One challenge in our academic world today is ‘credentialism’ – focusing on gaining credentials rather than depth in intellectual reflection (Yanuar Nugroho)
Agak tergelitik membaca twit Mas Yan diatas. Soalnya saya memang akhir-akhir ini ketemu dengan orang-orang yang mengejar gelar, posisi dan status atau karena ada kewajiban/keharusan jadi master, jadi doktor makanya mereka melanjutkan sekolah. Saya beberapa kali berbincang dengan adik-adik saya yang masih duduk di bangku kuliah sarjana. Mereka bertanya; kapan baiknya mengambil S2? Saya yang melanjutkan S2 setelah beberapa tahun bekerja, dengan mantap berkata: setelah kamu bekerja profesional minimal dua tahun. Saya ini masih agak konservatif, soal beginian. Menurut saya yang namanya kuliah master itu ya, memang harus “master” dalam arti sebenernya. Langsung melanjutkan S2 disaat baru lulus S1, ibaratnya cuma “naik kelas” alias pindah sekolah. Padahal master yang sebenarnya adalah bentuk kemapanan kita akan satu bidang keilmuan yang prakteknya lebih penting darimana teorinya. Makanya perlu kerja dulu buat dapet bentu praktek yang lebih cihuy. Gak percaya asumsi saya ini benar? Coba deh cari-cari syarat beasiswa master (apalagi yang di luar negeri), hampir selalu ada ketentuan harus bekerja minimal 1-2 tahun. Bahkan ada beasiswa yang ditujukan untuk kalangan professional di level manajerial. See?!



