Minggu lalu seorang teman bilang: tau gak penyakit generasi muda yang paling parah sekarang ini? Gw pikir awalnya apa, eh.. ternyata jawabannya: penyakit takut kehilangan sinyal ponsel!  Wkakakak.. Bener banget!!

 

Baru-baru ini gw  memenuhi panggilan interview untuk sebuah pekerjaan di pedesaan di Pulau Kalimantan. Ketika pewawancara menjelaskan deskripsi pekerjaannya, ia juga memaparkan kondisi lokasi pekerjaan tersebut dengan sebuah peta. Tidak ada yang terpikirkan pertama di otak gw, kecuali spontan bertanya: “Sinyal handphone disana, bagus gak, pak?” Beliau pun menjawab: ya, dari tujuh desa lokasi proyek sebagian besarnya memang tidak mendapat sinyal yang bagus”. Wekss,..tiba-tiba aku menjadi ilfil dengan pekerjaan tersebut meskipun benefit yang ditawarkan keliatannya lumayan.  Bayangin aja, kalo GSM pun susah gimana dengan GPRS? Apakabar twitter dan BBM? Hahahah.. Ke laut aja deh.. *penting yah?*

Dua tahun lalu, gw juga pernah ditugaskan di kementrian yang (katanya) paling keren di negeri ini. Kami menempati lantai 20 gedung terbaru lembaga itu di bilangan Lapangan Banteng, Jakarta.  Karena gedungnya sangat baru, katanya penguat sinyal selular memang belum dipasang. So, hampir setahun hidup di lantai 20, rasanya benar-benar seperti fakir sinyal. Kalau perlu sinyal harus turun dulu minimal ke lantai 15. Mau ngobrol lebih panjang yaa, silakan turun lagi ke lantai lobi. Saat itu gw merasa gak hidup di Jakarta. Lebay, yah?

Cerita temanku lain lagi. Dia pernah bekerja di remote area perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan sana. Lebih sinting lagi untuk ketemu sinyal harus mendayung sampan dilanjutkan dengan mendaki sebuah bukit. Kemudian berteriak : Eurekaa!! , saat bar penunjuk sinyal di handphone  menunjukkan pergerakan. Sedih banget gak sih, boo ??

Setelah banci kabel, sekarang banci sinyal. Yah, kalo buat yang tinggal di kota besar sih mungkin nyaris gak ada masalah.  Biar begitu masih  ada aja keluhan pelanggan selular saat ada gangguan jaringan yang bikin blankspot atau  gak dapet akses data minimal GPRS . Kalo udah begini, siap-siap deh semua operator dicaci-maki. Lucunya kalo diperhatikan iklan-iklan selular saat ini yang disorot justru VAS (Value Added Service)-nya seperti layanan data sosmed, internet dan beberapa konten lain.  Hmmm, mungkin emang udah masanya kesana kali yee..karena dianggap ketersediaan jaringan sudah memenuhi  dan tuntutan pasarnya emang kesana. Gitu ya?!  Kali…… Padahal ada segmen pasar lain yaitu mereka yang sering kerja maupun pelesiran ke pedalaman  dimana kadang-kadang sinyal masih jadi masalah. Apalagi yang pake nomor dari operator-operator baru yang belum tentu sudah membangun BTS hingga ke pelosok.

Btw, sekali-kali sebenernya gak ada salahnya loh, hidup tanpa handphone, tanpa sinyal.  Rejeki gak bakal kemana deh, gak usah takut ketinggalan berita dan banyak hal manakala gak pegang handphone. Sekarang gw lagi mencoba untuk itu, meskipun hanya pada saat-saat tertentu. Asal jangan balik ke masa telpon umum koin ajah.. 😀

Hits: 740

Minggu lalu, saya bersama seorang teman menghabiskan  akhir pekan di Bandung. Sekedar refreshing.  Kebiasaan ini seperti sudah umum bagi sebagian orang Jakarta. Bandung memang  tujuan wisata yang murah, meriah dan tidak begitu jauh dari Ibukota. Lebih lebih sejak Tol Cipularang dibuka sekitar tiga tahun lalu. Bandung pun semakin dekat.

 

Lucunya, untuk rute kembali ke Jakarta, kami memilih menggunakan kereta. Yes!! Saya sendiri emang rada norak, karena belum pernah seumur-umur naik kereta jarak jauh yang punya embel-embel kereta eksekutif. Hihihi…. Kereta Bandung-Jakarta yang kami pilih adalah Argo Parahyangan yang berangkat pukul 12.00 siang dari Stasiun Bandung.  Bayangan kereta yang sumpek dan tidak nyaman (seperti KRL yang sering saya tumpangi), sama sekali hilang. Argo Parahyangan  kelas eksekutif sangat nyaman. Dari kursinya, kebersihannya, pelayanannya dan ketepatan waktu berangkatnya. Namun bukan itu, yang mau saya ceritakan. Bonus lain yang kita dapatkan dengan membayar Rp 80 ribu saat akhir pekan atau Rp 60 ribu saat hari biasa, adalah pemandangan alam yang sangat indah, terutama sepanjang jalan Bandung-Purwakarta. Komplit-lah, dari sungai, gunung, sawah, rumah rumah penduduk desa yang eksotis ditambah lagi jembatan jembatan dan rel tua peninggalan belanda membawa nuansa baru dalam perjalanan itu.

Saya pikir, memang sebagian nyawa kereta ini didesain dengan konsep kereta wisata, karena di beberapa spot unik, kru kereta akan menjelaskan deskripsi daerah tersebut. Belum lagi, jalannya memang terhitung pelan untuk kereta eksekutif (hingga 3 jam perjalanan).  Sayangnya, sejak Cipularang dibuka, peminat kereta ke Bandung memang berkurang karena munculnya berbagai travel dan bis yang lebih terjangkau. Mungkin PT KAI bener-bener harus lebih serius merombak positioning kereta ini menjadi kereta wisata.

So, buat yang lagi cari alternatif perjalanan yang unik.. Ini bisa dicoba loo!

Hits: 1820