Bulan-bulan terakhir ini, hampir seluruh sudut jalan dipenuhi tampang-tampang yang hampir seluruhnya tidak kita kenal.  Semua berlomba-lomba “mejeng” di persimpangan, batang-batang pohon, pos ronda bahkan tiang listrik.  Tulisan yang melengkapi foto pun, dibuat heboh. Pilih saya, coblos saya, Ingat saya, dan sebagainya. Jarang sekali yang membubuhi keterangan pendek saja, dia itu siapa minimal deh ditulis: pengusaha, guru, ketua organisasi anu, pedagang nasi padang atau ditulis tukang ojek pun boleh!  Kadang sebagai orang awam, saya pengen bilang: eh, siapa elo, nyuruh-nyuruh gw?! Saya sih gak ngerti-ngerti amat marketing, tapi melihat kondisi yang sekarang rasanya saya pengen bilang, ternyata caleg-caleg yang terhormat tersebut lebih gak ngerti dari saya.

 

Sumber: http://m.kaskus.co.id/thread/5318abd240cb1726168b4578
Sumber: http://m.kaskus.co.id/thread/5318abd240cb1726168b4578

Semua seperti berlomba mengejer awareness dengan mengenalkan tampang mereka dan nomor urut mereka dengan publisitas yang jor-jor-an. Tapi sedikit sedikit sekali yang mencoba membangun “image” mereka yang akan membuat masyarakat sukarela mencoblos tanpa disuruh-suruh. Memang sih, membangun image bukan pekerjaan satu dua hari seperti memasang spanduk. Tapi memang begitulah seharusnya caleg, karena orang yang siap menjadi calon legislatif  yang mulia sepatutnya adalah mereka yang sudah merintis upaya ini sejak awal bukan hanya saat masa kampanye. Kenyataannya, memang sebagian besar caleg kita adalah caleg-caleg karbitan (dureen kaleee, karbitan….).  Yah, kalo caleg-nya saja karbitan, bisa kita bayangkan sendiri bagaimana keputusan-keputusan mereka kelak saat duduk di gedung megah itu.

Duh, saya tidak underestimate dengan mereka yang setor tampang dimana-mana. Tapi sayangnya, saya juga belum menemukan korelasi apakah dengan mejeng di semua tempat lalu, elektabilitasnya menjadi tinggi? Rasanya tidak. Sebagai contoh, pada Pilkada Kota Bogor tahun lalu, ada satu calon yang baliho yang segede-gede gaban di sudut strategis kota-kota Bogor. Bisa dibayangkan, biaya pajaknya pasti mahal.  Pada satu baliho-nya di depan Botani Square (mall terbesar di Bogor), sama sekali tidak mencantumkan nama, hanya akun twitternya! Buat saya ini kampanye terbodoh yang pernah saya lihat. Pertama, sudah bayar pajak di lokasi termahal di Bogor, kedua berapa banyak sih orang Bogor yang punya twitter, ketiga: berapa banyak dari yang punya twitter mau repot-repot sambil jalan ngecek akun twitter dia? Niatnya sih mau keren, tapi fatal. Hasilnya gampang ditebak, dia bukan pemenang, bahkan pemenang walikota Bogor sekarang- Kang Bima Arya- hampir tidak  kelihatan punya baliho, spanduk atau sejenisnya.

 

nestapa-pepohonan-di-tangsel-jadi-korban-kampanye-caleg-007-nfi
sumber: merdeka.com

Akhir-akhir ini saya sering mengamati Angel Lelga baik di media online maupun media sosial. Terlepas dari pem-bully-an dia di media massa, satu hal yang saya tangkap Angel Lelga adalah caleg yang serius membangun image. Atau bisa juga disebut merubah image? *entahlah (hehehe)  Saya bukan penduduk di Dapil Angel Lelga, namun menurut pengakuannya, dia sangat sedikit memasang baliho, spanduk atau sejenisnya, mantan istri Capres Roma Irama ini konon lebih seneng blusukan dan menggalang kegiatan sosial. Dia juga tahu target masyarakat yang potensial untuk memilih dia.  Dengan caranya sendiri, ia melakukan edukasi dan pendekatan programnya. Program yang bisa jadi hanya dimengerti oleh target yang dituju yang belum tentu masuk di kalangan masyarakat dengan strata lebih tinggi.  Saya rasa Angel Lelga (atau orang-orang cerdas di belakangnya) sudah melakukan kalkulasi statistik berapa  target potensial mereka dan  metode pendekatan apa yang kira-kira dapat mereka terima. Sekali lagi, terlepas siapa dan bagaimana itu Angel Lelga, saya sih cukup mengapresiasi upaya dia. *catatan, saya bukan pendukungnya loh!

Untuk kalangan urban yang melek teknologi dan peduli dengan bangsa ini (saya bilang peduli, karena banyak yang tidak peduli), bukan perkara sulit mencari profil caleg mereka. Saya sih melakukan itu, jadi tampang-tampang yang berseliweran itu buat saya cuma perusak pemandangan dan penganggu kebersihan.  Tapi buat golongan masyarakat lain terutama mereka di rural area, apa iya baliho, spanduk dan sejenisnya itu efektif untuk menarik massa? Apa iya,  masyarakat mencoblos karena mengingat wajahnya yang ada dimana-mana? Saya pikir kok gak ya…  Mungkin sudah ada yang pernah mensurvei ini? Kayaknya sih, metode Angel Lelga lebih layak dicoba…  Hehehehe…

 

Hits: 1018

Kali ini saya mau sok-sok-an nulis tentang green smoothies.  Saya yakin sebagian besar kalian sudah tahu yang saya maksud. Tapi bagi yang belum pasti berpikir, itu hewan apa ya? Sebenernya sih, kebiasaan ini saya tahu dari beberapa bacaan tentang life style orang (yang katanya) modern. Smoothies (yang padanan bahasa Indonesia-nya belum saya temui), pada dasarnya adalah campuran buah dan sayur, susu atau olahannya dan biji-bijian yang kaya nutrisi. Saya yang dasarnya penggemar segala jenis sayur, merasa makanan (atau minuman) ini cocok buat saya. Saya sadar sehari-hari saya lebih banyak makan di luar yang belum tentu higienis, perlu banget nutrisi yang lebih original. Apalagi bikinnya cepat, mudah dan gampang banget.  

IMG_20140322_125448

Dari beberapa literatur yang saya baca, smoothies lebih baik daripada sayur olahan, karena proses pembuatannya yang hanya “menghaluskan” cenderung tidak membuang serat dan kandungan alami sayuran dan buah-buahan dibandingkan jika kita mengolahnya menjadi berbagai macam masakan.  Smoothies juga mengenyangkan, sehingga cocok buat yang sedang dalam program diet.  Bedanya dengan jus, jus lebih bisa disebut minuman karena hanya mengambil sari dari buah.  Manfaat smoothies  lebih lanjut silakan teman-teman cari di mang Google. Namun yang pasti saya rasakan, rutin mengkonsumsi smoothies membuat daya tahan tubuh lebih baik dan tidak mudah capek.  Makanan ini buat saya menggantikan fungsi sekian banyak suplemen buatan yang sering kita konsumsi.

 

Read More

Hits: 637

Buat saya, landmark tidak selalu harus berwujud sebuah bangunan atau tugu atau semacamnya. Loh, boleh boleh aja kan? Meskipun saya sendiri belum tahu dengan pasti apakah landmark yang aslinya bahasa bule’ itu bisa diterjemahkan dalam bentuk lain. Contohnya angkot.. Saya yang sudah tinggal di Bogor belasan tahun,  sudah lama mengganggap ciri khas Bogor itu adalah angkot ijo-nya, bukan lagi  Kebun Raya, Tugu Kujang atau Istana Presiden. Hehehe. Ok, mungkin Bogor bukan contoh yang bagus buat ini, karena angkotnya sudah bikin sumpek dan bikin macet. Tapi coba kita lihat kota-kota lain di Indonesia, meskipun keliatannya agak ganjil, sebenernya ke-khas-an angkot di satu daerah bisa jadi landmark kota.  Yah, paling gak bisa jadi alternatif sarana yang harus dicicipi oleh turis jika dikelola optimal.

source: http://www.nyunyu.com/
source: http://www.nyunyu.com/

Di Makassar, angkot disebut dengan pete-pete. Pengucapannya pete’ bukan seperti pete yang biasa kita makan (kita? ,eloo kaleee. :p), tetapi seperti “e” pada kata cewek.  Jangan tanya saya asal muasal kata ini. Setidaknya ada 10 rute pete-pete di ibukota Sulawesi Selatan ini. Bandingin dengan Bogor, kota yang jauh lebih kecil tapi rute angkotnya sampe hampir 20 (dasar kota angkot!!). Pete pete di Makassar umumnya berwarna biru dengan pola duduk 4-6 seperti angkot pada umumnya. Dijamin rute-rute utama di Makassar dijangkau dengan pete-pete ini. Dari Makassar kita loncat ke ujung Sumatera.  Di Banda Aceh, angkot disebut labi-labi. Agak beda dengan pete-pete, “kabin” labi-labi terpisah dari supir, dan kita naik dari pintu belakang. Dengan bentuk begini, labi-labi bisa memuat hingga 12 orang.  Tidak ada warna khas dari labi-labi,  tapi untuk menikmati Banda Aceh, sangat bisa dilakukan dengan naik kendaraan ini. Cukup sediakan Rp2000-Rp3000 kita sudah bisa muterin Banda Aceh.  Oya, jangan lupa pencet bel atau ketok kaca pak supir kalau ingin turun ya..

 

Read More

Hits: 692

Februari lalu Saya beroleh kesempatan “melancong” eh…dinas ke Filipina selama seminggu. Ceritanya,  Pemerintah Filipina tertarik untuk mengadopsi sebuah aplikasi sistem informasi yang digunakan di masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias pasca tsunami.  Kita semua tahu, beberapa wilayah Filipina di akhir 2013 lalu terkena bencana topan hayyan (dalam bahasa lokal disebut Yolanda) yang kerusakannya tidak kalah besar dengan tsunami 2004 lalu.  Ini kali pertama saya mengunjungi kampungnya Imelda Marcos. Pengalaman yang lumayan mengesankan, karena gak nyangka aja, sesuatu yang pernah kami lakukan di Aceh dulu dipandang begitu penting sampai-sampai ingin diadopsi negara lain. Plok…plok…plok… Disana kami melakukan serangkaian knowledge sharing  dan presentasi tentang kita dulu ngerjain apa saja di Aceh terutama pemanfataan TI untuk mengurus lebih dari 800 donor dan NGO. *pyuhhh.. ngomongnya aja udah susah yah. Tapi topik ini kayaknya terlalu serius kalau harus dibahas disini. Hehehe…

Mahfud, salah satu teman yang juga ikut kesana, sempat mencatat beberapa obyek wisata menarik yang mungkin bisa kita kunjungi disana. Saya sendiri sih, gak kepikir bikin catatan, karena setahu saya destinasi wiasata Filipina kalah tenar dibanding negara Asean lain seperti Malaysia dan Thailand yang sangat gencar berpromosi. Eh, setiba disana… *ya, namanya juga dinas ya, bo*..boro-boro jalan, agenda yang dijadwalkan oleh pengundang sangat padat. Kami nyaris keluar hotel di pagi hari dan selalu kembali menjelang tengah malam.  *capekk deh…

Namun saya masih mencatat hal-hal kecil yang memorable di Manila dan Makati, yang sayang kalau tidak di-blog-in. Hihihi.. Pertama tiba di Bandara Ninoy Aquino, agak kaget juga sih.. kok bandara internasional-nya  biasa banget. (kalau gak enak dibilang jelek…). Malah jauh lebih keren beberapa bandara lokal di Indonesia. Tidak ada kesan gemerlap, fasilitas pun terhitung biasa-biasa saja bahkan bisa dibilang minim. Kami mendarat menjelang malam, memasuki Manila yang macet dan tidak ada aura gemerlapnya, saya hanya berharap cepat sampai hotel dan tidur.  Diperjalanan Saya mengamati kendaraan umum, yang mirip bis-bis seperti Mayasari di Jakarta dan eh…ada satu yang cukup mencolok namanya Jeepney. Bentuknya seperti jip panjang tetapi sudah dimodifikasi hingga bisa muat sekitar 20 penumpang dengan posisi duduk berhadapan persis seperti naek angkot. Konon, mobil ini aslinya buatan Amerika Serikat untuk Perang Dunia II, namun sekarang sudah diproduksi sendiri oleh Filipina. Jeepney dicat berwarna warni dengan ornamen yang meriah persis angkot di pedesaan.  Unik, karena sangat kontras dengan penampilan Manila dan Makati yang termasuk kota Metropolitan. Di hari-hari terakhir, saya baru mengetahui bahwa ada Jeepney yang Full AC!! Namun posisi duduknya udah gak kayak angkot, tapi seperti bus kopaja.  Ongkos naik kendaraan lucu ini lumayan murah, untuk jarak paling jauh hanya sekitar Peso 7 (sekitar Rp2500).

Yuk, naek Jeepney (sumber: livesharetravel.com)
Yuk, naek Jeepney (sumber: livesharetravel.com)

Tidak ada yang terlalu istimewa dari Manila dan Makati. Manila, ibukota Filipina sepertinya beradu dari kota tradisional menjadi kota modern. Urbanisasi masih nampak memenuhi sudut-sudut kota. Jalanan macrettt, cret, cret, cret. Belum lagi supir-supir di Manila dan Makati mungkin les nyetirnya sama supir Medan semua. Gaya nyetirnya bikin pusing dan mual.  Huekkk…

Pusat pemerintahan sebagian besar terpusat di Manila. Harus diakui, di banyak sisi, kantor pemerintahan kita memang lebih keren dibanding Filipina. Sementara itu, Makati memang di-setting sebagai pusat bisnis. Letaknya kurang lebih 20 km dari Manila. Ini bedanya, pusat bisnis dan pemerintahan sudah terpisah, gak tumplek blek di seputaran segi tiga emas seperti di Jakarta. Secara konsep, Makati layaknya SCBD atau Kawasan Mega Kuningan di Jakarta tetapi dalam areal yang lebih luas.  Bangunan tingginya sih belum sebanyak Jakarta, tetapi yang saya perhatikan, Makati dan sekitarnya mulai ditata sebagai kawasan bisnis yang nyaman dan bersahabat dan terpadu. Mungkin ini yang bisa dicontoh Jakarta.

Macet di Bonifacio
Macet di Bonifacio

Nah, yang paling gak enak di Manila atau mungkin juga di negara non muslim lainnya adalah susahnyaaaa…cari makanan halal!  Miss Piggy dimana-mana, mencari menu halal yang tidak terkontaminasi mahluk imut itu susah luar biasa. Kalau udah mentok, apa boleh buat, ke “kedai kopi internasional” itu dan makan roti! Alhamdulillah karena saya memakai jilbab, orang Filipina yang baik dan ramah selalu mengingatkan kalau yang saya pilih bukan makanan muslim.  Beruntung, di Makati kami sempat ketemu Restoran khas Indonesia yang enak banget, sebagai alternatif makanan halal selain restoran Timur Tengah dan India.  Di sela-sela waktu kerja yang padat kami sempat makan malam ke satu kawasan yang namanya Paluto. Konsep tempat ini persis seperti Pasar Ikan Muara Baru dan Muara Angke di Jakarta Utara. Kita beli ikan sendiri trus dimasakin sama restorannya.  Bedanya, karena diperuntukkan khusus buat turis, tempatnya lebih bersih dan jauh dari bau amis seperti di Muara Baru. Makanan di tempat ini pun Insya Allah terjamin halal.  Hihihi. Dan.. harus diakui kalau masakannya sangat enak!! Yang kurang enak, cuma kurang sambel terasi doang…! Lucunya pelayan-pelayan restorannya hampir semuanya “waria” 😀

Memilih ikan segar di Paluto
Memilih ikan segar di Paluto

Di Manila, kami juga melewati Golden Mosque di kawasan muslim Manila dan sempat sholat disana. Masjid yang katanya terbesar di Manila ini menjadi kebanggaan warga muslim di Filipina. Tapi saya agak kecewa juga sih, selain letaknya yang agak mblusukan alias masuk-masuk lewat pasar tradisional, masjid ini nyaris tidak terawat baik.  Bayangin, tempat wudhu aja dikunci, dan tempat sholat perempuan tidak dilengkapi sajadah.  Sebagai orang muslim, sedih dan miris juga rasanya. Nama kerennya Golden Mosque gak sebanding dengan wujud masjidnya. Tentu jauh lebih bagus Masjid Kubah Emas di Depok. Maybe its called when moslem become a minority.

Manila Golden Mosque
Manila Golden Mosque

Secara bahasa, sejauh yang saya tahu (atau menurut saya), penduduk Filipina berbahasa Inggris paling baik diantara negara-negara Asean seperti Malaysia, Singapura, Indonesia apalagi Thailand! Pengucapannya dan strukturnya pun sangat jelas, tidak banyak terkontaminasi oleh bahasa lokal kecuali pada pengucapan seperti kata function yang seharusnya dibaca “fang-syen” tetapi dilafalkan dengan: fang-tion”. Artinya setiap kata yang berakhiran “ion” akan diucapkan bulat-bulat menjadi ‘ion”.  Namun selebihnya, penguasaan Bahasa Inggris sangat jamak di masyarakat Filipina. Mereka terbiasa menggunakan dua bahasa sekaligus, Inggris dan Tagalog sebagai bahasa sehari-hari.

Hal menarik lain yang sempat saya rekam adalah ternyata banyak kesamaan antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Tagalog lho.. Contohnya mereka menyebut pulang dengan “balek” yang artinya sama dengan kata balik di kita. Mereka menyebut payung dengan payong, kanan dengan kanan, sabon untuk sabun, bato untuk batu dan sepato untuk sepatu. Hmm… katanya sih nenek moyang mereka memang satu buyut dengan orang Melayu kebanyakan. Namun yang benar-benar “lost in translation” adalah mereka mengartikan “tunggu sebentar ya..” dengan “sandal Ilang” Sumpah, ini saya yang ini gak ngerti asal-usulnya dari mana! Yang saya tahu, sandal ilang kebanyakan dialami jamaah sholat jumat yang kelamaan menunggu khotbah selesai… Hahaha…..

Hits: 1381

Sebelum bekerja di pemerintahan, saya sempat bekerja di perusahaan swasta bahkan NGO. Kala itu, pemikiran saya sangat mainstream seperti masyarakat lain pada umumnya. Saya doyan mencerca pemerintah, gampang banget mencerna apa kata media (yang menurut saya pasti benar). Sayang, saya tidak sempat berpikir untuk ganti warga negara melihat Indonesia tercinta yang “carut marut” ini.  Hehehe. Mungkin baiknya adalah media sosial tidak sebanyak sekarang, jadi  saya tidak latah menyebarkan tentang “kebobrokan” yang saya rasa itu.

imagesSaya bersyukur, akhirnya Tuhan mematahkan asumsi itu dengan memasukkan saya ke dunia ini. Mungkin sudah sedikit terlambat sih, karena baru lima tahun terakhir saya ada disini, saat sudah jaman reformasi. Namun pelan-pelan saya menyadari bahwa Indonesia ini negara besar yang sangat kompleks. Apalagi di urusan tata pemerintah yang sudah kenyang beranak pinak dengan warisan rezim 32 tahun yang kita sama tahu.  Tanpa mengurangi rasa kritis saya, ternyata urusan di pemerintahan tidak semudah omong-omong kritisisasi media  dan masyarakat. Ok, kita gak usah ngomongin soal kerumitan ini, bukan saya deh ahlinya.. Hehehe..

Fenomena baru sekarang muncul. Maraknya sosial media membuat masyarakat punya hobi baru. Mem-bully pemerintah, pejabat-pejabat tinggi negara bahkan Presiden dan keluarganya.  Awalnya sama seperti yang lain, saya pikir ini cuma lucu-lucuan saja. Tapi makin kesini, makin banyak yang latah dan tiba-tiba berasa berhak men-judge tanpa punya pengetahuan yang cukup.  Kasus  yang lagi hits belakangan adalah instagram Ibu Ani Yudhoyono, first lady of Indonesia.  Berawal dari hobi fotografinya, media ini akhirnya justru ditunggangi menjadi ajang pem-bully-an.  Sayangnya, Bu Ani (yang notabene adalah Ibu Negara) mungkin tidak siap dengan dampak media sosial. Beberapa  komentar pedas yang kadang malah “gak nyambung” dengan konteks fotonya ditanggapi Ibu Ani dengan tidak kalah pedasnya. Wah, rame deh media! Akhirnya dihubung-hubungkan dengan banyak hal dalam pemerintahan SBY yang sebenernya gak ada hubungannya.  Lebih tololnya lagi, ini dimanfaatkan oleh banyak penggemar sosial media yang “dasarnya gak ngerti apa-apa” untuk latah menyebarluaskan dengan format yang beraneka ragam.  Bersyukur, setelah saya amati  90% komentar di instagram Bu Ani adalah komentar positif, jadi sebenarnya populasi lapisan masyarakat yang  “masih waras”  lebih banyak daripada yang “kurang kerjaan “. Hehehe..

Saya pribadi, memilih berkomentar offline  seperti menulis di blog ini dan tidak ikut-ikutan menyebarkan dengan membuat screen capture atau ikut mengedarkan apa yang sudah ada di sosmed.  Buat apa toh? Sebagai orang yang (harusnya cukup intelek *ehmm..) saya sadar, melakukan hal tersebut sama dengan memperkeruh suasana. Banyak golongan lain yang gampang tersulut dengan hal-hal begini dan ikut-ikutan bikin rame. Cari tahu lebih banyak sebelum melakukan hal-hal serupa. Kalau cuman tahu 3 ya, gak pantes dong ngomong seolah-olah tahu 10. Lagian, banyak orang yang terlalu gampang menyimpulkan sesuatu itu benar hanya karena foto-foto yang dibuat oleh orang-orang kerjaan dan sengaja dibuat untuk menunjukkan bobroknya negara ini. Banyak yang tidak sadar, semakin rajin mereka ikutan mem-posting hal-hal seperti ini, semakin banyak dunia luar yang melihat jeleknya Indonesia. Di sisi lain, saya kok miris juga ya.. Indonesia sebagai salah satu negara pengguna smartphone terbanyak di dunia, ternyata pengguna-nya tidak se-smart handphone-nya. Ada apa-apa langsung di telan mentah-mentah kemudian disebarkan tanpa berpikir panjang benar tidaknya beritanya serta dampak sosialnya.

Duh, daripada repot-repot nambah kerjaan menyebarkan yang begitu-begitu, cobalah menanam kepercayaan yang lebih kepada pemerintah. Saya masih percaya pemerintah (dengan segala kekurangannya) selalu berusaha terbaik buat negara tercinta ini. Kepercayaan masyarakat sebenarnya salah satu faktor kunci agar pemerintahan lebih baik. Pun termasuk percaya dengan orang-orang yang menjalankan pemerintahan. I love Indonesia!

Hits: 813