Pernah denger istilah diatas ? Nah istilah bulok yang ini gak pake “g” tapi pake “k” yang merupakan akronim dari “Bujang Lokal”. Bisa jadi istilah ini cuma happening di Banda Aceh khususnya di suatu badan pasca tsunami (bukan iklan, jadi nama harus disamarkan). Inilah sebutan untuk para lelaki yang berstatus menikah tapi jauh dari istri & keluarganya. Belum ada data terpublikasi berapa sesungguhnya populasi bulok-bulok itu. Ehmm,…tapi tunggu di ruanganku ada satu, si big boss yang biasa dipanggil Kepala Sekolah, lalu di ruangan tetangga kayaknya lebih banyak mungkin ada 2-3 orang belum ditambah yg commuter alias sering bolak-balik Jakarta-Aceh. Lalu, ruangan sebelahnya lagi,,ada 1, sebelahnya lagi…minimal 2 juga. Jika rata-rata satu ruangan ada 2 orang,sementara di kantor pusat taruh kata ada 30 ruangan berarti minimal ada 60 orang bulok. Jumlah itu belum ditambah bulok-bulok regional alias yg ditugaskan ke pelosok daerah. Bayangkan jika itu hanya dari satu lembaga, sementara data mencatat tidak kurang dari 478 NGO dalam dan luar masih atau sempat eksis di NAD-NIAS pasca tsunami 26 Desember 2004 lalu. Dimana bisa jadi komposisi antara pendatang pekerja dan pekerja asli putra daerah seimbang. Tanpa disadari NAD telah menjelma menjadi sarang bulok! Menyeramkan….

Seorang teman yang kebetulan single, ketika pertama kali tiba di Aceh, mendapat pesan penting; Beware of Bulok! Kalau kata Bang Napi; Waspadalah! Mengingat tingginya populasinya di daerah ini. Mengapa harus waspada? Apakah kelompok ini menjadi komunitas baru yang mengancam dan menjadikan daerah ini daerah konflik dengan siaga satu seperti dulu ? Berlebihan. Meski begitu, bisa jadi ada benarnya, hanya bedanya menimbulkan konflik di rumah tangga bukan di Negara, namun gawatnya jumlah rumah tangganya sangat mungkin berbanding lurus dengan jumlah para bulok tersebut.

Read More

Hits: 2473