandung. Kenapa harus tambah kereta cepat lagi?.

Alasannya dengan adanya jalur ini diharapkan terjadi multiplier effect terhadap ekonomi di daerah sekitarnya.  Tapi menurut saya tetap kurang adil jika fokus pembangunan “seolah” hanya ada di wilayah ini saja. Sebagai catatan,  PAD Kota Bandung adalah yang terbesar di Jawa Barat pun daerah-daerah lain di Jawa Barat yang secara rata-rata lebih tinggi dari Kabupaten/Kota lain di Indonesia.

Entah bagaimana hitung-hitungan Bu Menteri, dengan kondisi “given” yang ada sekarang, menurut saya pembangunan jalur kereta ini tidak akan berdampak signifikan terhadap multiplier effect Bandung dan sekitarnya. Bandung adalah daerah  yang -tidak saja sudah berpotensi menangguk PAD besar- tapi juga punya SDM yang lihai mendatangkan investor secara mandiri.  Mau tidak mau harus diakui jika keterbasan SDM dan kualitas pimpinan yang tidak seragam, membuat banyak daerah lain masih memerlukan “pertolongan” pemerintah pusat.

Belum lagi masalah lingkungan, berapa banyak lahan hijau yang harus dikorbankan? Lagi-lagi jika bicara data, apakah benar pertumbuhan mobilisasi orang dari Jakarta-Bandung semakin meningkat sehingga memerlukan moda transportasi baru. Jangan-jangan (salah satu contoh) malah akan berdampak terhadap bisnis travel Jakarta-Bandung yang marak pertumbuhannya dalam lima tahun terakhir. Opini ini mungkin terlihat sederhana, soalnya saya orang awam, namun dalam pandangan saya sejatinya proyek ini cuma proyek mercusuar pemerintah (baca: menteri BUMN)

Mungkin memang daerah ini jadi primadona investor, tapi kenapa pemerintah tidak “jualan” daerah lain? Sebagai contoh, menteri PU pernah menjelaskan bahwa pembangunan Tol Trans Sumatera dalam waktu paling singkat atau tiga tahun hanya baru bisa mengerjakan bagian dari Bakauheni – Bandar Lampung – Palembang – Tanjung Api Api (MBBPT), sepanjang 434 Km. Bayangin, tiga tahun cuma bisa sampai Lampung! Yakin Pak Jokowi akan awet sampai 5 tahun? Sementara panjang tol Sumatera adalah 2.400 Km. Memang secara hitung-hitungan bisnis, bikin kereta cepat terhitung “murah” hanya sekitar Rp70 Triliun. Lah, tapi duit segede itu, kalau dipake buat bangun jalan lebih baik di Sumatera, apakah multiplier effect-nya tidak lebih baik daripada bangun Jakarta-Bandung yang sudah sangat penuh?!

Dari sisi pendanaan, dalam Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta-Bandung, Presiden menegaskan tidak akan menggunakan dana APBN ataupun jaminan pemerintah. Oleh karena itu BUMN harus pinter pinter cari duit sendiri. Kemudian muncullah China Development Bank (CDB) menawarkan jatuh tempo pinjaman 40 tahun, di mana 10 tahun masa tenggang dan 30 tahun pengembalian untuk pinjaman sekitar Rp56 Triliun. Hemm, iyaa sih tidak menjadi beban APBN, tapi tetap saja wujudnya menjadi hutang negara. No, saya tidak anti dengan hutang, konteks saya tetap sama, lebih baik nilai sebesar itu di-oper ke daerah lain, yang sudah megap-megap butuh bantuan.

Aduh, Bu Menteri dan Pak Presiden, sejujurnya saya juga ingin merasakan naik kereta cepat super keren ini. Tapi nanti deh, gw ke Jepang ajah.. :p Kita masih  punya PR besar yaitu masalah kesenjangan. Jangan membuat kejomplangan dan kesenjangan pembangunan makin besar. Hal yang sedikit terlupa diukur oleh rezim lama. Indikator ekonomi yang naik terus tidak berarti mempersempit kesenjangan antara si miskin dan kaya. Di kota besar mungkin iya, tapi di daerah lain, banyak yang hidupnya masih tergantung pemerintah pusat.

Sudah masanya pembangunan makin digerakkan ke daerah. Saya saja sudah bosen bu, tinggal di macetnya Jakarta, tapi mau gimana… daerah belum tentu memberikan kesempatan sebaik di Jakarta.

Terus membangun Bapak/Ibu,.. kalo masih bisa dibatalkan atau minimal ditunda dululah proyek ini hingga lima tahun kedepan. Tanpa punya kereta cepat, kalau petani kita makmur, distribusi hasil alam lancar, sarana tranportasi di daerah makin mapan, kita tetap jadi Indonesia yang keren!

Hits: 984

Dua hari lalu saya tergelitik ketika membaca headline hampir semua media online tentang permintaan Presiden Jokowi kepada semua menterinya untuk membuat Laporan Kinerja selama bekerja 6 bulan terakhir. Isu yang berhembus, ini berkaitan dengan wacana reshuffle kabinet. Saya tidak akan menyoroti soal reshuffle, tapi saya bingung soal laporan. Agak lucu aja, ketika seorang Presiden harus menunggu laporan dari bawahannya setelah enam bulan bekerja. Selama ini pola pelaporannya bagaimana? Dulu di masa SBY, ada UKP4 yang meng-compile pokok-pokok kinerja menteri secara bulanan. Jadi Presiden tidak perlu repot-repot “menunggu” laporan menteri-nya untuk melakukan pembenahan pada kabinet. Bingungnya lagi, di salah satu berita, Presiden bilang, laporan itu detail namun cukup dua halaman saja. Sungguh saya kurang paham, dua halaman tapi harus ditunggu selama enam bulan!

petaniHmm,.. saya mencoba berbaik sangka. Saya berkeyakinan ada missing link dari berita-berita itu. Atau bisa juga apa yang disampaikan oleh media, bukan maksud asli dari Presiden. Kita sama-sama tahu, presiden yang satu ini belum punya jubir, sehingga banyak sekali ucapan dan kebijakannya yang tidak tersampaikan dengan sebenarnya kepada media.

Namun lepas dari itu semua, saya sebagai pendukung Jokowi rasanya punya kewajiban untuk sedikit memberikan pendapat. Meski ada rasa “ Saya mah apa atuh” seperti kata Cita Citata. Hehehe.. Mungkin ini hikmah kecil mengapa Tuhan “mendaratkan” saya untuk bekerja di sebuah bank. Satu pekerjaan yang rasanya gak nyambung banget dari pekerjaan yang sebelumnya-sebelumnya. Ternyata nyambung juga,  minimal tulisan yang saya beranikan untuk dimunculkan di blog ini adalah buah dari tiga bulan membaca berita ekonomi dan perbankan setiap hari dan sedikit pengetahuan dari pernah bekerja di pemerintahan.

Coba cek berita perekonomian. Dalam dua tiga bulan terakhir hampir tidak ada hari tanpa berita perlambatan ekonomi. Ini bukan cuma masalah rupiah yang melemah terhadap dollar, IHSG yang sangat fluktuatif atau “iming-iming” bahwa kondisi makro ini terjadi hampir di semua negara karena penguatan ekonomi Amerika Serikat. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi tahun ini digadang-gadang hanya tumbuh tidak sampai 5% dari rata-rata 7% setiap tahunnya. Nilai ini bahkan disoroti sebagai pertumbuhan terendah dalam enam tahun terakhir. Lalu, salah siapa? Banyak pihak yang mengatakan menteri-menteri Kabinet Kerja seperti ketiban pulung bom waktu masalah-masalah rezim terdahulu. Mungkin die hard-nya Jokowi akan mengamini pernyataan itu, tapi saya -yang awam ini-, tidak akan sepenuhnya setuju dengan pendapat itu. Sisi paling tegas adalah krisis ini dialami hampir seluruh Negara, tapi lebih dari itu, banyak hal yang masih memerlukan slogan kerja, kerja dan kerja dua kali lipat lagi.

Mari kita urai, dengan indikator-indikator pelemahan ekonomi, pemerintah sudah banyak melakukan pembenahan khususnya di sektor keuangan. Kredit usaha yang seharusnya tumbuh diatas 17%, tahun ini terpaksa direvisi oleh hampir semua bank menjadi tidak lebih dari 13% saja. Kredit turun tapi jumlah tabungan dan deposito meningkat. Artinya, lebih banyak orang yang memilih jalur aman untuk dananya, bukan diputar dalam bentuk produktif. Untuk membuat semua bergairah kembali, ambillah contoh aktifnya pemerintah meminta semua perbankan menaikkan kredit di sektor pertanian dan maritim. Bahkan  pembangunan maritim, menjadi satu gerakan nasional (Bravo Bu Susi!). Sektor ini dulunya hampir tidak pernah dilirik, karena dianggap tidak “bankable”.  Lalu target bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) turun hingga 12-15% di tahun 2015 dari kisaran 22% tahun-tahun sebelumnya, bahkan untuk ini digelontorkan subsidi hingga Rp 1 triliun. Jokowi berusaha mengembalikan khittah, Indonesia sebagai negara agraris dan negara maritim. Sektor yang dulu sedikit dilupakan, bahwa sepatutnya kita bisa “kaya” dari sana. Sektor yang sempat terabaikan; negara pemakan tempe, tetapi bahan baku tempe pun kita impor. Masyarakat pedesaan pun dibuat melek finansial dengan adanya program bank inklusif (bank tanpa cabang). Tidak itu saja, kredit konsumsi pun dibuat lebih ringan, contoh pelonggaran LTV (Loan To Value) untuk kredit rumah dan apartemen, yang artinya sekarang kita bisa bayar DP lebih murah untuk memiliki dua jenis barang tersebut atau nilai yang ditanggung bank sebagai pinjaman kita ke pihak ketiga menjadi lebih besar. Di sisi lain, subsidi dipangkas, bunga bank “dipaksa” turun, pembangunan infrastruktur ditingkatkan. Sejatinya secara teori ini adalah upaya mencapai posisi keseimbangan dalam ekonomi. Pertanyaan besarnya: butuh waktu berapa lama untuk mencapai semua itu?!

Memang, beberapa indikator berukuran jangka menengah bahkan jangka panjang bukan seketika seperti Deddy Corbuzier membengkokkan sendok. Adalah optimisme pemerintah yang sangat percaya diri bahwa semua upaya itu akan membuahkan hasil pada semester kedua tahun ini. Sayangnya, jarang banget media yang menulis atau mengompori pemerintah bahwa ada unsur krusial lain yang harus digenjot pemerintah. Saat sektor swasta melempem, cuma APBN dan APBD yang bisa membuat ekonomi tetap melaju. Masalahnya keterlambatan realisasi dua dana tersebut, sudah jadi penyakit lama. Jangankan saat pergantian rezim seperti sekarang, saat rezim lama pun, pola realisasi yang tidak tepat menjadi PR yang sulit dibenahi. Sejalan dengan itu, pembangunan infrastruktur dari APBN/APBD yang memang menjadi nawacita Jokowi tentu bukan perkara simsalambim. Dari hasil penelusuran, hingga Mei 2015 ini baru 25% APBN yang terealisasikan. Jumlah yang sangat kecil, yang mungkin hanya dicairkan untuk biaya operasional SDM saja. Artinya, Jokowi dan kabinetnya belum banyak bergerak pada bidang fisik infrastruktur. Berdasarkan pengalaman, kendala pencairan APBN dan APBD lebih banyak disebabkan masalah administrasi yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan memangkas birokrasi. Saya sedikit yakin, hal ini masih terjadi. Lagi-lagi, perubahan rezim, pergantian personil dan pergantian sistem jadi masalah klasik yang selalu terjadi siapa pun presidennya.

Dari semua itu, ada satu hal yang sangat perlu dijaga oleh pemerintah saat ini. Kepercayaan. Kembali lagi ke alinea pertama tentang laporan menteri tadi, seharusnya Jokowi meniru SBY di awal masa pemerintahannya. SBY punya program 100 hari yang tidak saja untuk mengontrol kinerja menteri-nya, tetapi sebagai media campaign dan corong “keberhasilan” program-programnya. Memang sedikit abstrak, tetapi fungsi komunikasi dan jubir yang Jokowi belum punya saat ini bisa sedikit ter-cover disana. Selain itu, ini adalah cara SBY untuk menunjukkan keberhasilan programnya dalam periode yang singkat, walaupun setelah itu deretan program jangka panjang masih menjadi PR yang berat. Menurut saya, ini adalah bagian dari upaya untuk menjaga kepercayaan itu. Kepercayaan masyarakat, investor dan dunia secara umum.

Saya dan saya yakin jutaan masyarakat Indonesia masih percaya dengan pemerintahan kini. Saya tahu mereka yang duduk disana adalah orang-orang pilihan. Masalahnya hanya dua, kepercayaan kita dan kesabaran kita bahwa semua ini akan berbuah manis.

Namun jangan lupa, percaya bukan berarti membiarkan,mendukung bukan berarti menutup mata akan kekurangan.

Hits: 774

Dulu saya berpikir, karena sudah rutin membayar pajak, artinya urusan saya dengan negara ini selesai. Saya bebas komplain, bebas memprotes semua hak saya sebagai warga negara yang belum sempurna. Macet dikit, saya sudah ribut ngomongin ketidakbecusan pemerintah mengelola lalulintas. Pelayanan kesehatan yang amburadul saya omelin. Belum lagi kalau nonton koruptor ditangkep KPK. Langsung terucap “Oh, jadi uang pajak gue, dipake buat membiayai hidup mewah para koruptor?”

pajakSekarang pun sebenarnya masih begitu. Tapi akhir-akhir ini saya mulai menguranginya. Saya membaca banyak sumpah serapah dan caci maki masyarakat di sosial media. Sebagian diantaranya memang banyak yang asbun. Contoh menggelikan adalah pada pelaksanaan KAA minggu lalu. Selama sekitar tiga hari, jalan-jalan protokol di Jakarta terkena jadwal buka tutup untuk memberikan kelancaran bagi delegasi tiap negara. Saya yang berkantor di bilangan Semanggi pun terkena imbasnya. Selama tiga hari, ongkos ke kantor naik signifikan karena saya males jalan kaki, mau tidak mau harus berputar arah dengan biaya lebih mahal. Lucunya, saat begitu ada saja meme di sosial media yang menyebutkan kondisi begitu sebenarnya cuma pencitraan ke para tamu, bahwa Jakarta itu tidaklah macet. Memang sih, Panitia juga tidak menyediakan alternatif seperti bis tambahan. Tapi tau gak kalau dalam pelaksanaan acara kenegaraan ada Pro-tab yang harus dilakukan? Dan penutupan jalan itu adalah salah satunya. Jelas itu bukan pencitraan tapi bentuk tuan rumah menjaga keamanan para tamunya. Lebih konyol lagi ada yang menimpali: loh, saya sudah bayar pajak..harusnya gak begini!. Hahahha.. Ngakak sendiri. Apa hubungannya?! Kikiki.. Justru saat-saat seperti itulah, negara minta kita “berkorban” sedikittt dan sebentar saja di luar pajak yang kita bayar, untuk kebaikan nama bangsa sebagai tuan rumah.

Jika sering menonton program TV Kick Andy, sering sekali kita melihat “orang-orang” biasa yang memberi arti bagi lingkungan sekitar. Dari supir bis malam yang bisa mendirikan madrasah, petani kecil yang membangun pembangkit listrik hingga anak lulusan SMA yang membuka sekolah kecil untuk anak jalanan. Mereka mungkin tidak mengerti politik, mereka juga tidak paham hitungan pajak. Bisa jadi mereka juga belum sepenuhnya paham hak-hak mereka sebagai warga negara. Tapi menurut saya mereka-lah sebenarnya yang lebih memberi berkontribusi daripada mereka berpikir njelimet, komplain dan sibuk menyebarkan kekecewaannya di sosial media.

Saya juga salut dengan gerakan Indonesia Mengajar. Anak anak muda berprestasi lulusan perguruan tinggi terkemuka, rela mengorbankan karir mentereng di kota besar demi mengajar di pelosok negeri, yang kadang listrik pun belum tentu ada. Bahkan seorang rekan saya, rela meninggalkan karirnya di sebuah perusahaan multinasional di Singapura demi memenuhi idealisme untuk mengajar putra bangsa di pedalaman Maluku. Saya memang belum bisa seperti mereka. Tapi minimal saya menyadari bukan berarti gara-gara  bayar pajak (yang banyak itu), lalu semua urusan selesai dan saya bebas mem-bully pemerintah. Saya menyadari belum bisa berkontribusi banyak untuk lingkungan.. Jangankan untuk mengajar anak-anak di kampung sebelah, bertegur sapa dengan tetangga saja, bisa dibilang sangat jarang. Mimpi saya, suatu saat bisa mempunya satu pekerjaan yang bisa memberikan lapangan pekerjaan juga buat orang lain. Saya juga masih berkhayal untuk lebih banyak berkegiatan sosial.

Eh, bukan berarti saya melanggar orang protes atau komplain ya,. Tapi saya ingin mengajak agar kita sama-sama menelaah, melihat lagi peran kita dimana. Komplain pada tempatnya dan yang paling penting tahu dulu masalahnya baru komplain. Bukan asbun. Bayar pajak saja tidak cukup bikin macet kelar. Coba, apakah kita masih sering bawa mobil dengan penumpang yang cuma satu? Atau apalah contoh-contoh lain yang kira-kira sebenarnya penyebabnya kita-kita juga? Pemerintah memang masih banyak carut-marutnya, tapi tanpa kepercayaan masyarakat niscaya pekerjaan mereka tidak akan berjalan baik.

Hits: 925

Diantara kita, pasti pernah ada yang menerima undangan Rapat RT, Rapat RW atau bahkan cuma sekedar kerja bakti di lingkungan. Dan lebih pasti lagi, banyak dari kita yang enggan untuk hadir. Entah karena capek, atau karena kita merasa hal-hal begini hukumnya ibarat “fardhu kifayah”, yang artinya jika orang lain sudah ada yang melakukan maka kita tidak wajib turut mengerjakan. Banyak diantara kita yang merasa cukup membayar iuran lingkungan tanpa perlu meluangkan waktu bergabung di urusan RT, RW apalagi sampai di tingkat kelurahan dan kecamatan. Pilihan ini sebenarnya diambil bukan karena tidak peduli, tapi memang kondisi pekerjaan rutin serta terbatasnya waktu dengan keluarga menjadi penyebab utama. Sepertinya memang sudah sedikit menyimpang dari semangat gotong royong yang jadi “makanan” sejak SD.

Keterlibatan masyarakat, community participation, community engangement menjadi padanan kata yang sangat nge-trend akhir-akhir ini. Sebulan belakangan, inilah bagian dari pekerjaan saya dan teman-teman kantor. Kami berkeliling di sekitar 30 kota di Indonesia, untuk mensosialisasikan perlunya melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Deuh, bahasanya pemerintahan banget, yak! Pemerintah Daerah wajib menghadirkan berbagai elemen masyarakat dalam kegiatan ini.

Saya bukan mau bercerita soal rangkaian kegiatan (yang membosankan) ini, namun tergelitik juga ketika seorang peserta di salah satu kabupaten di Jawa Barat yang sempat merasa pesimis apakah masyarakat masih mau berperan aktif dalam pembangunan. Itu baru contoh dari daerah kecil, kata Bapak tersebut, bagaimana dengan kota besar? Yes, mungkin itu benar dalam konteks rapat-rapat RT dan RW yang saya contohkan sebelumnya. Jangankan untuk nimbrung dalam rapat RT, tidak kenal dengan tetangga pun sudah jadi hal lumrah di kota besar.

Bulan ini di Bali, juga digagas sebuah acara bertajuk Open Government Partnersip (OGP). OGP adalah suatu kemitraan yang dibentuk pada September 2011 yang kini beranggotakan 63 negara,  bertujuan untuk mendukung kemajuan keterbukaan pemerintah, tranparansi dan keterlibatan publik. Lalu buat siapa dong konferensi, sosialisasi dan sejenisnya dilakukan jika masyarakat makin lama makin “egois’ dengan kepentingan pribadi ?

 IMG_20140512_122158Setelah “metode lama” dinilai tidak lagi dilirik oleh masyarakat. Kini kita mulai memasuki masa e-government. Semua yang dulu dibicarakan langsung melalui forum tatap muka, kini mulai dipindahkan melalui media online.  Pemerintah beramai-ramai membuka diri dengan mempublikasikan sebagian isi perutnya ke depan umum. Apalagi ada UU No 14/2008 tentang keterbukaan informasi  publik yang mewajibkan pemerintah meng-online-kan data-data penting seperti besaran APBD, realiasasi anggaran dan masalah perijinan online. Bahkan, Pontianak, Ambon, Surabaya dan beberapa daerah lain sudah menyediakan forum diskusi online yang interaktif pada situs mereka.  

Metode ini sepertinya memang dikhususkan bagi mereka yang masih peduli dengan kota-nya, namun punya keterbatasan waktu untuk mengikuti musyawarah di lingkungan masing-masing.  Surabaya menerima setidaknya 10 ribu usulan melalui forum online ini setiap tahunnnya. Sementara walikota Pontianak mengelola dan menjawab sendiri puluhan sms warganya setiap hari.  Ia juga mengelola satu rubrik tanya jawab di Koran lokal, yang ia jawab sendiri tanpa menugaskan lapisan di bawahnya. Sekarang pun sudah sangat jamak pimpinan daerah menggunakan berbagai media sosial untuk mengetahui keinginan masyarakatnya.

Struktur organisasi pemerintahan yang berlapis-lapis, mungkin merupakan warisan kolonial yang sudah kita gunakan sejak 150 tahun yang lalu. Pimpinan ibarat puncak gunung yang sulit dijamah, karena untuk menyampaikan pesan harus melalui banyak lapisan di bawahnya. Akibatnya aspirasi masyarakat yang sampai ke pucuk pimpinan bisa berubah atau bahkan tidak sampai.  Ketika metode tatap muka yang konvensional makin tidak “diminati” masyarakat, kreativitas untuk menciptakan metode baru -salah satunya dengan memanfaatkan teknologi- menjadi sebuah tuntutan. Namun pemanfaatan teknologi canggih pun menurut saya tidak bisa menjamin masyarakat berperan aktif, belum ada penelitian sahih yang menunjukkan bahwa teknologi lebih efektif daripada tatap muka. Apalagi buat Indonesia, yang masih bergerak menuju online sistem yang terintegrasi dan masyarakatnya masih banyak yang belum melek TI. Saya pikir karena itulah, Jokowi masih blusukan atau Bupati Bojonegoro masih menyelenggarakan Dialog Jumatan dengan warga.  Teknologi hanya pelengkap yang memudahkan dan membuat semuanya lebih akuntabel.

Saya ingin mengerucutkan bahwa partisipasi bukan terbatas duduk manis mendengarkan pengarahan para pejabat, rutin memberikan usulan secara online kepada pemerintah atau ikut kerja bakti di lingkungan. Partisipasi justru melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya. Seperti membayar pajak tepat waktu, mentaati peraturan lalu lintas, tidak latah ikutan nyogok aparat pemerintah dalam pengurusan dokumen atau hal-hal sepele seperti tidak membuang sampah sembarangan atau lebih memilih naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi.

Di blog ini, saya sering menulis cerita perjalanan saya di beberapa daerah di Indonesia, bagi saya itu partisipasi kecil untuk promosi pariwisata domestik. Buat yang kelebihan rejeki atau butuh tambahan rejeki, metode sedekah bisa dipilih. Saya percaya, kalau kaum berpunya negeri ini lebih rajin bersedekah, pemerintah tidak perlu heboh menganggarkan bantuan sosial, bantuan subsidi BBM dan sejenisnya, yang justru lebih sering menimbulkan polemik. Satu lagi, karena kita masih dalam aura Pemilu dan Pilcapres, tidak golput juga adalah bentuk partisipasi.

Saya lebih senang menggunakan media sosial untuk mengeluarkan uneg-uneg ketidakwajaran yang terjadi di depan mata. Misal, saya beberapa kali mengirimkan twit ke Walikota Bogor karena pedestrian menuju stasiun yang berbau pesing, mengusulkan agar ijin pembangunan bangunan tinggi di Bogor bisa dikaji ulang. Pernah iseng juga meminta agar Pak Arya Bima, walikota Bogor yang baru bisa berguru cara membuat taman kota kepada Bu Risma, walikota Surabaya. Semuanya, karena saya sadar saya belum bisa aktif di rapat RT tentang perbaikan jalan atau bahkan ikut Musrenbang di kelurahan dan kecamatan.

Saya mungkin baru bisa urunan dalam bentuk uang, belum waktu, pikiran dan tenaga.  Tidak dipungkiri, kadang masih ada sisi apatis terhadap pengelola negara ini, namun untuk masuk lebih jauh  dan memperbaiki, mungkin bukan waktu dan bagian saya.  Tapi saya percaya banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

 

Hits: 675
source: merdeka.com

Semoga tulisan ini belum terlambat, di detik-detik menjelang 9 April 2014. Memang bukan persoalan mudah mengedukasi masyarakat agar menggunakan hak pilihnya dengan baik di tanggal keramat itu. Dulu, saya juga mungkin berpikir bahwa tidak memilih adalah lebih baik. Toh, dari tahun ke tahun rasanya begitu-begitu saja hidup di negara ini. Eh, tapi sebentar,…coba dipikir baik-baik, apa benar negara kita tidak punya kemajuan sama sekali? Apa benar hidup generasi sekarang secara umum lebih buruk dari yang sebelumnya? Jangan menutup mata, banyak kemajuan yang signifikan dari bangsa ini sejak dari jaman rezim 32 tahun hingga kini. Siapa pun presiden yang pernah bertahtah. Saya juga pernah begitu “membenci” politik. Bagi saya- yang kadang naïf dan polos-, politik adalah manipulasi, kepura-puraan dan pemenuhan kekuasaan belaka. Tapi apa memang begitu? Tak sadarkah kita apapun yang terjadi di negara belahan dunia manapun di dunia ini, dengan sistem apapun itu adalah sesuatu bernama “politik” sebagai dasarnya.

Sebuah survey menyebutkan bahwa keikutsertaaan lebih dari 70% penduduk yang berhak pada satu Pemilu di hampir semua negara sudah terhitung tinggi. Pada 2009 tercatat 30% penduduk Indonesia yang berhak adalah golput. Ada banyak alasan mengapa sisanya memilih golput, namun saya lebih menyoroti sikap masyarakat urban yang apatis. Contoh mereka yang apatis, seperti yang saya tulis sebelumnya. Menganggap siapa pun calonnya, hasilnya nanti akan begitu-begitu saja, DPR tetap brengsek, pemerintah tetap korup. Mungkin, lima tahun yang lalu mereka berpikir yang sama sehingga tanpa mereka sadari, ke-golput-an mereka dulu juga merupakan bagian dari asal muasal masalah yang sekarang dihadapi bangsa. Politik memang kejam, sikut sana, sikut sini, penuh dengan ke-negatif-an dan ke-absurd-an. Tapi satu-satunya jalan membenahinya adalah ikut ke dalamnya dengan menjadi pemilih yang benar, bukan keluar dari lingkaran dan mencerca mereka yang ada di dalamnya.

Those who refuse in politics will end up governed by their inferior (Plato)

Sangat disayangkan, banyak golput yang datang dari golongan terpelajar dan punya wawasan luas. Tanpa mereka sadari wawasan luas itulah yang mengantarkan mereka menjadi golput. Bagus caleg-nya, hancur partai-nya dan atau seribu fakta lain menjadi alasannya. Hey, wake up! Politik memang bukan kesempurnaan, apalagi ditambah dengan sikap abstain kalian. Menurut perspektif saya, keapatisan ini berakar dari sikap tidak peduli. Ya, tidak peduli. Ada ribuan caleg, taruhlah di wilayah kita ada 500-an orang, saya masih yakin diantara jumlah itu masih ada orang baik. Bagaimana kita tahu? Yah, cari tahu donk… bukan dari poster, spanduk dan baliho yang menyesakkan kota, melainkan bertanya pada Google yang sangat cukup informasinya. Tidak ada alasan bahwa kita tidak punya waktu. Sekali kali alasan itu hanya muncul bagi mereka yang sejatinya tidak peduli. Kalau kalian masih sempat membaca tulisan ini, berarti kalian masih punya banyak waktu untuk melakukan investigasi siapa caleg kalian. Sekali lagi saya hanya bicara kemungkinan ini bagi mereka, kaum urban yang (katanya) berpendidikan dan berwawasan luas serta punya akses internet yang cukup.

Foto-dari-BeritaSatu

Ditengah carut marut politik bangsa, marilah menanam sedikit harapan bahwa kita bisa berubah, bahwa Indonesia akan jauh lebih baik. Dimulai dari kepedulian kita terhadap 9 April 2014. Marilah menyisikan rasa huznuzon, bahwa masih ada mereka yang baik dan amanah menjadi wakil rakyat. Ingat, calon legislatif itu fit and proper test-nya di kita, para pemilih. Tips dari saya, lupakan partainya, lihat dan cari tahu siapa orangnya. Berdoa semoga pilihan itu tidak salah.

(Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA. M.Phil.) Wakil Rektor Institut Studi Islam Pondok Modern Gontor bilang : Jika anda tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah dan anggota DPR, atau parpol Islam, itu hak anda. Tapi jika anda dan jutaan yang lain tidak ikut pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan.”

 

Hits: 687

Bulan-bulan terakhir ini, hampir seluruh sudut jalan dipenuhi tampang-tampang yang hampir seluruhnya tidak kita kenal.  Semua berlomba-lomba “mejeng” di persimpangan, batang-batang pohon, pos ronda bahkan tiang listrik.  Tulisan yang melengkapi foto pun, dibuat heboh. Pilih saya, coblos saya, Ingat saya, dan sebagainya. Jarang sekali yang membubuhi keterangan pendek saja, dia itu siapa minimal deh ditulis: pengusaha, guru, ketua organisasi anu, pedagang nasi padang atau ditulis tukang ojek pun boleh!  Kadang sebagai orang awam, saya pengen bilang: eh, siapa elo, nyuruh-nyuruh gw?! Saya sih gak ngerti-ngerti amat marketing, tapi melihat kondisi yang sekarang rasanya saya pengen bilang, ternyata caleg-caleg yang terhormat tersebut lebih gak ngerti dari saya.

 

Sumber: http://m.kaskus.co.id/thread/5318abd240cb1726168b4578
Sumber: http://m.kaskus.co.id/thread/5318abd240cb1726168b4578

Semua seperti berlomba mengejer awareness dengan mengenalkan tampang mereka dan nomor urut mereka dengan publisitas yang jor-jor-an. Tapi sedikit sedikit sekali yang mencoba membangun “image” mereka yang akan membuat masyarakat sukarela mencoblos tanpa disuruh-suruh. Memang sih, membangun image bukan pekerjaan satu dua hari seperti memasang spanduk. Tapi memang begitulah seharusnya caleg, karena orang yang siap menjadi calon legislatif  yang mulia sepatutnya adalah mereka yang sudah merintis upaya ini sejak awal bukan hanya saat masa kampanye. Kenyataannya, memang sebagian besar caleg kita adalah caleg-caleg karbitan (dureen kaleee, karbitan….).  Yah, kalo caleg-nya saja karbitan, bisa kita bayangkan sendiri bagaimana keputusan-keputusan mereka kelak saat duduk di gedung megah itu.

Duh, saya tidak underestimate dengan mereka yang setor tampang dimana-mana. Tapi sayangnya, saya juga belum menemukan korelasi apakah dengan mejeng di semua tempat lalu, elektabilitasnya menjadi tinggi? Rasanya tidak. Sebagai contoh, pada Pilkada Kota Bogor tahun lalu, ada satu calon yang baliho yang segede-gede gaban di sudut strategis kota-kota Bogor. Bisa dibayangkan, biaya pajaknya pasti mahal.  Pada satu baliho-nya di depan Botani Square (mall terbesar di Bogor), sama sekali tidak mencantumkan nama, hanya akun twitternya! Buat saya ini kampanye terbodoh yang pernah saya lihat. Pertama, sudah bayar pajak di lokasi termahal di Bogor, kedua berapa banyak sih orang Bogor yang punya twitter, ketiga: berapa banyak dari yang punya twitter mau repot-repot sambil jalan ngecek akun twitter dia? Niatnya sih mau keren, tapi fatal. Hasilnya gampang ditebak, dia bukan pemenang, bahkan pemenang walikota Bogor sekarang- Kang Bima Arya- hampir tidak  kelihatan punya baliho, spanduk atau sejenisnya.

 

nestapa-pepohonan-di-tangsel-jadi-korban-kampanye-caleg-007-nfi
sumber: merdeka.com

Akhir-akhir ini saya sering mengamati Angel Lelga baik di media online maupun media sosial. Terlepas dari pem-bully-an dia di media massa, satu hal yang saya tangkap Angel Lelga adalah caleg yang serius membangun image. Atau bisa juga disebut merubah image? *entahlah (hehehe)  Saya bukan penduduk di Dapil Angel Lelga, namun menurut pengakuannya, dia sangat sedikit memasang baliho, spanduk atau sejenisnya, mantan istri Capres Roma Irama ini konon lebih seneng blusukan dan menggalang kegiatan sosial. Dia juga tahu target masyarakat yang potensial untuk memilih dia.  Dengan caranya sendiri, ia melakukan edukasi dan pendekatan programnya. Program yang bisa jadi hanya dimengerti oleh target yang dituju yang belum tentu masuk di kalangan masyarakat dengan strata lebih tinggi.  Saya rasa Angel Lelga (atau orang-orang cerdas di belakangnya) sudah melakukan kalkulasi statistik berapa  target potensial mereka dan  metode pendekatan apa yang kira-kira dapat mereka terima. Sekali lagi, terlepas siapa dan bagaimana itu Angel Lelga, saya sih cukup mengapresiasi upaya dia. *catatan, saya bukan pendukungnya loh!

Untuk kalangan urban yang melek teknologi dan peduli dengan bangsa ini (saya bilang peduli, karena banyak yang tidak peduli), bukan perkara sulit mencari profil caleg mereka. Saya sih melakukan itu, jadi tampang-tampang yang berseliweran itu buat saya cuma perusak pemandangan dan penganggu kebersihan.  Tapi buat golongan masyarakat lain terutama mereka di rural area, apa iya baliho, spanduk dan sejenisnya itu efektif untuk menarik massa? Apa iya,  masyarakat mencoblos karena mengingat wajahnya yang ada dimana-mana? Saya pikir kok gak ya…  Mungkin sudah ada yang pernah mensurvei ini? Kayaknya sih, metode Angel Lelga lebih layak dicoba…  Hehehehe…

 

Hits: 1022