Masih melanjutkan cerita tentang liburan singkat saya di Belitung minggu lalu, kali ini sedikit ulasan tentang pantai-pantainya. Ini adalah liburan kedua saya bulan ini ke tempat bernama pantai. Bulan lalu disela-sela tugas ke Aceh saya menyempatkan mampir ke beberapa pantai di bumi nanggroe tersebut. Di Belitung saya berkunjung ke beberapa pantai yaitu, pantai Tanjung Tinggi, Tanjung Binga, Tanjung Kelayang hingga ke Pulau Lengkuas dan Pulau Burung. Komplit-lah, meski capeknya juga komplit. Tapi seneng dan puas banget.

Komentar saya secara keseluruhan, pantai-pantai di Belitung sangat eksotis dan punya karakter yang belum tentu ada di daerah lain terutama di Indonesia. Namun lagi lagi (dan selalu begitu), pariwisata Belitung (seperti juga sebagian besar provinsi lain di Indonesia) masih jauh dari optimal pengelolaannya. Sayang banget. Transportasi umum di Belitung sangat minim, bahkan nyaris tidak ada.  Akibatnya wisatawan mau tidak mau harus ikut dalam rombongan travel. Selain harga yang kadang sedikit lebih mahal, tidak semua wisatawan enjoy bepergian dengan biro travel yang jadwalnya cenderung mengikat. Apalagi kini makin banyak orang yang senang bepergian ala backpacker. Belitung khususnya Penduduk Tanjung Pandan pun menurut saya belum siap daerahnya menjadi daerah wisata.  Belum banyak usaha souvenir barang-barang khas Belitung, tempat makan yang masih terhitung sedikit pilihannya. Harusnya kedua hal tadi bisa membuka lapangan kerja baru bagi penduduk Belitung. Yah, ini sih bisa dimaklumi, meski sudah banyak yang mengenal keindahannya sejak dulu, tetapi harus diakui fenomena Andrea Hirata dan Laskar Pelangi-nya membuat Belitong alias Belitung menjadi lebih mendunia. Namun, apapun kekurangannya, Belitung sangat direkomendasikan sebagai tempat berlibur baru. Saya selalu dan selalu menyimpan semangat optimism akan majunya pariwisata Indonesia.

Industri ini adalah salah satu industry dengan pertumbuhan paling tinggi beberapa tahun terakhir.  Belum optimal saja, pertumbuhannya sudah tinggi, gimana jika dikelola lebih serius? I’m proud being an Indonesian. Lovely Indonesia.

berasa jadi putri duyung..hehehe
berasa jadi putri duyung..hehehe

Hits: 925

Tahun 2012, bagi saya adalah satu periode dengan kondisi jiwa dan batin seperti naik roaller coaster atau seperti naik ontang anting di Dufan. Terpelanting kesana kemari, naik turun, takut, cemas tapi diselingi banyak kegembiraan dan berkah.  Campur aduk. Setelah menyelasaikan pendidikan master saya di akhir 2011, awal 2012 saya diterima di kantor saya yang sekarang (ukp.go.id). Bagi saya bekerja di UKP4, seperti sebuah rendevouz dari pekerjaan lama di Aceh dulu. Ya, karena pimpinan lembaga ini adalah juga atasan saya di BRR dulu. Beberapa kolega-nya pun adalah teman lama. Suasana kerja yang dibangun juga kurang lebih sama. Bedanya, sekarang saya berkantor di Jakarta bukan di Banda Aceh dan bekerja untuk cakupan yang lebih nasional. Its grateful!

Di sisi kehidupan pribadi, bagi saya 2012 adalah tahun pengayaan batin yang luar biasa. Setelah satu puncak tragedi di Maret 2012, banyak cara pandang saya yang berubah terhadap sebuah hubungan manusia.   Tapi ibarat roda kehidupan, periode ini adalah sebuah titik balik maha penting bagi saya. Ini adalah cerita sebuah cinta, kasih sayang yang berujung mentally abusing. Duh, kalo teringat itu, mau nulisnya saja rasanya gak sanggup.  Tapi tidak apa-apa, setiap manusia pasti pernah punya periode berat dalam hidupnya.  Apapun yang sudah terjadi, ya sudahlah. Pasti ada hikmahnya entah besar  atau kecil yang ketahuannya juga entah kapan. Sedikit trauma di kejiwaan saya, tapi sepertinya saya tidak punya alasan untuk berlama-lama di masa lalu.  Memang tidak ada ilmu yang lebih sulit dipelajari selain ilmu ikhlas.  Dan saya rasa, nilai keikhlasan saya sudah terdongrak signifikan karena peristiwa ini. Sedih, tapi tetap bersyukur. Alhamdulillah ya, Allah…

Ada yang pergi, pasti ada yang datang. Mungkin saya memang belum beruntung untuk urusan “pribadi”, tapi tahun ini saya dilimpahi banyak berkah yang dulu sepertinya di luar kemampuan saya. Selain mensyukuri pekerjaan baru saya tahun ini saya diberi kepercayaan menulis dua buah buku. Bukan buku besar, sih.. tapi paling tidak ada, saya punya portofolio baru yang bolehlah…saya tarok di CV. Hehehehe. Buku pertama; Manual Guide Decission Support System For Sustainable Peaceful Development in Aceh, Database Rencana Pembangunan Gampong  yang merupakan proyek dari World Bank. Buku kedua masih tentang Aceh (teteuppp ya, booo.).  Silakan diliat di tautan ini.  Ini adalah milestone penting bagi saya. Akhirnya, saya bisa punya sesuatu  (untuk Aceh) dan untuk cita-cita saya menjadi seorang penulis sungguhan (Amin..) Oya, kumpulan tulisan di blog ini juga sedang dalam proses dibukukan. Mohon doa restunya dari teman-teman semua. Pada 2012 ini juga saya menempati rumah baru kecil mungil meski statusnya belum lunas alias masih nyicil. Hihihi.. Rumah yang konsep interiornya saya rancang sendiri dan terus pengen didandanin jika ada rejeki lagi.

Banyak hal-hal lain yang memorable, namun secara garis besar tahun ini saya diberi banyak karunia, teman-teman baru, pekerjaan baru dan tantangan tantangan hidup yang Insya Allah akan menjadikan saya lebih dewasa menghadapi hidup saya ke depannya. Meski kondisi iman terkadang juga seperti cuaca yang berubah-rubah, Alhamdulillah selalu ada yang mengingatkan saya kalau saya tidak pantas untuk tidak bersyukur. Mulai dari anak kecil penyemir sepatu, tukang buah buta keliling yang lewat di depan rumah hingga abang becak renta di depan stasiun Bogor.

Resolusi 2013? Banyak! Tapi yang paling penting, saya selalu minta dikasih kesehatan lahir batin sama Tuhan agar semua cita-cita bisa tercapai.  Tidak kalah penting lagi, masiih harus terus memperdalam ilmu ikhlas. Agar segala daya upaya yang kita lakukan, hasil sepenuh-penuhnya saya tawakkal-kan kepada Tuhan. Semoga. Amin.

Hits: 693

Bulan ini saya bisa liburan sebentar ke Pulau Belitung. Kebetulan ada teman lama, Yeni yang sudah bermukim disana. Selain pantainya, lima tahun terakhir Belitung diberi “julukan” baru Negeri Laskar Pelangi. Yah, asal muasalnya apalagi kalau bukan buku mega bestseller tulisan Andrea Hirata yang sudah buanyakkkkk saya tulis di blog ini.  Saya sudah menggagendakan harus mengunjungi Gantong, kampong si Bang Ikal dan ngopi di Manggar. Sekedar ingin merasakan atmosfer yang sering Andrea ungkapkan di buku-bukunya.  Saya juga mampir ke SD Muhammadiyah Gantong, sekolah Laskar Pelangi.  Jangan salah yah, ini hanya bangunan yang didirikan sebagai lokasi syuting film Laskar Pelangi 2008. Bangunan aslinya tentu sudah tidak bisa menggambarkan cerita akhir 1970an itu.

Setiba disana, saya baru tahu ada Museum Kata, museum-nya Andrea Hirata. Saya yang mengaku fans beratnya jadi malu sendiri, ternyata saya tidak tahu ada museum yang sudah didirikan sejak 2010 ini. Hehehehe. Awalnya kok kesannya “berat” banget ya.. Ada museum di desa kecil  yang bahkan belum tentu seluruh penduduknya mengerti apa itu museum. Namun anggapan itu berubah ketika kami tiba disana. Memasuki museum yang berupa rumah tua dengan 1 ruangan utama dan 4 ruangan lain, ada box sumbangan Rp2000/orang yang mereka sebut sebagai “uang kebersihan” Di setiap dinding terpampang apa dan siapa Andrea Hirata, karya-karyanya, foto-foto dari scene film Laskar Pelangi, puisi-puisi Andrea bahkan kata-kata motivasi dari berbagai tokoh dunia. Lantai museum hanya dilapisi dengan tikar pandan kampung yang sangat biasa, tapi rumah seluas kurang lebih 15×15 m ini sangat bersih, resik dan  nyaman. Di sebelahnya ada bangunan setengah jadi yang nampaknya akan menjadi perluasan museum ini. Nuansa semangat, ketulusan dan pentingnya pendidikan sangat-sangat terasa.  Sebutlah ada sebuah foto berlatar belakang sekolah Laskar Pelangi dengan langitnya yang biru bertuliskan:  “Sekolah adalah kesempatan, berkah dan kegembiraan” (Andrea Hirata). Disisi lain sebuah kalimat: Berkaryalah, karena karya itu akan menemukan nasibnya sendiri.  Tentu saja masih banyak kata-kata indah sarat makna dari berbagai orang yang sudah menorehkan sejarah dunia.  Keseluruhan tema yang ingin diangkat ruangan kecil ini adalah: DO I INSPIRE YOU?  Kalimat berbahasa Inggris ini hampir ada di setiap tulisan di ruangan ini.

Saya  nampaknya sedang beruntung. Ketika saya pamit ingin ke kamar kecil, jreng..jreng..ternyata di ruang belakang saya bertemu si empunya. Sedikit kaget, sampai saya mundur sesaat. Tapi kemudian saya mengulurkan tangan dan mengenalkan diri sambil bilang: Bang, kita pernah ngopi di Banda Aceh, 1,5 tahun lalu, loh.. Andrea Hirata sedikit lupa mungkin, tapi kemudian dia tertawa dan akhirnya ingat kalau satu malam di Banda Aceh, 2011 lalu dia pernah membayarkan kopi sanger saya dan dua orang teman saya. Bang Ikal sangat ramah, dia bertutur  1,5 tahun belakangan, ia bermukin di Perancis karena sedang mengerjakan buku baru karena editornya orang sana. Wow, ternyata saya juga tidak tahu soal ini. Hahahha.. katanya fans..

 

Kami mengobrol sedikit, ia banyak menceritakan museum yang ternyata dibeli dan dikelola oleh manajemennya sejak 2010. Saya juga sedikit nanya-nanya tips menerbitkan buku kepadanya. Saya lupa bilang, saking ngefans-nya saya nonton musikal Laskar Pelangi sampai di Singapura, tidak saja mengoleksi buku-bukunya. Hari itu masih pagi, pengunjung museum belum banyak, karena agenda jalan-jalan saya masih padat, saya pamit pulang. Ia mengantar saya dan rombongan sampai ke depan pintu. Saya tersanjung dan tak sabar untuk membagi cerita ini

Ada satu yang juga belum sempat saya bilang ke beliau. Kalau saya dan dia punya kesamaan. Sama-sama menjadikan Aceh sebagai awal inspirasi untuk menulis… ^__^

Andrea Hirata menulis Laskar Pelangi terinspirasi setelah pulang dari tugas sebagai relawan tsunami Aceh 2004.Pada salah satu memoar yang terpampang di museumnya, ia menuturkan: di Aceh ia melihat sekolah-sekolah yang hancur dan anak-anak yang tidak dapat bersekolah lagi. Baginya, ini membangkitkan kenangannya di masa kecil  yang berjuang memperoleh pendidikan. Saya pun begitu, selama dan setelah bekerja di Aceh, otak saya hampir selalu penuh dengan inspirasi untuk menulis. Entah dari melihat alamnya, ataupun dari semua kenangan dan peristiwa yang pernah terjadi di dalamnya. See?! .. *selamat menikmati foto-fotonya*

Hits: 839

Masih ngomongin Aceh, tepatnya inspirasi dari Aceh. Setiap kembali dari sana, saya seolah “tidak siap” bertemu dengan Jakarta.  Yang terbayang, macet dimana-mana, orang-orang yang terburu-buru, angkutan publik yang buruk dan dunia sosial yang jauh sekali berbeda dengan di daerah. Saya bersyukur pernah kerja di daerah (baca; Aceh) dan merasakan atmosfir yang tidak melulu dalam suasana kompetisi dan yang dikejar itu hanya posisi dan materi.  Kemana-mana dekat, semua orang ramah, tidak saling curiga dan suasana kekeluargaan yang bukan cuma “sampul” seperti orang Jakarta. Kehidupan sosial juga begitu, tidak perlu harus punya dompet tebel untuk nongkrong di café-café mahal  Cukup di warung kopi sederhana dengan uang kurang dari 10 ribu, makna kekerabatan itu diperoleh.  Malahan “ngumpul-ngumpul” ala warung kopi tanpa AC begini, bagi saya melahirkan banyak ide, menjalin relasi bahkan menghilangkan kegalauan. Wah, aku udah persis orang Aceh banget kalo begini.

Bagi saya bekerja di Jakarta kemudian menclok sesaat dengan pergumulan kerja ala Aceh adalah proses keseimbangan.  Terkadang memang timbul rasa bosan, karena Aceh tidak menjanjikan hiburan ala metropolitan; café, karaoke dimana-mana, bioskop, mall yang bertebaran tetapi Aceh punya pantai yang indah, alam yang rupawan, wisata religius dan artefak-artefak tsunami yang sangat monumental bagi daerah ini bahkan dunia. Buat saya yang mulai bosan dengan kekejaman Jakarta, semua itu indah dan damai.  Kebahagian di keramaian ala Jakarta terkadang membosankan dan sangat individual menurut saya.  Orang-orang Jakarta semakin memandang orang lain dengan penuh kecurigaan. Sudah jarang saya temui senyum ramah dan orang yang sekedar mau menjawab pertanyaan kecil -seperti lokasi sebuah tempat- di jalanan.

Padahal bahagia itu sederhana, ketika detak jantung tidak sekencang ritme Jakarta, ketika melihat pemandangan tepi jalan yang indah, ketika semua orang saling menyapa, ketika semua masalah seakan selesai karena kebersamaan yang bukan cuma kulit. Saya masih percaya, indikator kualitas hidup manusia dilihat dari hal-hal itu, bukan koneksi internet berkecepatan tinggi dan berapa banyak saldo di rekening Anda.

Ah, saya selalu rindu suasana itu. Cukuplah di Jakarta untuk mengejar sedikit prestasi dan sejumput materi yang terbungkus bentuk pengabdian kepada  negara ini. Biar cuma Jakarta yang semerawut dengan semua gejolaknya. Dan, suatu saat, saya ingin kembali ke satu  tempat, dimana saya dapat menemukan semua itu. Amin.

Hits: 972

Wah, kalian yang sering baca blog saya ini pasti bosen kalau saya cerita soal Aceh lagi… Aceh lagi.. Tapi begitulah kenyataannya, saya selalu punya stok cerita lama dan cerita-cerita baru tambahan dari wilayah terbarat Indonesia ini.   Minggu ini (lagi dan lagi) saya berkesempatan menyambangi Aceh. Asal tau aja, di kunjungan sebelumnya, saya yakin banget kalau gak bakalan kesana lagi. Tapi ternyata salah tuh… (hehehe..) Karena pernah punya “kisah sinetron disini”, saya ingin menghindari banyak hal yang berbau Aceh. Tetapi kemanapun pergi, selalu ada ujung yang akhirnya mendamparkan saya kembali kesana. Intinya udah muter-muter kemanapun baliknya kesana lagi.  Akhirnya saya berkesimpulan, Tuhan memang mendukung saya “move on” dengan caraNya; yaitu mendekatkan saya kepada hal yang saya hindari. Bukan untuk membuat galau, tapi untuk membuat saya lebih kuat menghadapi semua yang akan terjadi. 🙂

Kepergian terakhir, judulnya tetep; Kerja. Kali ini partner in crime saya adalah Aichiro Suryo, rekan sekantor saya. Alhamdullillah urusan pekerjaan hampir tidak menemui kendala apa-apa. Ekstra bonusnya apalagi kalau bukan jalan-jalan. Saya, Aichiro ditemani beberapa teman lokal menyusuri pantai-pantai Aceh yang indah, napak tilas berbagai monumen tsunami dan tentu saja yang wajib nomer satu: Ngopi. Alhamdulillah saya masih punya banyak teman yang sudah seperti keluarga disana.

 

Aceh masih seperti dulu menawarkan keindahan alam, keramahan masyarakat, keunikan budaya dan prasasti tsunami 2004 yang monumental terpatri  di hampir setiap sudut kota.  Meskipun semua belum berjalan sempurna, saya mencintai Aceh, saya ingin Aceh lebih baik dari masa ke masa. Semoga.

Hits: 877

Di pertengahan tahun ini, saya dikontak oleh seorang teman yang menawarkan sebuah pekerjaan menulis buku.  Mulanya saya pikir, ini pekerjaan sambilan biasa, karena saya –yang suka gak pede ini– yakin kalau fungsi saya di pekerjaan itu hanya supporting.  Sampai akhirnya saya bertemu dengan Devi, National Project Manager R2C3, Bappenas UNDP yang menyatakan “serius” ingin meminang saya untuk pekerjaan ini sebagai penulis inti. Tidak ada seleksi, tidak ada tes ini itu.  Devi dan timnya hanya mendengar nama saya dari rekomendasi beberapa teman BRR bahwa saya mampu untuk pekerjaan ini. Agak kaget setelah mendengar penjelasannya. Ternyata ini adalah pekerjaan cukup besar. Kok mereka percaya-percaya aja gitu sama gw, yah? Padahal belum kenal secara pribadi, tidak pernah liat CV saya. Hanya dari obrolan “head hunter”  dadakan teman-teman saya. Akhirnya saya mem-pede-kan diri untuk menerima pekerjaan ini. Karena materinya tentang pekerjaan saya di Aceh dulu, karena saya mencintai Aceh dan saya percaya cinta selalu membuat yang tidak bisa menjadi bisa, yang tak kuasa menjadi kuasa. 🙂

UNDP juga menginginkan muatan buku ini lebih dalam dan sedikit berbau “scientist”. UNDP kemudian berinisiatif; saya dengan pengetahuan materi tulisan “dikolaborasikan” dengan Dr Yanuar Nugroho. Seorang akademi “lokal” yang mengajar di Universitas Manchester, UK dan banyak berkiprah di bidang teknologi dan sosial di Eropa. Ini satu lagi blessing in disquise buat saya. Sedikit berkilas balik, awal 2012 saya bertemu Mas Yan, demikin beliau biasa akrab dipanggil di UKP4, kantor saya. Beliau memberi pencerahan dan masukan untuk pekerjaan kami kala itu.  Waktu yang singkat itu (satu hari) membuat saya begitu “terpesona” akan kedalaman pengetahuan dan cara beliau membaginya. Terbersit sedikit pikiran, andai suatu saat bisa bekerja sama dengan beliau.  Ternyata pikiran itu doa yang beberapa bulan setelahnya benar-benar menjadi kenyataan. Lebih nyata lagi, karena  akhirnya beliau pindah ke Indonesia dan bekerja di kantor yang sama dengan saya. Woott!!

Buku ini bercerita tentang bagaimana sebuah aplikasi berbasis internet bernama RANDatabase mampu menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dengan ratusan organisasi lokal dan dunia yang bekerja di Aceh pasca tsunami. Saya bersama Mas Yan mencoba menyajikan sebuah pembelajaran bahwa sebuah aplikasi tidak hanya sebuah “mesin” kaku yang berpendar di layar computer. Tetapi juga memainkan peranan fungsi sosial yang menyatukan banyak pihak.  Banyak hikmah yang dipetik, yang bisa digunakan untuk penerapan aplikasi serupa tidak saja pada kondisi bencana tetapi juga kondisi normal.

 

Buku ini memang secara “harfiah” bukan buku saya, kepemilikannya ada di Bappenas. Tetapi bagi saya ini satu portofolio baru dan pembuktian kalau saya bisa selangkah lebih maju tidak cuma menulis blog curhatan *gak penting.  Sekali lagi, bertepatan dengan momentum 8 tahun tsunami (26 Desember 2012); saya bangga pernah menjadi bagian dari perubahan Aceh, perubahan menjadi lebih baik.

 

Hits: 1045