Akhir-akhir ini saya sering sekali ngedumel akan buruknya pelayanan PT KAI untuk KRL Jabodetabek. Ini terlepas dari bahwa saya tetap salut dan menghargai perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh PT KAI beberapa waktu belakangan. Kini, semua stasiun sudah lebih nyaman dibandingkan dua tiga tahun lalu, pedagang asongan pun tidak memenuhi gerbong kereta lagi. Terobosan terbesar tentu saja membuat tiket KRL elektronik yang bisa menghemat ongkos perjalanan turun hingga 50%. Bravo Pak Ignasius Jonan dan Pak Dahlan Iskan!! Namun satu hal yang masih mengganjal adalah masih seringnya Commuter Line (CL) “mogok” karena antrian panjang di Stasiun Gambir, Manggarai atau terjadi kerusakan sinyal tiba-tiba yang sering terjadi setelah hujan deras. Kalau antriannya hanya sekitar 10-15 menit sih masih bisa dimaklumi. Saya sering kali bernasib sial menunggu lebih dari satu jam bahkan pernah rekor hingga 2,5 jam!! Bukan  lebay, dua hari lalu saya terpaksa menunggu antrian menuju Manggarai hingga 1 jam 45 menit dari stasiun Cikini yang biasanya ditempuh hanya dalam waktu kurang dari tiga menit! Kereta sungguh penuh sesak, AC digantikan oleh kipas angin yang tidak mampu lagi memberi angin segar. Dalam kondisi lapar (belum berbuka) wajar kalau saya bilang ini fasilitas publik yang nyaris tidak berperikemanusiaan. Alasannya adalah saat ini memang lagi musim pulang kampung, sehingga ada antrian cukup lama dengan kereta api luar kota.

Sebagai masyarakat dengan tingkat permakluman paling tinggi (mungkin tertinggi di dunia) kita terbiasa dengan kata “sabar”, namanya juga orang kecil. Eh, apa iya harus begitu? Saya dan mungkin sebagian besar pelanggan CL memang orang kecil. Bukan mereka yang punya pilihan untuk tinggal di apartemen di pusat kota atau duduk tenang di mobil yang nyaman dengan supir. Tapi saya bayar pajak lho! Saya dan juga yang lain berhak menagih hasil pajak itu ke pemerintah. Salah satu wujudnya dalam fasilitas umum yang memadai. Contoh kecil lain adalah jalan rusak parah di dekat rumah saya yang sudah tidak dibereskan bertahun-tahun. Asal tahu saja untuk mengusulkan perbaikan jalan ini mekanismenya harus melalui Musyarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Ini levelnya dari tingkat kelurahan hingga nasional yang makan waktu hingga satu tahun (menyesuaikan dengan tahun anggaran). Jika tidak ada inisiatif lain dari pemerintahnya, menambal jalan berlubang saja butuh waktu minimal 1 tahun! Gila kan?

Teringat jelas, di setiap akhir Maret para karyawan dengan bangga memamerkan bukti potong pajaknya di sosial media. Betapa kesadaran akan kewajiban ini sudah jadi bagian tak terpisahkan. Itu belum pajak-pajak lain seperti pajak kendaraan, PBB, bahkan pajak makanan kita di restoran. Dari beberapa literatur disimpulkan bahwa penerimaan pajak rata-rata tumbuh 25% per tahun, itu pun sebenernya belum memenuhi target. Memang sih, harus diakui, kesadaran membayar pajak ini belum sepenuhnya masuk ke seluruh lapisan masyarakat. Namun peningkatan permintaan NPWP hingga 30% per tahun paling tidak memberi harapan besar bahwa kita bisa kaya dari pajak.

Balik lagi ke urusan CL yang macet tadi, kok yang saya rasakan kenaikan penerimaan pajak itu belum sebanding dengan fasilitas yang pemerintah sediakan buat masyarakatnya. Oke lah, anggap saja saya salah karena cuma ngasih contoh CL yang ngadat. Bisa didebat bahwa banyak fasilitas umum yang sekarang jadi keren bingits, seperti bandara (bandara lokal daerah keren-keren lho!), jalan tol yang tambah banyak dan akses informatika yang makin baik. Saya belum tahu (tepatnya belum mencari tahu), berapa sih sebenernya perbandingan ukuran penerimaan pajak mempengaruhi besarnya konstanta perbaikan fasilitas publik. Mungkin saja ada!

Tapi, Saya masih kecewa, disaat pemerintah menetapkan deadline waktu setoran pajak bahkan memberikan denda jika terlambat,  pemerintah sendiri hampir tidak punya sanksi apa-apa saat terlambat melayani masyarakatnya.

Duh, akhirnya kita merasakan sendiri betapa korupsi sudah membuat bangsa ini cuma jalan kaki sementara seharusnya bisa berlari kencang. Itu juga sudah syukur gak jalan di tempat!

Di tengah eforia Pilpres yang baru saja berakhir, dan saya harap benar-benar berakhir,  saya menemukan satu dua hal yang menarik. Saya ini orang awam, bukan penganut agama yang super taat dan sama sekali bukan orang partai manapun. Karena itulah, saya bisa dibilang agak tulalit alias gak bisa mikir yang rumit-rumit seperti skenario sinetron. Saya cuma memilih pemimpin yang bisa membenahi omelan saya tentang CL yang menyebalkan tadi. Saya gagal paham dengan berbagai skenario yang ditujukan untuk menyerang salah satu atau salah dua dari capres tersebut. Bagi saya, negara ini perlu orang-orang yang tulus untuk membenahi semua hak masyarakat karena pemerintah itu kerjanya melayani bukan memerintah. Pemerintah yang ber-regenerasi, bukan muka-muka lama yang cuma ganti casing. Segala hal yang berbau SARA jelas hanya berlaku untuk kepentingan golongan, tetapi penumpang CL bisa datang dari berbagai golongan, kan? Apa kita bisa memilih siapa yang akan kita selamatkan duluan jika terjadi kecelakaan CL? Teman segolonganmu di gerbong yang lain atau teman seorang Ibu di sebelahmu?

Jangan menodai semangat Bhinneka Tunggal Ika yang artinya keberagaman menjadi keseragaman. Apapun alasannya SARA dan segala macam polesan intrik di dalamnya hanya upaya pihak ketiga memecah belah bangsa ini. Jangan menggadaikan kecerdasan diri sendiri sampai melupakan logika karena termakan isu-isu yang bisa membuat perang saudara. Tidak kalah penting, jangan sampai pajak-pajak yang sudah kita bayar cuma jadi ongkos kita ribut soal SARA.

Kita banyak belajar dari keberhasilan dan kekurangberhasilan pemerintah sebelumnya. Kita perlu berlari, karena dengan cuma berjalan akan lebih lama sampai di tujuan. Lebih penting lagi, jangan sampai jalan di tempat atau bahkan mundur ke belakang. Salam Persatuan Indonesia!

Hits: 727

Selain Pulau Komodo, di Provinsi Kepulauan Riau tepatnya di Pulau Galang yang juga ada tempat yang diberi julukan World Culture Heritage oleh Unesco, Kampung Pengungsi Vietnam namanya. Kenapa disebut Kampung Vietnam? Di lokasi yang hanya seluas 1 kelurahan ini, pernah berdiam ribuan penduduk Vietnam yang mengungsi akibat perang saudara di negaranya. Lah, kok bisa sampe kesini? Konon para pendahulunya terdampar di pulau ini setelah berlayar menggunakan perahu besar berbulan-bulan lamanya.

Atas dasar kemanusiaan, pemerintah Indonesia bersama PBB kemudian berinisiatif menampung makin banyaknya pengungsi di satu lokasi. Kemudian dipilihlah Pulau Galang ini.  Selama kurun waktu kurang lebih 20 tahun sejak 1979 mereka beranak pinak disini dan “menyulap” pulau Galang yang kecil menjadi “Vietnam banget”. Konon jumlah mereka sempat sencapai 200 ribu orang. Tentu saja setelah perang selesai, para manusia perahu ini dikembalikan ke negara asalnya. Meskipun sebagian besar diantara mereka menolak untuk kembali. Sebagai simbol penolakan itu, mereka membakar dan menenggelamkan perahu yang dulu digunakan untuk mengungsi.

Jika mampir ke Batam, jangan lupa melintasi jembatan Barelang, jembatan yang menghubungkan tiga pulau, yaitu Batam, Rempang dan Galang. Nah… di pulau terakhir itulah, kampung Vietnam ini berada. Lokasinya hanya sekitar satu jam dari pusat kota Batam.  Memasuki gerbang tempat ini kita akan disambut oleh Pagoda Quan Am Tu, pagoda besar yang sepertinya masih cukup terawat. Karena letaknya sedikit di puncak bukit,kita bisa melihat pemandangan Pulau Galang di bawahnya.

pagoda quan am tu
pagoda

Lebih ke dalam lagi, kita akan takjub dengan “fasilitas” yang tak ubahnya sebuah negara kecil. Dari sekolah, rumah sakit, gereja, pemakaman umum bahkan penjara! Uniknya semua tempat diberi nama dalam bahasa Vietnam dengan plang juga dengan huruf Vietnam. Bahkan dulunya, PBB mendirikan sekolah bahasa Inggris dan Perancis bagi anak-anak pengungsi.

gereja tua
gereja tua

Beberapa spot sepertinya dibiarkan tidak dipelihara. Barak-barak pengungsian sekaligus rumah nampaknya sudah mulai keropos dimakan usia. Gereja berornamen khas kayu nampaknya juga sudah mulai usang. Namun itu sama sekali tidak mengurangi nilai sejarah tempat ini. Di satu sudut teronggok sisa-sisa perahu yang tidak sempat dimusnahkan yang seolah menjadi saksi kisah tragis korban perang. Jangan lupa masuk juga ke dalam museum-nya. Bangunan yang difungsikan sebagai museum sejatinya adalah kantor UNHCR. Banyak barang-barang unik yang menjadi peninggalan pengungsi di tempat ini. .Selebihnya aura yang yang “bukan Indonesia” akan sangat terasa disini.

perahu, si saksi bisu
perahu, si saksi bisu

Walaupun bermula dari sebuah penderitaaan akibat kekejaman perang, setidaknya penduduk Vietnam yang pernah bermukim disini pernah merasakan kedamaian alam Indonesia.

where do you want to go?
where do you want to go?

 

Hits: 1050

Dua hari ini berita-berita interprestasi hasil Quick Count jadi perbincangan yang tidak habis-habisnya.. Saya memang pendukung No 2, tapi untuk urusan survei-survei ini saya mencoba menyimak dengan sedikit pengetahuan yang saya punya secara obyektif. Kurang lebih ada 10 lembaga survei yang turut serta dalam quick count ini. Sebenarnya yang tercatat di KPU malah ada lebih dari 50 lembaga untuk keseluruhan survei menyangkut Pemilu. Hampir seluruh lembaga tersebut memaparkan metodologi yang mereka lakukan untuki quick count ini. Bahkan beberapa diantaranya merilis hasil per provinsi. Menurut saya beberapa lembaga seperti CSIS, RRI dan Litbang Kompas yang lembaga kredibel dan punya nama. Rasanya sulit bagi mereka untuk mempertaruhkan integritas mereka demi memihak salah satu capres. Bahkan SMRC salah satu lembaga yang juga nimbrung disini, memiliki sampling hingga 4000 TPS, terbesar di antara yang lain yang rata-rata melakukan survei 1000-2000 TPS. Dalam pandangan saya, quick count berbeda dengan survei biasa. Disini respondennya sudah sangat jelas baik dari sisi demografi maupun kepentingan. Beda dengan survei biasa yang dapat memilih responden secara acak. Penentuan TPS yang menjadi sampel, seharusnya sudah memperhitungkan kondisi geografis, sebaran jumlah TPS itu sendiri bahkan wilayah-wilayah dengan perhatian khusus. Misal kalau sampel lebih banyak dilakukan di Jawa Barat (atau tidak menyeimbangkan dengan provinsi lain), otomatis Prabowo akan menang. Karena Jawa Barat adalah sarang Capres No 1 tersebut. Hasil sebaliknya juga terjadi bila dilakukan dengan komposisi lebih banyak di Jawa Timur, pasti Jokowi menjadi mayoritas.

Hasilnya, secara umum pasangan Jokowi-JK, rata-rata unggul dengan selisih 5-6%. Tapiii… (ada tapinya) seperti kita tahu semua, TVOne yang anti mainstream merilis hasil survei yang sangat berbeda dengan TV-TV lainnya. Disini presiden pilihan mereka adalah Prabowo. Loh kenapa cuma TV One dan MNC Grup yang beda yaa? Tanyaa Kenapaa??! Ini bagi saya kekonyolan yang terlalu kentara. Sudah pada tahulah siapa pemilik TV-TV itu dan dimana posisi politik mereka. Belum lagi lembaga-lembaga survei yang mereka gunakan adalah yang masih dipertanyakan kredibilitasnya. Salah satu diantaranya, pernah terlibat urusan dengan pihak kepolisian karena memanipulasi hasil survei Pilkada Gubernur Sumsel beberapa waktu lalu. Bahkan di media sosial sempat beredar capture foto proposal “rencana kemenangan” bagi Prabowo-Hatta dengan nilai Rp8 Miliar yang diusulkan oleh salah satu lembaga riset mereka itu. Kalo yang ini wallahualam ya… namanya juga berita. Hehehe.. Konon proposal tersebut diajukan ke pihak Jokowi dan ditolak mentah-mentah.

BsKBRiLCMAAvwx6
kondisi quick count..

Lembaga riset yang benar pastilah menggunakan metode sampling yang dianggap paling mewakili. Untuk populasi yang sama (pemilih), distribusi pemilih, wilayah mereka, sampai ke demografis sampel harusnya sudah dirancang dari awal dengan tujuan mengurangi error dan membuat hasil yang dapat merepresentasikan populasi keseluruhan. Penyimpangan pasti ada, namun seharusnya, jika mereka menggunakan kaidah statistik yang sama, perbedaan yang terjadi tidaklah akan signifikan. Hal lain yang perlu ditekankan adalah obyektifitas. Sah sah  saja satu stasiun TV membayar satu lembaga tertentu untuk melakukan survei. Tetapi, selama hasilnya dipolitisir untuk kepentingan sendiri, itu tidak beda dengan menipu dan membohongi diri sendiri

Oleh karena itu, hanya satu yang susah dipegang disini:

etika manusia yang melakukan pekerjaan ini.

Kekonyolan selanjutnya adalah bantahan seorang politikus Partai Golkar pendukung Prabowo yang mengatakan alasan mereka mengeluarkan hasil survei yang berbeda tersebut adalah untuk MENGIMBANGI pemikiran masyarakat yang sudah menganggap Jokowi Presiden, padahal belum ada pengumuman resmi. Haaaa!!?? Maksud lo, buat mengimbangi, boleh keluarin yang validitasnya diragukan? Saya gagal paham disini. Maaf lahir batin..

Keganjilan paling parah adalah, deklarasi Prabowo yang menyatakan sudah menerima mandat dari rakyat RI. Bahkan Lagi-lagi katanya ini untuk mengimbangi kubu sebelah. Yah, kubu sebelah juga ada salahnya sih, mungkin sudah terlalu eforia jadi ada yang tidak terkontrol. Lucunya di satu wawancara, Prabowo bahkan bilang tengah menyiapkan susunan kabinet. Hadeeuuh, maju 5 langkah, sob!

Sejujurnya saya sedih dengan kondisi ini. Hasil quick count itu, bukan fokus saya lagi. Jika memang hasil quick count yang diusung TVOne itu masih diragukan validitasnya, sementara partainya sudah klaim menang, ini adalah bentuk pembodohan baru bagi masyarakat. Kita digiring untuk percaya dengan hal-hal yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Opini publik digiring untuk ragu-ragu terhadap hal-hal yang sebenarnya bukan hal sulit untuk dicerna dengan logika. Kecewa, jika memang survei-survei TVOne “sengaja” di-create untuk “mengimbangi” artinya sama saja masyarakat pendukungnya dipaksa membohongi diri sendiri alias lari dari kenyataan. Maaf banget, buat saya ini adalah satu cermin sikap otoriter. Ini belum berkuasa loh, apalagi kalau udah?! Dan ini memalukan. Begini cara membuat bangsa sendiri menjadi macan? Begini cara membuat asing takut dengan Indonesia?

Meski begitu, Saya bersyukur masih banyak orang yang bisa menilai semuanya dengan obyektif. Biarpun dampaknya TVOne menjadi sasaran bully nasional di sosial media. Tidak itu saja, satu hari setelah berita bodong itu terus menerus ditayangkan saham MNC Group dan Viva anjlok. Pada akhirnya kejujuran adalah kunci utama bisnis apapun itu. Kini berbagai lembaga survei terang-terangkan menantang quick count yang dilakukan oleh kubu Prabowo. Hingga saya menulis paragraf ini, belum ada satupun tanggapan dari pihak TVOne tentang survei mereka. Satu berita malah mengatakan, Puskaptis sebagai salah satu biro riset TVONe secara tersirat menyatakan tidak bersedia diaudit.  Tahu-tahu mereka muncul lagi dengan real count yang katanya dilakukan oleh relawan PKS. Tentu saja hasilnya memenangkan kubu Prabowo. Mungkin ini maksudnya buat menghibur diri sendiri. Hehehe… Namun, lagi-lagi berita yang beredar di media, real count tersebut adalah copy paste dari survei sebelum Pilpres yang juga dilakukan oleh relawan PKS. Kebangetan  ini sih kalo boong… Semoga cuma hoax yaa…biar dosa kita sama-sama gak nambah..

1405027432296
*Real Count* Capres No 1

Terakhir, berkaca dari hasil quick count untuk Pemilu maupun Pilkada sebelumnya, selisih nilai quick count antara real count tidak pernah terpaut lebih dari 1-2%. Jadi, sekali lagi jika quick count dilakukan oleh lembaga yang kredibel, dengan metode yang benar serta tidak disusupi kepentingan satu golongan, Insya Allah hasilnya tidak jauh berbeda. Dua kejadian sebelumnya; Foke mengucapkan selamat kepada lawannya: Jokowi di Pilgub Jakarta 2012 setelah pengumuman Quick Count di hari yang sama. Bahkan SBY sudah mengucapkan Selamat kepada PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2009 pun di hari yang sama, 9 April 2014. Sementara itu, Presiden RI 2014? Kita tunggu tanggal 22 Juli yaa… Biar gak berantem dan biar yang memang kalah sudah siap mental. Bukan siap menyusun “strategi baru”.

 Salam damai Indonesia!

 

Hits: 708

Dalam satu perjalanan pulang di KRL Jabodetabek. Saya duduk di sudut bangku panjang berwarna biru. Sesekali mengutak-ngatik ponsel saya, hanya untuk melihat-lihat postingan teman di media sosial. Suasana di KRL malam ini cukup santai. Stres sendiri kalau ingat tadi pagi nyaris jadi ikan pepes di KRL yang sama. Tiba-tiba mata sata tertumbuk ke seorang Bapak tua dengan dua anaknya. Satu laki-laki, yang digendongnya dengan kain lusuh, berusia sekitar 4 tahun. Satu lagi, perempuan yang masih menggunakan seragam SD berusia sekitar 7-8 tahun. Buat Saya yang tiap hari “bergaul” dengan masyarakat lapisan kelas bawah, pemandangan seperti itu sebenarnya biasa. Namun, kita sendiri yang bisa merasakan mereka yang benar-benar pada kondisi yang sebenarnya atau dibuat-buat untuk memancing rasa iba dan kemudian menjadi peminta-peminta.  Dan saya merasakan, keluarga kecil ini sedang tidak bersandiwara.

Si gerbong panjang baru saja meninggalkan Stasiun Depok. Masih tiga stasiun lagi menuju Bogor. Si Bapak sesekali membalurkan minyak kayu putih dari satu merek dengan kemasan yang paling kecil ke punggung anak perempuannya. Saya melihat punggung itu penuh dengan bekas kerokan yang nyaris berwarna kehitaman. Si anak laki-laki masih tertidur dalam gendongan Bapaknya. Sementara si anak perempuan duduk lemas dengan kepala bersandar pada paha si Bapak.

Saya mengintip isi dompet. Hemm, masih ada sisa Rp50 ribu. Kalau jumlah itu saya berikan kepada si Bapak, saya masih bisa mampir ATM di stasiun Bogor untuk ongkos naik angkot ke rumah. Hanya saja Saya segan untuk memberikan langsung ke dia saat penumpang masih ramai begini. Kayaknya malu aja… Yah, jumlahnya memang tidak seberapa, tapi ada dorongan dalam hati yang menguatkan untuk bersedekah. Saya berpikir cepat, kalau begitu nanti saja ketika turun di Bogor baru uangnya saya berikan. Saat itu, kereta baru lepas dari stasiun Citayam., Tiba-tiba saya berpikir bagaimana kalau si Bapak turun sebelum Bogor. Haduh…mau ngasih uang dikit aja kok bawaannya rempong yah, bo.. Kemudian saya berdiri tidak jauh dari pintu terdekat keluar. Saya pikir, saya bisa memberikan uang tersebut saat si Bapak turun tanpa jadi perhatian banyak orang. Tepat seperti perkiraaan Saya, menjelang stasiun Bojong Gede, si Bapak tua berdiri bersiap untuk turun. Saya cepat-cepat menyisipkan lima puluh ribuan tadi ke kain gendongannya yang lusuh. Dia hanya berucap pelan: Terima Kasih.

Tanpa Saya duga seorang laki laki setengah baya dan seorang Ibu muda mengikuti “ulah” saya. Si Ibu muda berucap. Pak, saya ingin memberi Bapak sedikit uang, namun saya perlu ke ATM, apa Bapak bisa ikut sampai stasiun Bogor?! Saya cepat-cepat kembali ke tempat duduk Saya. Saya tidak mengikuti kelanjutan pembicaraan mereka. Namun yang saya tahu, Si Bapak kemudian mengikuti Si Ibu muda hingga Bogor.

Saya bertemu mereka lagi di deretan ATM di stasiun Bogor. Nampaknya si Ibu ingin memberikan sedekah lebih banyak. Seorang laki laki yang saya tahu penumpang gerbong yang sama, memberikan satu kantong plastik yang nampaknya berisi beras. Saya rasanya lega sekali, meski tadi sedekah tidak seberapa yang penting bisa membuat mereka yang lain juga ikut berbuat baik. Alhamdulillah..

Hits: 1088