Masih melanjutkan cerita tentang liburan singkat saya di Belitung minggu lalu, kali ini sedikit ulasan tentang pantai-pantainya. Ini adalah liburan kedua saya bulan ini ke tempat bernama pantai. Bulan lalu disela-sela tugas ke Aceh saya menyempatkan mampir ke beberapa pantai di bumi nanggroe tersebut. Di Belitung saya berkunjung ke beberapa pantai yaitu, pantai Tanjung Tinggi, Tanjung Binga, Tanjung Kelayang hingga ke Pulau Lengkuas dan Pulau Burung. Komplit-lah, meski capeknya juga komplit. Tapi seneng dan puas banget.
Komentar saya secara keseluruhan, pantai-pantai di Belitung sangat eksotis dan punya karakter yang belum tentu ada di daerah lain terutama di Indonesia. Namun lagi lagi (dan selalu begitu), pariwisata Belitung (seperti juga sebagian besar provinsi lain di Indonesia) masih jauh dari optimal pengelolaannya. Sayang banget. Transportasi umum di Belitung sangat minim, bahkan nyaris tidak ada. Akibatnya wisatawan mau tidak mau harus ikut dalam rombongan travel. Selain harga yang kadang sedikit lebih mahal, tidak semua wisatawan enjoy bepergian dengan biro travel yang jadwalnya cenderung mengikat. Apalagi kini makin banyak orang yang senang bepergian ala backpacker. Belitung khususnya Penduduk Tanjung Pandan pun menurut saya belum siap daerahnya menjadi daerah wisata. Belum banyak usaha souvenir barang-barang khas Belitung, tempat makan yang masih terhitung sedikit pilihannya. Harusnya kedua hal tadi bisa membuka lapangan kerja baru bagi penduduk Belitung. Yah, ini sih bisa dimaklumi, meski sudah banyak yang mengenal keindahannya sejak dulu, tetapi harus diakui fenomena Andrea Hirata dan Laskar Pelangi-nya membuat Belitong alias Belitung menjadi lebih mendunia. Namun, apapun kekurangannya, Belitung sangat direkomendasikan sebagai tempat berlibur baru. Saya selalu dan selalu menyimpan semangat optimism akan majunya pariwisata Indonesia.
Industri ini adalah salah satu industry dengan pertumbuhan paling tinggi beberapa tahun terakhir. Belum optimal saja, pertumbuhannya sudah tinggi, gimana jika dikelola lebih serius? I’m proud being an Indonesian. Lovely Indonesia.
Tahun 2012, bagi saya adalah satu periode dengan kondisi jiwa dan batin seperti naik roaller coaster atau seperti naik ontang anting di Dufan. Terpelanting kesana kemari, naik turun, takut, cemas tapi diselingi banyak kegembiraan dan berkah. Campur aduk. Setelah menyelasaikan pendidikan master saya di akhir 2011, awal 2012 saya diterima di kantor saya yang sekarang (ukp.go.id). Bagi saya bekerja di UKP4, seperti sebuah rendevouz dari pekerjaan lama di Aceh dulu. Ya, karena pimpinan lembaga ini adalah juga atasan saya di BRR dulu. Beberapa kolega-nya pun adalah teman lama. Suasana kerja yang dibangun juga kurang lebih sama. Bedanya, sekarang saya berkantor di Jakarta bukan di Banda Aceh dan bekerja untuk cakupan yang lebih nasional. Its grateful!
Di sisi kehidupan pribadi, bagi saya 2012 adalah tahun pengayaan batin yang luar biasa. Setelah satu puncak tragedi di Maret 2012, banyak cara pandang saya yang berubah terhadap sebuah hubungan manusia. Tapi ibarat roda kehidupan, periode ini adalah sebuah titik balik maha penting bagi saya. Ini adalah cerita sebuah cinta, kasih sayang yang berujung mentally abusing. Duh, kalo teringat itu, mau nulisnya saja rasanya gak sanggup. Tapi tidak apa-apa, setiap manusia pasti pernah punya periode berat dalam hidupnya. Apapun yang sudah terjadi, ya sudahlah. Pasti ada hikmahnya entah besar atau kecil yang ketahuannya juga entah kapan. Sedikit trauma di kejiwaan saya, tapi sepertinya saya tidak punya alasan untuk berlama-lama di masa lalu. Memang tidak ada ilmu yang lebih sulit dipelajari selain ilmu ikhlas. Dan saya rasa, nilai keikhlasan saya sudah terdongrak signifikan karena peristiwa ini. Sedih, tapi tetap bersyukur. Alhamdulillah ya, Allah…
Ada yang pergi, pasti ada yang datang. Mungkin saya memang belum beruntung untuk urusan “pribadi”, tapi tahun ini saya dilimpahi banyak berkah yang dulu sepertinya di luar kemampuan saya. Selain mensyukuri pekerjaan baru saya tahun ini saya diberi kepercayaan menulis dua buah buku. Bukan buku besar, sih.. tapi paling tidak ada, saya punya portofolio baru yang bolehlah…saya tarok di CV. Hehehehe. Buku pertama; Manual Guide Decission Support System For Sustainable Peaceful Development in Aceh, Database Rencana Pembangunan Gampong yang merupakan proyek dari World Bank. Buku kedua masih tentang Aceh (teteuppp ya, booo.). Silakan diliat di tautan ini. Ini adalah milestone penting bagi saya. Akhirnya, saya bisa punya sesuatu (untuk Aceh) dan untuk cita-cita saya menjadi seorang penulis sungguhan (Amin..) Oya, kumpulan tulisan di blog ini juga sedang dalam proses dibukukan. Mohon doa restunya dari teman-teman semua. Pada 2012 ini juga saya menempati rumah baru kecil mungil meski statusnya belum lunas alias masih nyicil. Hihihi.. Rumah yang konsep interiornya saya rancang sendiri dan terus pengen didandanin jika ada rejeki lagi.
Banyak hal-hal lain yang memorable, namun secara garis besar tahun ini saya diberi banyak karunia, teman-teman baru, pekerjaan baru dan tantangan tantangan hidup yang Insya Allah akan menjadikan saya lebih dewasa menghadapi hidup saya ke depannya. Meski kondisi iman terkadang juga seperti cuaca yang berubah-rubah, Alhamdulillah selalu ada yang mengingatkan saya kalau saya tidak pantas untuk tidak bersyukur. Mulai dari anak kecil penyemir sepatu, tukang buah buta keliling yang lewat di depan rumah hingga abang becak renta di depan stasiun Bogor.
Resolusi 2013? Banyak! Tapi yang paling penting, saya selalu minta dikasih kesehatan lahir batin sama Tuhan agar semua cita-cita bisa tercapai. Tidak kalah penting lagi, masiih harus terus memperdalam ilmu ikhlas. Agar segala daya upaya yang kita lakukan, hasil sepenuh-penuhnya saya tawakkal-kan kepada Tuhan. Semoga. Amin.
Bulan ini saya bisa liburan sebentar ke Pulau Belitung. Kebetulan ada teman lama, Yeni yang sudah bermukim disana. Selain pantainya, lima tahun terakhir Belitung diberi “julukan” baru Negeri Laskar Pelangi. Yah, asal muasalnya apalagi kalau bukan buku mega bestseller tulisan Andrea Hirata yang sudah buanyakkkkk saya tulis di blog ini. Saya sudah menggagendakan harus mengunjungi Gantong, kampong si Bang Ikal dan ngopi di Manggar. Sekedar ingin merasakan atmosfer yang sering Andrea ungkapkan di buku-bukunya. Saya juga mampir ke SD Muhammadiyah Gantong, sekolah Laskar Pelangi. Jangan salah yah, ini hanya bangunan yang didirikan sebagai lokasi syuting film Laskar Pelangi 2008. Bangunan aslinya tentu sudah tidak bisa menggambarkan cerita akhir 1970an itu.
Setiba disana, saya baru tahu ada Museum Kata, museum-nya Andrea Hirata. Saya yang mengaku fans beratnya jadi malu sendiri, ternyata saya tidak tahu ada museum yang sudah didirikan sejak 2010 ini. Hehehehe. Awalnya kok kesannya “berat” banget ya.. Ada museum di desa kecil yang bahkan belum tentu seluruh penduduknya mengerti apa itu museum. Namun anggapan itu berubah ketika kami tiba disana. Memasuki museum yang berupa rumah tua dengan 1 ruangan utama dan 4 ruangan lain, ada box sumbangan Rp2000/orang yang mereka sebut sebagai “uang kebersihan” Di setiap dinding terpampang apa dan siapa Andrea Hirata, karya-karyanya, foto-foto dari scene film Laskar Pelangi, puisi-puisi Andrea bahkan kata-kata motivasi dari berbagai tokoh dunia. Lantai museum hanya dilapisi dengan tikar pandan kampung yang sangat biasa, tapi rumah seluas kurang lebih 15×15 m ini sangat bersih, resik dan nyaman. Di sebelahnya ada bangunan setengah jadi yang nampaknya akan menjadi perluasan museum ini. Nuansa semangat, ketulusan dan pentingnya pendidikan sangat-sangat terasa. Sebutlah ada sebuah foto berlatar belakang sekolah Laskar Pelangi dengan langitnya yang biru bertuliskan: “Sekolah adalah kesempatan, berkah dan kegembiraan” (Andrea Hirata). Disisi lain sebuah kalimat: Berkaryalah, karena karya itu akan menemukan nasibnya sendiri. Tentu saja masih banyak kata-kata indah sarat makna dari berbagai orang yang sudah menorehkan sejarah dunia. Keseluruhan tema yang ingin diangkat ruangan kecil ini adalah: DO I INSPIRE YOU? Kalimat berbahasa Inggris ini hampir ada di setiap tulisan di ruangan ini.
Saya nampaknya sedang beruntung. Ketika saya pamit ingin ke kamar kecil, jreng..jreng..ternyata di ruang belakang saya bertemu si empunya. Sedikit kaget, sampai saya mundur sesaat. Tapi kemudian saya mengulurkan tangan dan mengenalkan diri sambil bilang: Bang, kita pernah ngopi di Banda Aceh, 1,5 tahun lalu, loh.. Andrea Hirata sedikit lupa mungkin, tapi kemudian dia tertawa dan akhirnya ingat kalau satu malam di Banda Aceh, 2011 lalu dia pernah membayarkan kopi sanger saya dan dua orang teman saya. Bang Ikal sangat ramah, dia bertutur 1,5 tahun belakangan, ia bermukin di Perancis karena sedang mengerjakan buku baru karena editornya orang sana. Wow, ternyata saya juga tidak tahu soal ini. Hahahha.. katanya fans..
Kami mengobrol sedikit, ia banyak menceritakan museum yang ternyata dibeli dan dikelola oleh manajemennya sejak 2010. Saya juga sedikit nanya-nanya tips menerbitkan buku kepadanya. Saya lupa bilang, saking ngefans-nya saya nonton musikal Laskar Pelangi sampai di Singapura, tidak saja mengoleksi buku-bukunya. Hari itu masih pagi, pengunjung museum belum banyak, karena agenda jalan-jalan saya masih padat, saya pamit pulang. Ia mengantar saya dan rombongan sampai ke depan pintu. Saya tersanjung dan tak sabar untuk membagi cerita ini
Ada satu yang juga belum sempat saya bilang ke beliau. Kalau saya dan dia punya kesamaan. Sama-sama menjadikan Aceh sebagai awal inspirasi untuk menulis… ^__^
Andrea Hirata menulis Laskar Pelangi terinspirasi setelah pulang dari tugas sebagai relawan tsunami Aceh 2004.Pada salah satu memoar yang terpampang di museumnya, ia menuturkan: di Aceh ia melihat sekolah-sekolah yang hancur dan anak-anak yang tidak dapat bersekolah lagi. Baginya, ini membangkitkan kenangannya di masa kecil yang berjuang memperoleh pendidikan. Saya pun begitu, selama dan setelah bekerja di Aceh, otak saya hampir selalu penuh dengan inspirasi untuk menulis. Entah dari melihat alamnya, ataupun dari semua kenangan dan peristiwa yang pernah terjadi di dalamnya. See?! .. *selamat menikmati foto-fotonya*
Masih ngomongin Aceh, tepatnya inspirasi dari Aceh. Setiap kembali dari sana, saya seolah “tidak siap” bertemu dengan Jakarta. Yang terbayang, macet dimana-mana, orang-orang yang terburu-buru, angkutan publik yang buruk dan dunia sosial yang jauh sekali berbeda dengan di daerah. Saya bersyukur pernah kerja di daerah (baca; Aceh) dan merasakan atmosfir yang tidak melulu dalam suasana kompetisi dan yang dikejar itu hanya posisi dan materi. Kemana-mana dekat, semua orang ramah, tidak saling curiga dan suasana kekeluargaan yang bukan cuma “sampul” seperti orang Jakarta. Kehidupan sosial juga begitu, tidak perlu harus punya dompet tebel untuk nongkrong di café-café mahal Cukup di warung kopi sederhana dengan uang kurang dari 10 ribu, makna kekerabatan itu diperoleh. Malahan “ngumpul-ngumpul” ala warung kopi tanpa AC begini, bagi saya melahirkan banyak ide, menjalin relasi bahkan menghilangkan kegalauan. Wah, aku udah persis orang Aceh banget kalo begini.
Bagi saya bekerja di Jakarta kemudian menclok sesaat dengan pergumulan kerja ala Aceh adalah proses keseimbangan. Terkadang memang timbul rasa bosan, karena Aceh tidak menjanjikan hiburan ala metropolitan; café, karaoke dimana-mana, bioskop, mall yang bertebaran tetapi Aceh punya pantai yang indah, alam yang rupawan, wisata religius dan artefak-artefak tsunami yang sangat monumental bagi daerah ini bahkan dunia. Buat saya yang mulai bosan dengan kekejaman Jakarta, semua itu indah dan damai. Kebahagian di keramaian ala Jakarta terkadang membosankan dan sangat individual menurut saya. Orang-orang Jakarta semakin memandang orang lain dengan penuh kecurigaan. Sudah jarang saya temui senyum ramah dan orang yang sekedar mau menjawab pertanyaan kecil -seperti lokasi sebuah tempat- di jalanan.
Padahal bahagia itu sederhana, ketika detak jantung tidak sekencang ritme Jakarta, ketika melihat pemandangan tepi jalan yang indah, ketika semua orang saling menyapa, ketika semua masalah seakan selesai karena kebersamaan yang bukan cuma kulit. Saya masih percaya, indikator kualitas hidup manusia dilihat dari hal-hal itu, bukan koneksi internet berkecepatan tinggi dan berapa banyak saldo di rekening Anda.
Ah, saya selalu rindu suasana itu. Cukuplah di Jakarta untuk mengejar sedikit prestasi dan sejumput materi yang terbungkus bentuk pengabdian kepada negara ini. Biar cuma Jakarta yang semerawut dengan semua gejolaknya. Dan, suatu saat, saya ingin kembali ke satu tempat, dimana saya dapat menemukan semua itu. Amin.
Wah, kalian yang sering baca blog saya ini pasti bosen kalau saya cerita soal Aceh lagi… Aceh lagi.. Tapi begitulah kenyataannya, saya selalu punya stok cerita lama dan cerita-cerita baru tambahan dari wilayah terbarat Indonesia ini. Minggu ini (lagi dan lagi) saya berkesempatan menyambangi Aceh. Asal tau aja, di kunjungan sebelumnya, saya yakin banget kalau gak bakalan kesana lagi. Tapi ternyata salah tuh… (hehehe..) Karena pernah punya “kisah sinetron disini”, saya ingin menghindari banyak hal yang berbau Aceh. Tetapi kemanapun pergi, selalu ada ujung yang akhirnya mendamparkan saya kembali kesana. Intinya udah muter-muter kemanapun baliknya kesana lagi. Akhirnya saya berkesimpulan, Tuhan memang mendukung saya “move on” dengan caraNya; yaitu mendekatkan saya kepada hal yang saya hindari. Bukan untuk membuat galau, tapi untuk membuat saya lebih kuat menghadapi semua yang akan terjadi. 🙂
Kepergian terakhir, judulnya tetep; Kerja. Kali ini partner in crime saya adalah Aichiro Suryo, rekan sekantor saya. Alhamdullillah urusan pekerjaan hampir tidak menemui kendala apa-apa. Ekstra bonusnya apalagi kalau bukan jalan-jalan. Saya, Aichiro ditemani beberapa teman lokal menyusuri pantai-pantai Aceh yang indah, napak tilas berbagai monumen tsunami dan tentu saja yang wajib nomer satu: Ngopi. Alhamdulillah saya masih punya banyak teman yang sudah seperti keluarga disana.
Aceh masih seperti dulu menawarkan keindahan alam, keramahan masyarakat, keunikan budaya dan prasasti tsunami 2004 yang monumental terpatri di hampir setiap sudut kota. Meskipun semua belum berjalan sempurna, saya mencintai Aceh, saya ingin Aceh lebih baik dari masa ke masa. Semoga.
Di pertengahan tahun ini, saya dikontak oleh seorang teman yang menawarkan sebuah pekerjaan menulis buku. Mulanya saya pikir, ini pekerjaan sambilan biasa, karena saya –yang suka gak pede ini– yakin kalau fungsi saya di pekerjaan itu hanya supporting. Sampai akhirnya saya bertemu dengan Devi, National Project Manager R2C3, Bappenas UNDP yang menyatakan “serius” ingin meminang saya untuk pekerjaan ini sebagai penulis inti. Tidak ada seleksi, tidak ada tes ini itu. Devi dan timnya hanya mendengar nama saya dari rekomendasi beberapa teman BRR bahwa saya mampu untuk pekerjaan ini. Agak kaget setelah mendengar penjelasannya. Ternyata ini adalah pekerjaan cukup besar. Kok mereka percaya-percaya aja gitu sama gw, yah? Padahal belum kenal secara pribadi, tidak pernah liat CV saya. Hanya dari obrolan “head hunter” dadakan teman-teman saya. Akhirnya saya mem-pede-kan diri untuk menerima pekerjaan ini. Karena materinya tentang pekerjaan saya di Aceh dulu, karena saya mencintai Aceh dan saya percaya cinta selalu membuat yang tidak bisa menjadi bisa, yang tak kuasa menjadi kuasa. 🙂
UNDP juga menginginkan muatan buku ini lebih dalam dan sedikit berbau “scientist”. UNDP kemudian berinisiatif; saya dengan pengetahuan materi tulisan “dikolaborasikan” dengan Dr Yanuar Nugroho. Seorang akademi “lokal” yang mengajar di Universitas Manchester, UK dan banyak berkiprah di bidang teknologi dan sosial di Eropa. Ini satu lagi blessing in disquise buat saya. Sedikit berkilas balik, awal 2012 saya bertemu Mas Yan, demikin beliau biasa akrab dipanggil di UKP4, kantor saya. Beliau memberi pencerahan dan masukan untuk pekerjaan kami kala itu. Waktu yang singkat itu (satu hari) membuat saya begitu “terpesona” akan kedalaman pengetahuan dan cara beliau membaginya. Terbersit sedikit pikiran, andai suatu saat bisa bekerja sama dengan beliau. Ternyata pikiran itu doa yang beberapa bulan setelahnya benar-benar menjadi kenyataan. Lebih nyata lagi, karena akhirnya beliau pindah ke Indonesia dan bekerja di kantor yang sama dengan saya. Woott!!
Buku ini bercerita tentang bagaimana sebuah aplikasi berbasis internet bernama RANDatabase mampu menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dengan ratusan organisasi lokal dan dunia yang bekerja di Aceh pasca tsunami. Saya bersama Mas Yan mencoba menyajikan sebuah pembelajaran bahwa sebuah aplikasi tidak hanya sebuah “mesin” kaku yang berpendar di layar computer. Tetapi juga memainkan peranan fungsi sosial yang menyatukan banyak pihak. Banyak hikmah yang dipetik, yang bisa digunakan untuk penerapan aplikasi serupa tidak saja pada kondisi bencana tetapi juga kondisi normal.
Buku ini memang secara “harfiah” bukan buku saya, kepemilikannya ada di Bappenas. Tetapi bagi saya ini satu portofolio baru dan pembuktian kalau saya bisa selangkah lebih maju tidak cuma menulis blog curhatan *gak penting. Sekali lagi, bertepatan dengan momentum 8 tahun tsunami (26 Desember 2012); saya bangga pernah menjadi bagian dari perubahan Aceh, perubahan menjadi lebih baik.
Seringkali saya membaca berita tentang kekerasan suami kepada istri, bahkan pacar kepada pacarnya. Dari yang “cuma”luka-luka sampai yang berakibat kematian. Sadis. Sebagian pelaku pada berita-berita tersebut datang dari kelompok masyarakat menengah bawah dengan tingkat pendidikan yang minim. Lalu, ketika saya menemui hal yang sama terjadi di lingkungan saya, tepatnya dengan beberapa sahabat, saya sedikit shock. Oh, ternyata cerita-cerita begitu bukan cuma berita murahan detikcom, koran lampu merah atau sinetron. Itu nyata adanya. Lalu, postulat bahwa kejadian begitu datang dari mereka yang tidak sekolah tinggi-tinggi ternyata salah. Yang saya lihat di depan mata, pelaku kekerasan ini adalah mereka dengan pendidikan di atas rata-rata bahkan mengagumkan. Beberapa waktu lalu, seorang sahabat saya memutuskan untuk berpisah dari suaminya, karena tidak tahan atas perlakuan kasar sang suami yang tak ubahnya seperti petinju. Bahkan berani melakukan kekerasan itu di depan umum. Padahal saya pikir teman saya ini sangat beruntung dari sisi materi, pendidikan bahkan kehidupan sosialnya yang sangat baik. Saya tidak bisa bercerita lebih detail tentang kekerasan yang terjadi, kecuali satu kata: kejam. Sahabat saya kedua, seorang ibu satu anak yang belum lama saya kenal. Ini bener-bener gw harus bilang WOW, sambil koprol. Dia menuturkan dalam lima tahun pernikahannya, kekerasan adalah makanan biasa sehari-hari. Bahkan di tahun pertama, dia pernah terapi saraf otak selama enam bulan karena benturan keras di kepala yang dilakukan suaminya, sempat membuatnya tak sadarkan diri beberapa saat. Jujur, saya yang ngeliat kucing kejepit pintu aja ngeri apalagi melihat manusia (baca: perempuan) dianiaya oleh orang yang katanya paling mencintainya sejagad dunia raya. Sekarang sih, katanya… (katanya) kalau mukul gak di kepala lagi. Tetap saja namanya mukul.
Sahabat yang pertama, tidak perlu dibahas, karena akhirnya mata hatinya terbuka bahwa ini bukan hidup yang normal. Nah, teman saya yang kedua ini masih terkukung dengan satu teori bahwa mengabdi pada suami adalah ibadah, dan menerima kekerasan adalah bagian dari itu. Pengabdian jelas ibadah, apalagi sebagai muslim, itu wajib. Tapi mengabdi dengan “bonus” kekerasan fisik apa masih ibadah namanya? Adakah prinsip yang lebih bodoh dari itu?! Atas nama cinta? Ya Tuhan,..tetapi membiarkan badan lebam dimana-mana, hati yang sakit ditambah lagi ongkos berobat tidak sedikit (yang ditanggung sendiri). Disini, Saya tidak tahu cinta itu dimana dan bentuknya seperti apa.
Saya masih sulit menerima alasan kalau ada yang bilang di beberapa kasus, cinta sering diungkapkan melalui kekerasan. Buat saya ini konsep edan.
Saya pernah mengalami kekerasan verbal dari seseorang, sekarang saya sudah memaafkan dia. Meskipun masih ada kengerian yang besar kalau itu terjadi lagi. Efeknya luar biasa, membuat mental sangat sangat down. Bahkan kata-kata buruknya masih membekas dan kalau diulik-ulik itu pengaruhnya besar sekali buat kejiawaan saya. Perasaan hina, dina tidak berarti setelah memperjuangkan hampir semua hal untuknya itu masih lekat sekali. Untungnya, saya segera bangkit dan sadar, ini tidak boleh berlanjut. Terlepas siapa yang benar dan salah, ternyata kemarahan pun perlu manajemen agar tidak merusak kejiwaan orang lain. Bukan saya tidak kuat mental ya, tapi ada tetap ada koridornya. Dan yang pernah terjadi sudah melewati koridor sebuah kemarahan verbal yang normal. Ah, sudahlah.. Ini bagian curcol aja. 😀
Itu baru yang verbal, bagaimana dengan fisik plus verbal yang dialami teman-teman saya itu?! Saya belum menikah, tapi saya perempuan yang sangat sangat bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Dari beberapa artikel-artikel psikologi yang saya baca, laki-laki yang terbiasa melakukan kekerasan fisik kepada pasangannya, 90% pasti akan mengulanginya. Tidak mudah dan butuh waktu yang lama untuk merubah karakter ini. Jika ditelurusi lagi, pasti ada latar belakang yang menyebabkan seorang laki-laki bertemperan keras dan main tangan begini. Tapi masalahnya, masihkah perempuan bertahan “menyerah”, mengorbankan fisiknya, perasaan dan harga dirinya atas nama cinta dan pengabdian kepada suaminya? Oh.. Come on…
Saya baru saja melakukan riset kecil tentang kegalauan. Huh, pasti kalian semua akan berkomentar: “Haduh, gak penting banget sih, lo…” Tapi tenang, ini penting loh! Penting banget malah! Jadi, tadi sore berturut-turut mendengarkan lagu-lagu Glenn Fredly dan Anang. Kalo Glenn semua orang sudah tahulah ya.. dia master galau banget! Terbukti lagu-lagu beliau yang galau abis, selalu meledak di pasaran. Sepengetahuan saya, lagu-lagu itu kebanyakan dia ciptakan saat lagi bermasalah sama pasangannya yang sesama artis juga. Siapa? Yaa, masak lo yang pengamat infotainment nanya gw? Hehehhe.. Cari sendirilah..
Selanjutnya Anang, ingatkan lagu Separuh jiwaku pergi? Lagu itu laris juga di pasaran. Dikenal semua orang, dari office boy sampai presiden direktur. Sebelumnya sih, Anang memang sudah cukup beken dan banyak berkarya di blantika musik Indonesia (bahasa gw berat bener yak).. Tapi, konon lagu yang dibuat di masa awal perpisahannya dengan KD itu, menjadi lagu hits-nya sepanjang masa. Lagu cengeng yang haram dinyanyikan di pesta kawinan itu pun, laku keras (pasti bajakannya lebih laku).
Kalau kalian menyimak baik-baik, kesamaan Glenn dan Anang adalah menyanyikan lagunya penuh perasaan. Dalemm banget dah. Ya, tentu saja,..karena mereka menyanyikannya pun dengan hati. Hati yang apa Yaaa, hati yang galau!! “Ini kerja dengan passion”, istilah pakar HRD.
Nah, kelihatannya dua tiga tahun terakhir, kiprah Glenn di talenta khususnya lagu-lagu mellow-nya agak menurun. Malah, dari garis masa di twitter-nya, dia sedang banyak melakukan kegiatan kemasyarakatan, misal aktif mempromosikan kampong halamannya Ambon Manise, bahkan menjadi pendukung salah seorang Cagub DKI melalui iklan-iklannya. Mana Glenn yang dulu? Sementara Anang sudah menemukan tambatan hati baru yang menghilangkan kegalauannya. Anang menurut saya sekarang sangat lebay dengan istri barunya itu. Karyanya pun ya, lebay-lebay gitu. Nyaris tidak ada yang memorable lagi. Saya yakin, duitnya pun lebih banyak datang dari lagu-lagu galau itu daripada lagu-lagu lebay yang cuma pamer kemesraan. *sirik banget sih, lo
See? Siapa bilang galau itu konotasinya selalu negatif? Galau itu halal kok! Bahkan penemu-penemu besar konon menghasilkan temuannya setelha galau gagal berkali-kali tetapi tetap mencoba. Thomas Alva Edison gagal nyaris 999 kali sebelum akhirnya menemukan 1 kali bohlam listrik. Isaac Newton sedang duduk di bawah pohon ketika apel jatuh di kepalanya, lalu karena kepikiran terus dan bikin galau akhirnya ia menemukan gravitasi. Yang paling maju adalah presiden kita tercinta yang sering curhat dan galau sama keadaan tanah air beta ini. Sah-sah aja kan? Karena galaunya presiden adalah untuk berbagai kesusahan tantangan untuk membuat negara ini lebih baik
Saya pun seperti itu, ditengah kegalauan beberapa waktu lalu, karena sesuatu hal, tiba-tiba Tuhan yang Mahabaik memberikan banyak tanggung jawab dan tantangan baru yang lebih penting dari sekedar mikirin perasaan. Kadang-kadang masih berasa galau, tapi itu masih dalam koridor yang wajar. Yang tidak wajar itu kalau permanen. Eh,..galau kok permanen?!, Ada yah?! Atau kadang-kadang malah pengen galau, tapi karena kerjaan banyak, jadinya gak sempet deh.. (hahaha). Maksudnya kegalauannya dialihkan ke kegiatan yang produktif mirip mirip Glenn dan Anang deh, tapi bukan ngarang lagu yah… Kalau galau itu menghasilkan sesuatu yang produktif, yuk kita galau bersama-sama, alias galau berjamaah..
Wooohooo.. akhirnya bisa juga pamer rumah hejo-ku di blog ini. Alhamdulillah, setelah hunting beberapa lama, dapet juga rumah yang terjangkau oleh isi tabungan. Letaknya lumayan strategis, pola pembayarannya sangat kompromistis dan rumahnya gw bangett!!.
Dalamnya tentu saja harus putih full, agar rumah mungil seluas total 60 meter persegi (2 lantai) ini terlihat luas. Saya menambah ornamen wallpaper di ruang utama dan ruang tidur utama. Kamar kedua, difungsikan sebagai kamar tamu dan ruang baca
Againnn… karena saya penggemar hijau, hampir semua pernah pernik di rumah ini bernuansa hijau. Biar gak terkesan monoton, saya tambahin sedikit warna merah dan emas. Ini foto-foto rumahnya sebelum dan sesudah ditempatin..
Yuk..kapan mampir?
tampak depan...hejo royo royo..ruang utama dan kamar tidur angry bird..the cozy corner and the books!pernak pernik.. love it!
Sudah hampir tiga puluh menit kita disini. Aku masih saja mengaduk-ngaduk sanger* dingin yang sebenarnya tidak perlu diaduk lagi. Aku merapihkan kerudung merah jambuku sambil sesekali menyimak obrolan tetangga sebelah meja kami. Topik politik daerah ini nampaknya tidak pernah habis untuk digunjingkan. Ah, menyesal. Kalau tahu begini, harusnya tadi aku membawa komputer jinjingku, memanfaatkan wifi kedai kopi ini dan menulis hal-hal random di blog-ku. Bisa juga membawa buku bacaaan sambil menikmati nasi kuning terenak di kota ini.
Sementara kamu masih saja sibuk mengutak-ngatik telepon genggammu yang sudah butut, berbunyi pun aku rasa susah. Aku tahu, telepon itu sudah jatuh berkali-kali sampai-sampai kamu “menambalnya” dengan plester bening lebar yang aneh. Kopi hitam yang kamu pesan sama sekali belum kamu sentuh. Kualihkan tatapanku ke wajahmu, kamu mengetuk-ngetukkan telepon itu ke meja kayu kedai ini. Matamu memandang dengan tatapan kosong dan bingung ke sungai kecil di depan kedai kopi di pusat kota Banda Aceh ini. Dingin sekali.
Aku kembali bertanya; “Ada, apa.. kamu sakit?” dan untuk ketiga kalinya kamu balik bertanya bertubi-tubi:
“Kamu tidak marah kalau aku jujur akan sesuatu?”,
“Kamu masih mau jadi sahabatku?”,
“Kamu yakin tidak akan meninggalkan aku?” .
Aku menarik nafas. Kuambil batang korek api dari perangkat rokokmu. Aku menyusun beberapa batang seperti mainan masa kecilku. Aku pun bingung harus menjawab apa. Pertanyaan yang sangat retorik untuk sepasang sahabat baik seperti kita.
“Aneh, perlu dijawab?”, kataku..
“Kamu sakit?” HIV? AIDS?
Langsung saja aku ucapkan nama penyakit itu. Dalam bayanganku hanya itu penyakit paling parah sampai sampai kamu perlu waktu khusus untuk mengakuinya padaku. Tapi jawabanmu tetap hanya diam.
Rasanya tidak pernah sesedih kemarin, ketika saya harus meninggalkan Aceh setelah sempat tiga hari singgah disana untuk urusan sebuah pekerjaan. Cukup lama saya tidak menginjakkan kaki di tanah rencong ini. Terakhir berkunjung kesini 1,5 tahun lalu untuk menyelesaikan riset tesis saya. Memang sebelumnya saya sempat hampir tiga tahun bekerja disini untuk sebuah proyek pemerintah dalam misi rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami maha dahsyat akhir 2004 lalu. Saya sadar saya punya keterikatan batin yang sangat dalam dengan Aceh. Padahal pertama kali kesini ogah-ogahan luar biasa, tapi apa boleh buat sebuah komitmen kerja sudah saya tanda tangani. Siapa sangka itu kemudian merubah dan mempengaruhi hampir setiap sisi kehidupan saya setelahnya.
Saya tidak pernah menghitung sudah berapa puluh kali saya bolak balik ke Aceh untuk urusan pekerjaan. Dan setiap kembali ke Jakarta, saya selalu yakin akan kembali kesana suatu saat. Tapi tidak kemarin. Memang tidak ada alasan yang jelas, hanya perasaan saja. Entah kenapa itu rasanya sangat kuat dan terus menari-menari di pikiran saya. Simpang Lima, sanger dingin, Masjid Baiturrahman, mi kepiting, Lampuuk, Motor Honda, Labi-labi dan sudut-sudut Peunayong memenuhi imajinasi saya.
Pada tiga hari yang singkat namun padat itu, saya bertemu hampir semua sahabat-sahabat terbaik saya disana. Mereka yang rela meluangkan waktu meladeni saya yang bawel ini, memberi bantuan materi untuk pekerjaan saya dan tidak henti-hentinya memberi dukungan moral karena sejujurnya saya sendiri agak senewen dengan pekerjaan itu. Di bandara saya tercenung, disini ada jarak yang samar antara jauh dan dekat, antara datang dan pergi, antara sedih dan bahagia, antara penghubung dan pemisah dan antara mimpi dan kenyataan. Saya sedikit menitikkan air mata ketika pesawat mulai lepas landas dengan hamparan pemandangan sawah dan pantai yang khas Aceh di bawahnya. Yah, mungkin memang ada cerita dibalik semua itu, cerita yang tidak bisa dilisankan dan tidak tahu harus dimulai darimana jika ingin dituliskan.
Saya bahagia karena punya keluarga dan sahabat-sahabat yang tak tergantikan disana. Saya bersyukur pernah menjadi bagian dari Aceh. Saya merasa terhormat mendapat kepercayaan (lagi) untuk berkontribusi demi nama Aceh. Apalah saya ini…
Semoga satu karya (terakhir) itu nantinya menjadi kenang-kenangan bahwa disana pernah ada terlalu banyak cerita, cinta dan cita-cita. Terima kasih Aceh
Saat kemandirian sudah jadi nilai positif bahkan “keunggulan komparatif” seorang perempuan, hari ini saya menyatakan kalau saya BOSAN menjadi mandiri. Beberapa bulan terakhir, kepalaku memang mumet dipenuhi segala urusan. Pekerjaan yang jadi rutinitas sudah pasti jadi makanan. Tapi bukan itu saja, ada lagi urusan keluarga, kerjaan-kerjaan lain, transaksi beli rumah beserta tetek bengek-nya yang ribet serta penuh dengan unpredictable issue. Pindah rumah baru bulan lalu benar-benar menyita pikiran. Urusan lumayan besar seperti renovasi minor kamar belakang, benerin tangga, memilih wallpaper yang oke, memasang antenna TV, kran air buat mesin cuci sampai urusan colokan listrik yang tidak pas posisinya bener-bener bikin rungsing! Kesimpulannya, ketika beli cabe sampai beli rumah diurusin sendiri itu melelahkan! Dan jrenggg..jrengg..tiba-tiba saya bosan jadi perempuan mandiri!! *nangis meraung-raung
Sejatinya, Saya sudah terbiasa mandiri sejak kuliah di Bogor dan tinggal sendiri, jauh dari orang tua. Mengambil keputusan sendiri bukan lagi barang baru. Ya, pasti ada pertimbangan dan masukan dari keluarga dan teman-teman untuk banyak hal besar, tapi pada akhirnya keputusan selalu saya tentukan sendiri. Banyak yang bilang mandiri itu adalah salah satu berita baik wanita masa kini. Mandiri sudah jadi poin plus bagi seorang wanita. Di jaman dimana wanita punya posisi yang sama dengan laki-laki, ketergantungan terhadap sosok kaum adam pun mulai berkurang. Tapi, eh. Apa bener begitu adanya?. Hasil survei kecil saya terhadap beberapa teman yang sudah menikah, umumnya mereka menertawakan saya dan mengatakan bahwa setelah menikah pun sebagian besar keputusan diambil sendiri. Kesimpulannya, gak ada bedanya deh, lo single atau doble karena hal-hal yang saya keluhkan diatas berdasarkan pengalaman, tetap diputuskan sendiri oleh mereka (sebagai wanita). Kurang valid sih, survei ini..,karena respondennya adalah teman-teman saya yang semuanya wanita bekerja dan punya karier yang cukup cemerlang. Biasanya sih wanita-wanita seperti itu mandirinya suka “kelewatan”. Padahal buat saya yang jomblo bahagia ini (*batuk batuk), fungsi pasangan terutama adalah tempat berbagi dan rekan untuk menentukan keputusan-keputusan penting dalam hidup. Hehehhe.. Barangkali surveinya memang harus dikaji lebih dalam, keputusan mana yang bisa sendiri, keputusan mana yang harus bersama dan respondennya pun harus lebih variatif. Gubrak, kok jadi ngomongin model kerjaan?!
Mungkin saya lagi “manja” aja, lagi perlu perhatian. Tepatnya perhatian dari orang yang istimewa. Eh, beneran begitu? Eitsss..jangan berkilah dulu.. Saya tahu itu masalah standar. Everybody does, kan?! Lagian ini konteksnya bukan mengeluh, tapi “bercerita”. Catet ya!! Sebenernya kan wajar-wajar aja kalau perempuan seperti saya tiba-tiba punya perasaan begitu. Selama perasaan itu tidak “dipelihara” yang bisa menimbulkan efek galau berkelanjutan. Saya bukan feminis yang (mungkin) sangat perkasa bisa total hidup sendiri tanpa bantuan lawan jenis. Ya, apapun bentuknya, laki-laki dan perempuan kan mahluk sosial yang memang ditakdirkan untuk saling melengkapi di koridor dan kodratnya masing-masing.. 🙂
Perempuan itu seperti robot, laki laki itu seperti tuannya.
Robot itu bisa melakukan apapun untuk tuannya. Dari pekerjaan rumah tangga, pekerjaan kantor hingga mendengarkan keluh kesah tuannya. Kalau diperlukan, si tuan tinggal menekan remote dan si robot mulai bekerja untuknya.. Si robot nyaris menemani setiap aktivitas tuannya. Mendengarkan semua masalahnya dengan baik, memberi saran, memberi dukungan dan selalu berusaha memberi kenyamanan dengan kasih sayang. Robot selalu bangga akan tuannya, begitu juga sebaliknya. Setidaknya seperti yang sering diucapkan tuan ke robotnya.
Robot itu nyaris tidak pernah lelah, meski tuannya sering pergi tanpa pernah peduli onderdil-onderdil yang ada di dirinya. Dia tahu, sangat tahu bahwa tuannya yang baik itu, mempunyai banyak teman di luar rumah, yang sering membuat si tuan melupakan si robot. Tapi si robot, tidak peduli, karena si tuan selalu meyakinkan, bahwa hanya si robot yang dia butuhkan. “Mereka itu hanya selingan”, kata si tuan. Dan si robot selalu percaya. Dia tahu apapun kejadian di luar sana, si tuan selalu pulang ke rumah, menemaninya bermain, mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya sebagai robot dan bercengkrama dengan penuh tawa setiap hari.
Kadang-kadang robot juga ingin diajak bergabung bersama teman-teman si tuan. Diperkenalkan sebagai benda yang selama ini sangat berarti seperti yang sering si tuan ungkapkan padanya. Namun itu nyaris tidak pernah, jangankan untuk bertatap muka, foto-foto mereka di sosial media pun harus dikaburkan. Kadang ada alasan yang tidak dimengerti oleh si robot. Menurut si robot, selama masih dalam batas wajar, toh tidak apa karena tuannya pun sering bercengkrama dengan teman-temannya di dunia maya dengan bahasa-bahasa mereka. Hmm, tapi robot mencoba memahami mungkin si tuan malu kalau ketahuan teman-temannya ia dekat dengan sebuah robot. Bukan manusia, gadis muda dan cantik, santun berkulit putih seperti impian si tuan yang pasti sangat membanggakan kalau digandeng kemana-mana. Atau, takut ketahuan keluarganya mungkin? Ya, bisa jadi, karena toh selama ini dengan beban dan tanggung jawab ke orang tua si tuan yang berat, dia harus menyelesaikan sendiri semuanya. Orang tua tuan pasti tidak tau ada robot mekanik yang selalu duduk manis disamping tuannya sangat dibutuhkan. Ah, itu tidak jadi masalah bagi si robot. Selama ini tuan sangat baik karena membantu robot menyelesaikan banyak hal, teman sharing yang luar biasa dan sosok yang paling mengerti diri robot. Tuan selalu obyektif menilai robot, sehingga robot bisa jadi robot yang luar biasa, Setidak seperti itu yang si robot tangkap selama ini.