There comes a time, when you have to choose between turning the page and closing the book.

Kalau orang bilang saya kutu loncat, sebenenarnya nggak salah-salah juga sih. Tapi benar juga tidak 100% benar. Yes, betul selama hampir 10 tahun bekerja saya memang sering pindah-pindah tapi semua itu karena hampir semua nature pekerjaan saya yang sifatnya kontrak atau project based. Sebelum bekerja di Aceh, samalah seperti orang-orang kantoran lainnya. Saya mencari kerja yang permanen, kalo bisa karir dan masa depan terjamin hingga pensiun. Tidak neko-neko. Hidup dengan jam biologis bangun jam lima pagi, dan jam delapan pagi sudah duduk manis di meja kantor.  Sampai akhirnya kepindahan saya ke Aceh di 2007 merubah paradigma saya akan arti sebuah “pekerjaan”. Aceh memang telah “menghancurkan” hidup Saya.

Tahun 2015 dengan usia yang bukan fresh graduate lagi, saya menyadari bahwa sudah masanya saya kembali ke pekerjaan yang “secure”, yang menjamin keamanan hidup saya hingga masa tua. Kemudian, terdamparlah saya di salah satu lembaga keuangan terbesar di tanah air. Kata orang itu merupakan prestasi membanggakan, karena konon untuk masuk kesana -yang menjadi salah satu Most Admired Company di Indonesia- terbilang sulit. Bahkan ada dua pekerjaan yang saya tolak dan memutuskan untuk memilih bekerja disana. Saya terima tawaran itu, karena niat utamanya memang ingin belajar. *belakangan saya sedih, karena saya dinilai tidak mau belajar* Gaji saya disana bahkan sama dengan gaji saya lima tahun sebelumnya. Artinya secara bulanan, nyaris tidak ada peningkatan. Untung ada bonus dan THR yang  membuat penghasilan saya lebih baik secara tahunan. Fasilitas kesehatan pun sangat baik, Alhamdulillah. 

Hingga semua terakumulasi pada satu titik, saya merasa disini bukanlah tempat saya untuk berkembang. Banyak kondisi “given” yang tenyata di luar ekspektasi saya. Ya, katakanlah saya over expectation ketika pertama kali bergabung. Saya sering terkaget-kaget dengan keadaan yang dulunya saya kira disini sudah sempurna. Not to mention those things.  Mungkin kesimpulannya, nama besar ternyata memang bukan jaminan. 

Ada pertentangan batin yang saya rasakan, tapi dengan kedudukan saya yang terbatas, sepertinya sulit bagi Saya untuk mengubah semua itu.Tidak ada tempat dan atasan yang sempurna memang, namun Saya takut, takut ikut arus yang kemudian menjadikan saya orang-orang yang “kelamaan ada di zona nyaman”.  Lalu, saya hanya menjadi robot ibukota pergi gelap, pulang gelap dan miskin sosialisasi. Pendek kata agar tidak berkesan “menyalahkan orang dan lembaga” anggap saja memang saya tidak cocok di lingkungan itu berlama-lama.

Banyak yang bilang: “mungkin disana memang bukan “passion” elo”. Lagi-lagi passion disalahkan. Kasian si passion. Ada benarnya sih, tapi sejatinya bukan itu alasan utama. Saya senang menulis, senang jalan-jalan mungkin itu passion. Namun so far, passion itu sendiri belum membuahkan penghasilan yang cukup. Mungkin karena memang belum saya tekuni dengan sungguh sungguh. Jadi kalau ada yang bilang saya resign demi ‘mengejar passion’, keakuratannya cuma 50%. Hehehe.. Toh, saya tahu dengan pasti saya ada di lingkungan dimana sebagian besar orang-orangnya pun bukan bekerja pada passionnya. Malah lebih parah lagi, mereka tidak tau passionnnya apa! They just doing their work regularly, want to leave but still having so so many consideration… Somehow,..I think,..ummm perhaps they had no choice also. Or precisely : Dont want or dont know how TO CREATE the choices. 

Betul, pekerjaan selanjutnya yang akan saya jalani, sangat dekat dengan passion dan mimpi-mimpi Saya. Namun yang saya cari adalah ruang dimana saya bisa bereksplore dengan imajinasi saya, ruang dimana tidak ada sekat-sekat formal antara senior dan junior, ruang dimana ide dan gagasan itu lebih dihargai. Ruang dimana siapun dia, ada potensi yang bisa digali untuk melengkapi tim. Ruang dimana tidak ada yang lebih pandai dan lebih bodoh. Ruang dimana semua orang punya kesempatan dan jalur yang sama untuk meraih achievement setinggi-tingginya. Dan ruang dimana semua personil dinilai dengan obyektif. 

Saya sedih meninggalkan sahabat-sahabat baru saya disini. Setidaknya hampir 2 tahun terakhir, merekalah yang mengisi hari-hari Saya. Saya telah menjadikan mereka sebagai keluarga baru saya. Berat memang. Tapi saya perlu membenahi masa depan saya. Menyiapkan cita-cita besar Saya.  Pun memenuhi mimpi-mimpi saya. Mimpi menjadi orang yang lebih bermanfaat bagi orang lain.

Finally, packing the stuffs is easy but packing the memories is not… 

 

Hits: 903

Alhamdulillah, akhirnya buku saya kelar jugaa!  Meskipun tidak semua tulisan baru, tapi proses editing dan bolak balik cek perintilannya, ternyata lumayan menyita waktu juga loh! Untung, saya happy banget melakukannya, tantangannya jadi tidak terasa.

Dan kalau kalian pikir ini buku traveling, kamu salah besar! Tidak ada satupun cerita jalan-jalan disini. Ada sekitar 30 tulisan yang salah tulis pada periode 2008-2016 yang sebagian besar sudah pernah saya publish. Padahal di blog ini, ada lebih dar 250 tulisan loh! Sisanya mau dibukukan lagi gak? Mau dong… moga-moga tahun depan, ada penerbit mayor yang mau mensponsori buku saya! Hehehe.. Aminn..

Eh… ini buku apaan sih? Dan Kenapa judulnya Jam Weker? Yang jelas ini bukan diktat kuliah, bukan buku teori motivasi (yang membosankan) dan bukan buku yang membacanya harus pake mikir… Biar seru, ini saya kasih kisi-kisi dari beberapa teman saya yang sudah baca:

  • Tulisan dan pemikiran yang kreatif, menghibur, dan out of the box. Dengan bahasa yang santai, renyah, menginspirasi, edukatif namun tidak menggurui, membuka jendela pikiran kita untuk lebih open minded terhadap paradigma hidup. Wajib dijadikan teman untuk menikmati secangkir kopi di sore hari setelah berjibaku dengan rutinitas pekerjaan di kota metropolitan yang carut marut ini (Windy Liestyani, Auditor Bank Mandiri)
  • Bukan sekedar bercerita, buku ini mengajarkan bagaimana cara menghargai, saling berbagi dan mencari ilmu disetiap kesempatan (Hendikin, IT Manager PT Indoferro)
  • Warna warni kehidupan yang sederhana tapi mengesankan dalam buku ini, hal yang sebenarnya biasa tapi menjadi menarik karena ditulis dengan tulus (Rynal May Fadly, Social Worker)
  • Buku ini asik banget dibaca, ringan, mudah dicerna dan sangat menghibur dengan gaya penulisan yang santai. Berbagai macam cerita ada disitu, dari yang serius, santai, humor, inspiratif, bahkan cerita hororpun ada loh. (Arlia Gustini, Make Up Artist)
  • Bacaan ringan yang enggak perlu pake mikir untuk bacanya. Penuh dengan kejadian yang inspiratif namun kocak yang terkadang membuat gw cekikikan sendiri saat a sampe ga berasa tiba-tiba sudah diujung halaman terakhir buku ini (Riesmayanti Nastinasari, Field Marketing Supervisor PT Nojorono)

Nah, sebagai rasa bersyukur…saya mau bagi bagi 3 buku ini FREE! Bebas ongkir dan bebas pajak! Heheh.. Gimana caranya

  • Tulis komen yang unik, apa yang kalian pikirkan tentang “Jam Weker”. Apapun tentang Jam Weker. Mungkin kamu punya cerita tentang jam weker di rumah juga boleh… Gak usah panjang-panjang, ringkas, lucu, menarik dan mudah dimengerti.
  • Pastikan alamat email kamu sudah diinput dengan benar agar saya mudah menghubungi, jika kamu menang,
  • Bagikan (share) link berikut  Pemesanan Buku Jam Weker  ini   lewat twitter atau Facebook kalian. Kalau twitter mention ke @vikhasy (Jangan lupa follow dulu), Kalau Facebook mention ke Jussmengkaa (huruf a-nya memang 2. Jangan lupa like dulu yaa.. http://www.facebook.com/jussemangka. Beri hastag #BukuJamWeker
  • Saya akan memilih 3 terbaik dan hadiah akan dikirim gratis ke alamat kalian!

Gimana, gampang kannn ??? Ditunggu hingga 10 Oktober 2016!

 

 

 

 

 

Hits: 1354

“Malam ini, saya tidak menunduk. Saya menatap lampu-lampu studio Indosiar yang terang ini, karena saya yakin suatu saat pasti akan kembali kesini.  Uang 100 juta hanya nominal yang akan habis di kemudian hari. Tapi setelah ini masih banyak yang akan saya lakukan, so tetap temani Saya”

Namanya Raim Laode, saya jatuh cinta saat pertama menonton audisinya melalui Youtube untuk Talent Show Stand Up Comedy. Pemuda berusia 22 tahun membuat saya hobi bolak balik nonton rekamannya. Komedinya renyah, cerdas, khas Indonesia dan mengandung kritik sosial. Ternyata saya tidak sendiri, ia digemari banyak orang. Dan tiba-tiba saja saya tidak mau terlewatkan satu episode pun penampilannya. 

Sampai akhirnya mata saya malam tadi berkaca-kaca. Seumur hidup yang bukan ABG alay lagi, baru kali ini saya begitu emosional akan hasil sebuah talent show. Raim Laode tereliminasi setelah diunggulkan oleh banyak pihak. Yah, harus diakui dua kali terakhir penampilannya memang bukan yang paling prima. Namun jika diukur rata-rata sejeblok-nya penampilan Raim Laode, masih tetap memiliki ambang bawah yang lebih baik dari beberapa kontestan lain. Masalahnya, ada kontestan lain -yang lolos”menurut saya” jauh sekali kualitasnya dibawah Raim. Materi kontestan yang satu ini, garing, tanpa pesan, tanpa wawasan dan (maaf) keliatan cetek. Harus diakui, pada beberapa penampilan sebelumnya, dia memang bagus. Tapi makin kesini, keliatan makin membosankan, tidak ada “isi” dan sangat monoton.

Dann…ternyata “Patah Hati” karena Raim tereliminasi jauhhh lebih sakit dibandingkan ketika tahu Jokowi mengeliminasi Menteri idola saya, Jonan dan Anis Baswedan. Serius!! Hahaha..

Yah, komedi memang masalah selera. Tapi bagi saya; komedi yang bagus itu: komedi yang cerdas dan berwawasan, bukan cuma lucu cengar cengir dengan subyek yang absurd. Dan semua itu ada pada Raim Laode. Mungkin dia memang “orang kampung”, tapi keliatan sekali pola pikirnya tidak “kampungan”.  Sementara tetangga sebelah? Entahlah…

Saya yang jarang banget nonton TV, awalnya berharap program ini, tidak sekedar komedi tetapi ada inspirasi dan pesan untuk anak-anak muda agar kian berkreasi, makin kenal negerinya dan makin cinta bangsanya. Raim membawa pesan itu, kehadirannya membuat kita jadi makin yakin bahwa Indonesia ini kaya. Dia pede dengan ketimurannya. Dia bangga akan asalnya. Sesuatu yang hampir langka dengan anak muda yang kini makin kebarat-baratan. Beberapa orang teman saya, bahkan penasaran banget hingga merencanakan ke Wakatobi. Bahkan, ada teman saya yang baru tau bahwa Wakatobi itu terletak di Sulawesi Tenggara bukan di Papua. Hahaha..

Setelah eliminasi itu, sosial media pun ramai. Saya pikir hanya saya yang kecewa dengan hasilnya. Saya pikir saya ini penonton biasa, saya gak ngerti teknik tenik nasihat juri. Saya taunya cuma; lucu, terhibur dan terselip “pesan” di dalamnya. Twitter penuh dengan ungkapan kekecewaan, kesedihan bahkan bully-an terhadap juri. Juri memang pakar, tapi di komedi, menurut saya JURI SESUNGGUHNYA ADALAH PENONTON! Anggaplah kami ini orang awam, tidak paham teori penilaian stand up comedy. Tapi saya kira juri harusnya cukup cerdas untuk menambah bobot acara ini dengan memilih peserta yang pantas ke babak final. Ada idealisme juri yang ternyata digadaikan (mungkin) demi…entahlah demi apa…

Dan.. kompetisi adalah tetap kompetisi. Ada yang kalah, ada yang menang. Ada kompetisi yang sebenarnya, ada pula yang setting-an. Ada pula yang tak jauh berbeda dengan sinetron drama. Kompetisi pun bukan akhir justru awal dari dunia yang sebenarnya. 

Hanya sedikit saya sayangkan, kenapa anak-anak seperti Raim tidak diberi kesempatan lebih lama untuk lebih banyak menginspirasi melalui ajang ini. Sadarkah sudah begitu banyak porsi telah kita berikan kepada selebgram yang gaya hidupnya jauh dari tata krama bangsa kita. Sementara, ada Raim dan (mungkin) Raim lain dan Raim selanjutnya yang “terpaksa” turun panggung, karena penilaian yang entah dasarnya apa…

Finally, Tetap semangat Raim, ini cerita manis untuk awal yang lebih manis. Indonesia bangga punya anak muda seperti kamu. Jangan lelah memberi inspirasi bagi banyak anak negeri. Maju terus! Saya yakin kamu bahkan jauh jauh lebih baik dari para juara. 

 

 

Hits: 1598