Sebelum kenal dunia blogger, saya selalu berpikir bahwa Pemerintah-lah yang paling bertanggung jawab terhadap pariwisata di Indonesia. Jika pergi kemana-mana dan melihat buruknya pengelolaan pariwisata saya pun ikutan mengumpat. Kita semua tahu Indonesia ini alamnya cantik luar binasa eh..luar biasa. Kok begini-gini aja ngurusnya? Di sisi lain, saya juga merasa (semoga cuma perasaan saya saja sih) promosi pariwisata nasional seolah-olah cuma membidik turis manca negara? Kok begitu yaa? Sementara orang yang punya kemampuan di negara kita lebih seneng rutin melancong ke Malaysia dan Singapura, negara tetangga termaju saat ini.

Sebuah artikel di Tempo beberapa waktu lalu menyebutkan pertumbuhan industri pariwisata Indonesia pada 2014 mencapai 9,39%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Angka itu di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,7%. Total pendapatan negara di sektor ini adalah Rp347 triliun atau 23% dari dengan total pendapatan negara. Sektor pariwisata juga menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara di 2013.

Saat pengelolaannya terlihat masih banyak cela dan kurang disana-sini, sektor pariwisata bisa dibilang paling kinclong perkembangannya. Bayangkan saja jika sektor ini ditangani dengan lebih serius. Sayangnya saya tidak punya data dari nilai itu berapa kontribusi turis mancanegara dan turis lokal. Walau demikian saya yakin sepenuhnya, industri ini bisa tumbuh dan punya peluang besar dari wisatawan lokal.

20121228_145158

Menurut saya, hitungan jumlah wisatawan dengan makin baiknya wisata ibarat menebak ayam dulu, atau telur dulu. Apakah menunggu turis banyak dulu baru punya biaya untuk memperbaiki atau diperbaiki dulu baru turis berdatangan. Jika kita tidak memikirkan peran apa yang bisa kita lakukan, pastilah sebagian besar akan memilih opsi kedua yang artinya menyerahkan semuanya ke pemerintah. Jika ini dilakukan seharusnya diiringi promosi agar biaya pekerjaan ini bisa berputar dan prosesnya tidak berhenti.

Nah, porsi promosi inilah yang bisa saya bantu sebagai seorang blogger. Tidak harus menunggu pemilihan putra-putri atau duta-duta pariwisata untuk melakukan upaya ini. Sama sekali tidak mengecilkan keberadaan ajang pencarian bakat seperti itu. Tapi kita harus realistis, jika butuh informasi tujuan wisata, kemana kita kini mencari? Nelpon duta wisata atau googling? Silakan dijawab sendiri. Mohon abaikan kurangnya pengetahuan saya akan hal ini. Kalaupun dibuat semacam survei, saya yakin sekali blogger adalah tools ampuh untuk membuat wisata lokal kita berjaya.

20131103_084755

Dengan alamnya yang cantik sangat disayangkan jika sebagian besar penduduk yang bermukim di daerah wisata kita masih miskin. Seorang teman saya yang bekerja di sebuah NGO lingkungan, saat ini tengah melakukan sebuah program untuk mengurangi kemiskinan di beberapa lokasi wisata di NTT. Miris jika kita selalu melihat dengan nyata banyak yang jalan-jalan ke Singapura cuma untuk belanja. Jelas-jelas hal ini cuma memberi devisa buat negara lain. Jika saja uang itu bisa dialihkan ke mereka yang bergantung hidupnya dari wisata alam, bukan saja devisa, penurunan tingkat kemiskinan pun terbantu.

Memang sih, secara logika wajar juga mereka memilih berakhir pekan di Singapura, wong tiketnya lebih murah. Nah, ini pun seperti telur atau ayam. Harga tiket pesawat akan mengikuti jumlah permintaan. Jika permintaan banyak, harganya cenderung akan murah, karena akan membuat persaingan maskapai menjadi sengit. Siapa yang mau mulai beli tiketnya? Ya, kita juga dong.. Masak berharap duluan sama turis asing.

Karena cinta itu lahir dari melihat dan merasakan.

So, sejatinya duta wisata bangsa ini ya ..kita sendiri. Siapa sasaran utamanya? Ya kita-kita juga. Menjadi pekerjaan kita juga sama-sama bagaimana membuat penduduk Indonesia menjadi lebih mencintai negaranya. Bagaimana caranya? Dengan lebih banyak berkunjung ke berbagai wilayah negeri. Karena cinta itu lahir dari melihat dan merasakan. PR pemerintah membuat bagaimana infrastruktur pariwisata menjadi lebih baik, akomodasi memadai, harga tiket menjadi lebih terjangkau dan lain sebagainya. Sebagai blogger saya bersedia membantu habis-habisan untuk mempromosikan Indonesia. Semoga Pemerintah mendukung upaya ini dengan optimal.

Dibuat bersama-sama dengan Tim TravelBloggerIndonesia

Baca Juga!

silakan kunjungi surat yang lain di :
Lenny Lim – Surat Untuk Menteri Pariwisata
Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat untuk Menteri Pariwisata
Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia
Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka untuk Menteri Pariwisata
Rijal Fahmi – Pariwisata Indonesia dan Segala Problematikanya
Titi Akmar – Secercah asa untuk Pariwisata Indonesia
Parahita Satiti – Surat untuk Pak Arief Yahya
Yofangga Rayson – Pak Menteri, Padamu Kutitipkan Wisata Negeri
Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia
Matius Nugie – Merenda Asa untuk Pariwisata Kota Indonesia
Olive Bendon – Indonesia, Belajarlah pada Malaysia
Bobby Ertanto – Dear Menteri Pariwisata Indonesia
Danan Wahyu – Repackage Visit Indonesia Year
Firsta Yunida – Thought and Testimonial : Tourism in Indonesia
Felicia Lasmana – Target 1 Juta Wisman Per Bulan menurut seorang Biolog, Pejalan, dan Blogger

 

 

Hits: 4794

Tidak terasa tujuh tahun berlalu sejak kedatangan saya pertama kali ke Tanah Rencong. Masih teringat jelas pagi itu 2 Juli 2007 dengan pesawat paling pagi saya diantar beberapa orang sahabat. Masih pula teringat pakaian apa yang saya pakai hari itu, apa isi koper saya, bahkan type ponsel baru yang sengaja saya beli satu hari sebelum berangkat. Pindah dan menetap (sementara) di Aceh bisa jadi salah satu keputusan terberat (atau mungkin terhebat) yang pernah saya ambil. Setelah lama menetap di Bogor dan bekerja di Jakarta yang nyaris tanpa masalah (bahkan punya potensi karir yang bagus). Ssst, bocorannya sebelum ini saya takut banget untuk kerja ke luar kota. Saya ada di zona nyaman mbak mbak kantoran Jakarta yang masuk jam 9 pulang jam 5 dengan hiburan karaoke dan teman-teman yang itu-itu saja. Sounds so boring, isnt it?

buku1Dan kemudian, Aceh menjadi bagian dari perjalanan hidup Saya, seperti juga menjadi bagian cerita yang tidak pernah habis untuk dituliskan di blog ini. Aceh mengubah dan menuntun pandangan saya tentang paradigma hidup, kehidupan spritual, kedewasaan berpikir, memberi cerita cinta (hmmm), jatuh bangun, susah senang dan tentu saja menjadi bagian terbesar dalam kehidupan pekerjaan saya. Lebih luas lagi, dari Aceh-lah saya menemukan sahabat-sahabat terbaik yang telah menjadi keluarga baru dan akan selalu dan selamanya ada di kehidupan Saya. Lebay mungkin.. Tapi jujur, apa yang Saya dapat sejauh ini adalah karena saya pernah di Aceh. Ya, hampir semua… 

Mengenal dunia menulis dan blogger pun karena Aceh. Pada waktu itu, satu-satunya yang bisa menjadi hiburan disana adalah internet kantor yang kencang. Di waktu senggang, mengutak ngatik blog adalah hal baru yang sangat menyenangkan. Jika akhirnya saya nekad menempuh Master di bidang Manajemen Sistem Informasi, juga karena terinspirasi pekerjaan di Aceh yang banyak berhubungan dengan IT. Agak gak nyambung memang dari S1 saya di Ilmu Perikanan dan Kelautan. Hehehe.. Contoh lain adalah kopi. Tak pernah terpikirkan saya jadi penggemar si hitam ini? Bisa dibayangkan, sebelum ke Aceh, minum kopi adalah pantangan buat saya karena bisa membuat kembung plus jantung yang rasanya berdetak lebih kenceng. Setahun di Aceh, semua berbalik. Sulit membayangkan bagaimana rasanya gak ngopi satu hari saja. Sampai-sampai pernah terpikir untuk punya warung kopi sendiri.

IMG-20120930-00653Tsunami telah mensyuhadakan hampir 10% penduduk Aceh saat itu. Mungkin banyak lupa Aceh dibantu lebih dari 600 organisasi yang datang dari 50 negara. Ini sungguh bantuan terbesar dalam semua bencana yang pernah terjadi di dunia. Tidak ada waktu untuk memilih siapa menolong siapa. Tidak ada batas negara, budaya dan agama. Alasan kemanusiaan-lah yang menjadi pondasi untuk membangun Aceh. Jika perbedaan bangsa, ras, warna kulit saja terabaikan apalagi hanya perbedaan etnik, suku, ideologi dan agama bagi sesama pekerja kemanusiaan asal Indonesia. Sesuatu yang akhir-akhir ini menjadi barang langka. Ketika makin kerap kita temui perpecahan karena perbedaan pandangan, golongan, agama dan paham-paham tertentu. Bahkan setelah usai Pilpres tahun ini masih saja ada fitnah terhadap pihak-pihak tertentu yang terkadang jauh dari kata logis. Bukan cerita baru jika banyak persahabatan yang retak, hubungan saudara yang merenggang bahkan kebencian pada kelompok-kelompok tertentu.

Ketika semua bisa bersatu saat bencana, Mengapa kini kita harus terpecah hanya karena perbedaan pandangan?

Lucu, kenapa kita bisa bersatu justru saat terjadi bencana? Kenapa kini perbedaan membuat kita harus terpecah. Padahal sejatinya perbedaan ibarat minyak dan air. Tidak bisa bersatu tetapi bisa berdampingan. Saya percaya perbedaan itulah yang membuat hidup kita kaya dan berwarna. Dulu, pasca tsunami kita hanya punya satu tujuan yaitu membangun Aceh kembali setelah bangkit dari keterpurukan. Kita percaya pada siapa pun yang menjadi pimpinan kita. Tidak ada bedanya dengan Indonesia saat ini. Keinginan kita sama; hidup damai dan sejatera di negara yang sama-sama kita cintai. Seperti saat kita mencintai Aceh yang porak poranda setelah diterjang tsunami. Sudah seharusnya kita bisa belajar dari tsunami 2014.

Hits: 1750

Ajakan seorang teman untuk menyusuri kaki gunung salak di pagi hari, sungguh sulit ditolak. Hampir dua puluh tahun menjadi penduduk Bogor tidak berarti saya sudah khatam lekuk-lekuk daerah ini.

Ada beberapa deretan gunung yang melingkupi Bogor diantaranya Gunung Salak, Gunung Gede, Gunung Halimun dan Gunung Bunder. Saya tidak tahu pasti posisi letak geografis mereka. Pagi itu kami hanya menyusuri kaki Gunung Salak hingga sampai lereng Gunung Halimun dan Gunung Bunder.

Path 2014-12-19 11-42 (1)Cuaca pagi itu agak mendung, rasanya saya belum siap untuk mandi dan belum mood buat sarapan. Dengan si Jus Alpukat mobil kecil saya menuju Ciapus, sebuah desa terdekat sebagai meeting point kami. Berharap disana saya bisa menemukan makanan yang pas buat sarapan. Benar saja, baru memasuki pedesaan kami bertemu dengan pedagang tahu bulat keliling. Lucunya, jika yang lain menggunakan gerobak, pedagang yang satu ini cukup kreatif (dan bermodal cukup), dengan menggunakan mobil bak terbuka. Terang saja dia laris, karena cuma mobil jenis ini yang bisa naik sampai ke desa terujung yang jalannya menanjak dan berliku. Ah sayang, seharusnya tahu garing itu bisa dinikmati dengan secangkir kopi hitam dengan pemandangan alam pegunungan.

Saya yang berKTP Bogor baru tahu di sepanjang jalan menuju Gunung Salak banyak ditemui Situs-situs peninggalan purbakala peninggalan zaman Megalitik. Walaupun saya tidak sempat masuk melihat-lihat, selalu ada papan penanda Situs yang dibuat oleh Dinas Pariwisata Bogor. Belum optimal memang, namun setidaknya Pemda sudah memberi perhatian untuk obyek-obyek tersebut. Sebagian besar situs tersebut berbentuk batu-batu yang dulu nampaknya merupakan wujud sebuah bangunan. Ya, jalan menuju Gunung Salak ibarat jejak-jejak tradisi megalitikum.

Hal lain yang juga baru saya tahu, ternyata disini-lah pusatnya Curug. Curug adalah sebutan air terjun di Bogor. Sepanjang jalan kita akan selalu melihat penanda masuk ke berbagai Curug, diantaranya Curug Nangka, Curug Seribu, Curug Cigamea, Curug Ngumpet dan Curug Cihurang. Kami sempat mampir ke Curug Ngumpet yang tempatnya asyik buat ngobrol karena agak landai. Lebih asyik lagi kalau kesini bawa bekal, karena hampir tidak ditemui pedagang makanan disini. Yah, bagus sih… Itung-itung untuk menjaga kebersihan alamnya.

ngobrol di Curug Ngumpet
ngobrol di Curug Ngumpet

Di areal Gunung Salak (sering disebug Gunung Salak Endah) ada tiga jenis spot yang bagus yaitu berbagai curug, hutan pinus dan Kawah Ratu, Namun jika ingin ke kawah Ratu kita harus siap disana pukul 07.00 pagi. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk jalan kaki menuju kawah. Selain harus pagi-pagi banget tentu butuh fisik yang kuat. Spot paling cihuy untuk berfoto adalah Hutan Pinus. Kami menemukan beberapa pasangan yang sepertinya sedang melakukan foto prewedding disini. Hemm…kayaknya sih masih gratis ya.. Bandingkan kalau berfoto yang sama di Kebun Raya Bogor kita diharuskan membayar cukup mahal. Untuk masuk kawasan wisata ini, dikenakan tarif yang wajar, saya bersama dua orang teman dan satu mobil dikenakana Rp30.000,-. Lumayan murah kan?

mencari spot terbaik di Hutan Pinus
mencari spot terbaik di Hutan Pinus

Sambil mengunyah tahu goreng dan membiarkan teman saya menjadi supir, saya menikmati pemandangan padi yang menguning dan sisa-sisa panen yang indah. Jalan yang meliuk-liuk dengan sesekali terlihat pemandangan kota Bogor membuat perjalanan ini terasa beda.’ Kalau biasanya nuansa pegunungan selalu identik dengan Puncak ternyata disini ada yang lebih kental suasana pedesaannya dan bisa ditempuh sekitar satu jam saja dari Bogor. Bandingkan dengan puncak yang sudah makin penuh dengan villa serta toko-toko modern. Disini memang sudah ada beberapa villa yang disewakan, penginapan dan hotel pun mulai bermunculan. Hmmm..belajar dari Puncak yang makin banyak kehilangan pohon dan hobi mengirim air ke Jakarta, semoga daerah ini lebih diawasi pembangunannya.

Hits: 1176

Bandung memang gak ada matinye! Sejak Tol Cipularang dibuka, sudah menjadi pemandangan jamak ratusan bahkan ribuan mobil mendesaki kota ini setiap harinya. Apalagi di akhir pekan. Bandung pun makin tenar sejak Walikota-nya yang hebring, Kang Ridwan Kamil membuat berbagai terobosan untuk membuat kota ini makin menarik. Blogger pun rasanya tidak pernah kehabisan membahas tentang Bandung. Selain mengupas tentang surga belanja, para blogger juga kerap membahas magnet lainnya, yaitu wisata alam, kuliner, hingga ulasan tentang hotel-hotel favorit, mulai dari yang mewah sampai hotel murah yang ada di wilayah Bandung. Hal senada juga dapat ditemukan kalau sering nonton liputan di berbagai media, karena biasanya mereka meliput tempat kuliner yang recommended dan salah satunya pasti kota Bandung yang selalu melahirkan tempat makan baru setiap saat. Jadi kalau ke Bandung sebenernya kita tidak akan pernah bosan karena selalu ada yang baru untuk dicicipi. Coba deh, kalau mau cari referensi, lokasi bahkan rute ke tempat-tempat asyik dimanapun termasuk di Bandung, kita pasti googling kan? Setelah kemarin sukses (ciyee.. sukses) membuat tulisan tentang warung kopi di Bogor, saya berniat banget pengen nulis tentang rekap warung kopi di Bandung. Doakan sayah!!

Walaupun kerap bertandang ke Bandung, ajakan seorang teman untuk menemaninya ke Bandung minggu lalu tidak kuasa untuk ditolak. Selain untuk satu urusan pekerjaan, tentu saja tujuannya mencari makanan enak. Meski saya sama sekali tidak berdarah sunda, bagi saya makanan Ala Sunda adalah makanan terenak di dunia. Tidak perlu masuk resto mahal yang bayarnya bisa gesek kartu elektronik, makan di pinggir jalan pun rasanya nikmat luar biasa. Maklumlah bagi saya hanya makanan Sunda yang bisa “mengakomodir” hobi saya makan dengan tumpukan lalapan yang bisa menyaingi kambing. Hehehe..

Pasti sebagian besar turis yang datang ke Bandung sudah memiliki tempat makan favorit dan yang pasti lagi hampir semuanya masuk kategori “mainstream”. Batagor Riri, Batagor Kingsley, Martabak SanFrancisco, Kartika Sari sepertinya sudah jadi menu wajib oleh-oleh mereka yang datang dari Bandung. Ini beda banget dengan saya! Percaya gak, setiap ke Bandung saya selalu mampir ke pasar tradisional. Yah, pasar tradisional alias pasar becek! Dua “komoditi” yang saya harus bawa pulang adalah tahu kuning Bandung dan Cabe Gendot. Apaan tuh? Sabar..sabar.. Saya cerita satu-satu deh…

Tahu Kuning
Tahu Kuning

Dua jenis makanan tadi sudah saya kenal sejak tujuh tahun lalu, karena dioleh-olehi teman yang memang orang Bandung. Tahu kuning Bandung adalah tahu tergurih. Memang di daerah lain juga banyak jenis tahu atau tahu yang “mengaku-ngaku” dari Bandung. Tapi tidak ada yang se-otentik jika kita beli sendiri di Bandung. Selain gurih dan enak, tahu ini tidak menggunakan pengawet. Penjualnya di pasar sering berpesan di kulkas hanya bisa bertahan dua hari. Lebih dari itu, rasanya akan berubah. Kita bisa memilih berbagai merek yang ditawarkan, namun rasanya relatif sama. Tinggal tanya ke penjualnya mana yang paling asli. Tekstur tahu ini cukup padat. tidak begitu kenyal, tetapi tidak juga gampang hancur. Harganya murah banget! Untuk satu kantong berisi sekitar 10 potong hanya sekitar Rp5000,- Upss..itu harga setelah BBM naik loh! Mungkin saja di toko oleh-oleh, ada tahu jenis ini juga. Namun saya lebih menyarankan mampir ke pasar tradisional di mana pun di sudut kota Bandung. Lumayan buat oleh-oleh yang murah dan enak.

Cabe Gendot
Cabe Gendot

Padanan yang paling nyambung untuk memasak tahu Bandung adalah Cabe Gendot. Pasti pernah ada yang mendengar Cabe Habanero. Nah, cabe gendot ini sebenernya satu jenis dengan Habanero yang merupakan salah satu dari cabe terpedas di dunia. Di dunia!! Habanero lebih umum digunakan sehari-hari di Amerika Selatan. Saya pernah menemukan cabe gendot ini sebuah supermarket di Jakarta. Tapi kalau di Bandung, cabe gendot sangat umum dijual di pasar tradisional. Wajarlah, karena cabe jenis ini hanya hidup di dataran tinggi seperti Lembang dan Ciwidey. Terakhir harga cabe gendot hanya sekitar Rp25.000/kg. Bandingkan dengan harga cabe merah yang sekarang naik hingga Rp100.000/kg. Sayang ya, distribusi cabe ini memang terbatas sehingga banyak yang tidak tahu rasanya sedap dan bisa menggantikan harga cabe yang menggila akhir-akhir ini.

Tahu Tumis Cabe Gendot
Tahu Tumis Cabe Gendot

Bocoran resep tersederhana dari keduanya adalah cukup dengan ditumis dengan ke bawang putih dan kecap yang banyak. Gurihnya tahu berbaur dengan pedasnya habanero pasti (PASTI) bikin ketagihan. Buat yang doyan pedes silakan melupakan diet untuk sementara waktu. Oya, sebenernya orang Bandung sendiri selalu menggunakan cabe gendot dalam masakan sehari-hari. Namun untuk menu khusus berbahan dasar cabe ini, memang masih jarang ditemukan di restoran-restoran di Bandung. Tapi, jika masuk rumah makan Sunda dan menemukan potongan besar seperti tomat yang gede-gede, lebih baik tanyakan dulu. Kalau tidak siap pedas, bisa-bisa sakit perut. Serius!

 

Hits: 1944

Mau kemana wiken ini? Bogor? Puncak lagi? Ohh, tidak! Pasti macet pake banget!

Saya sih sebagai orang Bogor tidak siap bersaing dengan ratusan atau bahkan ribuan mobil per plat B. Jangankan sampai Puncak, lepas tol Jagorawi saja macetnya sudah minta ampun DJ!! Nah, kalau sudah bingung begini, mungkin Sentul City bisa jadi alternatif, baik yang bagi yang berkeluarga maupun yang mau pacaran doang (uhuk).

Dulunya saya pikir dari Kota Bogor harus lewat tol Jagorawi untuk menuju daerah ini. Setelah tol BORR selesai saya tidak perlu lagi melalui tol Jagorawi tapi dengan membayar Rp5500 hanya dalam 15 menit sudah sampai di Sentul City. Cukup mahal buat panjang jalan tol yang hanya sekitar 1 km! Kemudian, surprise banget, ternyata saya bisa sampai disini melalui jalan kampung biasa dari rumah saya di Sukaraja Bogor juga dalam waktu 15 menit saja. Sekarang, jadilah Sentul City alternatif tempat nongkrong yang asyik . Selain dekat rumah, banyak alternatif dan yang pasti nyaman banget.Sentul

Sentul City menjadi primadona baru wisata di Bogor. Letaknya yang bisa dijangkau dari tol Jagorawi menjadi pilihan akhir pekan selain masuk ke dalam kota Bogor yang (pasti) macet. Sentul City awalnya adalah komplek perumahan kelas atas yang dibangun oleh beberapa pengembang. Kini didalamnya sudah berdiri pusat perbelanjaan, pusat kuliner hingga Jungle Land Thematic Park.

Pasar Apung
Pasar Apung

Bicara soal kuliner, pasti sudah banyak yang pernah berkunjung Pasar Ah Poong. Memang, pusat jajanan ini telag menjadi maskot Sentul City. Ah Poong adalah Food Court raksasa yang berdiri di tepian sungai dan harus dilalui dengan berjalan kaki melalui jembatan goyang. Disini berdiri banyak gerai makanan lokal yang enak-enak. Harganya sih lumayan mahal menurut saya. Tapi terbayar dengan view dan suasana yang pasti susah didapatkan di Jakarta. Kalau kesini pas akhir pekan, dipastikan sulit mendapatkan tempat parkir. Jadi saya sarankan, jangan kesiangan dari Jakarta jika ingin makan siang disini.

Nah, yang belum dikenal banyak orang adalah Taman Budaya. Lokasinya sekitar 2 km dari Pasar A Poong. Disini juga ada Food Court yang menyerupai kantin dengan harga yang relatif lebih murah. Meski tidak ada pemandangan sungai, rindangnya dedaunan dengan pemandangan Gunung Salak membuat kita betah berlama-lama. Di tengahnya ada arena outbound mini, cocoklah buat bermain dengan anak-anak.

Taman Budaya
Taman Budaya

Sebagai pencinta kopi, saya paling sering nongkrong di Kopi Tiam Oey yang juga terletak di Taman Budaya. Gerai franchise ini menawarkan view lapangan pacuan kuda dengan latar belakang Gunung Salak yang asyik banget. Ada wifi disini, cocok buat yang mau numpang kerja (kayak saya). Heheheh.. Saya selalu memilih tempat duduk yang agak keluar biar berasa kerja di alam. Disamping Kopi Tiam Oey ada beberapa restoran lain yang bisa dicoba jika datang bersama keluarga.

Starbucks Jungle Land
Starbucks Jungle Land

Ngomong-ngomong soal kopi, sudah sering saya ceritakan di tulisan sebelumnya, saya adalah pencinta kopi lokal. Sangat jarang saya mampir ke Starbucks. Tapi di Sentul City beda! Dalam satu areal dengan Jungle Land berdiri Starbucks yang bisa dibilang Starbucks terkeren yang pernah saya kunjungi. Kenapa ? Karena pemandangan alam yang mengelilinya bikin kita berasa gak mau pulang! Dengan interior kaca transparan kita bisa menikmati pemandangan jurang plus menikmati hujan yang selalu mengguyur Bogor di sore hari. Saya sering menghabiskan waktu disini, membawa komputer jinjing saya dan duduk di meja yang sepertinya khusus disediakan untuk mereka yang bekerja mobile. Jangan khawatir, selain punya wifi, hampir semua operator punya sinyal yang bagus di sini. Di sebelah starbucks juga berdiri Oh La La Coffee yang tidak ada salahnya juga dicoba.

Menuju Jungle Land
Menuju Jungle Land

Nah..megawisata terbaru di Sentul City, tentu saja Jungle Land. Thematic Park milik grup Bakrie ini jadi alternatif wisata permainan baru mendampingi Dufan di Ancol. Meski baru satu tahun berdiri, pengunjungnya di akhir pekan bisa mencapai ribuan orang Saya sendiri sudah dua kali masuk ke dalam arenanya. Menyenangkan, meski pun beberapa wahana tampaknya belum rampung.

Oya, kalau tidak mau keluar uang banyak, di seputaran Sentul City masih tetap banyak pilihan. Di wilayah yang ditata penuh pepohonan ini sudah berdiri Hypermart dan Giant Store. Mungkin bisa jadi pilihan tempat belanja jika bosan dengan Jakarta. Disini juga banyak pilihan makanan seperti di mall pada umumnya. Ada juga pasar tradisional modern di belakang Hypermart dan mall Bellanova yang juga menawarkan beberapa cafe dan hiburan.

Yuk..mampir!

Hits: 1038

Makanan Jepang? Yang kebayang di otak saya cuma sushi. Yes, saya pencinta sushi baik yang mentah maupun matang. Lucunya lima enam tahun yang lalu makanan ini gak pernah bisa sukses lewat di tenggorakan saya. Namun sekarang sushi menjadi salah satu alternatif jika makan di luar rumah. Beberapa tahun belakangan, ramen sejenis mie asal Jepang mulai menyaingi kepopuleran sushi. Apalagi untuk menyesuaikan selera pedas orang Indonesia, ramen disini dijual dengan level kepedesaan dari yang paling biasa hingga yang paling pedas. Sayangnya saya bukan penggemar makanan berbahan dasar mie. Beberapa kali mencoba ramen pun, saya pasti memilih yang bersayur banyak untuk dihirup bersama kuahnya yang segar.

Chicken Teppan Ippudo yang enak banget,,
Chicken Teppan Ippudo yang enak banget,,

Ngomong-ngomong, menurut saya sushi yang dijual di Indonesia adalah yang paling enak. Mungkin karena yang sudah disesuaikan dengan lidah melayu. Saat di Amerika bulan Oktober lalu, saya sering dibawakan sushi untuk makan malam. Sushi van Amerika ukuranya gede-gede. Untuk saya yang ceking ini, makan dua tiga potong udah kenyang banget. Rasanya? Hambar! Tipikal makanan Amerika lain yang miskin bumbu. Sushi paling enak dan murah yang dijual di pinggir jalan saya temukan di Hongkong. Sangking kalap-nya, saya dan teman-teman saat itu memborong banyak. Ukurannya kecil-kecil pas untuk sekali telan. Tapi saya belum pernah ke Jepang, sebagai induknya sushi, katanya rasa sushi di negeri sakura itu lumayan jauh berbeda dengan yang sering kita temui di Jakarta. Hemm, penasaran, semoga dalam waktu yang tidak lama lagi, saya bisa mampir kesana.

Kiwi di Ippudo yang segerr abiss,,
Kiwi di Ippudo yang segerr abiss,,

Minggu lalu, saya diundang Mbak Amanda Sihombing, Marketing Manager Ippudo Indonesia, sebuah restoran Jepang di Pacific Place, Jakarta Pusat . Ippudo Jakarta belum lama masuk pasar Jakarta. Restoran ini didirikan oleh Shigema Kawahara yang sudah kondang di Jepang dengan julukan King Of Ramen. Ippudo sendiri merupakan restoran Jepang yang mengusung ramen sebagai sajian utama dan sudah berdiri di 12 negara. Namun sayang seribu sayang, karena Ippudo Indonesia baru menyediakan menu halal untuk ramen di awal tahun 2015 mendatang. Tapi tak apalah pikir saya, toh..saya masih bisa menikmati sajian lain. Dan benar saja, saya bisa disuguhi Chicken Teppannyaki yang enak banget dibarengin minuman irisan buah kiwi yang nampaknya dicampur dengan sedikit soda. Seger banget! Saya juga sempat mencicipi appetizer dengan plating ala hotel bintang lima. Bocorannnya chef Ippudo juga “native” dari Jepang. So, tentu saja rasa makanannya sangat autentik. Berani mencoba?!

Hits: 816

Ada dua kota kecil yang sekarang mulai menjadi pembicaraan di pariwisata nasional: Banyuwangi dan Cirebon. Penasaran juga sih,.. dan akhirnya minggu lalu saya sempat main ke Cirebon yang dijuluki kota Para Wali. Saya bersama tiga orang teman berangkat dari Stasiun Gambir pukul 9 pagi menumpang Kereta Argo Jati. Dengan biaya sekitar Rp140.000,- untuk kelas eksekutif, perjalanan selama kurang dari tiga jam ini sangat tidak terasa. Ini kali pertama saya ke Cirebon, kaget juga ternyata Jakarta-Cirebon hanya 3 jam! Katanya sih kalau pake bis atau bawa mobil bisa hingga 6 jam. Selain bis, ada alternatif kereta ekonomi yang cukup murah, tapi mungkin laju-nya gak se-ngebut Argo Jati. Hehehe..

tiff infomation
Cirebon yang kian berbenah..

Tiba di stasiun Cirebon, kota kecil dan baru menanjak pariwisatanya, sudah berdiri sebuah Starbucks. Tidak bisa dipungkiri, keberadaan kedai kopi van Amerika itu bisa jadi indikator pembangunan sebuah daerah. Kami kemudian menuju sebuah hotel tidak jauh dari stasiun. Hampir di setiap sudut Cirebon kini dipenuhi hotel, bahkan beberapa diantaranya adalah hotel jaringan dunia. Kami menginap di Hotel Sidodadi yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari stasiun. Hotel yang murah, bersih dan dekat dengan pusat kota.

Meskipun tidak terlalu istimewa, jalanan di kota Cirebon sepertinya mulai ditata sebagai kota wisata. Sebuah sumber mengatakan, Cirebon makin ramai dengan pelancong sejak infrastruktur dan rute kereta api kesini dibenahi total. Thanks Pak Jonan!

Dari hasil googling, Things to do di Cirebon ada 3 jenis: wisata religius, belanja batik dan yang pasti wisata kuliner. Baru sampai dengan perut yang super keroncongan kami mampir makan di Nasi Jamlang Bu Nur. Beragam lauk yang mengundang selera membuat antrian yang lumayan panjang menjadi tidak terasa. Nasinya dibungkus kecil-kecil dengan daun jati, tipikal bungkusan yang sering dipakai di daerah pesisir. Saya memilih lauk pauk yang jarang saya temui di tempat lain seperti tumis kering tauco dan pepes rajungan. Dengan porsi yang lumayan penuh plus satu gelas es teh manis harganya hanya Rp14 ribu saja!. Rekor murahnya buat turis lokal setelah harga BBM naik. Hihih.. Saat makan siang, kami mencoba Empal Gentong yang sudah sangat tenar. Makanan sejenis soto ini memang enak, tapi lumayan nambah lemak dan kolesterol. Hati hati buat yang lagi diet. Nah, saat makan malam kami sempat bingung mau makan apa lagi. Untungnya Mas Yudi, pengemudi mobil rental kami mengusulkan makan di Restoran Klapa Manis, sebuah restoran di jalan raya Kuningan yang memiliki view keren. Resto ini letaknya di dataran tinggi, seperti jalanan menujuk Puncak Bogor. Sayangnya karena malam dan habis hujan saya tidak mendapatkan foto yang bagus disini. Oya, makanannya enak dan harganya cukup bersahabat.

Besoknya, kami mampir ke Keraton Kasepuhan yang masih dihuni oleh keturunan ke-18 Sunan Gunung Jati bernama Pangeran Adipati Arief dan keluarganya. Kesan pertama saya, hmmm..keraton bersejarah ini kurang terawat. Saat saya kesana, terlihat beberapa pekerja bangunan sedang merenovasi beberapa bagian. Beberapa bangunan dijadikan museum, sayangnya lagi barang-barang yang dipamerkan sepertinya kurang sentuhan jadi nilai sejarahnya kurang terbawa.

satu sudut di Kasepuhan
satu sudut di Kasepuhan

Semoga pemerintah Cirebon makin punya perhatian lebih terhadap aset budaya ini.  Sayangnya saya tidak sempat menyambangi Keraton Kanoman dan dua keraton lain. Sebenarnya masih banyak lagi tempat wisata unik di Cirebon seperti Masjid Agung, Gua Belanda, Makan Sunan Gunung Jati dan Gedung Perundingan Linggar Jati. Selain itu juga ada wisata alam seperti Situ Sedong dan Cikahalang.

Pintu masuk Kasepuhan
Pintu masuk Kasepuhan

Bagian paling menarik tentu saja; shopping! Sebuah kawasan bernama Plered sangat terkenal dengan Batik Trusmi-nya. Trusmi adalah nama legenda pembatik di daerah ini. Batik ini dikenal karena warna dan coraknya yang lebih berani. Jadi gak usah takut dibilang mau kondangan kalau pake batik Trusmi. Saking banyaknya yang jualan batik, kita dibuat bingung mau mampir ke toko yang mana. Dari harga jutaan hingga 20 ribuan ada di sini. Akhirnya kami pun berlabuh di sebuah toko grosir yang harganya lebih murah. Oya, di daerah ini juga ada makam Eyang Trusmi sang legenda batik Cirebon yang turut sering dikunjungi turis.

..dipilih..dipilih...dipilih...
..dipilih..dipilih…dipilih…

Sebelum kembali ke Jakarta, jangan lupa mampir membeli oleh-oleh. Deretan toko oleh-oleh menjamur di pusat kota Cirebon. Lagi-lagi untuk mendapatkan harga murah (#uhuk) kami memilih belanja di Pasar Pagi Cirebon. Asikk..disini bisa nawar. Saya paling doyan dengan tape ketan berbungkus daun jambu yang rasanya manis dan legit. Saya juga membeli beberapa jenis ikan asin. Ini wajib, karena hasil laut adalah komoditas unggulan Cirebon. Selain buat dinikmati, membeli hasil produksi nelayan dan produsen macam-macam makanan disini sama dengan membantu ekonomi mereka.

ragam ikan asin favorit sayah!
ragam ikan asin favorit sayah!

Meski baru beranjak, yuk kita sama-sama bantu wisata Cirebon dan nasional. Tidak usah muluk-muluk sampai harus menarik wisatawan asing, orang lokal Indonesia aja sendiri masih banyak yang ogah jalan-jalan di negaranya sendiri. Bapak dan Ibu di Pemda Cirebon, masih butuh kerja lumayan keras nih, untuk menaikkan pamor Cirebon yang mulai kelihatan. Sebagai blogger saya cuma bisa bantu menulis. Semoga makin banyak yang tertarik main ke Cirebon, kota kecil, tenang dan penuh makanan enak!

Hits: 1513

Kalau ditanya benda apa yang harus “dimusnahkan?” Saya pengen jawab: motor! Upss, jangan protes dulu. Ini cuma uneg-uneg saya dengan para pengendara motor yang menurut saya 80% tidak punya aturan. Tulisan ini pake disclaimer: bahwa infrastruktur jalan khusus untuk motor memang belum tersedia dengan cukup di negara ini.

Beberapa bulan yang lalu, ada dua orang anak SMP yang masih berseragam tewas mengenaskan di jalan menuju ke rumah saya. Mereka dengan konyol menabrak truk pasir yang lagi parkir di pinggir jalan. Mungkin karena jalanan relatif sepi, si anak SMP tadi bermanuver layaknya pembalap di Sirkuit Sentul, kemudian salah perhitungan hingga akhirnya nyawa melayang. Jangan tanya SIM. Sudah pasti belum punya, wong masih dibawa umur. Yang perlu ditanya adalah: Kemana orang tuanya, sampe membiarkan anak kecil membawa motor sendiri? Ada temen yang bercerita justru banyak orang tua yang bangga anaknya bisa mengendarai motor dalam usia dini. Kebanggaan yang aneh.

sumber: wartaotomotif.com
sumber: wartaotomotif.com

Akhir-akhir ini karena keadaan, saya sering nyupir sendiri terutama di dalam kota Bogor. Jalan menuju rumah saya -sebuah komplek perumahan menengah bawah dengan lokasi yang cukup strategis- memang penuh tantangan. Jalannya sempit, pemukiman di kanan-kiri jalan sangat padat, berliku, naik turun dan penuh angkot serta motor. Motor yang sebagian besar saya yakin dikendarai mereka yang tidak punya SIM. Dengan kondisi jalan seperti yang tadi saya ceritakan, paling menyebalkan adalah pengendara motor yang ngebut, mengambil jalur orang dan suka tiba-tiba nongol dari titik buta seorang supir. Sebagai contoh, pada jalan dengan dua arah, si motor dari arah berlawanan bisa saja mengambil jalur mobil yang datang dari arah berbeda. Lu pikir enak kagok jadi supir? Mobil saya juga pernah ditabrak motor saat macet di satu simpang yang besar. Kaca spion pun pernah jadi korban motor yang nekad nyalip. Untungnya kerusakannya tidak parah. Namun yang menyebalkan adalah semua itu terjadi pada saat macet dan mobil dalam posisi BERHENTI alias SETOP. Lama-lama saya pikir nyetir cuma menaikkan tensi darah. Harap maklum, saya juga supir amatir yang sangat taat aturan lalu lintas. Hehehe..

Saya juga SANGAT sering ketemu mereka yang membawa anak kecil tapi gaya berkendaranya sungguh tidak tahu aturan. Sering ada satu keluarga dengan dua anak, si ibu mengendong bayi, anak satu lagi duduk atau dibiarkan berdiri diantara Bapak Ibunya. Ada juga mereka yang naik motor tapi sambil sms-an. Herannya rata-rata memang tidak menggunakan helm.

Omygot..,berapa nyawa harga orang Indonesia?

Terlalu murah atau memang punya stok nyawa yang banyak?

Baru-baru ini saya naik ojek dari rumah menuju satu tempat di Bogor. Di tengah jalan si abang ojek menerima telpon dengan tetap mengendarai motornya. Kali pertama saya masih diam, tapi kali kedua saya towel punggungnya dan menyuruh berhenti. Saya bilang, silakan menelepon dulu dan saya akan tunggu. Rupanya ia tidak menggubris, hingga akhirnya ia tidak menelepon lagi. Tiba di satu simpang yang cukup padat, saya nyaris mati konyol gara-gara ia menerebos kendaraan dari arah berlawanan dengan kecepatan cukup tinggi. Hilang kesabaran, saya pukul saja helm-nya. Sambil mengumpat saya minta turun, meskipun akhirnya ia memperlambat laju motornya. Gilanya lagi, saat itu saya tidak pakai helm. Alhamdulillah ternyata saya masih berumur panjang.

Katanya harga motor emang gak jauh beda dari martabak. Dengan DP hanya Rp500 ribu saja bisa bawa pulang motor baru, Masalah bulan-bulan depannya kebayar atau gak cicilannya nanti aja dipikirin. Kalo pun gak bisa bayar, lumayan sudah bisa dipake ngojek sebulan. Tetangga saya di rumah yang dulu, sepertinya bekerja di leasing motor. Di halaman rumahnya diparkir banyak motor yang tidak sanggup dibayar oleh pembelinya. Saya pernah baca satu artikel, untuk membatasi populasi motor ini, pemerintah mewajibkan cicilan awal sekitar 30% dari harga motor,  yang artinya tidak Rp500 ribu. Namun kenyataan masih sering saya temui iklan dan brosur dengan tagline: Cukup 500 ribu, bawa pulang motor baru! Yah..no wonder kalau anak SMP pun akhirnya pake motor.

Saya tidak membenci motor, saya juga pengguna ojek yang setia. Apalagi memiliki motor jadi alternatif yang masih relatif lebih murah dibanding naik angkot yang ongkosnya naik karena BBM naik. Tapi saya sungguh-sungguh benci dengan pengendara motor yang tidak tahu aturan. Ngebut, nyalip, buat apa? Buat gaya, buru-buru atau memang sudah adatnya begitu? Atau bisa jadi mereka punya slogan: ngebut berarti ibadah, makin ngebut makin dekat dengan Tuhan.

Katanya peradaban satu bangsa salah satunya dilihat dari bagaimana penduduknya berlalu lintas. Nah, jadi tahu kan bagaimana peradaban bangsa ini sebenarnya?

Hits: 1317

Kali ini saya mau cerita  pengalaman selama hampir 10 jam di Bandara Incheon, Korea Selatan yang merupakan rangkaian jalan-jalan saya di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Salah satu bandara tercanggih di dunia ini punya fasilitas yang membuat betah meskipun harus menunggu pesawat cukup lama.

Saya tiba di Incheon sekitar pukul 5 pagi waktu Korea dan take off kembali menuju Jakarta pada pukul 3 di sore hari. Sebelumnya saya sudah googling apa saja yang bisa saya lakukan selama transit 10 jam disini. Turun dari pesawat, saya segera menuju bagian informasi untuk menanyakan cara mengikuti City Tour ini. Saya awalnya berpikir cuma dengan mendaftar kita bisa langsung ikut rombongan jalan-jalan. Ternyata, tidak semudah itu. Peserta City Tour harus melewati antrian petugas imigrasi dan mengisi beberapa form. Paspor kita juga dicap seperti halnya wisatawan lain. Dari penjelasan petugas informasi, tidak semua negara bisa ikut program ini. Saat melihat paspor saya, ia mengatakan ada proses lain untuk paspor Indonesia, namun hal itu tidak perlu dilakukan setelah ia mengetahui saya adalah pemegang visa Amerika Serikat.

The Bus
The Bus

Setelah dari imigrasi, saya menuju konter pendaftaran City Tour. Disini petugas konter akan mencatat nama kita, mem-fotocopy paspor, boarding pass dan menyerahkan satu buah PIN tanda peserta yang harus digunakan. Sebenarnya tour ini gratis namun ada biaya USD10 yang di bayar di konternya. Biaya ini untuk makan siang dan tiket masuk tempat wisata. Oya, jarak dari imigrasi ke konter ini lumayan jauh juga, loh!!  Total waktu jalan kaki dari turun pesawat, imigrasi dan pendaftaran ini saja memakan waktu sekitar 40 menit.

Saya memilih Seoul City Tour yang total perjalanannya 5 jam dan dimulai pukul 8 pagi. Saat mendaftar, waktu baru menunjukkan pukul 7 pagi, namun ternyata daftar pesertanya sudah panjang juga. Artinya buat kamu-kamu yang ingin ikut, harus buru-buru daftar agar kebagian seat. Dalam satu gelombang  hanya ada 1 bis dengan kapasitas sekitar 30 orang. Ada beberapa pilihan tour, dari 1 jam hingga 5 jam. Silakan dipilih berdasarkan waktu yang kita miliki. Informasi lengkapnya bisa dilihat disini.

 

http://www.vikaoctavia.com/wp-content/uploads/2014/11/b-IMG_1685.jpg

Tujuan tour kami yang pertama adalah Gyeongbokgung Palace, istana kekaisaran Korea sebelum abad 19. Sepanjang jalan, -guide kami- seorang cewek Korea memberikan banyak informasi dalam Bahasa Inggris tentang lokasi yang kita lewati. Pun setibanya di tempat wisata, ia dengan lancar bercerita tentang sejarah tempat-tempat yang kita kunjungi. Tujuan kedua adalah Jogyesa Temple, sebuah candi Budha yang ada di pusat Kota Seoul. Tidak ada tempat terlewatkan tanpa foto-foto.

bengong menatap makanan Korea
bengong menatap makanan Korea

Perjalanan diakhiri Insadong Street, shopping center yang sebagian besar dijejali toko-toko yang menjual kosmetik Korea. Disini kami juga dijamu makan siang ala Korea. Rasanya? Enak! Buat kita yang orang Asia sebenernya makanan Korea relatif lebih mudah diterima. Saat makan pun si Mbak Guide menceritakan asal muasal makanan dan kebiasaan orang Korea dalam bersantap. Saya senang, disini semeja dengan beberapa orang dari Amerika Serikat, Argentina dan India. Lumayan kan punya kenalan baru..minimal buat bantu motoin kita. Hehehe. Saat itu suhu di Seoul sekitar 18 derajat celcius, cukup dingin memang. Namun dinginnya terbayar melihat pohon-pohon yang mulai berganti warna menjelang musim gugur dan tempat wisata yang memang keren-keren.

Insadong Street
Insadong Street

Mbak Guide-nya lumayan galak loh! Setiap saat ia  mewanti-wanti agar kita tidak telat untuk kembali ke bis menuju tujuan berikutnya. Mungkin karena sering kejadian banyak turis yang keasyikan foto-foto, ia berkali-kali menegaskan tidak ada toleransi bagi yang telat walaupun hanya 5 menit. Jika telat, silakan kembali ke airport dengan transportasi umum. Yah, ada benernya sih, karena semua penumpang transit pasti terikat waktu agar tidak ketinggalan pesawat. Biar pun begitu, saya sangat berkesan dengan jalan-jalan singkat ini. Cukup untuk mengenal Korea secara umum, kelihatan banget pemerintah Korea benar-benar serius menggarap pariwisatanya. Seorang peserta lain yang sempat ngobrol dengan saya bilang; Ia berkunjung ke Korea sekitar 10 tahun lalu. Kini, tidak terbayangkan perkembangannnya yang sangat pesat. Hmm..kapan yaa Indonesia bisa meniru?

B-IMG_1723
Taman di Jogyesa Temple
IMG_20141027_134505
shower room Incheon Airport

Kalau pun malas atau tidak punya cukup waktu untuk keluar, bandara Incheon menawarkan banyak fasilitas yang membuat waktu menunggu tidak terasa membosankan. Selain restoran dan shoppig area yang lengkap, bandara ini sangat friendly buat para backpacker. Di lantai 4 saja tersedia area dengan sofa besar serupa tempat tidur untuk mereka yang tidak sempat menginap di hotel. Kamar mandi pun tersedia dengan gratis lengkap dengan handuk dan perlengkapan mandinya. Di setiap sudut tersedia keran air siap minum, lumayan kan gak usah repot-repot beli Aqua. Praying Room-nya pun cukup memadai untuk para muslim. Sebagai perbandingan, di bandara KLCC, Malaysia, musholla hanya dibuka pada waktu sholat saja, sedangkan praying room (yang umum dijadikan musholla) di Incheon, dibuka 24 jam! Agak lucu sih mengingat pada dasarnya muslim adalah salah satu mayoritas di Malaysia. Hehehe..

 

Hits: 1532

Susi Pudjiastuti, mendadak tenar beberapa minggu terakhir. Di kalangan para pengusaha, media dan akademisi yang terkait dengan perikanan, namanya sudah sangat tidak asing. Dulu, saat saya masih kuliah di IPB, Susi dan perusahaan perikanannya sudah tidak asing, karena sering menjadi rekomendasi tempat penelitian dan magang para mahasiswa. Ketika bekerja di majalah SWA, Ibu Susi beberapa kali menjadi responden sebagai panutan pengusaha sukses di bisnisnya namun tidak sukses makan bangku sekolah. Saya sendiri ‘nyaris lupa’ kalau saya sejatinya saya mengantongi ijazah sarjana perikanan jika Susi tidak menjadi menteri. Maklum, sejak masuk dunia profesional, saya sama sekali belum pernah bekerja yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan. Hehehe..

sumber:  google
sumber: Google

Ada rasa bangga (atau lebih tepatnya haru), karena seingat saya, baru sekarang perikanan menjadi sorotan dan pemberitaan meski awalnya Bu Susi-lah yang menjadi incaran media. Setelah Susi datang, saya dan mungkin banyak masyarakat Indonesia melek kembali bahwa Indonesia bisa kaya dari hasil lautnya. Bayangkan saja, dua pertiga bangsa ini adalah laut. Sewajarnya Indonesia bisa kaya dari hasil lautnya. Lagu masa kecil; nenek moyangku seorang pelaut bukan cuma slogan, karena maknanya sejatinya sangat dalam. Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri, baru berdiri pada 1999, di masa pemerintahan Gusdur. Sebelumnya, sektor ini cuma nempel menjadi subsektor pada sektor pertanian. Lucu ya, katanya negara maritim tapi pemerintah sendiri baru beranjak serius membenahinya setelah 54 tahun merdeka. Tidak aneh jika akhirnya sekian lama kekayaan laut negara ini dicuri dengan damai.

Empat tahun saya dicekokin tentang masalah perikanan Indonesia, mulai dari illegal fishing, over fishing, pencemaran laut, nelayan miskin, pengolahan kurang modal hingga budidaya yang jalan di tempat. Namun, haru saya akui (untuk ini mohon maaf sebesar-besarnya), selama hampir satu dekade saya tidak mengikuti perkembangan sektor ini. Setelah menteri baru-nya yang tidak lulus SMA ramai diberitakan, saya kembali mencari tahu dan ternyata …*hmmm, masalah dunia perikanan Indonesia sekarang dibandingkan 10 tahun lalu masih itu-itu saja. Pernyataan ini silakan didebat, mungkin saya miskin pengetahuan soal ini. Semoga tidak terlalu ekstrim pula jika saya bilang dunia kelautan dan perikanan di Indonesia cenderung jalan di tempat setelah berganti Presiden tiga kali dan beberapa menteri dengan kemampuan yang pasti di atas rata-rata.

Sumber; Google
Sumber: Google

Kemudian datanglah Susi yang membuka kerak-kerak masalah itu dan berjanji akan menuntaskannya hingga lima tahun ke depan. Banyak pihak menyangsikan kemampuan beliau tentu saja alasan utamanya karena pendidikan formalnya yang jauh dibawah menteri-menteri pendahulunya. Gayanya yang slenge’an, gaya bicaranya yang ceplas ceplos serta gerak-geriknya yang jauh dari gaya pejabat pada umumnya, membuat perubahan paradigma sosok pejabat yang selama ini tertanam di benak hampir semua orang. Jika melihat bisnisnya yang hanya bermodal semangat dan kini berkembang pesat, tidak salah jika lebih banyak yang mendukung.

Sama seperti orang kebanyakan saya memilih untuk mendukung Susi daripada belum apa-apa sudah bersikap sinis. Walaupun tergolong orang yang education minded., Saya masih percaya banyak nilai-nilai kecerdasan dan kehidupan yang tidak ada di buku dan diktat kuliah. Sayangnya, pengalaman membuktikan masih ada saja (baca:banyak) orang yang saya temui memandang kemampuan seseorang dari apa yang dia punya di atas kertas. Misal ijazah lulusan perguruan tinggi luar negeri yang lebih berharga dari lulusan lokal. Saya tidak memungkiri mutu pendidikan di luar negeri relatif lebih baik dibanding dalam negeri. Saya juga menyesal, belum sempat berburu beasiswa di negara asing. Tapi rasanya sedih dan miris saja jika poin ini dijadikan prioritas sehingga mereka (para lulusan luar negeri) punya kesempatan lebih luas bahkan renumerasi yang lebih baik, padahal untuk satu pekerjaan yang sama. Yang sekolah bener saja masih sering dianggap begitu, apalagi yang tidak sempat sekolah. Kemampuan analisis, manajerial, sosial dan kemampuan lain kadang tertutup oleh selembar ijazah berstempel luar negeri.

Akhirnya banyak yang dipandang “sebelah mata” , pemikiran dan ide mereka pun sering dianggap sambil lewat karena “casing” nya tidak sebagus mereka yang mengenyam pendidikan di luar negeri.

sumbe: google
Sumber: Google

Sudah umum juga jika sekarang banyak lulusan baru dari universitas terkemuka, ber-IP tinggi dan segudang prestasi bisa melenggang mulus bekerja di perusahaan maupun lembaga terkemuka. Wajar banget.., itu merupakan buah dari hasil kerja keras mereka selama kuliah. Namun lagi-lagi sangat disayangkan, banyak diantaranya yang lupa untuk meng-upgrade kemampuan beretika dalam lingkungan sosial dan lingkungan kerja. Akibatnya, berjatuhanlah korban seperti Ibu Susi yang dipandang sebelah mata oleh mereka yang punya segudang prestasi akademis. Di beberapa kasus, saya juga sering menemui mereka yang “sulit dimengerti”. Artinya, banyak hal yang sebenarnya seperti matematika sederhana 1+1=2, namun dirumuskan menjadi seperti ini : 1+1+3-2-0=2 dan seterusnya. Kata Prof. Rhenald Kasali dalam buku terakhirnya (Self Driving) : orang-orang berpikir semakin kompleks akan tampak semakin berbobot. Semakin tidak dimengerti maka akan dinilai semakin hebat. Para manajer selalu sibuk dengan urusan rapat dan dengar pendapat, semua orang diminta berbicara sehingga waktu habis untuk acara itu-itu saja. Ternyata Simplicity is a hardwork!

Dan… kemudian definisi cerdas pun bergeser, semakin rumit penyelesaian satu masalah, maka semakin cerdaslah mereka yang ada di dalamnya. Lucunya kaum terpelajar seperti ini memang senang bermain dengan ekplorasi. Senang mencari jalan panjang untuk membereskan sebuah masalah. Bisa jadi ini akibat dari banyaknya teori yang sudah mereka telan. Saya sama sekali tidak mengindikasikan itu sebagai hal yang buruk. Namun di banyak situasi, terlalu banyak pertimbangan justru menunda pengambilan keputusan.

Pada sebuah kesempatan, Presiden Jokowi pernah berujar: masalah krusial di negara ini bukan urusan peraturan tetapi urusan pelaksanaannya di tingkat bawah. Saya bangga dengan kabinet Pak Jokowi, meski belum sempurna, tapi banyak “orang-orang lokal” di dalamnya. Asikk, Pak Presiden tidak luar negeri minded!

 ***

Kembali ke Ibu Susi, di masa kepemimpinan dia yang baru seumur jagung. Terlalu dini untuk menilai apakah beliau berhasil atau tidak. Namun, masyarakat menaruh harapan karena sudah lelah dengan mereka (baca: pejabat) yang berpikir too complicated yang ujungnya malah tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Saya percaya Indonesia memang butuh orang gila seperti Bu Susi. Dia cerdas, pelahap buku tapi tidak kemakan teori. Dia membuat teori baru melalui apa yang dia jalani. Itu harganya jauhhh lebih mahal dari selembar ijazah. Dia bisa menjadi tempat belajar untuk menghargai orang lain yang tidak sempat bersekolah tinggi. Bahwa hidup ini tidak instan, bukan seperti kuliah, dapat nilai tinggi kemudian jadi bos dengan mudah di perusahaan ternama. Saya percaya mereka yang lahir dari bawah akan lebih mudah menghargai orang tanpa embel-embel kamu kuliah dimana dan berapa IP-mu.

Hadirnya Bu Susi juga memberi secercah harapan baru –seperti teori-teori kuliah saya dulu- bahwa perikanan dan kelautan bisa jadi tulang punggung bangsa. Akan lebih baik lagi jika lulusannnya benar-benar tertampung di bidang ini, tidak selalu menclok ke bank seperti yang sekarang menjadi realita. Semoga perikanan menjadi ikon yang menarik dan menantang. Kini, tugas kita untuk terus mendampingi dan mengkritik Beliau.

 

Hits: 821

Sebagai wilayah pertama suspect Ebola di Amerika Serikat boleh jadi berkunjung ke Dallas, harus dihindari. Dua minggu lalu, saya -yang gak ngerti apa-apa soal ebola- malah enjoy melenggang ke kota di negara bagian Texas tersebut. Meski TV lokal disana ramai memberitakan hal ini, sebenarnya kondisi relatif aman dan sehat-sehat saja. Disini, (lagi-lagi seperti kunjungan di kota lain), saya punya tempat nebeng di rumah seorang sahabat sesama pekerja di Aceh beberapa tahun lalu. Apop, teman saya itu sudah bermukim disini hampir lima tahun bersama suaminya yang berkewarganegaraan USA. Tanpa Apop, rasanya waktu yang singkat disini tidak akan begitu berkesan.

Jika di New York dan LA yang saya lihat adalah kemewahan ala dunia internasional, jalan-jalan di Dallas sungguh jauh dari yang namanya hedonisme. Tidak ada shopping (eh, ini karena emang bokek deng..) dan tidak ada foto-foto ala Hollywood dan Beverly Hills. Lalu kemana dong?? Yes, selama dua hari penuh saya mengunjungi museum-museum yang sangat menarik yang tiba-tiba membuat saya mendadak (merasa) cerdas layaknya juara kelas. Hehehe..

blog4

Sangat kebetulan, Apop sang guide (dan juga yang suka bayarin), bekerja di Perot, Museum of Nature and Science. Jadi kesinilah saya pertama berlabuh. Dalam bayangan saya -dan saya rasa umumnya orang-orang yang jarang masuk museum-, museum adalah tempat barang-barang kuno atau pun sebuah tempat yang menceritakan sebuah sejarah. Namun, seketika paham itu hilang ketika sampai di Perot. Tidak ada barang antik disini apalagi lukisan-lukison kuno. Perot ibarat laboratorium raksasa bagi ilmu pengetahuan yang disajikan dengan sederhana dan mudah dimengerti. Ada beberapa bagian di museum ini, mulai dari ilmu matematika, biologi, mineral, dunia antariksa, kesehatan, lingkungan hingga olahraga. Uniknya semua dibuat secara interaktif, sehingga pengunjung tidak hanya “menonton” tapi juga bisa melakukan praktek.

Desain yang futuristik
Desain yang futuristik

Sebagai contoh, saya sempat mencoba kemampuan otak kanan dan otak kiri, mencoba kamera yang dapat berputar 360 derajat, memecahkan teka-teki matematika, mencoba beberapa alat musik, merancang seekor burung dari jenis bulunya hingga bunyinya dan mencoba simulasi kekuatan gempa tektonik yang membuat kepala pusing. Saya bahkan meluangkan waktu agak lama di laboratorium biologi untuk melihat bagaimana DNA mahluk hidup membelah diri. Bagi yang iseng, juga bisa mencoba kemampuan berlari dengan standar atlet-atlet dunia sebagai pembanding. Saya terkagum-kagum di bagian mineral, karena disini dipamerkan bermacam batu mulia dari berbagai belahan dunia yang bagus bagus banget. Hmm, looks so serious? No, its fun! Karena ternyata “belajar” hal-hal berat terlihat mudah jika tidak melulu diajari dengan metode menghafal.. Berbanggalah, karena beberapa medium yang dipamerkan berasal dari Indonesia.

blog2
belajar tentang angkasa luar

Museum yang berbentuk kubus unik ini, konon “menghidupi” dirinya sendiri. Artinya hal-hal seperti pengelohan limbah, pemenuhan energi semuanya dilakukan dan diproduksi sendiri melalui siklus yang sudah diatur sedemikian rupa. Tiket masuk sebesar USD 15 sangat sebanding dengan ilmu yang didapat sepulang dari museum ini. Katanya museum ini didirikan oleh Ross Perot, seorang milioner yang sempat mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat

Museum kedua yang saya kunjungi adalah The Sixth Floor Museum, Dealey Plaza. Siapa yang tidak kenal John F Kennedy? Presiden Amerika Amerika Serikat ke 35 yang terbunuh pada 22 November 1963? Namanya sekarang diabadikan sebagai bandara terbesar di AS. Museum ini didedikasikan untuk mengenang JFK sang presiden flamboyan. Uniknya, museum ini terletak di gedung yang dulu menjadi lokasi penembakan JFK. Dinamakan The Sixth Museum mungkin karena pengunjung memang tidak melewati lantai 2-5, karena lift pengunjung langsung menuju lantai 6 yang menjadi pusat museum.

blog1
Dealey Plaza, lokasi penembakan JFK

Pengunjung dipungut biaya USD 16 untuk masuk kesini. Jangan kaget, karena antriannya lumayan panjang. Setelah membeli tiket, kita dibekali semacam headset lengkap dengan perangkatnya yang dibuat dalam beberapa bahasa. Dari perangkat ini kita mendengar rangkaian cerita dengan alur yang sama dengan foto dan beberapa diorama yang dipamerkan disini. Salah satu ruangan yang menjadi lokasi penempak, dibiarkan seperti bentuk aslinya.  Jalanan di depan museum adalah saksi bisu sejarang penting Amerika ini. Landscape-nya nyaris tidak dirubah, masih seperti ketika peristiwa ini terjadi. Sayangnya tamu museum tidak diperkenankan untuk mengambil foto di ruang utama museum.

Disini JFK Terbunuh
Disini JFK Terbunuh

Medianya memang tidak seberagam Perot Museum.Ya iyalah, secara beda genre… Namun masuk kesini saya seperti berada di 1963 dan merasa begitu dekat JFK. Detik-detik kematian JFK bahkan terus terbayang di kepala saya. Sampai-sampai setelah pulang pun saya masih googling untuk mencari tahu lebih banyak tentang presiden ganteng ini. Hmm.. ternyata, begini cara Amerika menghargai orang-orang besarnya. Bagi yang suka sejarah, politik, intelejen dan kriminologi, museum ini wajib disambangi.

Konon, JFK adalah presiden yang senang “blusukan”. Pada hari terbunuhnya, ia sedang dalam rangka dinas di negara bagian Texas. Menggunakan mobil terbuka ia melambaikan tangan ke masyarakat yang sudah memenuhi pinggiran jalan. Siapa nyana, dari lantai 6 Dealey Plaza seorang penembak jitu membunuhnya dengan dua kali tembakan. Konon lagi.., JFK sendiri pernah berkata: If somebody wants to shoot me from a window with a rifle, nobody can stop it, so why worry about it?. It would be so easy for someone to shoot me with a rifle from a tall building. Hmm…

Ngeri, karena negara sedigdaya USA pernah “kebobolan” hingga presidennya terbunuh. Semoga Presidenku yang baru yang juga demen blusukan  selalu aman. Aaamin…

Masih ada cerita lain tentang Dallas di tulisan berikutnya. Kalau iseng, silakan dibuka juga:

Jetlag di Hollywood

Ada yang belum selesai di New York

 

Hits: 1137
911 Museum

Apa yang di cari manusia di kemegahan New York?  Mungkin nama besarnya-lah yang membuat penduduk dunia berduyun-duyun kesini. Saya yang cuma punya pergaulan level provinsi pun merasa demikian. Rasanya kurang afdol menginjakkan kaki di Amerika Serikat tanpa merasakan gemerlap New York. Dan itu terbukti, ketika tiba disini makin keliatan banyaknya pendatang di New York. Wajah-wajah dari berbagai ras di dunia memenuhi sudut kota. Bahkan lucunya saya malah jarang ketemu muka-muka bule. Hahaha.

blog1
Manhattan Downtown

Terbang dari Phoenix, Arizona (AZ) ke New York menghabiskan waktu hampir 5 jam. Kurang lebih sama dengan jarak Jakarta-Ambon. Maklumlah, AZ ada di bagian barat (westcoast) Amerika Serikat sedangkan New York terletak di sisi timur (eastcoast) negara besar ini. Perbedaan cuaca pun cukup signifikan. AZ tidak mempunyai empat musim selayaknya New York. Ketika saya tiba Oktober lalu, AZ yang sebagian besar wilayahnya adalah gurun, bersuhu kurang lebih sama dengan Indonesia sementara New York suhunya ada pada kisaran 5-15 derajat celcius. Brrr…  Selisih waktu keduanya yang hingga tiga jam menambah deretan perbedaan itu. Perjalanan yang lumayan jauh, suhu yang signifikan dan ditambah lagi kurang makan dalam perjalanan membuat kepala saya pusing sekali ketika mendarat di JFK Airport. Disini, kami menginap di salah satu rumah kerabat. Lumayan ngirit biaya karena di kota ini, biaya hotel dan makan adalah salah satu yang termahal.

Keesokan harinya, sayang banget, hujan deras mengguyur New York sejak pagi. Menyusuri Manhattan Down Town hingga  di tepi selat menuju Patung Liberty dengan trotoar yang basah memberi rasa lain kota New York di pagi hari. Cita-cita utama saya memang berfoto cantik di Patung Liberty kemudian mengunduhnya ke semua sosial media yang saya punya. Hahahah. Sayangnya niat itu ternyata tidak sepenuhnya diijinkan oleh Tuhan.  Kami hanya bisa berfoto dari seberang Liberty. Yah, sedikit kecewa sih.. Tapi, karena masih banyak tempat yang harus kita kunjungi, tidak mungkin rasanya menunggu hingga hujan berakhir. Yah, jadilah gagal niat sombong saya tadi. Hehehe…

At Times Square
At Times Square

Untuk membalas dendam dengan seseorang yang dulu dengan sombongnya berfoto di Times Square (uhuk..),  saya pun gak mau kalah dengan puas-puasin berfoto disini. Kalo belanja kan mahal ya,bo.. Jadi cukuplah foto-foto, paling gak keliatan beda dengan Blok M gitu loh!! Hahaha.. Saya juga sempat mampir di Monumen 911 yang dibangun di bekas fondasi Twin Tower yang roboh karena tragedi 11 September 2001 lalu. Ada kolam besar bak air terjun buatan yang dibuat disini. Di pinggir kolam tersebut terdapat nama-nama para korban musibah besar tersebut. Sungguh mengingatkan saya pada museum tsunami di Banda Aceh yang kurang lebih mengusung konsep yang sama yaitu; air. Selebihnya kami menghabiskan waktu di beberapa tempat seperti China Town, Rockefeller Center, Museum of America, Wall Street dan tetep ujung-ujungnya cari restoran Asia. Hehehe.

The Rockefeller Center
The Rockefeller Center

Saya juga bertandang ke New Jersey (NJ). NJ adalah salah satu state terkecil di Amerika Serikat yang berbatasan langsung dengan New York. Kotanya sendiri ditempuh kurang lebih dua jam dari NYC.  Ada yang beda, jika NYC penuh dengan gedung-gedung tinggi, NJ ibarat Bogor, kota satelit di sudut Jakarta. Tenang, kental dengan suasana pedesaan, udaranya pun bersahabat dan dipenuhi hutan asli serta kebun penduduk lokal. Cocok untuk tempat tinggal para pensiunan dan mereka yang sudah bosan dengan hiruk pikuk metropolitan. NJ juga cocok buat yang hobi shopping, karena tidak ada pajak untuk barang belanjaan disini. Yeayy!!  Menginap semalam disini, membuat kaget karena ketika kembali ke NYC, kami harus ketemu macet yang macettt banget! Tidak ubahnya Jakarta di jumat sore, setelah hujan dan tanggal abis gajian! Seriously!!

Teduhnya NJ
Teduhnya NJ

Eniwei, meski di New York sangat sebentar, saya punya kesan yang dalam tentang NYC.  Rasanya saya bisa banyak belajar tentang dunia hanya dari kota ini. Mungkin semua pelosok dunia, termasuk dunia lain (bisa jadi!) Kalau punya kesempatan, saya tidak akan menolak untuk tinggal beberapa saat disini. Selain belum bisa sampai Liberty dengan utuh, mungkin saya punya keinginan  untuk mengeksplor dunia lebih jauh dari sini. Mimpi? Bisa jadi mimpi, bisa juga kenyataan. Toh, dulu membayangkan sampai New York juga hanya mimpi. SO, New York, I’ll be back! Karena masih ada yang belum selesai bersamamu.

Hits: 1169

Setelah melalui perjalanan panjang yang (cukup) membosankan selama hampir 24 jam akhirnya 6 Oktober 2014 lalu, saya sukses mendarat di LA. Ini serius Los Angeles,bukan Lenteng Agung yang lurahnya Ibu Susan, loh! Setiba di Amerika, sebagai orang kampung yang sukses noraknya, saya merasa takjub, karena ini adalah bagian dari mimpi-mimpi saya. Lebay sih, apalagi Amerika konon adalah sarang antek asing yang makin ngetop sejak masa Pemilu dan Pilpres lalu.

IMG_20141006_074315
mampir ketemu kangkung dan tempe disini…

Tiba di LA sekitar pukul 03.00 sore, setelah menempuh perjalanan sekitar 11 jam dari Seoul, Korea Selatan. Lucunya, kami berangkat meninggalkan bandara Incheon pukul 08.00 malam, tapi tiba di tanah Amerika pukul 03.00 sore hari sebelumnya. Waktu mundur sekitar 12 jam dari waktu Korea atau sekitar 14 jam dari WIB. Selama dalam perjalanan ke LA, saya tidak henti-hentinya menatap layar monitor di depan kursi yang menunjukkan sisa waktu perjalanan. Rasanya waktu berjalan sangat perlahan, atau saya curiga monitor itu rusak.  Ini akibat penyakit saya yang susah banget tidur di jalan, kecuali kalau minum Antimo yang saat itu sayangnya tidak dibawa.  Hehehe.. Tiba di LA rasanya kayak gak percaya, ada loh mimpi yang jadi kenyataan. Alhamdulillah antrian imigrasi pun cepat dan tidak bertele-tele. Namun, sayangnya Ibu saya sebagai pemegang Visa Imigran harus mengikuti antrian khusus yang cukup menyebalkan. Bukan karena antrian yang panjang, tapi dua orang petugasnya yaitu bapak-bapak berumur sekitar 60 tahun lebih sibuk ngobrol daripada menyelesaikan tugasnya. Haduhh.. Kebayang antrian yang kurang dari 10 orang diselesaikan dalam waktu 1,5 jam saja, saudara saudara!

Setelah melepas kangen dengan keluarga yang sudah tidak bertemu lima tahun lamanya, kami menuju sebuah restoran Indonesia bertajuk Simpang Asia di salah satu sudut kota LA. Lucu aja rasanya, jauh-jauh dari Jakarta ke Amerika ketemunya tumis kangkung dan oseng-oseng tempe lagi. Konon restoran ini cukup tenar di kalangan warga Asia kota ini. Rasanya? Yah, lumayan sih..meski kata gue, lebih enak kalau masak sendiri di rumah. Hehehe. Disamping restoran ini, terdapat satu toko yang khusus menjual makanan kemasan khas Indonesia. Cukup kaget ketika Indomie dihargai USD 2,5 dollar (atau sekitar Rp 30 ribu) per 5 bungkusnya.

Tujuan saya ke Amerika sebenarnya adalah menghabiskan waktu liburan pengangguran saya di Maricopa, sebuah kota kecil berjarak sekitar 6 jam perjalanan darat dari LA yang terletak di negara bagian Arizona. Namun, biar merasakan gegap gempita Amerika, kami memilih landing di LA agar bisa melihat kota terkenal ini, kemudian mampir ke Hollywood agar sedikit merasakan pergaulan artis dunia, Hahahaha. Hollywood hanya berjarak 1 jam dari LA, dan masih masuk dalam negara bagian California.

Malamnya kami sempat melihat-lihat sebentar di Japan Town sebelum beristirahat di sebuah hotel. Karena sangat lelah saya pun tertidur cukup lelap, sayangnya sekitar pukul dua dini hari waktu LA saya terbangun, lapar dan tidak bisa tidur lagi. Waduh, ini mungkin namanya jetlag. Jika dihitung, saat itu WIB menunjukkan pukul 4 sore, yang artinya waktu ngopi dan makan snack. Hahaha.. Saya paksakan untuk lelap pun tidak mudah, akhirnya saya sukses melek hingga jam 8 pagi. Saat bersiap-siap menuju Hollywood, kantuk menyerang sangat dahsyat. Saya mencoba tetap bertahan karena tidak mau melewatkan perjalanan yang belum tentu besok besok saya temukan lagi.

IMG_20141006_104511

Taraaaa..kami pun tiba di Hollywood. Di sepanjang jalan terlihat rumah rumah pesohor dunia yang keren keren bangett! Sampe kepikir mau nyari rumah Michael Jackson atau Kim Kardasian. Wakakkaa.. Untuk menuju landmark tulisan HOLLYWOOD di puncak bukit ternyata lumayan jugaaa loh. Untungnya kami naik mobil, kalau jalan kaki kebayang sangat gempor karena jalan yang mendaki dan meliuk-liuk. Saudara saya menggunakan GPS dan papan penunjuk arah sebagai patokan. Huaaa.. kalo di Jakarta, GPS suka gak tepat, ini akurasi GPS-nya 100% tepat dan jalannya paling pendek   Bukit ini memang bagus..dari atasnya kita bisa melihat pemandangan kota LA. Namun tulisan HOLLYWOOD menjadi sangat monumental karena keeksisan kota ini sebagai pusat perfilman dunia.

Setelah puas berfoto, kami menuju Hollywood Bouleverd untuk makan, berfoto di walk of fame artis-artis dunia dan melihat lalu lalang turis yang tidak ada habis-habisnya. Bisa dibilang, bulan Oktober adalah masa sepi untuk pariwisata Hollywood. Jadi lumayan sih, gak terlalu sesak. Bocorannya, tiket dari Indonesia ke Amerika pun terhitung murah di bulan ini.  Di sepanjang jalan ini banyak terdapat café-café terkenal, atraksi pertunjukan hingga museum seperti Ripley’s dan Madamme Tussaud. Demi menjaga kelangsungan kocek mengingat saya masih ingin mengunjungi beberapa negara bagian lain, berfoto di depannya pun sudah cukup bagi saya. Hahaha..

IMG_20141006_112247
Hey Mbak Berry!

Disini, saya sempat kaget juga ketika ada dua orang embak-embak berjilbab yang heboh banget dengan Bahasa Jakarta yang kental. Duh, dimana-mana emang orang Indonesia eksis ya, bo. Ternyata mereka adalah bagian rombongan desainer muslimah kondang Dian Pelangi, yang baru saja mengakhiri lawatannya di Amerika untuk acara New York Fashion Week. Ya, karena gak ketemu Angelina Jolie atau Brad Pitt, saya cukup bahagia sudah bisa berfoto dengan Mbak Dian Pelangi-nya. Thank you Dian, sukses selalu.

ketemu Dian Pelangi
ketemu Dian Pelangi

Setelah puas berfoto-foto, belanja souvenir (yang lumayan mahal), kami pun  mengkahiri perjalanan singkat ini. Hollywood mungkin hanya sebagian mimpi, tapi itu mimpi yang besar. Saya masih punya banyak  mimpi-mimpi lain (yang mungkin lebih kecil) untuk keliling Indonesia. Jadi teringat, tahun lalu pada saat umroh, saya berkali kali berdoa di depan ka’bah mohon kepada Allah agar bisa sampai di Amerika. Tentu saja masih banyak doa-doa lain ya.. Setahun berlalu, saya sudah hampir lupa permintaan itu, hingga akhirnya terkabul dengan scenario yang di luar dugaan saya. Tiba-tiba terpikirkan, harusnya saat itu juga berdoa: Ya, Allah saya pengen ke Raja Ampat dan Komodo dengan tiket diskon (Ngelunjak dotcom). Hahahaha..

bye Hollywood
bye Hollywood

Sampai jumpa di tulisan USAJourney berikutnya!

Hits: 2720

Saya lupa menghitung, ini cerita ke berapa tentang “ngopi” di blog ini. Ketika ngopi sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari, rasanya kurang afdol jika belum mampir ke Saudagar Kopi di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Saya bersama seorang teman menemukan tempat ini tidak sengaja. Letaknya agak terhimpit sesaknya pertokoan di Jalan Sabang. Luas tokonya pun cukup kecil, kalau penuh rasanya tidak akan lebih dari 15 orang pengunjungnya. Saya paling suka duduk di sofa di dalam, tempatnya asyik buat ngobrol berlama-lama tanpa terganggu dengan lalu lalang pengunjung lain. Kalau tempat favorit itu terisi, saya memilih duduk di teras luar. Meski agak terganggu dengan pengamen, tempat ini juga sering diisi para perokok. Namun posisinya pas, nongkrong sendirian dengan bekal laptop pun rasanya tidak percuma.

IMG_20140922_155649Saya suka tempat ini karena letaknya yang cukup dekat dari kantor Saya di seputaran Monas. Tempatnya yang minimalis dengan nuansa serba kayu, membuat suasana ngopi menjadi semakin akrab. Rasanya betah berlama-lama disini, apalagi harga segelas coffee latte favorit saya tidak lebih dari Rp 25 ribu saja! Racikan kopi khas dari berbagai pelosok nusantara tidak kalah dengan kopi-kopi ala waralaba internasional. Ini berita baik loh! Dengan lebih sering mengkonsumsi kopi lokal di artinya kita juga secara tidak langsung memberdayakan para petani kopi.

IMG_20140922_205306Makanan favorit saya adalah Mie Ayam kojo. Meski kurang matching dipadukan dengan kopi, tapi saya merasa nyaman-nyaman saja. Bahkan selalu berulang memesan menu yang sama di setiap kunjungan. Buat yang gak seneng kopi, jangan khawatir banyak minuman lain yang juga disajikan disini. Makanan berat juga ada kok, meski menunya terbatas. Lumayan buat yang mau nongkrong sore, nunggu macet dan sekalian makan malam.

Asiknya lagi, Saudagar memberikan 1 gelas kopi gratis untuk setiap pembelian 10 gelas kopi. Sebagai penandanya, pelanggan diberi kartu dan jumlah pembelian kopi dicap pada kartu tersebut setiap kali berkunjung. Yang buat saya masih kurang, adalah Saudagar belum menyediakan tempat sholat. Hmm, gak mesti musholla sih, namun setidaknya lebih baik jika ada sedikit tempat yang bersih di lantai atas plus ada perlengkapan sholatnya.

Hits: 724