Sejak pulang dari Aceh (huuu…Aceh meluluuuu), saya pengen bilang bahwa sejatinya hidup itu dimulai dari warung kopi. Yes, life begins at coffee shop.  Buat saya,  nongkrong di warung kopi bukan sekedar  untuk bersosialisasi, ngobrol sambil menikmati secangkir latte yang mengepul, tetapi juga tempat mencari inspirasi dengan berlama-lama bekerja di depan laptop tanpa bosan. Bahkan sangat tidak jarang saya nongkrong di warung kopi sendirian untuk menyelesaikan setumpuk pekerjaan  atau sekedar menulis untuk blog ini.  Tahun lalu, saya sempat menulis satu buku yang jika dihitung-hitung lebih dari 50% isi buku itu saya selesaikan di warung kopi. Plok…plok..plok..

Karena saya tinggal di Bogor, saya punya warung kopi favorit. Namanya Telapak café, letaknya persis disamping pool Bis Damri bandara, disamping Botani Square  pas depan Terminal Baranangsiang. Kenapa saya suka disini? Letaknya tidak begitu jauh dari rumah, angkotnya mudah, harganya masuk akal dan kopinya enak. Tidak itu saja, kafe ini menyediakan free hotspot dengan kecepatan yang lumayan lengkap dengan colokan listrik di hampir semua meja. Tidak heran, saya betah berlama-lama disini, bahkan kadang sampai kafe ini tutup di pukul 11 malam. Beberapa bulan terakhir ini, saya pikir ada bagusnya saya mencoba mencari warung kopi lain di seputan Bogor. Tentu saja bukan chain internasional seperti Starbucks atau Coffee Bean yang ada di hampir tiap mall.  Mulainya pencairan melalui Mbah Google. Meski tinggal lama di Bogor, gak berarti saya tahu setiap jengkal Bogor. Maklum, kalau hari kerja lebih banyak di Jakarta.

Kedai Telapak
Kedai Telapak
Kedai Telapak
Kedai Telapak

Read More

Hits: 1602

One challenge in our academic world today is ‘credentialism’ – focusing on gaining credentials rather than depth in intellectual reflection (Yanuar Nugroho)

Agak tergelitik membaca twit Mas Yan diatas. Soalnya saya memang akhir-akhir ini ketemu dengan orang-orang yang mengejar gelar, posisi dan status atau karena ada  kewajiban/keharusan jadi master, jadi doktor makanya mereka melanjutkan sekolah. Saya beberapa kali berbincang dengan adik-adik saya yang masih duduk di bangku kuliah sarjana. Mereka bertanya; kapan baiknya mengambil S2? Saya yang melanjutkan S2 setelah beberapa tahun bekerja, dengan mantap berkata: setelah kamu bekerja profesional minimal dua tahun.  Saya ini masih agak konservatif, soal beginian. Menurut saya yang namanya kuliah master itu ya, memang harus “master” dalam arti sebenernya. Langsung melanjutkan S2 disaat baru lulus S1, ibaratnya cuma “naik kelas” alias pindah sekolah. Padahal master yang sebenarnya adalah bentuk kemapanan kita akan satu bidang keilmuan yang prakteknya lebih penting darimana teorinya. Makanya perlu kerja dulu buat dapet bentu praktek yang lebih cihuy. Gak percaya asumsi saya ini benar? Coba deh cari-cari syarat beasiswa master (apalagi yang di luar negeri), hampir selalu ada ketentuan harus bekerja minimal 1-2 tahun. Bahkan ada beasiswa yang ditujukan untuk kalangan professional di level manajerial. See?!

 

Read More

Hits: 577

Ceritanya minggu lalu, saya “mupeng berat” dengan yang namanya pantai. Dengan kondisi kantong yang cekak dan waktu libur yang singkat, sepertinya tidak memungkinkan untuk melancong ke pantai-pantai indah di Bali atau Lombok atau Aceh Lon Sayang.. (How I miss Aceh..). Memang sih, dalam setiap perjalanan dinas ke luar ke daerah akhir-akhir ini sering ketemu pantai, tapi itu benar-benar cuma numpang lewat. Boro-boro menikmati pasir putih, mampir sekedar minum kopi pun kadang tidak sempat.

Entah dapat wangsit darimana, tiba-tiba terlintas ingin main ke Pulau Seribu. Yah, karena lokasi ini yang paling dekat dari Jakarta dan biayanya pun terjangkau. Sejujurnya agak setengah hati ketika merencanakan perjalanan ini. Katanya pencemaran perairan di Teluk Jakarta sudah melebar hingga Kepulauan Seribu. Tergambar di benak saya bagaimana dampaknya terhadap pantai-pantai di sekitarnya.  Dari hasil googling, saya nyaris belum menemukan tulisan dengan rekomendasi positif, kecuali pernikahan sepasang artis tenar di salah satu pulau yang katanya untuk mendongkrak pariwisata kepulauan ini.

kampanye lingkungan di Pulau Pramuka
kampanye lingkungan di Pulau Pramuka

Pagi hari keberangkatan di PPI Muara Angke, saya melihat jubelan manusia, penuh dari segala umur berdesak-desakan di PPI yang bau amis dan rela mengantri kapal tongkang kayu. Disini saya mulai berpikir, jika turisnya sebanyak itu berarti lokasinya memang menarik dong.  Fasilitas darmaga yang minim, nyaris tidak ada tempat menunggu yang layak, -pokoknya bener-bener gak nyaman- harusnya terbayar dengan lokasi yang dituju. Kalau tidak, ngapain capek capek dari subuh sudah nangkring disana. Di tahap ini saya sudah mau ngomel rasanya dengan Pemda DKI. Ini kok, turis lokal bahkan asing sebanyak ini, tapi fasilitasnya minim banget.  Memang sih, ada darmaga khusus di Marina Ancol, yang armadanya kapal cepat. Tapi itu biayanya hingga 3-4 kali lipat dibandingkan dari Muara Angke. Kapasitasnya pun terbatas.  Padahal wisata bahari harusnya adalah wisata massal, jadi fasilitas kapal kayu pun sepatutnya tetap dibuat lebih layak agar jumlah wisatawan juga meningkat. *Pak Ahok, tulisan ini dibaca yaa…

Pukul 07.30 tepat, kapal yang saya tumpangi meninggalkan Darmaga Muara Angke yang warna airnya sudah coklat tua, bau dan penuh sampah. Beuhhh… Dalam perjalanan yang kurang lebih dua jam itu, saya memilih duduk di geladak kapal, untung merasakan angin laut pagi yang sejuk.  Di dalam kapal kayu itu, hanya ada satu ruangan besar tanpa kursi yang dipadati wisatawan dan penduduk lokal dengan berbagai barang belanjaan mulai dari beras, buah hingga sayur-sayuran dari Jakarta.  Kebayang kan, gimana sesaknya. Bagi yang mungkin sering melancong ke luar negeri, kondisi begini pasti “gak banget”. Tapi saya yang orang kampung-an sih ini masih oke-oke aja.  Hehehe..

 

teduhnya Pulau Air

Menjelang pukul 10.00 WIB, kapal kami merapat di Darmaga Pulau Pramuka. Wah, disini saya sempet kaget. Ternyata darmaganya bersih banget, sangat beda dengan Darmaga Muara Angke. Airnya sangat jernih, bahkan salah satu sisi darmaga dijadikan Taman Miniatur Ekosistem Laut Dangkal. Darmaga kayu yang sangat eksotik ini membuat saya semangat, dan melupakan sedikit ketidaknyamanan dengan suasana sumpek Muara Angke.  Oh ya, Pulau Pramuka adalah salah satu dari 113 pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Dari jumlah itu hanya 9 pulau yang berpenghuni dan Pulau Pramuka ini adalah pusat administrasi pemerintahan Kepulauan Seribu. Kemudian kami diajak ke penginapan yang mereka sebut home stay (HS). Dalam asumsi saya, homestay adalah rumah penduduk yang disewakan. Namun ternyata itu definisi lama yang masih kebawa-bawa. HS adalah penginapan kecil layaknya bungalow yang kebetulan menghadap langsung ke pantai dengan fasilitas lumayan.   Sepanjang jalan menuju HS saya memperhatikan bahwa pulau ini cukup bersih, air lautnya yang jernih membuat kita bisa melihat langsung biota laut di saat pasang.  Nyaris tidak ada sampah.  Di sepanjang jalan mulai berdiri beberapa depot makanan. Ada pula billboard-billboard besar yang menyerukan pentingnya menjaga kebersihan laut. Tampaknya dipasang oleh NGO-NGO lingkungan yang bekerja disini. Meski masih cukup jauh dari sempurna, pergerakan menjadi wilayah ekowisata sepertinya sudah mulai terlihat.

Selepas sholat lohor, kami diajak ke beberapa spot di pulau kecil lain di sekitar pramuka untuk sekedar menikmati alamnya atau menyelam (snorkling). Waduh,

mejeng bentarlah, ya....
mejeng bentarlah, ya….

saya yang semula tidak berekspektasi berlebihan, merasa disuguhi panorama alam yang sangat indah  dan membuat saya sadar, masih ada lho…pantai indah di sekitaran Jakarta dan itu bukan Ancol! Airnya yang tenang, jernih, biota laut yang indah, udara laut yang sepoi-sepoi membuat perjalanan seharga Rp390 ribu (2H1M) itu sangat layak.   Karena rombongan saya sebagian besar belum pernah menyelam, agen travel kami memberi waktu untuk “belajar”, di perairan yang lebih dangkal. Itu saja pemandangannya sudah indah sekali.

Tidak itu saja, kami juga diajak melihat penangkaran ikan hiu sembari menunggu sunset di pulau nusa keramba. Sempat juga mampir ke Pulau Semak Daun, yang punya pasir putih meski garis pantainya tidak panjang. Malamnya kami masih disuguhi hidangan BBQ di pinggir pantai.  Pagi sebelum pulang, kami diajak mengunjungi penangkaran penyu sisik. Penyu-penyu yang sudah termasuk langka ini dipelihara hingga dewasa, sebelum akhirnya dilepaskan kembali ke habitatnya di laut lepas.  Disini juga ada pembibitan mangrove yang disumbang dari  berbagai korporat besar di negeri ini.  Saya yang sarjana perikanan, jadi ingat mata kuliah ini jaman dulu yang kebetulan dapet C *bangga… * Intinya, banyak lokasi yang cukup edukatif buat mereka yang membawa anak usia sekolah. 

sunset di tepi darmaga

Kesimpulannya saya mau bilang; jangan ragu-ragu ke Pulau Seribu. Kalau gak sanggup naik kapaltradisional dari Muara Angke, bisa dicoba dengan kapal cepat dari Marina Ancol, siap-siap saja kocek yang lebih tebal.  Buat yang baru pertama kali, ada baiknya menggunakan jasa agen travel yang sangat banyak di internet. Selain lebih murah (apalagi kalau kita berombongan), mereka juga sudah punya agenda dan bisa jadi guide untuk spot-spot menarik lain yang layak dikunjungi.  Kabarnya masih banyak pulau-pulau lain yang layak dikunjungi tetapi belum menjadi destinasi utama Kepulauan Seribu.  Pemerintah memang masih banyak punya tugas berat untuk menyulap wilayah ini menjadi benar-benar bernilai jual seperti pembenahan pelabuhan Muara Angke yang kondisinya memprihatinkan, fasilitas air tawar yang minim dan fasilitas-fasilitas penunjang lain. Namun, kekurangan yang ada sekarang gak boleh mengurangi niat kita kesana. Minimal, biar yang punya gawe itu jadi ngeh, kalau memang banyak yang harus dibenahi. Sekali lagi, kalau bukan kita, siapa yang bisa membuat negara kita yang indah ini lebih baik?!

 

Hits: 1296

Dan..upayaku tahu diri..

Tak slamanya berhasil

Pabila kau muncul terus begini

Tanpa pernah kita bersama

Pergilah,menghilang sajalah lagi

 

Baca penggalan lagu Maudy Ayunda di atas jadi tiba-tiba kepingin cerita tentang sebuah cerita yang (mungkin) membosankan.  Tentang seseorang yang udah kemana-kemana tapi ujung-ujungnya datang kembali setelah membuat separuh jiwa rasanya mau mati *lebay… Kabarnya ia sudah terlibat hubungan yang serius dan segera akan menikah. Mungkin kedatangannya ke saya, hanya wujud silaturahim sebagai teman. Saya ingin mengutip satu quote (yang saya bikin sendiri) bunyinya: Akhirnya kita akan sampai di suatu masa, bahwa masa lalu bukan hanya untuk dikenang, tapi juga untuk ditertawakan.

Setelah melalui proses yang sangaaatt panjang. Ini mungkin proses terlama yang gak abis-abis dalam sebuah proses yang “pake hati” Dengan semua emosi yang naik turun, dengan penyesalan yang tidak berpangkal. Hati yang remuk redam, merenungi nasib yang kayaknya buruk banget, saya rasa, saya (hampir) sampai pada quote di atas. Saya memang menunggu sebuah masa, ketika dia “datang” kembali tapi saya merasa biasa-biasa saja.  Soal si “bapak” ini, saya memang sudah jarang cerita ke sahabat-sahabat saya. Kenapa? Karena mereka kebanyakan memberi saran yang ekstrim. Seperti, tutup semua bentuk komunikasi kalo perlu semua di-block. Jangan percaya semua omongan dia, semua penuh kebohongan, licik, tipu daya dan sejenisnya. Alasannya tentu saja karena dia bukan laki-laki yang pantas, yang sudah datang dan pergi seenaknya untuk menyakiti saya. Bisakah saya melalukan semua itu? Hmm, mungkin iya.  Saya sudah pernah memaki-maki dia, dari emosi marah sampai emosi nangis semua sudah dilakukan. Ibaratnya, jika ada 1000 cara mengenyahkan ia dari hidup saya, saya sudah melakukan 1001 cara.

Read More

Hits: 842

Sampai detik ini Saya masih menyimpan timbunan mimpi untuk bisa melihat benua Eropa dan Amerika. Jika dipikir secara matematika, saya sadar untuk kondisi sekarang dan satu-dua tahun ke depan hal itu belum memungkinkan. Tapi kita tidak tahu, selama ada ikhtiar pasti ada jalan, dan sekarang saya masih dalam proses ikhtiar itu. Aaminn. Sejujurnya dulu masih merasa iri dengan beberapa teman yang bisa melancong ke benua-benua itu, baik yang bayar sendiri apalagi yang bisa gratis. Duh, saya kapan yaa.

Tapi sekarang, rasa iri-nya mungkin sudah jauh sekali berkurang. Kenapa? Karena di pekerjaan saya yang sekarang, saya sudah diberi “rejeki” melancong hampir di 2/3 provinsi negara ini. Meskipun “bungkusan”-nya dinas kantor, yang rata-rata hanya dua hari, saya merasakan bahwa saya makin jatuh cinta dengan Indonesia. Saya bukan mau bercerita soal Bali atau Yogyakarta yang memang sudah jadi maskot wisata Indonesia. Masih ada puluhan daerah lain yang sangat layak untuk dikunjung

Saya terlalu sering menulis tentang Aceh. Entah karena (pernah) ada cinta yang lain atau karena saya benar-benar jatuh cinta dengan budaya dan alamnya. Rasanya saya masih pede bilang, bahwa pantai-pantai di Aceh masih tetap yang terindah buat saya. Saya tidak akan pernah lupa pantai indah yang melingkari kota Kupang, pegunungan nan sejuk di Tolitoli, Sulawesi Tengah dan tentu saja Senggigi Lombok yang sudah ramai dengan wisatawan. Saya sempat terkagum-kagum dengan jembatan Barelang yang menghubungkan tiga pulau di Kepulauan Riau.  Disana, saya juga baru tahu ada satu kampung yang selama puluhan tahun dihuni oleh pengungsi perang Vietnam yang akhirnya beranak pinak. Kampung kecil yang kini tak berpenghuni itu – telah menjadi salah satu culture heritage-nya Unesco- ibarat negara kecil di pulau kecil. Luasnya mungkin tidak lebih dari satu RW, tapi lengkap dengan rumah, gereja, pagoda, vihara, masjid, sekolah bahkan penjara dan pemakaman. Uniknya lagi semua bangunan tersebut diberi nama dan tulisan dalam bahasa Vietnam.  Suatu saat di Pulau Samosir sambil memandang Danau Toba, saya pernah mikir apakah yang sering bolak-balik ngasih devisa ke Singapura (alias belanja) pernah mampir kesini? Gak yakin…

Read More

Hits: 845

Sejujurnya saya agak ragu menulis tentang topik ini. Saya takut dikira pamer, dibilang riya, atau dikira ini cuma eforia sesaat. Tapi setelah dipikir-pikir sejak dulu, yang menjaga “keberuntungan” hidup saya mungkin cuma sedekah, jadi kayaknya boleh boleh aja deh ditulis yaa.. Hehehe.  Saya datang dari keluarga yang biasa-biasa saja secara ekonomi pun mungkin secara religi. Satu hal yang saya ingat dari almarhum Ayah saya, bahwa beliau sangat pemurah, sangat royal kepada siapa pun. Mungkin itu yang akhirnya menurun kepada anak-anaknya. Tidak pernah segan dan sungkan untuk berbagi. Berbagi dengan tanpa alasan.

Satu dua tahun terakhir ini saya senang membaca buku-buku tasawuf tapi yang lebih bernuansa pop, salah satunya adalah tentang sedekah. Awalnya saya percaya nggak percaya,  bahwa matematika sedekah sama sekali berbeda dengan matematika sekolahan. Begini, kalau kita punya 10, kita sumbangkan satu, secara matematika normal maka sisanya adalah 9. Tapi matematika Allah tidak demikian; 10-1=19! Kok bisa ? Ya, bisaa..  Coba buka Al Quran, Al –An’aam ayat 160: Barang siapa yang membawa amal baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari amalan itu. Bayangkan, 10 kali lipat!  Hitung sendiri kalau yang kita keluarkan lebih dari satu.

Beberapa kali, dan sering saya mendengar teman dan kerabat yang bilang: “Ya, Insya Allah ntar kalo ada rejeki lebih gw nyumbang…”. Bagi saya itu kalimat yang sangat tidak tepat, alias sudah nggak jaman. Kurang eksis, istilah anak muda sekarang.  Allah meminta kita bersedekah bukan saat kita lebih, bukan saat semua yang kita mau tercukupi, tapi justru dengan seada-adanya keadaan, kemampuan dan harta kita sekarang. Ada lagi yang bilang: “biar sedikit, gakpapa yang penting ikhlas. Lah, iyaa pasti ikhlas wong sedikit!!! Belajar ikhlas itu justru saat kita memberi yang menurut kita bernilai, berharga dengan jumlah yang menurut ukuran kita banyak bukan “sisa” dari apa yang kita punya. Adik saya, yang masih bolong-bolong sholatnya (yang ini jangan ditiru) tapi rajin banget sedekah bilang gini: Seninya ngasih orang itu justru saat kita pas-pasan bukan saat kita kelebihan duit. Ok, Noted.

Nggak percaya? Ok, saya stop teorinya…Tar dikira sok menggurui dan sok tahu. Saya sudah membuktikan sendiri.  Tadi saya sudah bilang, keluarga saya biasa-biasa saja kalau nggak enak dibilang pas-pasan. Tapi saya bisa lulus kuliah S1 dan Alhamdulillah gak sempet nganggur ketika baru lulus. Tapi kebiasaan memberi dan mementingkan orang lain yang lebih membutuhkan (baca: sedekah)-lah yang akhirnya saya analisis menjaga keberuntungan saya. Meski saya akui sedekahnya belum ada apa-apanya dibandingkan jutaan orang lain.

Dua tahun ini banyak milestone penting dalam hidup saya. Di akhir  2011 saya lulus tercepat dan menjadi salah satu lulusan terbaik di master saya. Saya pinter? Nggak juga. Standar. Tapi semua diberi kelancaran oleh Allah. Ajaibnya lagi, saya memulai kuliahnya di pertengahan 2010 dengan tanpa beasiswa (abis males nyari-nyari sih), dan saat itu saya nyaris tidak punya tabungan yang cukup untuk biaya kuliah yang puluhan juta itu. Puluhan juta. Saya kerja kantoran setiap hari, dengan gaji yang cukup saja (baca: gak gede-gede amat). Karena pertimbangan waktu, kalau kerjaan gaji lebih besar, waktu makin tersita dan kuliah makin susah/lama. Saya tidak tahu datangnya rejeki darimana, tapi saya tidak pernah terlambat membayar SPP dan lulus tepat waktu.  Yang saya ingat hanya hal-hal kecil bahwa apapun yang saya berikan ke orang lain, niatnya sedekah. Titik. Hal kecil, misalnya; saya selalu memberi ojek langganan saya jumlahnya lebih dari ongkos normal (padahal duit saya juga ngepas). Pekerjaan rumah yang bisa saya alihkan ke orang, saya bayar orangnya. Niatnya sedekah, ngasih rejeki.  Tidak lupa menyantuni keluarga yang rejekinya di bawah saya. 

Tahun 2012, niatnya saya harus punya rumah sendiri. Saya berani hunting rumah kemana-mana, dengan uang yang sangat tidak cukup untuk beli rumah. Mungkin cukupnya cuma buat ngontrak. Hehehe..  Setelah rumahnya dapat, perjuangan masih panjang. Tapi dengan konsistensi “rajin ngasih-ngasih” ke orang, ada aja rejeki. Saya juga tidak percaya tiba-tiba terkumpul hampir 100 juta dari hasil kerja, kerjaan sampingan, sumbangan keluarga bahkan mendadak dapat jatah warisan almarhum Kakek. Subhanallah. Bukan rumah baru saja, isinya juga semua serba baru, dan itu semua terjadi dalam waktu kurang dari 3 bulan. Ada yang bilang, mungkin rejeki saya sedang baik. Ya, saya percaya, tapi lebih percaya hal itu terjadi, karena sebelumnya tanpa sadar saya sudah membuka sendiri jalan rejeki itu dengan bersedekah.

Pada 2013, saya kepikir ingin pergi umroh dan beli mobil. Kayaknya agak muskil kalau keduanya didapatkan bersamaan. Ternyata bisa kok! Meski mobilnya masih nyicil, saya bisa bayar DP-nya melebihi estimasi saya sendiri. Sempat ragu, dengan tabungan yang ada, jika saya setorkan untuk mobil kemungkinan besar umroh terancam diundur. Tapi saya niatkan sekuat-kuatnya untuk umroh, tanpa melupakan keinginan saya untuk punya mobil. Dan ternyata keduanya terwujud dalam waktu kurang dari dua bulan. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang bisa kamu dustakan ? Cerita umroh juga penuh perjuangan. Again, meski penghasilan saya cukup bukan berarti uangnya saya “makan” sendiri. Intinya nggak semudah setor sejumlah sekian dan besok berangkat.  Namun, rejeki mah adaa aja… Baru niat berumroh saja, tiba-tiba ada teman menawarkan pekerjaan tambahan yang jumlahnya menutupi biaya umroh.

Saya juga tidak tiba-tiba “ngirit” karena  punya niat ingin sesuatu.  Jatah mereka yang harus disedekahi tidak boleh berkurang, malah harus nambah. Jumlah sedekah harus lebih dari 2,5% per bulan. HARUS. Kita kadang kurang ngeh bahwa Allah menunjukkan di sekeliling kita, banyak sekali orang yang wajib kita sedekahi. Satpam komplek yang menjaga rumah kita, Ibu yang kerja di rumah, tukang sol sepatu keliling, pedagang  kecil barang-barang “gak penting” di pinggir jalan, penjaga toilet di tempat-tempat umum atau bahkan OB kantor kita sendiri.  Selain tentu saja sumbangan untuk anak yatim, bencana alam atau kegiatan-kegiatan sosial.  Ada juga sih, “kebaikan” lain dalam bentuk non materi yang saya pikir itu juga sedekah. Bagian ini mungkin tidak bisa diceritakan disini. Mungkin kalau ada program Sedekah Nasional, yang namanya kegiatan Bantuan Langsung dari Pemerintah sebagai ganti subsidi BBM, menjadi tidak perlu. Hehehhe

Saya bukan manajer keuangan yang baik, saya termasuk hitungan orang yang boros. Tapi Alhamdulilllah soal pekerjaan dan rejeki meski pun sedikit nyaris tidak pernah putus. Saya berani bekerja dengan sistem kontrak yang kelangsungannya kata orang tidak jelas, bahkan pernah berani resign dari satu pekerjaan meski belum punya bekal kerjaan baru. Tapi saya yakin, pasti ada jalan, dan Alhamdulillah saya belum pernah menganggur lebih dari dua minggu. Contohnya; Selepas dari pekerjaan saya di Aceh April 2009, saya nyaris jobless.  Tapi saya pikir saat itu, gakpapa.. nganggur 1-2 bulan istirahat kemudian semoga segera dapat kerjaan baru. Ternyata itu kelamaan, baru dua hari off, saya sudah dipanggil untuk meneruskan kerjaan yang kurang lebih sama. Kejadian lagi di 2012, saya resign dari satu kerjaan karena merasa tidak cocok. Jangan kira saya punya tabungan banyak sehingga berani-beraninya nganggur. Saya masih mengerjakan kerjaan freelance yang cukuplah buat hidup 1-2 bulan hingga dapat kerjaan baru. Ternyata gak sampai 2 minggu saya sudah ditawarin kerjaan yang sekarang

Kata orang, mungkin karena saya masih single, jadi berani mengambil apa-apa yang keliatan beresiko. Padahal nggak juga, yang saya punya cuma keyakinan kalau Allah akan menjaga rejeki orang yang rajin memberi. Satu lagi, kadang kita sibuk memikirkan berapa jumlah deposito atau tabungan kita. Kita sibuk memikirkan hal-hal yang belum terjadi dengan maksud “jaga-jaga” tapi berhitung dengan sangat cermat untuk memberi dengan alasan: “tunggu ada rejeki lebih”.  Padahal berbagi  di saat sekarang itulah yang menjadi deposito kita kelak. Sedekahlah yang menjadi penjaga kita untuk saat-saat darurat.

Terkadang pola pikir kita yang “katanya” sudah modern dan kenyang makan teori manajemen resiko harus sedikit “dimundurkan” ke belakang.  Tidak perlu pakai logika yang sulit dan njelimet.  Kekhawatiran kita akan hal-hal buruk jika kita berbagi secara tidak langsung kita mengecilkan kuasa dan janji Allah. Lalu, setelah bersedekah boleh gak kita ngarep balasannya? Jawabannya: Boleh banget dong! Kan itu janji Allah.  Innalaha la yukhliful mi’ad, Allah tidak pernah ingkar janji. Allah akan membayar janjinya di waktu yang tepat. Pasti.

Hal lain yang sering terlupa, sedekah adalah penjaga kelangsungan rejeki. Mungkin kalau kita memberi Rp 1 juta, kita tidak otomatis dibalas Allah, Rp 10 juta. Tapi bagi saya, pekerjaan yang tidak pernah putus, kesehatan jasmani dan rohani yang maha penting, teman-teman yang baik dan keluarga yang tanpa masalah adalah balasan yang lebih dari nilai 10 kali sedekah kita. Akhir tahun ini dan tahun depan saya masih punya beberapa resolusi. Mungkin kemarin-kemarin belum tercapai karena usahanya belum kenceng dan sedekahnya belum banyak. Saya makin berniat makin banyak bersedekah, agar resolusi dan niat itu kesampean.

No one become poor by giving…

Semoga memberi inspirasi.

In a flight to Palembang, 4 Agustus 2013

 

Hits: 1004

Pada satu titik, akhirnya saya mengerti cinta tidak selamanya menyatukan. Saya sempat percaya dengan teori move on, tapi hanya “sempat”, karena di kemudian hari saya menyadari teori just an theory sampai kamu membuktikan dengan caramu sendiri dan kemudian menciptakan teori baru. See? Hingga akhirnya saya membuat teori baru, bahwa dua orang yang ditakdirkan bersama sejatinya tidak pernah benar-benar terpisah.

http://missbosque.blogspot.com/2012/08/perpisahan-itu-terlalu-menyakitkanku.html

Suatu ketika diantara kita mungkin pernah terlibat dalam satu keadaan yang seolah tidak berujung. Rasa sayang, rindu, saling membutuhkan, merasa terlengkapi yang berbaur dengan pertengkaran besar dan kecil yang tidak ada habisnya. Namun herannya meski deretan waktu terlewati, sekian orang terlalui, seribu pertengkaran terhabiskan, kita selalu tahu bahwa di hilir-nya kita tetap kembali.  Tapi ternyata itu bukan alasan yang cukup untuk bersama, di luar masih banyak realita yang menyadarkan bahwa dunia ini bukan milik berdua. Ada orang-orang lain yang juga memiliki kita dan memiliki dunia ini.  Orang-orang dan lingkungan yang pada akhirnya memaksa kita untuk mengingkari dan mengambil keputusan di luar hati nurani.  Dari sana saya semakin berani bilang; ungkapan bahwa cinta adalah segalanya untuk melawan semua keadaan hanya mitos belaka.

Tidak apa-apa, itulah hidup.  Bahwa tidak semua hal yang kita impikan akan kita miliki dan semua yang kita miliki akan tetap selamanya kita miliki. Di ujung cerita, saya percaya bahwa waktu adalah penyelesai terbaik dari semua masalah.

Tapi lepas dari semua itu, saya ingin satu hal bilang: Kenapa harus bersama karena “persamaan”, padahal perbedaan-lah yang membuat kaya dan hidup penuh warna. 

(Biar saya, dia dan Tuhan saja yang tahu)

 

 

Hits: 711

Mendapat kesempatan bisa pergi ke tanah suci bulan ini adalah sebuah berkah yang luar biasa bagi saya.  Selain punya rejeki yang cukup (baca: pas-pas-an), bisa cuti (dengan mudahnya), ternyata yang lebih besar poinnya keinginan yang mungkin orang bilang “panggilan” buat kesana. Saya sudah merencanakan keberangkatan ini sebenarnya sejak tahun lalu, tapi “nekad” pengen bener-bener pergi itu baru di Februari 2013. Dengan bekal tabungan yang belum cukup kala itu, saya niatkan survei mencari travel yang biayanya terjangkau dan paling penting terpercaya.

Akhirnya ketemu juga travel yang kira-kira sesuai dengan ekspektasi itu. Sayangnya, tanggal keberangkatannya sempat “dioper-oper” karena saya sendirian, sementara jamaah lain semua dalam grup. Singkat cerita, saya “diselipkan” ke salah satu rombongan yang semuanya dari Bandung.  Belum lagi saya tidak dapat manasik, karena manasik diadakan di Bandung. Belakangan saya baru tahu, manasik buat umroh tidak terlalu penting, dengan membaca buku dan googling dan itu malah lebih dari cukup. Tidak itu saja, saya sempat terlambat menerima perlengkapan seperti koper, baju seragam dll. Selain karena memang informasinya telat dari travel saya juga tidak punya banyak waktu dengan intens menanyakan hal ini. Saya juga gak mau “heboh” apa adanya saja.  Hampir tidak ada baju baru untuk kesana, kecuali satu gamis dan pengganti baju ihram yang kelunturan waktu dicuci :D. Uang saku juga baru cukup tiga hari sebelum berangkat, jadi saya tidak sempat mengamati kapan kurs real turun terhadap rupiah. Saya berusaha tidak berpikir  hal yang bukan bagian penting dari ibadah, karena takut pamali dan kualat.  Lillahitaala aja, kalau Allah mengijinkan berangkat, PASTI berangkat. Keliatannya memang rempong, tapi ternyata itu semua terbayar sejak berangkat hingga kembali, saya puas dengan pelayanan travelnya. Bahkan dari rencana 9 hari, jadi 10 hari dengan harga sama.

Read More

Hits: 1031

Beberapa tahun lalu saya pernah “ditinggalkan” oleh seseorang yang saya cintai  karena ia pergi dengan perempuan lain. Saya masih ingat kata-kata terakhir yang ia ucapkan: “aku tahu..kamu perempuan yang kuat”.  Kata-katanya bertuah, karena ternyata itu bukan patah hati yang terakhir, masih ada urusan hati lagi setelah itu yang membuatku benar-benar belajar jadi kuat. *Loh, kok jadi curhat, kasian banget yah gw.. *

Kini, Saya menjadi sangat terbiasa dengan kasus-kasus perpisahan, patah hati dan kekecewaan akan cinta yang terjadi di sekitar saya.  Dari kasus putus pacaran, kecewa dengan pasangan (suami/istri) hingga perceraian. Bahkan perceraian  di lingkungan pertemanan saya sudah menjadi peristiwa yang tidak lagi istimewa  alias sangat umum terjadi. Namun sayangnya, setelah saya amati banyak korban-korban baik yang putus pacaran atau perceraian tidak sepenuhnya bangkit dari kegagalan yang mereka alami. Istilah anak muda-nya terjangkit penyakit susah move on. Mungkin saya juga begitu, bahkan sampai sekarang masih ada sisa-sisa “gagal move on” di diri saya. Hahahaha.. Upss.. cerita belum selesai. Baca sampai habis yah!

Kondisi seperti ini lumrah dialami oleh semua orang,  tapi kita tidak punya alasan berlama-lama merenungi nasib dan meratapi masa-masa terburuk itu. Sejujurnya saya prihatin, banyak orang yang sepertinya terlalu lama “berduka atau terlena” karena masa lalunya, hingga membuang waktu tanpa menghasilkan apa-apa yang signifikan. Saya sangat mengerti tidak ada orang yang bisa 100% move on apalagi dalam waktu yang singkat. Namun itu tidak bisa jadi alasan kita tidak punya prestasi atau achievement baru. Masa “berkabung” memang diperlukan bagi satu hati yang terluka yang bahkan waktu penyembuhannya berbeda-beda di setiap orang.  Buat yang terbiasa berpasangan, perlu adaptasi dari perubahan kebiasaan dan keseharian. Namun di sela-sela “masa penyembuhan” itu, haruskah kita menghabiskan waktu dengan sia-sia?

Tahun 2012 adalah salah satu masa urusan hati yang paling berat yang pernah saya alami. Emosi yang naik turun, kondisi pekerjaan baru juga yang belum sepenuhnya stabil dan beberapa hal lain yang membuat semua campur aduk dan terasa lebih berat. Namun di sela-sela beratnya masa-masa itu, saya masih punya prinsip yang dari dulu saya pegang bahwa kegagalan saya di satu sisi tidak boleh jadi alasan kegagalan saya di sisi lain.

Justru kini terbuka satu ruang bagi saya untuk membuktikan kepada orang-orang (yang menyakiti saya) bahwa saya Insya Allah sangat bisa lebih baik tanpa (dia)/mereka.  The best revenge is life well,.. Berat? Pasti! Apalagi komitmen ini kita buat dengan diri sendiri. Godaan dan tantangan emosinya banyak sekali. Tapi saya berkeyakinan, Tuhan selalu bersama orang-orang yang (belajar) sabar dan ikhlas serta selalu bersyukur. Yah, bagi saya ikhlas dan sabar itu sampai kapanpun wujudnya tetap belajar.

Saya akui saya tidak selalu mulus menjalani masa-masa yang sulit seperti juga terjadi pada banyak orang lain. Galau ya pastilah.. Namanya manusia. Tapi saya berupaya tidak menjadikan galau itu permanen dengan memenuhi kepala saya dengan pikiran-pikiran yang positif dan tindakan yang juga positif. Bukan dengan kebanyakan tidur dan membuang waktu tanpa menghasilkan apa-apa. Salah satunya dengan membuat target mau apa saya di bulan ini, target saya apa di bulan depan dan apa yang harus saya lakukan untuk mencapai semua itu.

Akhirnya semua itu membuat saya lebih kuat sekarang. Meski saya gak mau sombong kalau saya sudah 100% move on. Saya masih suka prihatin dengan orang-orang yang “senang” berlama-lama terjebak dengan masa lalu. Yuk, buka mata lebar-lebar, gali potensi diri sedalam-dalamnya. Kembangkan dengan segala cara, jangan buang waktumu percuma dengan hal-hal yang tidak signifikan hasilnya.

Di depan jalan masih panjang. Optimislah seperti matahari yang PASTI akan terbit di pagi hari. Smile 🙂

 

Hits: 986