source: merdeka.com

Semoga tulisan ini belum terlambat, di detik-detik menjelang 9 April 2014. Memang bukan persoalan mudah mengedukasi masyarakat agar menggunakan hak pilihnya dengan baik di tanggal keramat itu. Dulu, saya juga mungkin berpikir bahwa tidak memilih adalah lebih baik. Toh, dari tahun ke tahun rasanya begitu-begitu saja hidup di negara ini. Eh, tapi sebentar,…coba dipikir baik-baik, apa benar negara kita tidak punya kemajuan sama sekali? Apa benar hidup generasi sekarang secara umum lebih buruk dari yang sebelumnya? Jangan menutup mata, banyak kemajuan yang signifikan dari bangsa ini sejak dari jaman rezim 32 tahun hingga kini. Siapa pun presiden yang pernah bertahtah. Saya juga pernah begitu “membenci” politik. Bagi saya- yang kadang naïf dan polos-, politik adalah manipulasi, kepura-puraan dan pemenuhan kekuasaan belaka. Tapi apa memang begitu? Tak sadarkah kita apapun yang terjadi di negara belahan dunia manapun di dunia ini, dengan sistem apapun itu adalah sesuatu bernama “politik” sebagai dasarnya.

Sebuah survey menyebutkan bahwa keikutsertaaan lebih dari 70% penduduk yang berhak pada satu Pemilu di hampir semua negara sudah terhitung tinggi. Pada 2009 tercatat 30% penduduk Indonesia yang berhak adalah golput. Ada banyak alasan mengapa sisanya memilih golput, namun saya lebih menyoroti sikap masyarakat urban yang apatis. Contoh mereka yang apatis, seperti yang saya tulis sebelumnya. Menganggap siapa pun calonnya, hasilnya nanti akan begitu-begitu saja, DPR tetap brengsek, pemerintah tetap korup. Mungkin, lima tahun yang lalu mereka berpikir yang sama sehingga tanpa mereka sadari, ke-golput-an mereka dulu juga merupakan bagian dari asal muasal masalah yang sekarang dihadapi bangsa. Politik memang kejam, sikut sana, sikut sini, penuh dengan ke-negatif-an dan ke-absurd-an. Tapi satu-satunya jalan membenahinya adalah ikut ke dalamnya dengan menjadi pemilih yang benar, bukan keluar dari lingkaran dan mencerca mereka yang ada di dalamnya.

Those who refuse in politics will end up governed by their inferior (Plato)

Sangat disayangkan, banyak golput yang datang dari golongan terpelajar dan punya wawasan luas. Tanpa mereka sadari wawasan luas itulah yang mengantarkan mereka menjadi golput. Bagus caleg-nya, hancur partai-nya dan atau seribu fakta lain menjadi alasannya. Hey, wake up! Politik memang bukan kesempurnaan, apalagi ditambah dengan sikap abstain kalian. Menurut perspektif saya, keapatisan ini berakar dari sikap tidak peduli. Ya, tidak peduli. Ada ribuan caleg, taruhlah di wilayah kita ada 500-an orang, saya masih yakin diantara jumlah itu masih ada orang baik. Bagaimana kita tahu? Yah, cari tahu donk… bukan dari poster, spanduk dan baliho yang menyesakkan kota, melainkan bertanya pada Google yang sangat cukup informasinya. Tidak ada alasan bahwa kita tidak punya waktu. Sekali kali alasan itu hanya muncul bagi mereka yang sejatinya tidak peduli. Kalau kalian masih sempat membaca tulisan ini, berarti kalian masih punya banyak waktu untuk melakukan investigasi siapa caleg kalian. Sekali lagi saya hanya bicara kemungkinan ini bagi mereka, kaum urban yang (katanya) berpendidikan dan berwawasan luas serta punya akses internet yang cukup.

Foto-dari-BeritaSatu

Ditengah carut marut politik bangsa, marilah menanam sedikit harapan bahwa kita bisa berubah, bahwa Indonesia akan jauh lebih baik. Dimulai dari kepedulian kita terhadap 9 April 2014. Marilah menyisikan rasa huznuzon, bahwa masih ada mereka yang baik dan amanah menjadi wakil rakyat. Ingat, calon legislatif itu fit and proper test-nya di kita, para pemilih. Tips dari saya, lupakan partainya, lihat dan cari tahu siapa orangnya. Berdoa semoga pilihan itu tidak salah.

(Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA. M.Phil.) Wakil Rektor Institut Studi Islam Pondok Modern Gontor bilang : Jika anda tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah dan anggota DPR, atau parpol Islam, itu hak anda. Tapi jika anda dan jutaan yang lain tidak ikut pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan.”

 

Hits: 687

Tadi sore saya disodori pertanyaan, yang hampir serupa dengan judul ini tulisan ini.  Jujur, sejak benda yang bernama telepon selular (ponsel) ibarat Tuhan kedua (upsss..) alias menjadi benda yang bisa “segala-galanya” konsumsi melahap buku saya lumayan turun. Dua atau tiga tahun lalu, buku adalah salah satu isi tas yang hukumnya wajib.  Saya biasa membaca buku di kereta, di bis, pada saat menunggu antrian atau saat makan sendiri di restoran (yang terakhir ini sih, dilema jomblo :p). Bahkan saya sering menghabiskan satu buku dalam perjalanan dengan KRL Bogor-Jakarta yang hanya berdurasi kurang dari dua jam.  Ketika masih bekerja di Aceh, buku adalah teman paling setia selain kopi dan teman-teman ngopi-nya. Maklumlah, daerah ini nyaris minim hingar bingar hiburan. Selama disana,  setiap pulang ke Jakarta, buku adalah oleh-oleh paling banyak untuk saya sendiri dan teman-teman di Aceh. Tema buku saya beragam mulai dari buku yang rada berat, psikologi popular sampai novel-novel cemen yang mengaduk-aduk perasaan.  Tentu ini di luar keharusan membaca buku-buku kuliah selama jadi mahasiswa, ya..

 

http://lexfun4kids.com/summer-reading-programs/
http://lexfun4kids.com/summer-reading-programs/

Kalau ingat masa-masa keemasan itu saya jadi miris. Sekarang mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah; sudah berapa banyak game yang terselesaikan minggu ini?, sudah berapa banyak momen dan foto  yang diposting di sosial media minggu ini?.  Betul, sekarang jaman canggih dimana buku bisa berbentuk e-book yang bisa dibaca di ponsel, tablet atau sejenisnya. Tapi mungkin karena saya orangnya rada katro, saya lebih memilih membaca buku konvensional -yang menurut saya sensasi-nya lebih luar biasa- dibanding membaca lewat gadget-gagdet canggih itu.  Saya ingat, satu atau dua bulan lalu, gadget canggih saya sempat rusak yang akhirnya membuat saya mundur sementara dari dunia per-game-an dan per-sosmed-an. Walhasil, saya pun kembali ke kebiasaan lama, membaca dalam perjalanan.  Alih-alih ngomel-ngomel karena ponsel yang tak kunjung pulih, saya malah bersyukur bahwa membaca ternyata lebih nikmat dibanding maen game. Hehehe..

Deuh, kalau pencandu narkoba perlu direhab biar normal, sepertinya saya juga harus direhab. Tantangan lumayan berat, karena tentu saja saya “emoh” mengganti ponsel ke jaman model  ponsel seribu umat.  Caranya sih susah-susah gampang,  diantaranya mulai mengurangi kebiasaan belanja online dengan kembali mengalokasikan biayanya buat beli buku baru dan “memaksa” diri untuk kembali membawa buku di dalam tas seperti dulu. Wismilak!

Konon, penduduk Jepang adalah pengkonsumsi buku tertinggi di dunia yang angkanya mencapai 40 buku pertahun yang rerata-nya sekitar 3-4 buku per bulan. Seandainya 10% saja dari 250 juta penduduk Indonesia menghabiskan minimal 1 buku dalam 1 bulan berarti ada 25 juta buku yang dibaca dalam 1 bulan, pasti akan lebih banyak ilmu dan wawasan baru yang menyebar.  Bukan ilmunya saja, kebiasaan baik seperti ini  seharusnya juga menular. Kebiasaan membaca juga berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Salah satu survei yang pernah saya simak, di Asia saja untuk jumlah tulisan ilmiah seperti jurnal  dan hasil-hasil riset, Indonesia hanya berada di atas Vietnam dan satu negara lagi yang saya lupa. Padahal secara intelegensia jelas kita tidak kalah dibanding mereka. Mungkin pokok permasalahannya adalah bangsa kita lebih seneng “banyak ngomong” dibanding banyak nulis. Syukur-syukur kalau obrolannya bermanfaat. Sayangnya sih kebanyakan sih gak begitu..… Hahahaha…

 

Hits: 596