sebelum...

Wooohooo.. akhirnya bisa juga pamer rumah hejo-ku di blog ini. Alhamdulillah, setelah hunting beberapa lama, dapet juga rumah yang terjangkau oleh isi tabungan. Letaknya lumayan strategis, pola pembayarannya sangat kompromistis dan rumahnya gw bangett!!.

Dalamnya tentu saja harus putih full, agar rumah mungil seluas total 60 meter persegi (2 lantai) ini terlihat luas. Saya menambah ornamen wallpaper di ruang utama dan ruang tidur utama. Kamar kedua, difungsikan sebagai kamar tamu dan ruang baca

Againnn… karena saya penggemar hijau, hampir semua pernah pernik di rumah ini bernuansa hijau. Biar gak terkesan monoton, saya tambahin sedikit warna merah dan emas. Ini foto-foto rumahnya sebelum dan sesudah ditempatin..

Yuk..kapan mampir?

tampak depan...hejo royo royo..
ruang utama dan kamar tidur angry bird..
the cozy corner and the books!
pernak pernik.. love it!
Hits: 1165

shutterstock.com

Sudah hampir tiga puluh menit kita disini. Aku masih saja mengaduk-ngaduk sanger* dingin yang sebenarnya tidak perlu diaduk lagi.  Aku merapihkan kerudung merah jambuku  sambil sesekali menyimak obrolan tetangga sebelah meja kami. Topik politik daerah ini nampaknya tidak pernah habis untuk digunjingkan.  Ah, menyesal. Kalau tahu begini, harusnya tadi aku membawa komputer jinjingku, memanfaatkan wifi kedai kopi ini dan menulis hal-hal random di blog-ku. Bisa juga membawa buku bacaaan sambil menikmati nasi kuning terenak di kota ini.

Sementara kamu masih saja sibuk mengutak-ngatik telepon genggammu yang sudah butut, berbunyi pun aku rasa susah. Aku tahu, telepon itu sudah jatuh berkali-kali sampai-sampai kamu “menambalnya” dengan plester bening lebar yang aneh.  Kopi hitam yang kamu pesan sama sekali belum kamu sentuh. Kualihkan tatapanku ke wajahmu, kamu mengetuk-ngetukkan telepon itu ke meja kayu kedai ini. Matamu memandang dengan tatapan kosong dan bingung ke sungai kecil di depan kedai kopi di pusat kota Banda Aceh ini. Dingin sekali.

Aku kembali bertanya; “Ada, apa.. kamu sakit?” dan untuk ketiga kalinya kamu balik bertanya bertubi-tubi:

“Kamu tidak marah kalau aku jujur akan sesuatu?”,

“Kamu masih mau jadi sahabatku?”,

“Kamu yakin tidak akan meninggalkan aku?” .

Aku menarik nafas. Kuambil batang korek api dari perangkat rokokmu. Aku menyusun beberapa batang seperti mainan masa kecilku. Aku pun bingung harus menjawab apa. Pertanyaan yang sangat retorik untuk sepasang sahabat baik seperti kita.

“Aneh, perlu dijawab?”, kataku..

“Kamu sakit?” HIV? AIDS?

Langsung saja aku ucapkan nama penyakit itu. Dalam bayanganku hanya itu penyakit paling parah sampai sampai kamu perlu waktu khusus untuk mengakuinya padaku.  Tapi jawabanmu tetap hanya diam.

Read More

Hits: 928

Rasanya tidak pernah sesedih kemarin, ketika saya harus meninggalkan Aceh setelah sempat tiga hari singgah disana untuk urusan sebuah pekerjaan.  Cukup lama saya tidak menginjakkan kaki di tanah rencong ini. Terakhir berkunjung kesini 1,5 tahun lalu untuk menyelesaikan riset tesis saya.  Memang sebelumnya saya sempat hampir tiga tahun bekerja disini untuk sebuah proyek pemerintah dalam misi rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami maha dahsyat akhir 2004 lalu. Saya sadar saya punya keterikatan batin yang sangat dalam dengan Aceh. Padahal pertama kali kesini ogah-ogahan luar biasa, tapi apa boleh buat sebuah komitmen kerja sudah saya tanda tangani. Siapa sangka itu kemudian merubah dan mempengaruhi hampir setiap sisi kehidupan saya setelahnya.

Saya tidak pernah menghitung sudah berapa puluh kali saya bolak balik ke Aceh untuk urusan pekerjaan. Dan setiap kembali ke Jakarta, saya selalu yakin akan kembali kesana suatu saat. Tapi tidak kemarin. Memang tidak ada alasan yang jelas, hanya perasaan saja. Entah kenapa itu rasanya sangat kuat dan terus menari-menari di pikiran saya.   Simpang Lima, sanger dingin, Masjid Baiturrahman, mi kepiting, Lampuuk, Motor Honda, Labi-labi  dan sudut-sudut Peunayong memenuhi imajinasi saya.

Pada tiga hari yang singkat namun padat itu, saya bertemu hampir semua sahabat-sahabat terbaik saya disana. Mereka yang rela meluangkan waktu meladeni saya yang bawel ini, memberi bantuan materi untuk pekerjaan saya dan tidak henti-hentinya memberi dukungan moral karena sejujurnya saya sendiri agak senewen dengan pekerjaan itu.   Di bandara saya tercenung, disini ada jarak  yang samar antara jauh dan dekat, antara datang dan pergi, antara sedih dan bahagia, antara penghubung dan pemisah dan antara mimpi dan  kenyataan.  Saya sedikit menitikkan air mata ketika pesawat mulai lepas landas dengan hamparan pemandangan sawah dan pantai yang khas Aceh di bawahnya.  Yah, mungkin memang ada cerita dibalik semua itu, cerita yang tidak bisa dilisankan dan tidak tahu harus dimulai darimana jika ingin dituliskan.

Saya bahagia karena punya keluarga dan sahabat-sahabat yang tak tergantikan disana. Saya bersyukur pernah menjadi bagian dari Aceh. Saya merasa terhormat mendapat kepercayaan (lagi) untuk berkontribusi demi nama Aceh. Apalah saya ini…

Semoga satu karya (terakhir) itu nantinya menjadi kenang-kenangan bahwa disana pernah ada terlalu banyak cerita, cinta dan cita-cita. Terima kasih Aceh

 

Hits: 836