Tempat merenung bagi setiap orang, bisa jadi berbeda. Di kamar tidur, di taman, di tempat-tempat sepi bahkan di kloset.  Tapi akhir-akhir ini saya punya kebiasaan beda, merenung di bis. Yah, perjalanan Jakarta-Bogor atau sebaliknya menjadi waktu yang sangat leluasa buat melamun (baca: merenung). Untungnya bis bis ke Bogor sangat cozy dan nyaman buat aktivitas ini. Kadang disambi dengan ber-bbm ria dengan teman-teman  ditemani earphone yang setia menancap di kuping.

Dalam perjalanan antara 1-2 jam tersebut, banyak sekali yang saya dapat. Memandangi jagorawi yang lurus seolah tak berbatas kadang menimbulkan keyakinan dan kepercayaan bahwa apapun  masalah yang terjadi pasti  ada akhirnya meskipun Nampak seolah tak berujung.   Di sini juga, sering lahir ide-ide kreatif yang kemudian menjadi rencana kegiatan besok hari.  Bahkan beberapa tulisan di blog ini, juga lahir dalam perjalanan yang  awalnya ditulis pada ponsel, atau terkadang  ngetik di iPad kalo lagi gak pegel . Terus terang , di bis saya juga suka melamun.  Kata beberapa temenku,  persis kayak syuting video klip karena di kuping backsound-nya pasti lagu-lagu mellow dan kadang-kadang secara gak sadar aku juga sering lypsinc sendiri (hihihi). Kalo diliat penumpang lain, pasti mereka pikir saya sedang desperado 😀  Walau begitu, saya juga sering mendengarkan musik terapi Quantum Ikhlas yang benar benar menenangkan dan selalu bikin tertidur.

Ada lagi, bergabung dengan sekian banyak orang yang tidak kita kenal di bis menumbuhkan rasa bersyukur yang dalam. Penumpang dengan beraneka ragam model dan datang dari berbagai lapisan ekonomi membuat kita melek kalau kita “lebih” dari mereka.  Misal ada ibu-ibu dengan tiga anak balita plus barang bawaan yang penuh, keliatan repot sekali tanpa ditemani suaminya.  Yang kepikir di saya: “duh.. kalo ntar gw punya anak segitu banyak, gak bakal deh mau naik kendaraan umum sendirian plus bawa anak-anak”.  Rempong.  Selain orang-orang kantoran yang berbaju rapih dan bergadget canggih, di bis juga akan sering kita temui para seniman alias pengamen. Di bis Bogor biasanya pengamennya keren-keren, gak modal kantong bekas aja buat nampung duit, tapi punya dasar nyanyi dan musik yang lumayanlah.  Terhibur.  Lebih dari itu banyak pelajaran tentang perjuangan hidup yang saya peroleh dari mereka. Saat kita sedang capek sepulang kantor, menghadapi macet dan kondisi-kondisi lain yang tidak bersahabat, ternyata perjuangan  “mencari nafkah” itu, belum seberapa dibanding mereka-mereka itu.  Itulah hidup, terkadang pilihannya memang tidak pisah dipilih, tetapi dijalani.

Dimana pun, termasuk dalam perjalanan,  makna senang, sedih, susah bisa kita hayati karena pada dasarnya setiap hari kita butuh waktu untuk bermeditasi. Secara teori mungkin meditasi dilakukan di tempat yang sunyi dan tenang. Namun buat saya, di bis pun bisa. Tinggal bagaimana kita menciptakan suasana itu. 🙂

Hits: 1776

Sejujurnya saya suka sirik kalo jalan jalan ke blog orang yang foto-fotonya banyak dan keren. Pengen rasa seperti mereka, tapi sayang ternyata itu bukan “takdir” saya. Pernah beberapa kali saya coba bikin postingan dengan heboh krasak krusuk cari foto yang bagus dan saya anggap bisa mewakili apa yang saya rasakan. Agaiiin…, sayangnya fotonya tetep aja gak keren, meski udah sekian banyak aplikasi iPad dari yang free sampai yang bayar saya gunakan.

Hiks..

Tapi sudahlah, memang spek orang beda-beda. Finally saya tau, kekuatan blog saya bukan di foto-foto yang terkadang malah memperlama proses loading situs kita, tapi justru di tulisan dan artikel yang saya  tulis dengan pikiran dan perasaan sendiri. Loh, nulis pake perasaan toh? Yess!! Absolutely yess!! Menurut saya menulis itu pekerjaan hati. Mungkin blogger lain menyampaikan itu dengan bahasa gambar, tapi saya mencoba menyampaikan itu dengan bahasa tulisan.  Saya percaya,  kenapa penulis penulis kaliber tulisannya enak dibaca, karena mereka menulis dengan hati.  Hati manusia kan bahannya sama, jadi stimulus apapun yang diberikan (termasuk bahasa tulisan) akan pula berdampak sama.

Saya pun percaya, apapun yang dibuat dengan hati, maka tersampaikannya juga melalui hati.

Menulis pada dasarnya bukan pekerjaan teknikal yang bisa didesak desak oleh deadline. Hmm..susah-susah gampang sih, ya… Kalau penulis profesional pasti sudah sangat tahu bagaimana caranya memunculkan mood dan menghilangkan rintangan agar ketika mereka bekerja  hati dan perasaan juga terbawa dalam tulisan.

Bagaimana dengan tulisan ilmiah? Hemm.. sama aja sih, sama-sama memerlukan hati untuk menyelesaikannya, tapi kalo yang ini lebih capek lagi.. tambahin hati dan niat untuk baca jurnal dan referensi. Hahahahah..

*senin sore tanpa makna*

Hits: 1294