Kalau ditanya benda apa yang harus “dimusnahkan?” Saya pengen jawab: motor! Upss, jangan protes dulu. Ini cuma uneg-uneg saya dengan para pengendara motor yang menurut saya 80% tidak punya aturan. Tulisan ini pake disclaimer: bahwa infrastruktur jalan khusus untuk motor memang belum tersedia dengan cukup di negara ini.

Beberapa bulan yang lalu, ada dua orang anak SMP yang masih berseragam tewas mengenaskan di jalan menuju ke rumah saya. Mereka dengan konyol menabrak truk pasir yang lagi parkir di pinggir jalan. Mungkin karena jalanan relatif sepi, si anak SMP tadi bermanuver layaknya pembalap di Sirkuit Sentul, kemudian salah perhitungan hingga akhirnya nyawa melayang. Jangan tanya SIM. Sudah pasti belum punya, wong masih dibawa umur. Yang perlu ditanya adalah: Kemana orang tuanya, sampe membiarkan anak kecil membawa motor sendiri? Ada temen yang bercerita justru banyak orang tua yang bangga anaknya bisa mengendarai motor dalam usia dini. Kebanggaan yang aneh.

sumber: wartaotomotif.com
sumber: wartaotomotif.com

Akhir-akhir ini karena keadaan, saya sering nyupir sendiri terutama di dalam kota Bogor. Jalan menuju rumah saya -sebuah komplek perumahan menengah bawah dengan lokasi yang cukup strategis- memang penuh tantangan. Jalannya sempit, pemukiman di kanan-kiri jalan sangat padat, berliku, naik turun dan penuh angkot serta motor. Motor yang sebagian besar saya yakin dikendarai mereka yang tidak punya SIM. Dengan kondisi jalan seperti yang tadi saya ceritakan, paling menyebalkan adalah pengendara motor yang ngebut, mengambil jalur orang dan suka tiba-tiba nongol dari titik buta seorang supir. Sebagai contoh, pada jalan dengan dua arah, si motor dari arah berlawanan bisa saja mengambil jalur mobil yang datang dari arah berbeda. Lu pikir enak kagok jadi supir? Mobil saya juga pernah ditabrak motor saat macet di satu simpang yang besar. Kaca spion pun pernah jadi korban motor yang nekad nyalip. Untungnya kerusakannya tidak parah. Namun yang menyebalkan adalah semua itu terjadi pada saat macet dan mobil dalam posisi BERHENTI alias SETOP. Lama-lama saya pikir nyetir cuma menaikkan tensi darah. Harap maklum, saya juga supir amatir yang sangat taat aturan lalu lintas. Hehehe..

Saya juga SANGAT sering ketemu mereka yang membawa anak kecil tapi gaya berkendaranya sungguh tidak tahu aturan. Sering ada satu keluarga dengan dua anak, si ibu mengendong bayi, anak satu lagi duduk atau dibiarkan berdiri diantara Bapak Ibunya. Ada juga mereka yang naik motor tapi sambil sms-an. Herannya rata-rata memang tidak menggunakan helm.

Omygot..,berapa nyawa harga orang Indonesia?

Terlalu murah atau memang punya stok nyawa yang banyak?

Baru-baru ini saya naik ojek dari rumah menuju satu tempat di Bogor. Di tengah jalan si abang ojek menerima telpon dengan tetap mengendarai motornya. Kali pertama saya masih diam, tapi kali kedua saya towel punggungnya dan menyuruh berhenti. Saya bilang, silakan menelepon dulu dan saya akan tunggu. Rupanya ia tidak menggubris, hingga akhirnya ia tidak menelepon lagi. Tiba di satu simpang yang cukup padat, saya nyaris mati konyol gara-gara ia menerebos kendaraan dari arah berlawanan dengan kecepatan cukup tinggi. Hilang kesabaran, saya pukul saja helm-nya. Sambil mengumpat saya minta turun, meskipun akhirnya ia memperlambat laju motornya. Gilanya lagi, saat itu saya tidak pakai helm. Alhamdulillah ternyata saya masih berumur panjang.

Katanya harga motor emang gak jauh beda dari martabak. Dengan DP hanya Rp500 ribu saja bisa bawa pulang motor baru, Masalah bulan-bulan depannya kebayar atau gak cicilannya nanti aja dipikirin. Kalo pun gak bisa bayar, lumayan sudah bisa dipake ngojek sebulan. Tetangga saya di rumah yang dulu, sepertinya bekerja di leasing motor. Di halaman rumahnya diparkir banyak motor yang tidak sanggup dibayar oleh pembelinya. Saya pernah baca satu artikel, untuk membatasi populasi motor ini, pemerintah mewajibkan cicilan awal sekitar 30% dari harga motor,  yang artinya tidak Rp500 ribu. Namun kenyataan masih sering saya temui iklan dan brosur dengan tagline: Cukup 500 ribu, bawa pulang motor baru! Yah..no wonder kalau anak SMP pun akhirnya pake motor.

Saya tidak membenci motor, saya juga pengguna ojek yang setia. Apalagi memiliki motor jadi alternatif yang masih relatif lebih murah dibanding naik angkot yang ongkosnya naik karena BBM naik. Tapi saya sungguh-sungguh benci dengan pengendara motor yang tidak tahu aturan. Ngebut, nyalip, buat apa? Buat gaya, buru-buru atau memang sudah adatnya begitu? Atau bisa jadi mereka punya slogan: ngebut berarti ibadah, makin ngebut makin dekat dengan Tuhan.

Katanya peradaban satu bangsa salah satunya dilihat dari bagaimana penduduknya berlalu lintas. Nah, jadi tahu kan bagaimana peradaban bangsa ini sebenarnya?

Hits: 1317

Kali ini saya mau cerita  pengalaman selama hampir 10 jam di Bandara Incheon, Korea Selatan yang merupakan rangkaian jalan-jalan saya di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Salah satu bandara tercanggih di dunia ini punya fasilitas yang membuat betah meskipun harus menunggu pesawat cukup lama.

Saya tiba di Incheon sekitar pukul 5 pagi waktu Korea dan take off kembali menuju Jakarta pada pukul 3 di sore hari. Sebelumnya saya sudah googling apa saja yang bisa saya lakukan selama transit 10 jam disini. Turun dari pesawat, saya segera menuju bagian informasi untuk menanyakan cara mengikuti City Tour ini. Saya awalnya berpikir cuma dengan mendaftar kita bisa langsung ikut rombongan jalan-jalan. Ternyata, tidak semudah itu. Peserta City Tour harus melewati antrian petugas imigrasi dan mengisi beberapa form. Paspor kita juga dicap seperti halnya wisatawan lain. Dari penjelasan petugas informasi, tidak semua negara bisa ikut program ini. Saat melihat paspor saya, ia mengatakan ada proses lain untuk paspor Indonesia, namun hal itu tidak perlu dilakukan setelah ia mengetahui saya adalah pemegang visa Amerika Serikat.

The Bus
The Bus

Setelah dari imigrasi, saya menuju konter pendaftaran City Tour. Disini petugas konter akan mencatat nama kita, mem-fotocopy paspor, boarding pass dan menyerahkan satu buah PIN tanda peserta yang harus digunakan. Sebenarnya tour ini gratis namun ada biaya USD10 yang di bayar di konternya. Biaya ini untuk makan siang dan tiket masuk tempat wisata. Oya, jarak dari imigrasi ke konter ini lumayan jauh juga, loh!!  Total waktu jalan kaki dari turun pesawat, imigrasi dan pendaftaran ini saja memakan waktu sekitar 40 menit.

Saya memilih Seoul City Tour yang total perjalanannya 5 jam dan dimulai pukul 8 pagi. Saat mendaftar, waktu baru menunjukkan pukul 7 pagi, namun ternyata daftar pesertanya sudah panjang juga. Artinya buat kamu-kamu yang ingin ikut, harus buru-buru daftar agar kebagian seat. Dalam satu gelombang  hanya ada 1 bis dengan kapasitas sekitar 30 orang. Ada beberapa pilihan tour, dari 1 jam hingga 5 jam. Silakan dipilih berdasarkan waktu yang kita miliki. Informasi lengkapnya bisa dilihat disini.

 

http://www.vikaoctavia.com/wp-content/uploads/2014/11/b-IMG_1685.jpg

Tujuan tour kami yang pertama adalah Gyeongbokgung Palace, istana kekaisaran Korea sebelum abad 19. Sepanjang jalan, -guide kami- seorang cewek Korea memberikan banyak informasi dalam Bahasa Inggris tentang lokasi yang kita lewati. Pun setibanya di tempat wisata, ia dengan lancar bercerita tentang sejarah tempat-tempat yang kita kunjungi. Tujuan kedua adalah Jogyesa Temple, sebuah candi Budha yang ada di pusat Kota Seoul. Tidak ada tempat terlewatkan tanpa foto-foto.

bengong menatap makanan Korea
bengong menatap makanan Korea

Perjalanan diakhiri Insadong Street, shopping center yang sebagian besar dijejali toko-toko yang menjual kosmetik Korea. Disini kami juga dijamu makan siang ala Korea. Rasanya? Enak! Buat kita yang orang Asia sebenernya makanan Korea relatif lebih mudah diterima. Saat makan pun si Mbak Guide menceritakan asal muasal makanan dan kebiasaan orang Korea dalam bersantap. Saya senang, disini semeja dengan beberapa orang dari Amerika Serikat, Argentina dan India. Lumayan kan punya kenalan baru..minimal buat bantu motoin kita. Hehehe. Saat itu suhu di Seoul sekitar 18 derajat celcius, cukup dingin memang. Namun dinginnya terbayar melihat pohon-pohon yang mulai berganti warna menjelang musim gugur dan tempat wisata yang memang keren-keren.

Insadong Street
Insadong Street

Mbak Guide-nya lumayan galak loh! Setiap saat ia  mewanti-wanti agar kita tidak telat untuk kembali ke bis menuju tujuan berikutnya. Mungkin karena sering kejadian banyak turis yang keasyikan foto-foto, ia berkali-kali menegaskan tidak ada toleransi bagi yang telat walaupun hanya 5 menit. Jika telat, silakan kembali ke airport dengan transportasi umum. Yah, ada benernya sih, karena semua penumpang transit pasti terikat waktu agar tidak ketinggalan pesawat. Biar pun begitu, saya sangat berkesan dengan jalan-jalan singkat ini. Cukup untuk mengenal Korea secara umum, kelihatan banget pemerintah Korea benar-benar serius menggarap pariwisatanya. Seorang peserta lain yang sempat ngobrol dengan saya bilang; Ia berkunjung ke Korea sekitar 10 tahun lalu. Kini, tidak terbayangkan perkembangannnya yang sangat pesat. Hmm..kapan yaa Indonesia bisa meniru?

B-IMG_1723
Taman di Jogyesa Temple
IMG_20141027_134505
shower room Incheon Airport

Kalau pun malas atau tidak punya cukup waktu untuk keluar, bandara Incheon menawarkan banyak fasilitas yang membuat waktu menunggu tidak terasa membosankan. Selain restoran dan shoppig area yang lengkap, bandara ini sangat friendly buat para backpacker. Di lantai 4 saja tersedia area dengan sofa besar serupa tempat tidur untuk mereka yang tidak sempat menginap di hotel. Kamar mandi pun tersedia dengan gratis lengkap dengan handuk dan perlengkapan mandinya. Di setiap sudut tersedia keran air siap minum, lumayan kan gak usah repot-repot beli Aqua. Praying Room-nya pun cukup memadai untuk para muslim. Sebagai perbandingan, di bandara KLCC, Malaysia, musholla hanya dibuka pada waktu sholat saja, sedangkan praying room (yang umum dijadikan musholla) di Incheon, dibuka 24 jam! Agak lucu sih mengingat pada dasarnya muslim adalah salah satu mayoritas di Malaysia. Hehehe..

 

Hits: 1533

Susi Pudjiastuti, mendadak tenar beberapa minggu terakhir. Di kalangan para pengusaha, media dan akademisi yang terkait dengan perikanan, namanya sudah sangat tidak asing. Dulu, saat saya masih kuliah di IPB, Susi dan perusahaan perikanannya sudah tidak asing, karena sering menjadi rekomendasi tempat penelitian dan magang para mahasiswa. Ketika bekerja di majalah SWA, Ibu Susi beberapa kali menjadi responden sebagai panutan pengusaha sukses di bisnisnya namun tidak sukses makan bangku sekolah. Saya sendiri ‘nyaris lupa’ kalau saya sejatinya saya mengantongi ijazah sarjana perikanan jika Susi tidak menjadi menteri. Maklum, sejak masuk dunia profesional, saya sama sekali belum pernah bekerja yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan. Hehehe..

sumber:  google
sumber: Google

Ada rasa bangga (atau lebih tepatnya haru), karena seingat saya, baru sekarang perikanan menjadi sorotan dan pemberitaan meski awalnya Bu Susi-lah yang menjadi incaran media. Setelah Susi datang, saya dan mungkin banyak masyarakat Indonesia melek kembali bahwa Indonesia bisa kaya dari hasil lautnya. Bayangkan saja, dua pertiga bangsa ini adalah laut. Sewajarnya Indonesia bisa kaya dari hasil lautnya. Lagu masa kecil; nenek moyangku seorang pelaut bukan cuma slogan, karena maknanya sejatinya sangat dalam. Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri, baru berdiri pada 1999, di masa pemerintahan Gusdur. Sebelumnya, sektor ini cuma nempel menjadi subsektor pada sektor pertanian. Lucu ya, katanya negara maritim tapi pemerintah sendiri baru beranjak serius membenahinya setelah 54 tahun merdeka. Tidak aneh jika akhirnya sekian lama kekayaan laut negara ini dicuri dengan damai.

Empat tahun saya dicekokin tentang masalah perikanan Indonesia, mulai dari illegal fishing, over fishing, pencemaran laut, nelayan miskin, pengolahan kurang modal hingga budidaya yang jalan di tempat. Namun, haru saya akui (untuk ini mohon maaf sebesar-besarnya), selama hampir satu dekade saya tidak mengikuti perkembangan sektor ini. Setelah menteri baru-nya yang tidak lulus SMA ramai diberitakan, saya kembali mencari tahu dan ternyata …*hmmm, masalah dunia perikanan Indonesia sekarang dibandingkan 10 tahun lalu masih itu-itu saja. Pernyataan ini silakan didebat, mungkin saya miskin pengetahuan soal ini. Semoga tidak terlalu ekstrim pula jika saya bilang dunia kelautan dan perikanan di Indonesia cenderung jalan di tempat setelah berganti Presiden tiga kali dan beberapa menteri dengan kemampuan yang pasti di atas rata-rata.

Sumber; Google
Sumber: Google

Kemudian datanglah Susi yang membuka kerak-kerak masalah itu dan berjanji akan menuntaskannya hingga lima tahun ke depan. Banyak pihak menyangsikan kemampuan beliau tentu saja alasan utamanya karena pendidikan formalnya yang jauh dibawah menteri-menteri pendahulunya. Gayanya yang slenge’an, gaya bicaranya yang ceplas ceplos serta gerak-geriknya yang jauh dari gaya pejabat pada umumnya, membuat perubahan paradigma sosok pejabat yang selama ini tertanam di benak hampir semua orang. Jika melihat bisnisnya yang hanya bermodal semangat dan kini berkembang pesat, tidak salah jika lebih banyak yang mendukung.

Sama seperti orang kebanyakan saya memilih untuk mendukung Susi daripada belum apa-apa sudah bersikap sinis. Walaupun tergolong orang yang education minded., Saya masih percaya banyak nilai-nilai kecerdasan dan kehidupan yang tidak ada di buku dan diktat kuliah. Sayangnya, pengalaman membuktikan masih ada saja (baca:banyak) orang yang saya temui memandang kemampuan seseorang dari apa yang dia punya di atas kertas. Misal ijazah lulusan perguruan tinggi luar negeri yang lebih berharga dari lulusan lokal. Saya tidak memungkiri mutu pendidikan di luar negeri relatif lebih baik dibanding dalam negeri. Saya juga menyesal, belum sempat berburu beasiswa di negara asing. Tapi rasanya sedih dan miris saja jika poin ini dijadikan prioritas sehingga mereka (para lulusan luar negeri) punya kesempatan lebih luas bahkan renumerasi yang lebih baik, padahal untuk satu pekerjaan yang sama. Yang sekolah bener saja masih sering dianggap begitu, apalagi yang tidak sempat sekolah. Kemampuan analisis, manajerial, sosial dan kemampuan lain kadang tertutup oleh selembar ijazah berstempel luar negeri.

Akhirnya banyak yang dipandang “sebelah mata” , pemikiran dan ide mereka pun sering dianggap sambil lewat karena “casing” nya tidak sebagus mereka yang mengenyam pendidikan di luar negeri.

sumbe: google
Sumber: Google

Sudah umum juga jika sekarang banyak lulusan baru dari universitas terkemuka, ber-IP tinggi dan segudang prestasi bisa melenggang mulus bekerja di perusahaan maupun lembaga terkemuka. Wajar banget.., itu merupakan buah dari hasil kerja keras mereka selama kuliah. Namun lagi-lagi sangat disayangkan, banyak diantaranya yang lupa untuk meng-upgrade kemampuan beretika dalam lingkungan sosial dan lingkungan kerja. Akibatnya, berjatuhanlah korban seperti Ibu Susi yang dipandang sebelah mata oleh mereka yang punya segudang prestasi akademis. Di beberapa kasus, saya juga sering menemui mereka yang “sulit dimengerti”. Artinya, banyak hal yang sebenarnya seperti matematika sederhana 1+1=2, namun dirumuskan menjadi seperti ini : 1+1+3-2-0=2 dan seterusnya. Kata Prof. Rhenald Kasali dalam buku terakhirnya (Self Driving) : orang-orang berpikir semakin kompleks akan tampak semakin berbobot. Semakin tidak dimengerti maka akan dinilai semakin hebat. Para manajer selalu sibuk dengan urusan rapat dan dengar pendapat, semua orang diminta berbicara sehingga waktu habis untuk acara itu-itu saja. Ternyata Simplicity is a hardwork!

Dan… kemudian definisi cerdas pun bergeser, semakin rumit penyelesaian satu masalah, maka semakin cerdaslah mereka yang ada di dalamnya. Lucunya kaum terpelajar seperti ini memang senang bermain dengan ekplorasi. Senang mencari jalan panjang untuk membereskan sebuah masalah. Bisa jadi ini akibat dari banyaknya teori yang sudah mereka telan. Saya sama sekali tidak mengindikasikan itu sebagai hal yang buruk. Namun di banyak situasi, terlalu banyak pertimbangan justru menunda pengambilan keputusan.

Pada sebuah kesempatan, Presiden Jokowi pernah berujar: masalah krusial di negara ini bukan urusan peraturan tetapi urusan pelaksanaannya di tingkat bawah. Saya bangga dengan kabinet Pak Jokowi, meski belum sempurna, tapi banyak “orang-orang lokal” di dalamnya. Asikk, Pak Presiden tidak luar negeri minded!

 ***

Kembali ke Ibu Susi, di masa kepemimpinan dia yang baru seumur jagung. Terlalu dini untuk menilai apakah beliau berhasil atau tidak. Namun, masyarakat menaruh harapan karena sudah lelah dengan mereka (baca: pejabat) yang berpikir too complicated yang ujungnya malah tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Saya percaya Indonesia memang butuh orang gila seperti Bu Susi. Dia cerdas, pelahap buku tapi tidak kemakan teori. Dia membuat teori baru melalui apa yang dia jalani. Itu harganya jauhhh lebih mahal dari selembar ijazah. Dia bisa menjadi tempat belajar untuk menghargai orang lain yang tidak sempat bersekolah tinggi. Bahwa hidup ini tidak instan, bukan seperti kuliah, dapat nilai tinggi kemudian jadi bos dengan mudah di perusahaan ternama. Saya percaya mereka yang lahir dari bawah akan lebih mudah menghargai orang tanpa embel-embel kamu kuliah dimana dan berapa IP-mu.

Hadirnya Bu Susi juga memberi secercah harapan baru –seperti teori-teori kuliah saya dulu- bahwa perikanan dan kelautan bisa jadi tulang punggung bangsa. Akan lebih baik lagi jika lulusannnya benar-benar tertampung di bidang ini, tidak selalu menclok ke bank seperti yang sekarang menjadi realita. Semoga perikanan menjadi ikon yang menarik dan menantang. Kini, tugas kita untuk terus mendampingi dan mengkritik Beliau.

 

Hits: 822

Sebagai wilayah pertama suspect Ebola di Amerika Serikat boleh jadi berkunjung ke Dallas, harus dihindari. Dua minggu lalu, saya -yang gak ngerti apa-apa soal ebola- malah enjoy melenggang ke kota di negara bagian Texas tersebut. Meski TV lokal disana ramai memberitakan hal ini, sebenarnya kondisi relatif aman dan sehat-sehat saja. Disini, (lagi-lagi seperti kunjungan di kota lain), saya punya tempat nebeng di rumah seorang sahabat sesama pekerja di Aceh beberapa tahun lalu. Apop, teman saya itu sudah bermukim disini hampir lima tahun bersama suaminya yang berkewarganegaraan USA. Tanpa Apop, rasanya waktu yang singkat disini tidak akan begitu berkesan.

Jika di New York dan LA yang saya lihat adalah kemewahan ala dunia internasional, jalan-jalan di Dallas sungguh jauh dari yang namanya hedonisme. Tidak ada shopping (eh, ini karena emang bokek deng..) dan tidak ada foto-foto ala Hollywood dan Beverly Hills. Lalu kemana dong?? Yes, selama dua hari penuh saya mengunjungi museum-museum yang sangat menarik yang tiba-tiba membuat saya mendadak (merasa) cerdas layaknya juara kelas. Hehehe..

blog4

Sangat kebetulan, Apop sang guide (dan juga yang suka bayarin), bekerja di Perot, Museum of Nature and Science. Jadi kesinilah saya pertama berlabuh. Dalam bayangan saya -dan saya rasa umumnya orang-orang yang jarang masuk museum-, museum adalah tempat barang-barang kuno atau pun sebuah tempat yang menceritakan sebuah sejarah. Namun, seketika paham itu hilang ketika sampai di Perot. Tidak ada barang antik disini apalagi lukisan-lukison kuno. Perot ibarat laboratorium raksasa bagi ilmu pengetahuan yang disajikan dengan sederhana dan mudah dimengerti. Ada beberapa bagian di museum ini, mulai dari ilmu matematika, biologi, mineral, dunia antariksa, kesehatan, lingkungan hingga olahraga. Uniknya semua dibuat secara interaktif, sehingga pengunjung tidak hanya “menonton” tapi juga bisa melakukan praktek.

Desain yang futuristik
Desain yang futuristik

Sebagai contoh, saya sempat mencoba kemampuan otak kanan dan otak kiri, mencoba kamera yang dapat berputar 360 derajat, memecahkan teka-teki matematika, mencoba beberapa alat musik, merancang seekor burung dari jenis bulunya hingga bunyinya dan mencoba simulasi kekuatan gempa tektonik yang membuat kepala pusing. Saya bahkan meluangkan waktu agak lama di laboratorium biologi untuk melihat bagaimana DNA mahluk hidup membelah diri. Bagi yang iseng, juga bisa mencoba kemampuan berlari dengan standar atlet-atlet dunia sebagai pembanding. Saya terkagum-kagum di bagian mineral, karena disini dipamerkan bermacam batu mulia dari berbagai belahan dunia yang bagus bagus banget. Hmm, looks so serious? No, its fun! Karena ternyata “belajar” hal-hal berat terlihat mudah jika tidak melulu diajari dengan metode menghafal.. Berbanggalah, karena beberapa medium yang dipamerkan berasal dari Indonesia.

blog2
belajar tentang angkasa luar

Museum yang berbentuk kubus unik ini, konon “menghidupi” dirinya sendiri. Artinya hal-hal seperti pengelohan limbah, pemenuhan energi semuanya dilakukan dan diproduksi sendiri melalui siklus yang sudah diatur sedemikian rupa. Tiket masuk sebesar USD 15 sangat sebanding dengan ilmu yang didapat sepulang dari museum ini. Katanya museum ini didirikan oleh Ross Perot, seorang milioner yang sempat mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat

Museum kedua yang saya kunjungi adalah The Sixth Floor Museum, Dealey Plaza. Siapa yang tidak kenal John F Kennedy? Presiden Amerika Amerika Serikat ke 35 yang terbunuh pada 22 November 1963? Namanya sekarang diabadikan sebagai bandara terbesar di AS. Museum ini didedikasikan untuk mengenang JFK sang presiden flamboyan. Uniknya, museum ini terletak di gedung yang dulu menjadi lokasi penembakan JFK. Dinamakan The Sixth Museum mungkin karena pengunjung memang tidak melewati lantai 2-5, karena lift pengunjung langsung menuju lantai 6 yang menjadi pusat museum.

blog1
Dealey Plaza, lokasi penembakan JFK

Pengunjung dipungut biaya USD 16 untuk masuk kesini. Jangan kaget, karena antriannya lumayan panjang. Setelah membeli tiket, kita dibekali semacam headset lengkap dengan perangkatnya yang dibuat dalam beberapa bahasa. Dari perangkat ini kita mendengar rangkaian cerita dengan alur yang sama dengan foto dan beberapa diorama yang dipamerkan disini. Salah satu ruangan yang menjadi lokasi penempak, dibiarkan seperti bentuk aslinya.  Jalanan di depan museum adalah saksi bisu sejarang penting Amerika ini. Landscape-nya nyaris tidak dirubah, masih seperti ketika peristiwa ini terjadi. Sayangnya tamu museum tidak diperkenankan untuk mengambil foto di ruang utama museum.

Disini JFK Terbunuh
Disini JFK Terbunuh

Medianya memang tidak seberagam Perot Museum.Ya iyalah, secara beda genre… Namun masuk kesini saya seperti berada di 1963 dan merasa begitu dekat JFK. Detik-detik kematian JFK bahkan terus terbayang di kepala saya. Sampai-sampai setelah pulang pun saya masih googling untuk mencari tahu lebih banyak tentang presiden ganteng ini. Hmm.. ternyata, begini cara Amerika menghargai orang-orang besarnya. Bagi yang suka sejarah, politik, intelejen dan kriminologi, museum ini wajib disambangi.

Konon, JFK adalah presiden yang senang “blusukan”. Pada hari terbunuhnya, ia sedang dalam rangka dinas di negara bagian Texas. Menggunakan mobil terbuka ia melambaikan tangan ke masyarakat yang sudah memenuhi pinggiran jalan. Siapa nyana, dari lantai 6 Dealey Plaza seorang penembak jitu membunuhnya dengan dua kali tembakan. Konon lagi.., JFK sendiri pernah berkata: If somebody wants to shoot me from a window with a rifle, nobody can stop it, so why worry about it?. It would be so easy for someone to shoot me with a rifle from a tall building. Hmm…

Ngeri, karena negara sedigdaya USA pernah “kebobolan” hingga presidennya terbunuh. Semoga Presidenku yang baru yang juga demen blusukan  selalu aman. Aaamin…

Masih ada cerita lain tentang Dallas di tulisan berikutnya. Kalau iseng, silakan dibuka juga:

Jetlag di Hollywood

Ada yang belum selesai di New York

 

Hits: 1138