Seringkali saya membaca berita tentang kekerasan suami kepada istri, bahkan pacar kepada pacarnya.  Dari yang “cuma”luka-luka sampai yang berakibat kematian. Sadis. Sebagian pelaku pada berita-berita tersebut datang dari kelompok masyarakat menengah bawah dengan tingkat pendidikan yang minim. Lalu, ketika saya menemui hal yang sama terjadi di lingkungan saya, tepatnya dengan beberapa sahabat, saya sedikit shock. Oh, ternyata cerita-cerita begitu bukan cuma berita murahan detikcom, koran lampu merah atau sinetron. Itu nyata adanya.  Lalu, postulat bahwa kejadian begitu datang dari mereka yang tidak sekolah tinggi-tinggi ternyata salah. Yang saya lihat di depan mata, pelaku kekerasan ini adalah mereka dengan pendidikan di atas rata-rata bahkan mengagumkan. Beberapa waktu lalu, seorang sahabat saya memutuskan untuk berpisah dari suaminya, karena tidak tahan atas perlakuan kasar sang suami yang tak ubahnya seperti petinju. Bahkan berani melakukan kekerasan itu di depan umum. Padahal saya pikir teman saya ini sangat beruntung dari sisi materi, pendidikan bahkan kehidupan sosialnya yang sangat baik.  Saya tidak bisa bercerita lebih detail tentang kekerasan yang terjadi, kecuali satu kata: kejam. Sahabat saya kedua, seorang ibu satu anak yang belum lama saya kenal. Ini bener-bener gw harus bilang WOW, sambil koprol. Dia menuturkan dalam lima tahun pernikahannya, kekerasan adalah makanan biasa sehari-hari. Bahkan di tahun pertama, dia pernah terapi saraf otak selama enam bulan karena benturan keras di kepala yang dilakukan suaminya, sempat membuatnya tak sadarkan diri beberapa saat. Jujur, saya yang ngeliat kucing kejepit pintu aja ngeri apalagi melihat manusia (baca: perempuan) dianiaya oleh orang yang katanya paling mencintainya sejagad dunia raya. Sekarang sih, katanya… (katanya) kalau mukul gak di kepala lagi. Tetap saja namanya mukul.

Sahabat yang pertama, tidak perlu dibahas, karena akhirnya mata hatinya terbuka bahwa ini bukan hidup yang normal. Nah, teman saya yang kedua ini masih terkukung dengan satu teori bahwa mengabdi pada suami adalah ibadah, dan menerima kekerasan adalah bagian dari itu. Pengabdian jelas ibadah, apalagi sebagai muslim, itu wajib. Tapi mengabdi dengan “bonus” kekerasan fisik apa masih ibadah namanya? Adakah prinsip yang lebih bodoh dari itu?! Atas nama cinta? Ya Tuhan,..tetapi membiarkan badan lebam dimana-mana, hati yang sakit ditambah lagi ongkos berobat tidak sedikit (yang ditanggung sendiri). Disini, Saya  tidak tahu cinta itu dimana dan bentuknya seperti apa.

Saya masih sulit menerima alasan kalau ada yang bilang di beberapa kasus, cinta sering diungkapkan melalui kekerasan. Buat saya ini konsep edan.

Saya pernah mengalami kekerasan verbal dari seseorang, sekarang saya sudah memaafkan dia. Meskipun masih ada kengerian yang besar kalau itu terjadi lagi.  Efeknya  luar biasa, membuat mental sangat sangat down. Bahkan kata-kata buruknya masih membekas dan kalau diulik-ulik itu pengaruhnya besar sekali buat kejiawaan saya. Perasaan hina, dina tidak berarti setelah memperjuangkan hampir semua hal untuknya itu masih lekat sekali.  Untungnya, saya segera bangkit dan sadar, ini tidak boleh berlanjut.  Terlepas siapa yang benar dan salah, ternyata kemarahan pun perlu manajemen agar tidak merusak kejiwaan orang lain. Bukan saya tidak kuat mental ya, tapi ada tetap ada koridornya. Dan yang pernah terjadi sudah melewati koridor sebuah kemarahan verbal yang normal. Ah, sudahlah.. Ini bagian curcol aja. 😀

 
Itu baru yang verbal, bagaimana dengan fisik plus verbal yang dialami teman-teman saya itu?! Saya belum menikah, tapi saya perempuan yang sangat sangat bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Dari beberapa artikel-artikel psikologi yang saya baca, laki-laki yang terbiasa melakukan kekerasan fisik kepada pasangannya, 90% pasti akan mengulanginya. Tidak mudah dan butuh waktu yang lama untuk merubah karakter ini. Jika ditelurusi lagi, pasti ada latar belakang yang menyebabkan seorang laki-laki bertemperan keras dan main tangan begini. Tapi masalahnya, masihkah perempuan bertahan “menyerah”, mengorbankan fisiknya, perasaan dan harga dirinya atas nama cinta dan pengabdian kepada suaminya? Oh.. Come on…

Hits: 739

Saya baru saja melakukan riset kecil tentang kegalauan. Huh, pasti kalian semua akan berkomentar: “Haduh, gak penting banget sih, lo…” Tapi tenang, ini penting loh! Penting banget malah! Jadi, tadi sore berturut-turut mendengarkan lagu-lagu Glenn Fredly dan Anang. Kalo Glenn semua orang sudah tahulah ya.. dia master galau banget! Terbukti lagu-lagu beliau yang galau abis, selalu meledak di pasaran. Sepengetahuan saya, lagu-lagu itu kebanyakan dia ciptakan saat lagi bermasalah sama pasangannya yang sesama artis juga. Siapa? Yaa, masak lo yang pengamat infotainment nanya gw? Hehehhe.. Cari sendirilah..

Selanjutnya Anang, ingatkan lagu Separuh jiwaku pergi? Lagu itu laris juga di pasaran. Dikenal semua orang, dari office boy sampai presiden direktur.  Sebelumnya sih, Anang memang sudah cukup beken dan banyak berkarya di blantika musik Indonesia (bahasa gw berat bener yak).. Tapi, konon lagu yang dibuat di masa awal perpisahannya dengan KD itu, menjadi lagu hits-nya sepanjang masa. Lagu cengeng yang haram dinyanyikan di pesta kawinan itu pun, laku keras (pasti bajakannya lebih laku).

Kalau kalian menyimak baik-baik, kesamaan Glenn dan Anang adalah menyanyikan lagunya penuh perasaan. Dalemm banget dah.  Ya, tentu saja,..karena mereka menyanyikannya pun dengan hati. Hati yang apa Yaaa, hati yang galau!!  “Ini kerja dengan passion”, istilah pakar HRD.

Nah, kelihatannya dua tiga tahun terakhir, kiprah Glenn di talenta khususnya lagu-lagu mellow-nya agak menurun. Malah, dari garis masa di twitter-nya, dia sedang banyak melakukan kegiatan kemasyarakatan, misal aktif mempromosikan kampong halamannya Ambon Manise, bahkan menjadi pendukung salah seorang Cagub DKI melalui iklan-iklannya. Mana Glenn yang dulu? Sementara Anang sudah menemukan tambatan hati baru yang menghilangkan kegalauannya. Anang menurut saya sekarang sangat lebay dengan istri barunya itu.  Karyanya pun ya, lebay-lebay gitu. Nyaris tidak ada yang memorable lagi.  Saya yakin, duitnya pun lebih banyak datang dari lagu-lagu galau itu daripada lagu-lagu lebay yang cuma pamer kemesraan.  *sirik banget sih, lo

See? Siapa bilang galau itu konotasinya selalu negatif? Galau itu halal kok! Bahkan penemu-penemu besar konon menghasilkan temuannya setelha galau gagal berkali-kali tetapi tetap mencoba. Thomas Alva Edison gagal nyaris 999 kali sebelum akhirnya menemukan 1 kali bohlam listrik. Isaac Newton sedang duduk di bawah pohon ketika apel jatuh di kepalanya, lalu karena kepikiran terus dan bikin galau akhirnya ia menemukan gravitasi. Yang paling maju adalah presiden kita tercinta yang sering curhat dan galau sama keadaan tanah air beta ini. Sah-sah aja kan? Karena galaunya presiden adalah untuk berbagai kesusahan tantangan  untuk membuat negara ini lebih baik

Saya pun seperti itu, ditengah kegalauan beberapa waktu lalu, karena sesuatu hal, tiba-tiba Tuhan yang Mahabaik memberikan banyak tanggung jawab dan tantangan baru yang lebih penting dari sekedar mikirin perasaan. Kadang-kadang masih berasa galau, tapi itu masih dalam koridor yang wajar.  Yang tidak wajar itu kalau permanen. Eh,..galau kok permanen?!, Ada yah?!  Atau kadang-kadang malah pengen galau, tapi karena kerjaan banyak, jadinya gak sempet deh.. (hahaha). Maksudnya kegalauannya dialihkan ke kegiatan yang produktif mirip mirip Glenn dan Anang deh, tapi bukan ngarang lagu yah…  Kalau galau itu menghasilkan sesuatu yang produktif, yuk kita galau bersama-sama, alias galau berjamaah.. 

 

Hits: 737