Satu setengah tahun yang lalu, saya sudah pernah merencanakan untuk mengunjungi Pantai Ora ini. Sudah siap tiket, tinggal packing tiba-tiba kepergian itu batal, karena saya harus mengikuti proses akhir pekerjaan yang sekarang. tentu saja keputusan mendadak itu membuat Ifan, sahabat saya kecewa berat. Tak disangka, satu bulan yang lalu, Ifan menawarkan lagi, untuk kesini.  Mumpung waktunya pas banget sama liburan, akhirnya bertepatan dengan hari kedua Idul Fitri, bersama tiga orang teman lainnya, kami pun meluncur ke Pulau Seram.

Di tulisan sebelumnya, saya sudah bercerita gimana melelahkannya untuk sampai ke Desa Saleman yang menjadi titik awal kami mengeksplore keindahan Pantai Ora dan sekitarnya. Tapi, baru mencium wanginya air laut saja, rasa capek akibat perjalanan lebih kurang 15 jam dari Jakarta, menguap seketika. Sungguh, Saleman membuat saya jatuh cinta.

fffff

Hari pertama, kami menginap di sebuah homestay penduduk yang sangat nyaman di Saleman. Keluarga Bang Andre pemilik “Moluccas Tour” homestay, bahkan yang mengatur seluruh akomodasi islands hoping, antar jemput ke Masohi plus menjadi guide kami selama disana. Lebih mantep lagi, karena makanan yang disajikan di homestay ini, super enak! Serius!! bahkan jauh jauh lebih enak dari makanan di Ora Resort. Hari kedua, demi merasakan “maskot” pantai ini kami pindah ke Ora Beach Resort. Memang harganya lumayan merogoh kocek, untuk seorang budget traveler seperti saya. Tapi apa yang kita rasakan dan temukan disana, dijamin spektakuler. Hanya ada kurang dari 10 cottage di atas air di resort ini. Harganya dihitung per orang bukan per kamar. Fasilitas yang didapat makan 3 kali, jika perlu bisa sekaligus dengan antar jemput dari dan ke Masohi plus pelayanan islands hoping di seputar Ora.

best home ever...
best home ever…

Di bawah kamar, ikan dori berenang bergerombol kesana kemari. Selama ini  semua  cuma saya lihat dari film animasi Amerika; Finding Dory. Di bagian lain sekelompok ikan bergaris garis yang dengan santai menghampiri manusia yang duduk di pinggir darmaga. Di tepi pantai, kumpulan ikan kecil-kecil seperti teri bisa ditangkap semudah menciduk air dengan gayung. Deuhhh kayaknya enak banget dibikin perkedel! Sepanjang mata memandang, air biru toska tanpa gelombang dan cuaca cerah membuat langit makin biru. Semua itu dilengkapi dengan latar belakang pemandangan bak kalender; bukit karang yang dipenuhi hutan tropis. 

hhhhhhh

Saya baru saja pulih dari sakit gejala typus ketika berangkat ke Ora. Namun, ketika melihat tenangnya biru laut, ada hasrat untuk segera menikmati air dan pemandangan bawah lautnya. Agak ragu-ragu juga awalnya, bukan karena gak bisa berenang dan nerpes (baca: nervous), tapi kepikiran sampai Jakarta harus makan lagi obat yang buanyakk. Namun seperti ada kekuatan magis akhirnya byurrr…nyebur juga! Lupa deh sama  yang namanya sakit! (Dont try this at home!)

IMG-20160710-WA0055

Islands hoping di Ora bukan cuma melihat indahnya taman bawah laut, tapi paket komplit dengan kontur atas lautnya. Tebing-tebing tinggi menjulang membentuk lekukan-lekukan eksotis dan gua-gua laut yang menantang untuk dieksplore. Ketenangan air laut Ora dan sekitarnya membuat siapa pun bisa menikmati sejuknya air laut disini. Tidak perlu khawatir ada ombak besar, bahkan di beberapa tempat, dasar laut yang dipenuhi pasir putih nampak jelas dari permukaan. Ibarat kolam raksasa yang menyatu dengan laut lepas.

must have picture..
must have picture..

Ada banyak spot yang menarik untuk islands hoping di Ora. Pada beberapa titik sudah dibangun semacam gazebo di tengah laut, sebagai titik awal snorkeling. Tebing tebing karang tinggi memanjakan mata dan sangat instagramable. Uniknya, banyak gua-gua di tengah tebing yang lautnya sangat dangkal dan asyik banget sebagai tempat berendam. Lokasi paling menantang adalah spot yang sering disebut “Gua Tebing”. Gua ini serupa kolam kecil berada di bawah tebing dengan kedalaman laut sekitar 6-8 meter. Untuk masuk kesini kita harus melewati bawah tebing, yang artinya harus menyelam beberapa detik dan harus super hati-hati, agar kepala tidak terbentur ujung bawah tebing. Kalau mau berfoto, harus diambil dari sisi lain, oleh orang yg sudah pengalaman, karena harus naik ke bagian tebing yang lebih tinggi dan menyerupai jendela. Hati hati ya!

Gua Tebing
Gua Tebing

Satu hal yang sangat otentik dari Ora adalah kandungan air tawarnya yang banyak. Mungkin karena dikelilingi banyak gunung, mata air tawar sebagai kebutuhan pokok jumlahnya sangat berlimpah. Tidak ada air payau sedikitpun. Ajaibnya ada satu mata air yang disebut penduduk sekitar; mata air Belanda. Letaknya tepat di pinggir pantai dan menyatu dengan air laut! Bayangin, di tengah gelombang pantai, ada air tawar yang melebur dengan air laut. Mata air besarnya hanya sekitar 10 meter dari tepi pantai, kita bisa mandi dan berendam disana. Lucunya suhu air tawar ini dinginn bangett, sangat kontras dengan air laut yang hangat. 

berendam di air tawar super dingin..
berendam di air tawar super dingin..

Duh,Tuhan, maafkan..saya hampir lupa.. kalau Engkau-lah Sang Maha Arsitek di muka bumi ini 🙂

Buat yang senang hiking atau treking, banyak lokasi cihuy yang bisa dijajal di Ora. Saya sempat ikut rute pendek, treking sekitar 10-15 menit di salah satu tebing. Memang semua tebing, lokasinya terjal dan berbatu tajam. Tapi, ketika tiba di puncak, huaaaaa… pengen rasanya gak pulang karena mata dan hati tidak henti-hentinya terkagum-kagum atas surga yang tersembunyi ini.. 

nongkrong cantik abis treking..
nongkrong cantik abis treking..

Terakhir, buat yang bertanya-tanya gimana kesini (sebenernya udah banyak yg nulis juga), ini saya kasih ancer-ancernya. Dari Jakarta naik pesawat ke Ambon (rata-rata via Makassar), ambil penerbangan malam agar bisa tiba di Ambon pagi harinya. Saya sarankan pilih penerbangan Garuda, harganya tidak beda jauh dari Lion namun yang pasti lebih nyaman, karena kita perlu saving energy yang cukup menuju Ora. Dari Bandara Pattimura, menuju Pelabuhan Tulehu (bisa sewa mobil) sekitar 30 menit lanjut menyebrang ke Pulau Seram dengan kapal cepat (hanya ada 2 kali sehari). Dari Pelabuhan Masohi di Pulau Seram masih perlu waktu sekitar 2,5 jam untuk tiba di Saleman. Bagi yang suka mabok, siapin diri baik-baik..karena jalanannya berliku, meliuk-liuk, naik turun dan berbatu.  

Total tiket pesawat PP sekitar Rp2,5-3 juta PP. Kalau sendirian atau berdua, sangat disarankan ikut open trip alasannya biar lebih hemat, itinerary-nya jelas dan bisa dapat teman baru. Kalau mau pergi berkelompok, bisa arrange sendiri dengan kisi-kisi yang tadi saya jelaskan. Total jenderal siapin kocek yang “aman” sekitar 5-6 juta untuk perjalanan 3 hari 2 malam (plus satu malam perjalanan).

Kalau perlu bantuan, jemputan dan lain-lain, silakan kontak Bang Andre di 0853-54506962! Dijamin memuaskan!

 

 

 

 

Hits: 1851

Desa Saleman. Masih lekat di ingatan, beberapa jam sebelumnya pesawat kami mengalami turbulensi cukup hebat, hingga selama 1,5 jam perjalanan Makassar-Ambon lampu seat belt tidak sekalipun mati, bahkan beberapa kali Pilot mengumumkan untuk tidak beranjak dari kursi, walaupun cuma untuk lavatory.

Selanjutnya, dua setengah jam terombang-ambing di lautan dari Pelabuhan Tulehu, Ambon menuju Dermaga Amahai di Masohi Pulau Seram. Baru kali ini rasanya naik kapal cepat dengan guncangan yang lumayan dahsyat. Beberapa tahun lalu saya sempat merasakan hal yang sama ketika bertolak dari Derawan menuju Tarakan. Namun baru kali ombak lautan membuat saya nyaris mabuk.

“Gue yang sudah empat kali kesini, baru sekarang ngalamin kejadian kayak gini” kata Ifan yang mengajak saya jalan-jalan kesini.

kapal

Belum selesai merasakan sisa-sisa mual akibat amukan Laut Seram, kami harus melanjutkan perjalanan darat Masohi-Saleman selama kurang lebih 2,5 jam. Awalnya sih jalannya mulus, lancar dan lurus. Tetapi selepas kawasan Waipia memasuki wilayah Saleman, jalanan berbatu, berkelok kelok tajam dan naik turun di tengah hutan belantara harus dilalui. Yes, inilah turbulensi ketiga! Lagu Broery Pesolima yang diputar Bang Andre sepanjang perjalanan sama sekali tidak mengurangi rasa mual dibarengi kantuk karena perjalanan malam yang menghabiskan waktu lebih dari 15 jam dari Jakarta. Dan nyaris tanpa tidur!

blog2

Tetapi semua itu terbayar lunas saat kami tiba di Saleman. Desa kecil ini adalah titik pangkal menuju Pantai Ora yang ditempuh 10 menit menyeberang dari sini. Topografi Seleman yang berada diantara hutan dan pantai di Teluk Ambon membuat desa terpencil ini dikaruniai pemandangan yang sempat membuat saya berpikir untuk tidak mau pulang. Rasa lelah, mabuk, penat, kantuk dan pegal-pegal selama perjalanan yang cukup panjang itu, tiva-tiba hilang begitu saja.

***

Desa Saleman hanya berpenduduk sekitar 700 jiwa. Sebagian besar dari mereka beragama Islam, tidak heran ada dua masjid di desa ini. Uniknya, sistem pemerintahannya masih mengikuti adat, dimana pemimpin mereka disebut Raja, dan hanya keturunannya yang dapat menjadi penguasa disini. Konon karena perebutan kekuasaan, Saleman terbagi menjadi dua wilayah yang berdampingan.

blog9

Raja kami, bernama Raja Ali Arsyad Makatita” kata Bang Andre sambil menghirup kopi di sore itu. Dalam struktur pemerintahan resmi, Raja disetarakan dengan Kepala Desa. Di Maluku, konsep pemerintahan yang diselaraskan dengan hukum adat seperti ini sudah sangat jamak dilakukan.

Kami tinggal disini selama dua hari ke depan. Keluarga Bang Andre yang memfasilitasi perjalanan kali ini menyambut kami dengan ramah. Ayah Bang Andre masih berdarah Sumatera, sementara Ibunya adalah orang asli Saleman. Lantai dua dan tiga rumah mereka disulap menjadi homestay yang super nyaman. Ibu Bang Andre jago memasak, lengkaplah sudah kebahagian kami karena setiap hari disuguhi makanan enak.

blog8

“Oya, kita harus ke ujung desa”, kata Ifan. Ada rumah ABRI yang bertugas menjaga Saleman dan beberapa desa lain dari kerusuhan antar suku, agama dan golongan disini. Ada sekitar 10 orang ABRI yang dinas disana, terkadang mereka juga diperbatukan untuk menjaga laut yang berbatasan langsung dengan perairan Filipina ini. “Kami disini bergiliran bertugas dan tidak pulang selama satu tahun” ujar salah seorang personil. Untuk menambah kesibukan, Bapak-Bapak ini menanam sayur mayur di pekarangan. “Lumayanlah, karena sayuran termasuk barang langka di desa ini” kata mereka. Dedikasi terpancar jelas di wajah mereka yang begitu ramah dan bersemangat atas kunjungan kami.

IMG-20160710-WA0024
Bersama bapak ABRI penjaga perdamaian dan perbatasan. NKRI harga mati!

Paginya saya berkeliling Saleman. Melihat dari dekat rumah-rumah penduduk asli yang sebagian besar masih terbuat dari kayu. Tanpa ragu, saya menyapa penduduk yang mulai beraktivitas di pagi itu. Tidak ada tatapan aneh dan curiga, senyum bersahabat yang mengembang dari Ibu Ibu yang menjemur pakaian bayi, menandakan desa kecil ini ramah dan terbuka kepada para pendatang. Di depan rumah terjemur cengkeh-cengkeh yang akan dijual. Ya, mata pencaharian utama mereka memang bertani cengkeh. Hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai nelayan. Mungkin karena penghasilan berdagang cengkeh lebih menguntungkan dari nelayan.

blog1

Jangan tanya teknologi canggih. Listrik saja hanya menyala di malam hari. Hanya ada satu provider telekomunikasi pelat merah yang beroperasi, itu pun paling banter cuma bisa buat SMS. Tidak ada game online, hanya anak-anak kecil berlarian di tanah berpasir pantai sebagai jalanan kampung. Di satu sisi terlihat sekelompok lelaki bergotong royong membangun tenda bambu untuk sebuah hajatan.

blog16
wake up every morning with this view 🙂

Sambil ngobrol di depan kamar, saya mengamati tiga bukit karang yang mengapit Saleman. Rolessy, Hatumalulohon dan Kelinanti.  Ketiganya seolah melindungi Saleman dari pengaruh buruk dunia luar. Bukit-bukit itu berpayung kabut abadi menyatu dengan birunya langit. Sementara di sisi berlawanan, sepanjang mata memandang, laut biru dan hijau toska berpadu membuat pandangan lepas tanpa jarak, membuka semua relung hati, membuang semua gundah dan menggantinya dengan perasaan damai, nyaman dan tenang. Asal tau ajah, sebuah penelitian menyebutkan, mendengarkan deburan ombak dan menatap birunya laut dapat membantu meningkatkan kecerdasaan.

Di tengah kampung berdiri sebuah Masjid dengan suara azan yang memenuhi setiap sudut desa. Ada rasa yang berbeda. Rasa yang sama sekali belum pernah saya rasakan di Jakarta.

blog5

Kata seorang teman, ada emotional feeling, ketika sunrise menjadi saat yang paling dinantikan dan ketika sunset menjadi waktu terbaik untuk merasakan megahnya ciptaan Tuhan. Dan, Saya menemukan semua itu di Saleman.

Saya Jatuh Cinta…

Untuk yg mau ke Saleman dan Ora, sila kontak Bang Andre Kamaruzzaman 085354506962

Hits: 3432

Kalau masih bisa mudik, mudiklah. Biarpun ribet, macet, mahal dan capek. Karena pada saatnya nanti, saat semua sudah terpisah, berkumpul dengan keluarga menjadi sesuatu yang sangat mewah

Siang ini saya seharian di rumah, menonton TV yang hampir seluruh siarannya berisi berita arus mudik. Ah, baru sadar sudah berapa lama saya tidak ada dalam rombongan itu. Beberapa tahun lalu saya masih merasakan mengantri hingga belasan jam di Pelabuhan Merak untuk menyebrang ke Bakauheni. Mobil kami berdesak-desakan dengan ribuan kendaraan lain. Saking penuhnya, untuk membuka pintu mobil pun tidak bisa. Kebelet pipis ? Yah, silakan keluar lewat jendela. Serius loh! Di masa kuliah tidak kalah parahnya. Namanya mahasiswa yang hidup pas-pasan, saya pernah mudik dengan bis ekonomi tanpa AC dan kaca jendela yang tepat di kursi saya copot. Jadilah selama perjalanan yang hampir 24 jam itu, saya tertampar-tampar angin malam dan udara lepas.  Masuk angin deh, ketika sampai kampung. Ketika bekerja di Aceh, saya juga pernah mudik dengan rute yang lumayan. Banda Aceh-Medan-Jakarta-Palembang disambung 5 jam perjalanan darat ke Lahat. Pake pesawat terbang memang, cuma namanya musim liburan, bandara pun tidak ubahnya terminal bis. Apalagi, saat itu tiket pesawat Banda Aceh tujuan Jakarta habis. Terpaksalah saya transit di Medan hingga setengah hari lamanya.  Tidak heran kalau saya sering sekali tiba di rumah menjelang Sholat Ied.  

Kalau pun sekarang sudah lebih mampu dan mudik pasti pakai pesawat, ternyata saya merindukan masa-masa itu. Berdesak-desakan dengan sejumlah oleh-oleh buat handai taulan, macet, antri lama seolah tidak berarti jika ingin berlebaran bersama keluarga. Bahkan tidak sedikit yang mudik dengan menantang bahaya. Bermotor dengan keluarga dengan barang bawaan yang tidak sedikit dan jarak tempuh ke kampung yang hingga ratusan kilometer. Malah, tetangga teman saya yang seorang pengemudi bajaj, pernah mudik dengan bajajnya! Gila memang. Hebatnya orang Indonesia, mereka menjalani itu setiap tahun tanpa kapok dan bosan! Persiapan mudik, mulai dari mencari tiket hingga menyiapkan oleh-oleh terkadang malah melebih persiapan ibadah puasa itu sendiri. Kalau pun sekarang moda dan infrastruktur transportasi kian dibenahi, namun itu tidak mengurangi “kehebohan” ritual tahunan ini.

Family Time
Family Time

Sekarang kondisi di keluarga saya sudah berubah. Setelah anak-anak sudah pindah, menetap jauh hingga ke luar negeri dan orang tua saya ikut salah satunya anaknya, rasanya keseruan mudik seperti yang dulu-dulu hanya sudah menjadi kenangan manis yang tersimpan di pigura-pigura foto di rumah Ibu Saya. Sedih? Pasti. Sampai tiba masanya, terasa sekali waktu bersama keluarga adalah hal yang paling mewah. Kerepotan dan kelelahan menjalani mudik ternyata tidak ada artinya jika kita menyadari kembali ke kampung halaman, berkumpul dengan sanak saudara adalah sesuatu yang sangat berharga. 

***

Data menyebutkan total pemudik atau migrasi orang saat lebaran rata-rata sekitar 26 juta orang per tahun. Saya yakin, jutaan pemudik tersebut menyadari indahnya kebersamaan di kampung halaman. Ya, memang ada sih yang niatnya mudik adalah untuk pamer kesuksesan. Tapi di sisi lain, hal itu justru memacu para perantau untuk bekerja lebih giat di perantauannya. Meskipun mudik juga terlihat konsumtif, tapi sejatinya mudik justru mampu menggiatkan perekonomian. Ada berapa banyak THR yang dibagikan ke keluarga di kampung? Ada berapa banyak perdagangan yang bergerak karena budaya ini? Namun yang perlu menjadi perenungan adalah; Indonesia memang terlalu luas ya… sehingga pembangunan di beberapa tempat khususnya Pulau Jawa, jauh lebih cepat dibandingkan daerah lain. Mungkin nantinya jika pembangunan sudah lebih merata, arus mudik tidak akan sedahsyat ini. 

Ah, apapun namanya…bagi saya mudik adalah berkumpul dengan keluarga. Setelah satu tahun berjibaku dengan pekerjaan yang terkadang menjemukan dan monoton. Mudik adalah hakikat kita agar tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Mudik adalah momen untuk merasakan kebersamaan, yang bisa saja tidak terulang lagi. Yuk Mudik!

Hits: 1277