Saya baru-baru ini saja menyadari bahwa sebenarnya saya sudah menginjakkan kaki di sekitar 2/3 provinsi dari total 34 provinsi di tanah air tercinta ini. Walaupun sebagian besar diantaranya bukan liburan, tetapi atas nama pekerjaan alias dinas *hehehehehe. Saya sempat terkagum-kagum dengan seri pertulangan Naked Traveller-nya Trinity dan lebih bangga lagi dia sering sekali menuliskan bahwa di ujung semua petualangannya di seluruh belahan dunia, Indonesia adalah negeri yang paling indah. Sedikit demi sedikit saya mulai mengumpulkan ingatan dan foto-foto tempat yang pernah saya kunjungi. Eh, ternyata Indonesia indah pake banget loh! Dan saya pun mengulik-ngulik apa yang unik disana kemudian menuliskannya di blog saya.

Sebagian besar blogger yang punya “darah internasional” pasti lebih memilih menulis dengan bahasa Inggris yang bisa jadi biar lebih go internasional dan memancing wisatawan asing main ke Indonesia. Saya -yaah…selain karena kalo nulis in English emang kacrut- lebih memilih menulis dengan bahasa kita sendiri. Kenapaa?? Karena target wisatawan kita sebenarnya bukan warga negara asing. Tapi bangsa kita sendiri yang lebih senang memberi devisa ke Malaysia, Singapura, Hongkong atau negara tetangga lain. Coba sebar survei yang bolak balik ke Hongkong, pernah gak maen ke Danau Toba atau mampir lihat Jam Gadang di Bukittinggi? Bisa dipastikan wisata alam menurut mereka adalah jalan-jalan ke Puncak (Bogor) doang. Sedih donk.. saya, sedih banget… Memang terkadang biaya ke negeri tetangga lebih murah, apalagi gengsi dan keeksisannya di sosial media jadi naik lima tingkat. Boleh deh kita protes masih jeleknya pengelolaan pariwisata kita oleh pemerintah. Tapi kalau saya –yang sok idealis- ini merasa, saya juga punya kewajiban mengenalkan negara sendiri ke orang lokal sebelum ke bangsa internasional. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Saya senang sekali ada komunitas TravelbloggersIndonesia. Adanya media sepertinya akan membuat keindahan Indonesia lebih terangkum. Tujuan dan alasan saya menulis lebih banyak tentang Indonesia pun bisa dibaca banyak orang. Semua blogger selalu punya sisi dan cara berbeda untuk menceritakan perjalanan. mereka. Pastilah itu menjadi hal yang sangat menarik. Bergabung disini juga bisa membuat saya jadi lebih tahu, kira-kira liburan besok kemana yaa? Semoga juga nantinya bisa punya banyak teman baru disini. Bravo komunitas TravelbloggersIndonesia!

Hits: 617

Huaaa..kayaknya cerita Derawan gak abis-abis ya, bo.. Namun sepertinya saya perlu juga menganjurkan eh…tepatnya menuliskan beberapal DOs and DONTs kalau mau liburan ke Derawan.

DOs

  1. Kalau via Tarakan dan menggunakan travel sebaiknya cek dulu jadwal travel, karena biasanya travel gak punya jadwal tiap hari, umumnya di akhir pekan dan sering penuh kalau pesan mendadak. Pengalaman saya kemarin, “terpaksa” tambah nginep sehari di Tarakan untuk menyesuaikan jadwal keberangkatan travel;
  2. Jika dari Jakarta, cari pesawat paling pagi dari Soetta yang tiba di Tarakan sebelum pukul 12 siang dan kembali dari Tarakan menuju Jakarta dengan jadwal paling sore. Lumayan efisien, karena tidak perlu menginap di Tarakan;
  3. Siapkan fisik yang prima dua tiga hari sebelum berangkat;
  4. Pastikan travel bisa menjemput dan mengantar ke bandara (ada yang free da nada yang dikenai biaya tambahan)
  5. Sangat dianjurkan untuk mengorder penginapan di atas air, agar suasana samudera-nya bisa lebih terasa;
  6. Di perjalanan, jangan bandel, gunakan selalu pelampung. Selain untuk alasan keamanan juga sebagai jaket anti masuk angin;
  7. Pipis dulu sebelum berangkat, boat-nya gak punya toilet. Malu kan kalo harus pipis ke laut?
  8. Setiap beli makanan kemasan di Derawan seperti mi instan, jangan lupa cek masa kadaluarsa-nya!
  9. Kalau punya waktu banyak, mending sewa sepeda. Derawan punya beberapa Darmaga yang cihuy banget untuk hunting sunset atau cuma ngetes tongsis;
  10. Terakhir, wisata keren di Derawan sepertinya belum berdampak positif bagi ekonomi masyarakatnya. Kalau ada uang lebih, beli produk laut seperti ikan asin yang mereka olah sebagai oleh-oleh.

DONTs

  1. Di boat dalam perjalanan ke Derawan, tidak dianjurkan pindah-pindah tempat duduk karena bisa menganggu keseimbangan kapal. *penting bangettt!!
  2. Karena perjalanan akan lebih banyak di laut, bawalah bawaan yang simpel, misal cukup 1 ransel dan 1 tas tentengan. Hindarin bawa koper, Ini jalan-jalan bukan pindah rumah;
  3. Sebisa mungkin tidak membuang sampah ke laut apapun alasannya. Saya sempat melihat seseorang –mungkin dia petugas kebersihan di tengah laut – yang memunguti sampah plastik. Mulia banget yaa…;
  4. Tidak disarankan membeli produk kerajinan yang berasal dari hewan laut. Beberapa diantaranya sudah langka dan dilindungi. Lebih baik membeli hasil laut olahan untuk makanan;
  5. Terakhir… tidak lupa pulang… Hahaha..

 

 

Hits: 922
Our home...

Melanjutkan cerita Derawan sebelumnya, pada hari yang sudah ditentukan kami berangkat menuju Derawan. Saya bersama 15 orang lain yang tergabung dalam biro travel yang sama. Perjalanan selama tiga jam yang melelahkan dan mendebarkan rasanya terbayar begitu kapal kami merapat di darma kecil Derawan. Airnya sangat bening, sehingga ikan-ikan yang berenang di dalamnya bisa terlihat jelas. Uniknya lagi, penginapan kami berada di atas beningnya air tersebut. Ibarat tinggal di atas akuarium raksasa yang kapan pun kita mau, bisa langsung nyebur di bawahnya.

Rumah kami..
Rumah kami..

1400460859924

Kamar saya langsung menghadap ke lautan luas, sehingga sunset dan sunrise bisa nampak jelas setiap hari. Bangun pagi yang di hari-hari biasa susah setengah mati, disini jam berapa pun tidurnya, bangun pagi adalah hal yang menyegarkan. Di malam hari, wajah bulan yang sangat bulat dan indah juga terlihat jelas. Cocok banget untuk suasana bercengkrama atau sekedar menulis ditemani secangkir kopi dengan latar belakang suara deburan ombak. Derawan adalah pulau kecil, yang bisa dikelilingi dengan sepeda. Disini banyak dermaga kecil dari kayu yang sangat alami dan eksotis. Saya setuju banget, darmaga daerah wisata memang harusnya dibuat tidaka permanen. Seluruh darmaga adalah spot terbaik untuk melihat sunset di sore hari. Its really priceless!

1400460745598
menanti sunrise..
1400461122280
my sunset

Keesokan harinya, eksplorasi dimulai dengan menu utama snorkeling, foto foto dan menikmati indahnya hasil karya Tuhan. Buat yang belum pernah snorkeling, jangan takut buat nyebur. Rugi banget jika tidak melihat keindahan bawah laut derawan. Jangan khawatir, guide dari travel pasti akan membantu dan membimbing meskipun kalian tidak bisa berenang. Ada beberapa pulau yang menjadi lokasi snorkeling, yaitu Maratua, Sangalaki dan Kakaban. Siapkan fisik yang cukup. Liburan disini gak asyik kalau kita hanya duduk di pinggir pantai sambil menikmati sepoi-sepoi angin laut.

1400460694592
kakaban, the hidden paradise..

Dari pulau-pulau yang saya sebutkan tadi, yang menurut saya paling keren adalah Kakaban. Buat saya, pulau kecil tak berpenghuni ini ajaib. Kenapa? Karena ada danau di tengahnya, yang konon terbentuk dari air laut yang terjebak dengan hadirnya daratan. Lebih lucu lagi, di danau ini hidup empat spesies ubur-ubur laut yang sudah berkembang biak dan sangat jinak. Jangan sampai gak nyebur kalau kesini. Merasakan berenang bersama dan memegang ubur-ubur laut yang jinak merupakan sensasi yang bisa jadi satu-satunya di dunia. Beruntung banget, pas saya kesini, Kakaban lagi sepi. Wah, serasa danau ini jadi milik kami sendiri. Asal tahu aja, untuk masuk dan berenang di danau ini, waktu wisatawan dibatasin, karena itu semua harus antri. Peraturan ini diterapkan agar lingkungan dan habitat di danau ini tetap terjaga. Kita juga mengunjungi pulau pasir kecil yang jadi tempat favorit untuk berfoto.

Beruntungnya lagi, di malam hari kami diajak melihat atraksi langka, penyu bertelur. Kini berbagai jenis penyu yang ada di Derawan sudah dilindungi. Beberapa NGO melakukan penangkaran telur-telur penyu, untuk kemudian dilepas ke laut lepas saat sudah menetas. Upaya ini dilakukan, agar telur-telur penyu tidak dicuri kemudian dijual. Dari kebeningan air Derawan, penyu yang hilir mudik sering sekali terlihat. Usia induk penyu ini mencapai 80 tahun. Bayangkan kalau tidak dilindungi, anak cucu kita nanti bakal tidak pernah tahu bentuk penyu seperti apa.

Rumah kami..
Rumah kami..

Semua tempat di kepulauan ini ibarat sebuah surga kedamaian yang tersembunyi. Saya jadi mikir, kenapa orang Indonesia demen banget dikit dikit ke Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Bangkok? Mau ngeliat apa? Yah, kalo satu dua kali sih boleh, tapi kalau jadi tujuan rutin? Haduh…please deh, jangan keterusan memperkaya bangsa asing. Kalau bukan kita, siapa lagi yang bantu mempromosikan wisata negara sendiri? Di Derawan, yang saya amati memang lebih banyak wisatawan asing dibandingkan domestik. Lucunya, wisatawan manca negara lebih sering ngomel ke penduduk sekitar jika ketemu sampah dibandingkan orang lokal. See? Keliatan kan bagaimana orang asing lebih menghargai alam kita disbanding kita sendiri yang lebih seneng liburan ke mall dan ngabisin uang buat belanja ke Singapura?

I love Indonesia…

 

1400461005408

Hits: 884

Yeay!!  Kalau orang lain mimpi ke Amerika atau Eropa, mimpi saya sederhana saja, ingin ke Derawan. Sejak tahun lalu, mupeng berat pengen main ke pulau yang lagi hits bagi wisata bahari Indonesia ini. Dannnn..jreng jreng minggu lalu sempat menyambangi pulau ini meski cuman 3 hari, 2 malem. Here we go dan ini cerita komplitnya. Lanjutttt…!!

Berangkat dari Tarakan

Ada dua alternatif menuju Derawan, melalui Berau dan melalui Tarakan. Kedua daerah tersebut dijangkau pesawat Jakarta dengan transit di Balikpapan. Lion Air sudah membuka direct flight Jakarta-Tarakan (VV) satu kali setiap hari (silakan cek sendiri jadwalnya). Penerbangan Jakarta-Tarakan lebih banyak banyak daripada Jakarta –Berau. Balikpapan-Berau umumnya dilayanani oleh pesawat kecil, apelabuhan Tengkayu Tarakanlias harus ganti pesawat setelah dari Jakarta. Kabar baiknya, kini Garuda dan Lion juga sudah membuka penerbangan ke Berau. Sementara untuk harga tiket ke Jakarta-Berau umumnya lebih mahal daripada Jakarta-Tarakan. Sebagai perbandingan lagi, dari Berau harus naik mobil lagi selama 3 jam menuju Tanjung Batu, ibukota Kecamatan Derawan. Kemudian naik speedboat hanya 30 menit hingga tiba di Derawan. Dari Jakarta menuju Derawan via Berau, adalah perjalanan yang komplit karena semua moda udara, darat dan laut kita gunakan. Jika melalui Tarakan, kita bisa langsung menuju pelabuhan yang terletak di tengah kota Tarakan yang ditempuh hanya sekitar 15 menit dari bandara. Namun, harus siap 3 jam di laut untuk sampai Derawan. Silakan dibandingkan sendiri, kalau saya lebih memilih via Tarakan karena perjalanan darat kan terlalu mainstream. Heheheh. Bisa jadi kalau via Berau lebih hemat secara ongkos -meski kalau dikalkulasikan dengan tiket pesawat bisa sama aja dengan pake travel via Tarakan- Jika jalan sendiri tanpa travel, setiba di Derawan pun kalian masih harus menyewa boat lagi untuk berkunjung ke pulau pulau di sekitar Derawan (sama aja kan..nambah duit juga).

Sendirian atau via Travel ?

Wisata ke Derawan dari Tarakan UMUMNYA hanya diperuntukkan bagi mereka yang menggunakan jasa travel. Karena, tidak ada kapal/speed boat umum dari Tarakan ke Derawan, so kita harus menyewa yang lumayan mahal untuk rombongan kecil (silakan googling sendiri). Mereka yang baru pertama kali kesini dan mau dapet banyak tempat sangat dianjurkan menggunakan jasa travel. Apalagi buat yang baru pertama jalan-jalan ke alam baca: pantai (bukan Puncak di Bogor, loh…), dan terbiasa liburan ke mall dan kota besar luar negeri :p. Jangan takut “gak bebas” karena menggunakan jasa travel. Bebas banget kok! Mereka pun sudah punya itenarary yang bisa mengatur stamina kita serta waktu yang cukup menikmati keindahan Derawan dan sekitarnya.

Biaya travel bervariasi tergantung jumlah hari dan fasilitas yang dipilih. Kemaren saya memilih paket 3 Hari 2 Malam dengan fasilitas yang paling mahal di kelasnya, total Rp1,8 juta. Yah, maklumlah…sayah kan horang kayaahhh :p . Jumlah itu sudah termasuk penginapan di atas air (kelas hotel) makan, kapal, dan jalan-jalan ke tiga pulau lain serta asuransi pastinya. Kalau mau irit bisa juga ambil paket standar sekitar Rp1,2 juta, yang membedakan cuma kelas penginapannya saja. Oya, dengan ikut travel, kita juga didampingi guide professional yang siap melayani nafsu jalan jalan kita bahkan bisa ketemu teman baru, lumayan bagi yang traveling sendirian.

di dalam speedboat...
di dalam speedboat…

Magnet wisata Derawan bukan pulau Derawan-nya tok! Derawan hanya ibarat meeting point kita, karena pulau itu berpenghuni, tenang dan nyaman buat beristirahat. Keindahan pulau kecil lain yang tak berpenghuni sepeti Kakaban dan Sangalaki hukumnya WAJIB dikunjungi. So, kebanyakan mereka yang jalan sendiri tanpa travel adalah mereka yang memang punya misi lain seperti diving, liburan panjang atau memang petualang backpacker. Dari Tarakan, biro travel umumnya menyediakan speed boat dengan tenaga 200 PK bernumpang maksimal 20 orang dengan posisi duduk berhadapan seperti naik angkot. Kapalnya kecil, full AC (Angin Celah). Menggunakan life vest (pelampung) wajib hukumnya, selain buat urusan keamanan juga buat pencegah masuk angin. Hehehe.. Buat kalian yang suka mabok perjalanan, sebaiknya siap-siap karena arus laut menuju Derawan cukup kuat sehingga sering ada hentakan keras seperti mobil yang lewat polisi tidur tapi gak ngerem. Lama perjalanan yang kurang lebih tiga jam, cukup membuat pantat pegel, karena bangku speedboat yang tidak ada jok busanya. Hiks. Cerita tentang perjalanan ini, saya potong dulu ya… Akan nyambung di tulisan berikutnya,

Hits: 771

Yes! Kali ini saya memang terperangkap di Tarakan. Ceritanya saya ditugaskan kantor untuk sebuah pekerjaan di pulau kecil ini. Hayoo.. pasti pada banyak yang belum tau, kan…bahwa Tarakan itu pulau? Sama!! Saya juga dengan gobloknya baru tahu Tarakan itu pulau setelah tiba disini karena diberi tahu orang lokal. Awalnya saya pikir, kota kecil -yang masuk Provinsi Kalimantan Utara- ini berada di sudut utara Pulau Kalimantan, bukan pulau!  

Luas wilayah  yang pernah  dengan kaya minyak ini hanya sekitar 650 km persegi yang bahkan dari ujung utara ke ujung selatan hanya butuh waktu kurang dari sejam.  Letaknya berbatasan dengan Kalimantan besar dan perairan Malaysia.  Penduduknya sebagian besar suku Bugis, Jawa dan sisanya penduduk asli Kalimantan. Kenapa terjebak? Setelah menyelesaikan tugas, saya berniat melancong ke Derawan bersama seorang teman. Tarakan adalah salah satu gate way ke Pulau Derawan (tunggu tulisan khusus tentang Derawan yaah!!)  Namun, karena teman saya menyusul dari Jakarta, jadilah saya menunggu dia selama satu hari disini.  

Mau kemana di Tarakan?

Pasti pertanyaan ini akan muncul pertama kali. Karena saya penggila pantai, saya sempatkan mampir ke pantai Amal, pantai kebanggaan kota Tarakan yang letaknya sekitar 10 km dari pusat kota. Sayangnya saya agak kecewa, karena buat saya pantai amal sangat biasa bahkan terkesan tidak dikelola dengan baik. Pemandangan menuju pantai ini yang merupakan perbukitan justru lebih menarik. Namun masih ada yang bisa dikenang dari kunjungan yang sebentar ini. Saya memesan sepiring kerang putih besar yang biasa disebut ‘kapah’ di Tarakan. Rasanya enak dan segar! Tidak amis, dimasak pada saat dipesan dengan bumbu dan rempah serta tidak perlu dimakan dengan nasi cukup dicocol sambal. Jangan lupa pesan kelapa muda yang langsung dengan buahnya. Lumayan, mengobati ekpektasi saya akan sebuah pantai yang indah.

Satu tempat unik yang saya rasa wajib dikunjungi di Tarakan adalah hutan mangrove yang letaknya tepat di tengah kota. Unik, karena hutan ini tidak saja sebagai paru-paru kota tetapi juga sebagai penahan abrasi pantai. Harusnya kota-kota di pesisir wajib punya. Jangan contoh Jakarta, yang di ujung pantainya pun sudah berdiri mall dan apartemen. Mengelilingi hutan ini, kita tidak menginjak tanah, tetapi melalui jembatan kayu yang melingkari hutan ini.  Bau khas air payau dengan pemandangan akar bakau yang semerawut membuat hutan kota makin menarik.  Yang membuatnya berbeda, di dalamnya juga dikembangbiakkan bekantan, spesies monyet yang berhidung mancung dan berekor panjang. Bagi kamu yang belum tahu bekantan itu gimana,itu lo..hewan yang jadi maskot Dufan Ancol. Hewan yang sudah dilindungi ini konon dulunya hanya berjumlah 5 ekor kini yang dipelihara di hutan mangrove Tarakan sudah mencapai 40 ekor. Wow!

Hutan Konservasi Mangrove, Tarakan
Hutan Konservasi Mangrove, Tarakan

Nah, terakhir soal kuliner. Kemana pun kamu pergi, sempatkan makan kuliner khas daerahnya. Setelah tadi saya ceritakan tentang kerang kapah, tentu saja sebagai daerah pesisir makanan paling istimewa di Tarakan adalah seafood. Beberapa tempat makan yang layak dicoba adalah Warung Bambu, letaknya di Jalan Mulawarman di depan hotel Paradise. Rumah makan yang katanya paling enak adalah Rumah Makan Turi tidak jauh dari Grand Mall Tarakan. Kedua rumah makan ini sama-sama menyajikan seafood yang ikannya kita pilih sendiri. Namun RM Turi menurut saya lebih istimewa, karena ada empat jenis sambal yang disajikan bersamaan untuk disantap dengan seafood yang kitapilih. Sayuran pelengkapnya juga segar bahkan lalapan dan rebusannya dibuat pada saat dipesan. Jangan heran, ketika kesini saya cukup lama menunggu pesanan datang karena tamu yang cukup banyak. Makan disini relatif murah, buat makan berdua dengan pilihan seafood yang lengkap cukup Rp150 ribu saja.

Jangan lupa juga mencicipi kepiting soka yang bertulang lunak yang banyak disajikan rumah makan sea food di daerah ini. Kalau bosen dengan seafood, boleh juga mencicipi bakso tetelan yang berkuah santan di pasar malam belakang KFC. Rasanya gurih, gak kayak bakso pada umumnya. Harganya? Hanya Rp10 ribu saja! Ohya, karena Tarakan berbatasan langsung dengan Malaysia, disini banyak dijual makanan kemasan produksi Malaysia seperti yang kita jumpai di Batam. Namun saya sih menganjurkan, kalau ke Tarakan jangan banyak-banyak belanja barang Malaysia buat oleh-oleh. Lebih baik membeli produk khas lokal seperti ikan asin dan olahannya. Daripada memperkaya bangsa lain, mari kita bantu pengusaha (kecil) lokal kan ???

Ayokkk makan di Tarakan!
Ayokkk makan di Tarakan!Akomodasi di Tarakan

Akomodasi di Tarakan

Untuk ukuran kota kecil, jumlah hotel di Tarakan cukup banyak. Pendatang yang datang kesini sepertinya rata-rata punya dua tujuan, pertama: pegawai pegawai perusahaan migas yang bertugas disini ATAU mereka yang transit untuk jalan-jalan ke Derawan.  Sebagian kecil memang ada yang transit untuk ke Sabah Malaysia, karena ada ferry dari Tarakan ke Tawau (wilayah Sabah) yang beroperasi tiga kali seminggu. Tarakan juga salah satu pintu gerbang keluar dari wilayah Kalimantan terutama bagi kepulauan di sekitarnya, karena adanya Bandara Internasional Juwata. Julukan “Little Singapore” yang pernah saya baca di sebuah media, sepertinya masih jauh panggang dari api. Padahal melihat letak geografisnya, bukan tidak mungkin hal itu terjadi.

Bandara Juwata letaknya kurang 3 km dari pusat kota. Buat kalian yang pertama kali datang kesini, jangan heran untuk jarak sedekat itu tarif resmi taksi bandara mencapai Rp65 ribu. Bagi kalian yang sekedar transit menuju Derawan dan mau irit, alternatif lain yang bisa dicoba adalah jalan kaki ke ujung parkiran bandara sekitar 300 meter kemudian naik ojek dengan ongkos sekitar Rp20 ribu.  Pusat utama kota tarakan hanya satu jalan sepanjang tidak kurang dari 5 km dan disanalah berjejer sejumlah hotel. Untuk di dalam kota,tidak ada taksi hanya ada angkot yang tidak punya trayek. So, kalau mau naik, tinggal bilang sama supirnya mau kemana, semoga searah denga tujuan kita. Heheheh..

Soal hotel. Hotel paling hits di Tarakan cuma ada Swiss Bell. Saya sempat bermalam di hotel ini, mengingat nama besarnya sebagai chain hotel internasional. Ternyata, Swiss Bell Tarakan termasuk hotel tua yan -yah…bisa dibilang biasa saja. Bahkan untuk hitungan harga termurah Rp800 ribu/malam, bisa dibilang lumayan mahal. Menjelang ke Derawan, saya pindah ke Padma Hotel. hotel kecil yang lebih murah dan letaknya dekat dengan pelabuhan. Dengan harga permalam via Agoda hanya Rp320 ribu, hotel ini sangat direkomendasikan. Furniture-nya masih baru, bersih, nyaman dan pelayanannya oke. Cukup bersaing untuk hotel bintang 1. Bahkan menurut saya, kamarnya lebih nyaman dari Swiss Bell.

Terakhir, Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi yang berencana ke Tarakan atau ke Derawan via Tarakan. Buat Bapak Sofyan, Walikota Tarakan yang baru, Tarakan punya banyak PR nih, pak! Terus dikembangkan ya, pak!

 

Hits: 1195

Diantara kita, pasti pernah ada yang menerima undangan Rapat RT, Rapat RW atau bahkan cuma sekedar kerja bakti di lingkungan. Dan lebih pasti lagi, banyak dari kita yang enggan untuk hadir. Entah karena capek, atau karena kita merasa hal-hal begini hukumnya ibarat “fardhu kifayah”, yang artinya jika orang lain sudah ada yang melakukan maka kita tidak wajib turut mengerjakan. Banyak diantara kita yang merasa cukup membayar iuran lingkungan tanpa perlu meluangkan waktu bergabung di urusan RT, RW apalagi sampai di tingkat kelurahan dan kecamatan. Pilihan ini sebenarnya diambil bukan karena tidak peduli, tapi memang kondisi pekerjaan rutin serta terbatasnya waktu dengan keluarga menjadi penyebab utama. Sepertinya memang sudah sedikit menyimpang dari semangat gotong royong yang jadi “makanan” sejak SD.

Keterlibatan masyarakat, community participation, community engangement menjadi padanan kata yang sangat nge-trend akhir-akhir ini. Sebulan belakangan, inilah bagian dari pekerjaan saya dan teman-teman kantor. Kami berkeliling di sekitar 30 kota di Indonesia, untuk mensosialisasikan perlunya melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Deuh, bahasanya pemerintahan banget, yak! Pemerintah Daerah wajib menghadirkan berbagai elemen masyarakat dalam kegiatan ini.

Saya bukan mau bercerita soal rangkaian kegiatan (yang membosankan) ini, namun tergelitik juga ketika seorang peserta di salah satu kabupaten di Jawa Barat yang sempat merasa pesimis apakah masyarakat masih mau berperan aktif dalam pembangunan. Itu baru contoh dari daerah kecil, kata Bapak tersebut, bagaimana dengan kota besar? Yes, mungkin itu benar dalam konteks rapat-rapat RT dan RW yang saya contohkan sebelumnya. Jangankan untuk nimbrung dalam rapat RT, tidak kenal dengan tetangga pun sudah jadi hal lumrah di kota besar.

Bulan ini di Bali, juga digagas sebuah acara bertajuk Open Government Partnersip (OGP). OGP adalah suatu kemitraan yang dibentuk pada September 2011 yang kini beranggotakan 63 negara,  bertujuan untuk mendukung kemajuan keterbukaan pemerintah, tranparansi dan keterlibatan publik. Lalu buat siapa dong konferensi, sosialisasi dan sejenisnya dilakukan jika masyarakat makin lama makin “egois’ dengan kepentingan pribadi ?

 IMG_20140512_122158Setelah “metode lama” dinilai tidak lagi dilirik oleh masyarakat. Kini kita mulai memasuki masa e-government. Semua yang dulu dibicarakan langsung melalui forum tatap muka, kini mulai dipindahkan melalui media online.  Pemerintah beramai-ramai membuka diri dengan mempublikasikan sebagian isi perutnya ke depan umum. Apalagi ada UU No 14/2008 tentang keterbukaan informasi  publik yang mewajibkan pemerintah meng-online-kan data-data penting seperti besaran APBD, realiasasi anggaran dan masalah perijinan online. Bahkan, Pontianak, Ambon, Surabaya dan beberapa daerah lain sudah menyediakan forum diskusi online yang interaktif pada situs mereka.  

Metode ini sepertinya memang dikhususkan bagi mereka yang masih peduli dengan kota-nya, namun punya keterbatasan waktu untuk mengikuti musyawarah di lingkungan masing-masing.  Surabaya menerima setidaknya 10 ribu usulan melalui forum online ini setiap tahunnnya. Sementara walikota Pontianak mengelola dan menjawab sendiri puluhan sms warganya setiap hari.  Ia juga mengelola satu rubrik tanya jawab di Koran lokal, yang ia jawab sendiri tanpa menugaskan lapisan di bawahnya. Sekarang pun sudah sangat jamak pimpinan daerah menggunakan berbagai media sosial untuk mengetahui keinginan masyarakatnya.

Struktur organisasi pemerintahan yang berlapis-lapis, mungkin merupakan warisan kolonial yang sudah kita gunakan sejak 150 tahun yang lalu. Pimpinan ibarat puncak gunung yang sulit dijamah, karena untuk menyampaikan pesan harus melalui banyak lapisan di bawahnya. Akibatnya aspirasi masyarakat yang sampai ke pucuk pimpinan bisa berubah atau bahkan tidak sampai.  Ketika metode tatap muka yang konvensional makin tidak “diminati” masyarakat, kreativitas untuk menciptakan metode baru -salah satunya dengan memanfaatkan teknologi- menjadi sebuah tuntutan. Namun pemanfaatan teknologi canggih pun menurut saya tidak bisa menjamin masyarakat berperan aktif, belum ada penelitian sahih yang menunjukkan bahwa teknologi lebih efektif daripada tatap muka. Apalagi buat Indonesia, yang masih bergerak menuju online sistem yang terintegrasi dan masyarakatnya masih banyak yang belum melek TI. Saya pikir karena itulah, Jokowi masih blusukan atau Bupati Bojonegoro masih menyelenggarakan Dialog Jumatan dengan warga.  Teknologi hanya pelengkap yang memudahkan dan membuat semuanya lebih akuntabel.

Saya ingin mengerucutkan bahwa partisipasi bukan terbatas duduk manis mendengarkan pengarahan para pejabat, rutin memberikan usulan secara online kepada pemerintah atau ikut kerja bakti di lingkungan. Partisipasi justru melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya. Seperti membayar pajak tepat waktu, mentaati peraturan lalu lintas, tidak latah ikutan nyogok aparat pemerintah dalam pengurusan dokumen atau hal-hal sepele seperti tidak membuang sampah sembarangan atau lebih memilih naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi.

Di blog ini, saya sering menulis cerita perjalanan saya di beberapa daerah di Indonesia, bagi saya itu partisipasi kecil untuk promosi pariwisata domestik. Buat yang kelebihan rejeki atau butuh tambahan rejeki, metode sedekah bisa dipilih. Saya percaya, kalau kaum berpunya negeri ini lebih rajin bersedekah, pemerintah tidak perlu heboh menganggarkan bantuan sosial, bantuan subsidi BBM dan sejenisnya, yang justru lebih sering menimbulkan polemik. Satu lagi, karena kita masih dalam aura Pemilu dan Pilcapres, tidak golput juga adalah bentuk partisipasi.

Saya lebih senang menggunakan media sosial untuk mengeluarkan uneg-uneg ketidakwajaran yang terjadi di depan mata. Misal, saya beberapa kali mengirimkan twit ke Walikota Bogor karena pedestrian menuju stasiun yang berbau pesing, mengusulkan agar ijin pembangunan bangunan tinggi di Bogor bisa dikaji ulang. Pernah iseng juga meminta agar Pak Arya Bima, walikota Bogor yang baru bisa berguru cara membuat taman kota kepada Bu Risma, walikota Surabaya. Semuanya, karena saya sadar saya belum bisa aktif di rapat RT tentang perbaikan jalan atau bahkan ikut Musrenbang di kelurahan dan kecamatan.

Saya mungkin baru bisa urunan dalam bentuk uang, belum waktu, pikiran dan tenaga.  Tidak dipungkiri, kadang masih ada sisi apatis terhadap pengelola negara ini, namun untuk masuk lebih jauh  dan memperbaiki, mungkin bukan waktu dan bagian saya.  Tapi saya percaya banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

 

Hits: 675

Wah, kok baru kepikir ya menulis tentang Tolitoli. Saya berkunjung ke kabupaten kecil di Provinsi Sulawesi Tengah ini sekitar akhir tahun lalu.  Jaraknya sekitar 450 km dari Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Bisa ditempuh dengan rute darat selama kurang lebih 12 jam atau pesawat kecil berkapasitas kurang dari 30 orang selama sekitar 1 jam.  Nah, ini adalah kali pertama saya menumpang pesawat kecil dengan tenaga baling-baling dan terbang cukup rendah.  Agak lebay sih, soalnya saya berdoa-nya lebih banyak dibandingkan naik pesawat yang lebih besar. Hahahha.. Oya, kalo gak salah, pesawat ke Tolitoli seminggu hanya 3 kali dan dilayani oleh dua operator yaitu ExpressAir dan Merpati Airlines. 

Tolitoli kota kecil penghasil cengkeh dikelilingi pegunungan dan pantai yang berbatasan langsung dengan wilayah Filipina. Karena itu, tidak heran Tolitoli menjadi salah satu pangkalan Angkatan Laut RI bahkan sejak jaman Belanda. Selain menghadiri sebuah acara yang digagas oleh Pemerintah Provinsi, saya berkesempatan mengunjungi sebuah puskesmas yang berada di Desa Lampasio sekitar 30 km dari pusat kota.  Puskesmas ini cukup istimewa, letaknya di dataran tinggi, pasiennya masih ada suku terasing, dokternya hanya satu (bahkan kadang merangkap supir ambulans). Jalan berbukit dan berliku-liku dan sepi yang harus dilalui dalam perjalanan ke puskesmas ini dibayar dengan pemandangan indah di sepanjang jalan. Uniknya lagi, di sepanjang perjalanan, saya melihat beberapa Pura Hindu. Oh, ternyata banyak penduduk transmigrasi asal Pulau Bali yang hidup disini. 

Pemandangan dari atas Desa Lampasio, Tolitoli
Pemandangan dari atas Desa Lampasio, Tolitoli

Cukup jauh memang, tapi ternyata masih ada bukit lagi setelah Desa Lampasio yang sering disebut masyarakat sekitar: Gunung Penyesalan.

bersama paramedis di Puskesmas Lampasio
bersama paramedis di Puskesmas Lampasio

Sebutan ini konon muncul, saking jauhnya hingga bisa kalau kesana sering menimbulkan penyesalan. Hahahaa. Eh, tapi masih banyak penduduk juga yang bermukim di Gunung Penyesalan loh, sebagian besar diantaranya orang asli Tolitoli yang masih agak terbelakang.  Hebatnya, para medis Puskesmas Lampasio beberapa kali diundang ke Istana Negara pada acara 17an sebagai salah satu Paramedis Teladan tingkat nasional. Yah, kalau dipikir-pikir jika bukan atas nama pengabdian siapa yang mau kerja di daerah terpencil begini?!

Seperti umumnya daerah pantai, seafood adalah makanan yang wajib dicoba di Tolitoli.  Saya sempat mencicipi warung seafood di sebuah pantai (lupa namanya)  di pinggiran kota. Sambil menikmati matahari terbenam, saya rasa cumi goring tepung di rumah makan ini adalah yang terenak di dunia. Sayangnya, dua hari waktu yang diberikan selama di Tolitoli, penuh dengan agenda kerja. Saya tidak sempat mengunjungi beberapa pulau yang menjadi tujuan wisata Tolitoli. Namun, meski tidak begitu istimewa, bagi saya pengalaman ke Tolitoli cukup berkesan. Perjalanan singkat yang membuat saya makin jatuh cinta dengan bangsa sendiri.

 

Perahu nelayan di pantai, pinggiran kota
Perahu nelayan di pantai, pinggiran kota
Hits: 750