Rumput di halaman belakang mulai menguning. Tanaman merambat yang dulu ditanam Ibu sudah memenuhi tembok membatas rumah kami dengan kali kecil di belakangnya. Pondok bambu tempat kami dulu sering bercengkrama kini sudah rubuh. Bekas kayu dan bambunya masih berserakan di sumur, sumber air utama keluarga kami. Bibir sumur pun mulai retak, untung saja airnya masih jernih. Jika tidak segera diperbaiki, bisa-bisa dindingnya ambles dan temboknya runtuh masuk ke dalam sumur.

Saya duduk di meja makan yang menghadap langsung dengan halaman belakang itu. Dinding ruang makan merangkap dapur ini dipenuhi foto-foto keluarga. Bingkai bingkai tua yang melingkari potret-potret itu tertutup debu karena lama tak tersentuh. Meski tak bersuara, semuanya seolah bercerita tentang kehangatan yang pernah ada disini. Tiga bulan lalu saya juga sempat pulang, ketika banjir besar menggenangi kampung ini, menengok rumah ini, rumah keluarga kami. Dan hari ini saya kembali kesini, setelah setengah mati minta cuti satu hari dengan bos di kantor yang menyebalkan. Saya cuma rindu.

Di samping rumah, pohon rambutan Ibu masih ada. Buahnya masih hijau kekuningan, tetapi rasanya sudah manis. Musim rambutan memang sudah berlalu, tapi saya masih bisa memetik satu dua buah sambil mengingat ketika dulu buahnya masih tumpah ruah dan menggoda sepupu-sepupu kecil kami.

“Kapan sampai?” suara Mang Udin tiba tiba membuyarkan lamunanku.

“Tadi siang, mang.. “ kataku, sambil mengelap sisa sisa debu yang memenuhi foto pernikahan Dion dan Dina.

Mang Udin, penjaga rumah ini kemudian pamit ke belakang. Pelan pelan saya beranjak ke ruang tengah. Kursi kursi dan perabot diletakkan rapat dengan dinding, hingga menyisakan ruang luas di tengahnya. Permadani kesayangan Ibu sudah digulung tersimpan rapih di sudut ruangan. Banjir beberapa bulan lalu membuat penataan ruangan ini tidak seperti biasanya.

Rumah besar peninggalan mendiang Ayah ini terasa senyap. Jendela-jendela tua yang dibuat 30 tahun lalu masih kokoh dan seakan jadi saksi kehangatan yang pernah ada disini. Lima belas tahun lalu, kami besar dan tumbuh disini. Pelan tapi pasti, Saya, Dila dan Dion meninggakan rumah ini. Merantau ke Jakarta, mencari hidup kami sendiri. Dua tiga tahun lalu kami masih disini berlebaran bersama, tapi mungkin itu sudah jadi lebaran terakhir kami bersama. Sudah dua tahun Ibu pindah ke negeri Belanda, mengikuti Dila yang sudah berganti kewarganegaraan. Mau tidak mau, tugas merawat rumah ini menjadi tanggung jawab Saya, sesuatu yang akhirnya jadi rutinitas setiap tiga bulan. Jarak Jakarta kesini cukup jauh, masih butuh waktu 5 jam lagi dari bandara terdekat setelah terbang kurang lebih satu jam dari Jakarta. Sedangkan Dion,… air mata ini rasanya ingin menetes ketika memandangi foto Romi anak semata wayang Dion dan Dina. Anak yang sudah saya anggap seperti anak sendiri. Ya, pernikahan mereka di ujung tanduk.

Tiba tiba saya sudah tertidur lelap di kamar Ibu. Tiga puluh menit lagi waktu berbuka puasa. Di luar hujan. Kata Mang Udin, sudah dua minggu tidak turun hujan, mungkin di sore ini kota pun menyambut Saya dengan hujannya.

“Widaaa,..ayoo bangun,..sebentar lagi berbuka!”

Suara Ibu memanggil Saya, Ia pasti sudah siap dengan menu hidangan puasa kesukaan anak-anaknya. Saya cepat-cepat beringsut dari kamar dingin ini. Sekejap kemudian, Saya sadar…tadi hanya lamunan. Terakhir kami berbuka puasa di rumah ini tiga tahun lalu. Namun sore ini, saya sendirian. Tidak ada siapa-siapa. Sunyi.

Tiga tahun lalu, Romi bocah kecil nan lucu itu menemani kami menunggu waktu berbuka. Tingkah polahnya yang lucu, membuat waktu berjalan tak terasa. Foto-foto Romi masih tertata apik di dinding ruang tamu. Ibu selalu bangga pada cucunya itu. Mata saya berkaca-kaca. Hubungan Ibu dengan menantunya sekarang kurang baik. Masalah rumah tangga Dion dan Dina menjadi akar penyebabnya. Mungkin tidak ada yang mutlak bersalah, yang memberatkan adalah komunikasi yang mungkin makin minim. Ibu nun jauh disana sementara Dion dan Dina di Jakarta. Jangan bilang, teknologi sekarang mampu membuat semuanya tanpa batas, ternyata tidak pernah ada yang menggantikan interaksi langsung, tatapan mata dan sentuhan tangan.

Semua tiba-tiba terasa begitu senyap. Ada yang hilang atau mungkin semua telah hilang. Entahlah. Rasanya air mata ini ingin tumpah, tapi toh buat apa. Saya disini sendiri, tidak tahu kepada siapa harus mengadu. Tidak pula ada bahu untuk bersandar. Teman dekat? Ah, sudahlah.. masih tersisa keping-keping traumatik di kepala saya tentang hubungan terakhir dengan seseorang di ujung Pulau Sumatera sana.

Saya bukan orang yang bisa mengumbar masalah keluarga kemana-mana. Biarkan teman-teman saya tahu, kalau saya punya keluarga yang bahagia, karir yang bagus, jalan-jalan terus keliling Indonesia, minimal satu kali dalam satu tahun ke Amerika dan semuanya.

Bingung rasanya untuk mengurai benang yang terlanjur kusut. Saya cuma bagian dari keluarga ini, namun tidak punya hak untuk menentukan kemana arah hidup saudara-saudara saya. Saya sadar, apapun yang terjadi dalam keluarga adik dan kakak saya adalah privasi mereka. Namun ibarat darah dalam daging, pedihnya perpisahan terasa begitu membekas di hati. Tuhan tahu, saya korbankan begitu banyak kepentingan pribadi untuk melihat mereka bahagia meski harus menunda kebahagiaan saya sendiri.

Bergegas saya menuju kamar mandi. Berkaca-kaca mata ini ketika melihat mainan ikan-ikan plastik masih ada di bak mandinya. Yah, itu mainan Romi. Lemari besar di kamarnya masih berisi baju-bajunya, mainan-mainannya dan tumpukan selimut selimut lucu khas balita. Semua masih tersusun rapih. Di sudut kamar terlihat beberapa tumpukan barang tidak terpakai. Sumpah, saya enggan menjamahnya. Saya biarkan semua tetap seperti itu, karena membukanya sama saja dengan menuai kenangan lama.

Sungguh, saya benci perpisahan. Saya benci jarak. Saya benci keluarga yang semuanya tidak pernah ada dalam satu pulau bahkan satu negara. Tapi saya tidak bisa membenci semua yang sudah ditakdirkan Tuhan. Saya tidak bisa pergi dari masa lalu saya, masa lalu kami. Saya berusaha berdamai dengan keadaan. Mungkin memang saya harus pergi, meninggalkan rumah cinta masa kecil ini, untuk memahami arti hidup, untuk mengerti arti perjuangan, untuk meresapi makna cinta yang sebenarnya. 

Dan sore ini…saya membiarkan semuanya tertinggal seperti dulu. Agar selalu ada rindu untuk kembali.

 

 

 

 

 

Hits: 2228

Kali ketiga berkunjung ke Arizona, saya masih mengira salah satu negara bagian Amerika Serikat ini super gersang dengan perubahan suhu yang sangat signifikan antara musim panas dan musim dingin. Ternyata anggapan saya iitu salah. Februari lalu saya menyambangi Prescott, sebuah kota kecil yang ditempuh sekitar 2 jam dari Phoenix, ibukota Arizona. Kota ini menyimpan banyak keindahan dengan cuaca yang berbeda dibandingkan kota-kota lain di Arizona. Jika kota-kota lain tidak bersalju, Prescott bersalju pada musim dingin meskipun sebagian besar daerahnya tandus bak gurun. Ketika saya kesana, musim dingin seharusnya sudah berakhir, tapi masih cukup dingin. Buat saya -yang sama AC saja, alergi bentol-bentol- cukup menyiksa. Lumayan loh, bisa dibawah nol derajat di pagi hari dan paling tinggi sekitar 15 derajat di siang hari. Brrr,…gak asyik banget rasanya harus pake kaus kaki plus kaus tangan kemana-mana. Namun ada jajaran pohon-pohon yang daunnya habis dan menunggu bertunas kembali, yang membuat kota ini menjadi cantik

IMG-20170208-WA0012
dari puncak kota

Prescott dipenuhi lokasi-lokasi teduh dengan pepohonan, bangunan heritage dan jalan-jalan cantik yang memesona. Karena konturnya perbukitan, kota ini seperti gurun yang bertingkat-tingkat. Dari beberapa puncak bukit kita bisa memandang seluruh penjuru kota. Prescott juga dikenal sebagai salah satu kota tertua di Arizona, Hampir tidak ada bangunan tinggi disini, seluruh pusat kota dipenuhi gedung-gedung tua yang tetap terawat dan berfungsi dengan baik, bahkan ada hotel tua dengan lift dari abad ke 18 yang persis seperti kerangkeng besi. 

kota

alun alun

Tante Lina, tuan rumah yang menjamu saya selama disana bilang; tempat yang wajib didatangi di Prescott adalah museum. Iya, museum! Wisata yang buat sebagian besar orang kita tidak umum. Kalau umum, mungkin Museum Nasional tidak pernah sepi. Yeekaan? Nah, dari sekitar 10 museum yang ada di Prescott, Sharlott Hall Museum adalah yang paling direkomendasikan. Museum ini adalah peninggalan rumah Gubernur Arizona dan pusat pemerintahan Arizona State pada abad ke 19  yang didirikan di 1928 oleh Sharlott Hall seorang politisi wanita pertama di Arizona.

museum1

“Where are you come from?” tanya petugas museum dengan ramah saat saya membubuhkan tanda tangan di buku tamu. Perempuan berusia sekitar 50an tahun itu, sedikit mengernyitkan dahi ketika saya menulis : INDONESIA (dengan bangga pasti!). Sesaat kemudian dia tersenyum kembali. Mungkin saja dia tidak tahu Indonesia dimana, atau  bisa jadi belum ada orang Indonesia lain selain saya yang kesini. Ah, GR.. Eh, pasti ada sih ..tapi yang mengisi buku tamu, sepertinya memang cuma saya! Hahahah.. 

buku tamu

 

Kemudian saya terkagum-kagum sendiri, menyaksikan bagaimana rumah pribadi yang digunakan di sekitar 100an tahun lalu menjadi begitu menarik. Kalau sering nonton film-film Amerika berlatar belakang abad 18-19, ya kira-kira begitulah barang-barang yang dipamerkan. Tempat tidur antik di kamar dengan gorden berenda-renda, jas pria lengkap dengan wig yang bergelung-gelung pirang, longdress wanita dengan rok lebar bergelembung -yang mungkin kalau dipakai sekarang sangat ribet-. Bahkan seisi perabot rumah pun menjadi pajangan yang menarik. Dapur dengan alat masak kuno, ruang tamu dengan furniture beraroma mistis hingga ornamen-ornamen dekorasi rumah yang kini pasti sudah jarang kita temui.

Sharlott Hall juga memiliki bangunan-bangunan terpisah yang berisi sejarah Arizona. Negara bagian yang berbatasan langsung dengan Meksiko ini, sarat cerita tentang pembaruan antara orang native Amerika (suku Indian), bangsa Meksiko dan para kulit putih sendiri. Milestone-milestone perkembangan Arizona sebagai negara bagian USA yang ke-50 juga tertata sangat apik. Bikin betah, tambah wawasan dan  sama sekali tidak membosankan.

museum8

museum7

Spot kedua yang saya kunjungi adalah Historical Boulevard (HB) atau Historic Distric. Jalanan sepanjang tidak lebih dari 2 km ini menjadi salah satu atraksi turis unggulan di Prescott. Masih dalam tema kota antik, HB dipenuhi rumah-rumah kuno yang berjajar rapih dan semuanya berpenghuni. Rumah-rumah tua ini tetap didiami pemiliknya, tapi dikembangkan menjadi obyek wisata oleh pemerintah. Rumahnya lucu-lucu, dari model rumah bak kastil jaman dulu hingga rumah drakula pun ada.

HD

Baiknya lagi, para penghuninya sadar bahwa kediaman mereka menjadi tontonan dan menganggap itu sudah jadi bagian dari keseharian mereka. Jadi tidak bakal ada yang marah kalau kita foto-foto di halaman rumahnya. Bahkan jika beruntung, kita akan ketemu pemilik yang dengan ramah menyilakan masuk ke dalam rumahnya. Wow!

HD1

HD4

Siang itu suhu cukup dingin untuk ukuran orang kita, sekitar 15 derajat celcius. Tapi keunikan, keindahan dan keramahan Prescott  membuat saya yakin, akan kembali lagi kesini suatu saat nanti 🙂

 

 

 

Hits: 2616

Sebenernya sih, saya ini bukan “perempuan perempuan” banget yang doyan nongkrong di salon, kemana-mana bawa catokan rambut, satu set peralatan make up komplit dan punya jadwal rutin meni pedi. Namun biar bagaimana pun, tetep yang namanya perempuan menjaga kebersihan diri itu wajib hukumnya, Bukan buat siapa-siapa, tapi terutama untuk kenyamanan diri sendiri. Nah, soal perawatan diri itu umumnya sulit dilakukan saat kita sedang traveling. Tapi bukan berarti tidak mungkin loh, tetap harus disempatkan, agar kalau pulang dari jalan-jalan tidak ada masalah yang terjadi dengan kulit. 

Bagi saya- traveling apalagi yang lebih dari tiga hari, harus diusahakan membawa keperluan se-efisien mungkin termasuk perlengkapan mandi. Tidak perlulah membawa seluruh isi kamar mandi di rumah. Nanti jadinya kayak pindah rumah dong! Karena saya orangnya anti rempong, seringnya kebutuhan yang saya bawa pun harus multifungsi. Salah satunya sabun sekalian lulur yang aman dipakai setiap hari. Eh, beneran ada? Ada dong…namanya Purbasari Lulur Mandi Green Tea! Satu-satunya lulur mandi yang baik dipakai setiap hari. Kemasannya juga praktis karena ada yang kecil, jadi pas deh buat di koper atau ransel.

Purbasari4

Kebanyakan traveling saya memang outdoor, lulur mandi purbasari ini pas banget fungsinya. Bahan-bahan alami yang terkandung di dalamnya akan melindungi kulit sepanjang hari. Panas-panasan di bawah matahari gak perlu takut-takut amat, karena lulur sekaligus sabun mandi ini bisa melindungi kulit dari efek buruk sinar matahari.  Kandungan antioksidan dan vitamin E-nya, membuat kita gak perlu repot membawa tambahan “perlengkapan perang” lain saat traveling.

Bulan lalu, saya sempat ke Kupang untuk sebuah pekerjaan. Suhu di Kupang saat itu, panasnya minta ampun. Ibarat ada lebih dari satu matahari di satu tempat. Tapi godaan untuk main ke pantai-pantainya yang cantik tentu saja tidak bisa saya hindari. Beruntung kami menginap di hotel yang cukup layak, jadi sepulang beraktivitas saya masih bisa mandi dengan Purbasari Lulur Mandi. Kebayang gak sih pas capek-capek abis kepanasan, ngadem sambil luluran?! Really Priceless! Tidak perlu ada waktu khusus untuk perawatan, tidak perlu repot-repot cari spa atau salon. Traveling bisa tetap cantik, anti kumel dan lusuh meski cuaca terik dan penuh debu.

Purbasari-Green-Tea-1000x638

Oya, meski saya berhijab yang artinya sering menggunakan baju tertutup, tetap dong saat kondisi begitu kulit harus diperhatikan. Secuek-cueknya kalian, kalau masih merasa perempuan pasti akan timbul rasa khawatir jika berada dalam cuaca yang ekstrim. Meski selalu tertutup, perawatan dari dalam masih wajib hukumnya. Nah, kandungan Double Antioksdan yang dimiliki dari Ekstrak Green Tea dan Vitamin E di Purbasari lulur mandi ini membantu mencegah kulit kusam, penangkal radikal bebas dan polusi serta mencegah penuaan dini. Jadi jangan menunggu kulit bermasalah baru kita cari solusinya.

purbassari

Tidak kalah penting adalah Purbasari lulur mandi green tea ini distribusinya sudah hampir tersebar merata. Di berbagai supermarket maupun toko online pasti ada yang jualan. Ada dua jenis ukuran yaitu 125gram dan 235gram, tentu saja dengan harga yang gak bikin bangkrut. Ukuran 125 gram harganya cuma Rp10000, dan ukuran 235 gram harganya hanya Rp13000.

Sudahlah manfaatnya segitu banyak, harganya juga segitu mendukung.Kalau males kemana-mana, bisa juga beli online di Tokopedia atau Lazada. Tinggal duduk cantik di rumah, lulur mandi purbasari akan segera tiba. Oya, kalau saat jalan-jalan saja kita bisa leluasa menggunakan Purbasari, apalagi kalau sedang tidak kemana-mana kan? Pokoknya, Purbasari Lulur Mandi Green Tea harus jadi sahabat cewek kapan pun, dimana pun!

 

 

Hits: 835