Gara-gara punya kantor baru yang tepat di pinggir jalan tol, saya sempat kepikir untuk sesekali bawa kendaraan ke kantor. Biarpun tol juga tetep ada macetnya, alternatif ini boleh dicoba karena keliatannya cukup praktis, gak perlu nyambung ojek dan lain-lain. Namun karena sering naik ojek juga saya akhirnya mengurungkan niat itu. Saat macet, saya melihat ratusan mobil di sekeliling saya yang hanya berisi 1 orang! Bahkan kalau iseng dihitung, mungkin yang berpenumpang lebih dari satu orang bisa dihitung dengan jari. Tiba-tiba saya mengurungkan “niat mulia” nyetir sendiri tadi.

Di hujan deras yang mengguyur Jakarta malam lalu, saya sempat stag di jalanan sampe nyaris lumutan, padahal saya sudah menumpang bis APTB yang sangat nyaman, meski AC nya lumayan mencekik. Jakarta-Bogor yang biasanya maksimal dua jam dengan bis -yang melalui jalur busway ini-, semalam ditempuh HANYA 5 jam sajahh! Saya pun landing dengan sukses di rumah pukul 2 pagi. Pengalaman yang luar biasa.. atau mungkin “biasa” buat sebagian warga Jakarta.

Kalau beberapa waktu lalu, saya sebel sama motor yang ugal-ugalan kali ini saya “sebel” sama mobil berpenumpang satu yang jumlahnya mungkin ratusan ribu di Jakarta ini. Iseng, saya mencoba sms Gubernur Ahok melalui nomer yang tertera di akun twitter beliau. Isinya, meminta Pemda DKI untuk menggagas Kampanye Naik Kendaraan Umum. Entahlah, saya juga belum tahu apakah program seperti ini sudah ada atau belum. Yang saya tahu, semasa Pak Jokowi masih Gubernur ada program yang mengharuskan PNS di lingkup Pemda DKI tidak menggunakan kendaraan pribadi di hari-hari tertentu.

Coba bayangkan, data Polda Metro Jaya menyebutkan ada 16-17 juta kendaraan yang beredar di Jakarta setiap harinya. Ambil nilai kecil, mobil misalnya hanya 1 juta unit dan jika 30%-nya hanya diisi oleh 1 orang, jadi tau kan siapa yang bikin macet? Percuma pemerintah tiap tahun menambah ruas jalan, karena pertumbuhan penjualan mobil lebih besar dari penambahan jalan. Eitss, saya gak “nyalahin” naiknya penjualan mobil ya.. Yang saya garis bawahi adalah mobil yang berpenumpang HANYA 1 ORANG, yang berkontribusi besar terhadap kemacetan Jakarta.

Bagaimana dengan penduduk Jakarta, eh.. lebih tepatnya mereka yang mencari nafkah di Jakarta? Mau gak naik kendaraan umum? Pasti beberapa diantara kalian langsung ngomelin saya sambil bilang: ngapain nyusahin diri, kendaraan umum di Jakarta tidak nyaman, tidak aman, bla-bla… Sebentarrr sabar dulu, saya ceritanya loncat-loncat nih.. Saya sempat miris ketika beberapa waktu lalu ada seorang teman yang posting foto lagi di dalam Commuter Line yang nyaman banget (saat gak penuh) dan menulis seperti di Jepang. Ada satu lagi teman yang langsung bercerita enaknya naik APTB ke kantor dari rumahnya di lingkar luar Jakarta. Catat, dua orang teman tadi adalah mereka yang biasa naik kendaraan pribadi. Rasanya sedih, karena artinya mereka tidak pernah tahu, pemerintah sudah banyak sekali berupaya membuat kendaraan umum kita lebih baik. Bahasa gaulnya: Eh, kemana aja luuu ? Baru tau? Kesian banget deh..

Pastilah naik kendaraan umum tidak senyaman mobil pribadi. Naik bis, kereta kadang emang bikin susah, tapi terus-terusan naik kendaraan pribadi apalagi yang hanya sendirian juga bikin susah orang! Memang harus diakui lagi-lagi kendaraan umum disini belum sepenuhnya nyaman dan yang nyaman pun masih terbatas. Namun, alangkah indahnya kalau mereka yang punya uang lebih, bermobil bagus menurunkan sedikit kenyamannya dengan naik kendaraan umum minimal 1 kali sajaa dalam seminggu. Gak usah tiap hari kok! Coba kita lihat, saya yakin banget..macetnya pasti berkurang.

Saya salut tuh dengan kerjaan beberapa orang kreatif yang membentuk komunitas seperti Nebengers. Komunitas ini membuat para pengendara mobil yang biasa sendirian bisa ngajak orang yang searah dengannya. Menurut saya ini solusi yang cerdas daripada mereka yang sendiri di belakang kemudi, lalu ngomel-ngomel menyalahkan banyak pihak karena Jakarta yang muacett. Heyy, wake up! Kalau kamu nyetir sendirian, berarti ada ribuan orang lain yang seperti kamu juga! Dan sadarkah, bahwa kalian juga berkontribusi terhadap kemacetan itu?

Sebuah artikel menyebutkan satu mobil pribadi menghasilkan 250 kg emisi CO2 per penumpang per 1000 km, sementara bus hanya menghasilkan 50 kg emisi CO2 per penumpang per 1000 km. Artinya dengan naik kendaraan umum, kita juga sudah menjaga lingkungan.

Terakhir, bagi saya ukuran kemapanan bukan dengan membawa mobil pribadi, tapi kemauan berbaur dengan banyak orang lain.

Kata Rumi: Yesterday I was clever, so I wanted to change the world. Today, I am wise, so I am changing my self. 🙂

 

Hits: 1268

Ketika ditawarkan untuk mengisi sebuah posisi di salah satu bank terbesar di tanah air, saya merasa geli sendiri. Saya pikir, mantan atasan saya di Aceh yang menawarkan pekerjaan itu salah memilih orang (Piss, Pak Ed!) Dari jaman dahulu kala, tidak pernah sedikit pun terbayang bekerja di dunia perbankan. Rasanya kok jiwanya bukan “gue banget”. Gue yang kadang jutek, gak bisa ramah seperti teller bank, yang gak bisa dandan rapih dan susah bangun pagi karena harus duduk manis di meja sebelum jam 8 pagi. Apalagi tujuh tahun terakhir saya bekerja di beberapa organisasi yang sebagian besar bersistem kontrak dengan gaya kerja yang cenderung casual dan bukan organisai permanen yang punya ribuan karyawan di ribuan cabang.

turning pointTanpa mengurangi respek saya ke si Bapak, saya tetap mengirimkan CV saya, toh saat itu posisi saya memang sedang mencari pekerjaan baru setelah selesai masa bakti di sebuah unit kerja pembantu presiden yang eksis di masa Presiden SBY. Ternyata prosesnya menyenangkan, karena selama wawancara saya justru lebih banyak dipaparkan apa yang bisa saya lakukan disana dengan kemampuan saya dan ternyata itu menarik!! Pelan-pelan paradigma kekakuan pikiran saya terhadap akronim “bekerja di bank” mulai tergeser. Setelah melalui beberapa proses, saya dinyatakan diterima di salah satu Indonesian Most Admired Company itu. Agak bimbang awalnya, apalagi ada beberapa tawaran lain yang cukup menarik. Namun setelah dipertimbangkan, saya memilih menerima tawaran bank itu.Alasannya pertama karena ini adalah jenis pekerjaan yang “paling beda sendiri” dibandingkan kesempatan yang lain. Kalau masalah imbalan memang oke sih, tapi bisa dibilang so-so lah.. Gak terlalu luar biasa banget. Pertimbangan utama lebih karena ini kesempatan berharga, saya belum pernah bekerja di perusahaan raksasa seperti ini, di dunia yang berbeda 180 derajat dari yang sebelumnya sementara kesempatan pekerjaan lain cenderung di kuadran dimana saya sudah “khatam”. Hidup ini tantangan kan? Dan tantangan ini tidak datang dua kali. Meski ada sedikit ketakutan saya akhirnya setuju untuk menandatangani kontrak kerja. Saya pikir jika mantan atasan saya saja percaya saya mampu, kenapa saya ragu terhadap diri saya sendiri? Kata Pak Kuntoro di Bukunya Bintang Laut yang berserak: ketakutan dalam pekerjaan itu wajar, tetapi ketakutan itu untuk dihadapi bukan dihindari.

Lebih dari itu, saya sudah lama tidak merasakan “kesetaraan” posisi dan kesempatan dalam sebuah pekerjaan. Ada pekerjaan dimana orang didalamnya digolongkan lebih eksekutif bukan didasari oleh jabatan dan performance pekerjaannya tetapi karena ada “atribut” yang melekat pada personilnya. Misal karena ijazahnya dari negara yang bersalju, karena ia lebih banyak ngomong Bahasa Inggris dari Ibu, karena ia lebih dekat dengan atasan, bla..bla. Anehnya performance personil juga tidak pernah dinilai secara regular sehingga kesempatan untuk mendapatkan peluang berkembang lebih baik hanya ada pada orang-orang yang beratribut tadi. Sementara saya dan teman-teman dari kasta di bawahnya, makin demotivasi karena pekerjaan yang saya lakukan tidak pernah dinilai dan diukur. Seperti ada kasta dalam sebuah kantor. Not to mention kasta itu antara pimpinan dan bawahan ya. Kondisi yang hanya melahirkan segelintir orang-orang sombong. Ah, tapi sudahlah…

Dulu, saya tidak pernah mau bekerja di luar kota, sampai akhirnya nyasar di Aceh, yang kemudian merubah hampir separuh hidup saya.Dari dulu juga saya tidak pernah melamar ke pemerintahan, karena saya tidak suka dan tidak ngerti politik sampai akhirnya saya cukup lama di organisasi pemerintahan. Dan… sekarang saya menclok di perbankan yang jauh sekali dari bayangan saya.

Mungkin pesan moralnya; rejeki dan jodoh bisa datang dari sesuatu yang tidak kita suka. Life is unpredictable. This is my new turning point.

Hits: 677

Pagi ini Bogor masih basah karena hujan yang mengguyurnya sejak tadi malam. Setiap tetes hujan yang jatuh memberi bermacam cerita. Bogor kini sudah banyak berubah. Lima-sepuluh tahun lalu saya masih harus tidur berkaus kaki di siang hari, dinginnya air di kamar mandi membuat Bogor selalu ngangeni. Ini adalah minggu terakhir saya menikmati Bogor tanpa  berbarengan dengan rombongan turis Jakarta yang saban akhir pekan membuat Bogor sesak. Mulai minggu depan, Jakarta (kembali) akan menjadi bagian hari-hari saya dan Bogor hanya tersisa untuk tidur pulas di akhir pekan.

blog-101

Seharusnya laporan yang banyak itu hari ini sudah selesai. Tapi saya sedang malas.  Apalagi ada beberapa masalah yang belum juga terselesaikan. Mumet. Hmm, saya perlu mood booster. Rasanya sudah mulai bosan duduk di kafe ditemani secangkir kopi sembari jari-jari sibuk mengutak-ngatik keyboard. Tiba-tiba saja tercetus ide menuju Telaga Warna di Cisarua Puncak. Berharap disini ada adrenalin dan hormon endorphin bisa memacu otak melahirkan ide-ide baru.

blog-102Menuju Telaga Warna sangat mudah. Letaknya kira-kira 200-300 meter sebelum Restoran Rindu Alam di Puncak Pass. Papan tulisan Telaga Warna memang agak kecil, jadi jika sudah melewati Pasar Cisarua dan jalan makin menanjak, ada baiknya selalu melihat ke kiri, biar gak kelewatan. Jalan masuknya ada di kiri jalan yang didepannya penuh dengan tukang sayur. Kalau lewat daerah Puncak, saya paling suka dengan deretan tukang sayur. Sebagai sahabat si kambing, sebelum masuk ke lokasi saya sempatnya juga membeli sayuran yang menggairahkan itu. Di kanan jalan ada beberapa warung nasi masakan Sunda yang mengundang selera. Dari sini tinggal jalan 200 meter di tengah kebuh teh dan kita akan ketemu sebuah telaga kecil yang memukau. Konon air di sini sering berubah tanpa diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Itulah sebabnya dinamakan Telaga Warna. Di sekelilingnya hidup berbagai hewan yang dilindungi. Hutannya lebat, meski hanya berjarak 200 meter dari jalan raya. Konon lagi, ada macan tutul yang hidup di hutan itu.

Benar saja, Telaga Warna memberi warna baru di imajinasi saya. Airnya yang hijau karena pantulan warna pohon-pohonan di sekelilingnya seperti menarik semua kemalasan dan kecemasan yang tadi pagi masih memenuhi kepala. Memandang alam tanpa batas seolah mengecilkan arti semua masalah yang kita hadapi. Saya makin percaya tidak ada masalah yang permanen dalam hidup ini. Hari berganti, matahari selalu terbit di pagi hari tanpa pernah ingkar janji. Begitu pun dengan harapan, selalu ada harapan di tengah semua kerumitan urusan, selalu ada jalan saat semua seolah buntu.

Ah, hari ini menyenangkan. Setelah puas bertafakur di alamNya, saya bersama dua orang teman menikmati sebonggol jagung bakar yang pedas dipadu dengan semangkuk sekoteng hangat. Hemmm.. Life is beautiful..

Hits: 1006

Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, berdesak-desakan di tengah ribuan orang mencari tempat paling tepat untuk bisa bersalaman dengan Presiden ke 7 Republik Indonesia. Selama ini jika menonton “tingkah serupa” orang lain di TV saya paling cuma ketawa sambil berucap: “Ih, mau mau aja sih..panas-panasan sampe kejepit jepit begitu”… Apalagi sampai akhir tahun lalu, saya sempat bekerja di lingkungan Istana Negara yang punya pass bebas masuk areal Istana tanpa dipelototin dan ditanya-tanyain Pasmpres. Meskipun selama hampir tiga tahun itu, gak pernah selfie sama SBY, bisa keluar masuk dan foto-foto di lingkungan Istana saja sudah jadi prestise tersendiri yang mungkin tidak mudah didapatkan orang lain.

Kerumunan Massa menanti Pak Presiden. Gimana bisa lolos, cobaa??
Kerumunan Massa menanti Pak Presiden. Gimana bisa lolos, cobaa??

Again…takdir berkata lain. Kemarin, dalam pagelaran Festival Cap Go Meh di Bogor, saya niat banget cari jalan agar bisa selfie dengan Presiden. Niat awalnya cuma mau nyobain HP baru saya yang super keren kamera-nya, bak fotografer profesional dan bisa dipake selfie dengan resolusi tinggi cuma dengan melambaikan tangan atau nyengir di kamera. *Ssst, sumpah ini gak beli..ini pinjemin seumur hidup dari seroang sahabat* Saya pikir, okeh juga nih kalau dipake moto barongsai dan atribut-atribut perayaaan Cap Go Meh yang merah meriah. Ternyata perayaan tahunan ini dibuat lebih meriah dari sebelumnya karena diperluas menjadi Festival Budaya Bogor yang juga diisi pawai berbagai budaya lokal dan nasional.  Lebih serunya lagi, Pakde Wiwi alias Om Jokowi, Presiden kita ikutan membuka acara. Beliau memang saat ini lebih banyak bermukim di Bogor, rasanya keluar pagar istana yang cuma berjarak sekitar 200 meter dari tempat lokasi sih gak susah-susah amat lah!

Di lokasi yang dipenuhi ribuan umat itu, saya dan seorang teman kelimpungan mencari tempat yang pas. Kejepit sana-sini, panassss, rebutan tempat dan kaki keinjek-injek.  Tiba-tiba saya sirikkk banget sama panitia dan tamu-tamu yang duduk santai di tenda khusus sambil minum teh botol.Huhh..rasanya pengen nonjok! Dan pengen bilang: Eh, I was there yaa!! Enak amat luu duduk-duduk aja!!  Tidak kurang akal, teman saya yang mantan anggota Resimen Mahasiswa bilang bahwa kita harus melihat posisi strategis dari atas. Kebeneran deket tempat acara ada mall. Meski pintu utama masuk mall dijaga polisi dan ditutup, ternyata pintu belakang dan samping, tidak sodara-sodara! Horeee.. Kami lalu naik ke lantai paling atas dan memantau posisi kosong dari sana. Di posisi itu, akhirnya saya melihat pintu keluar Presiden dan kami pun mulai berpiki bagaimana caranya bisa ada di jejeran paling depan. Singkat cerita, dengan kaki yang udah lumayan pegel, kami turun lagi dan mulai sedikit sedikit masuk ke gerbang utama Kebun Raya Bogor

Selfie sama Paspamres sudah bahagia..
Selfie sama Paspamres sudah bahagia..

Entah baca doa apa, kami pun akhirnya berada pas di belakang pagar betis Paspamres. Huhh..rasanya lega… Sekitar 15 menit sebelum Presiden keluar saya sibuk ngetes kamera keren tadi. Utak atik..klak..klik.. Pokoknya sibuk!! Untungnya Paspamresnya ramah-ramah, malah saya sempat bercanda dengan mereka. Saya juga melihat penampakan Pak Anies (Mendikbud) dan Pak Ahmad Heryawan (Gubernur Jabar) dan tentu saja Kang Bima Arya, Walikota Bogor.

Jreng-jreng..saking sibuknya dengan kamera tadi, saya sama sekali lupa bahwa Pak Jokowi sudah keluar, sampai akhirnya saya balik badan dan Ia tepat ada di belakang saya, menyodorkan tangannya untuk bersalaman! Sumpah kaget banget, karena beliau hanya nyamperin barisan saya di kanan, bukan barisan seberangnya (di kiri). Duhhh..gak sempet lagi moto-moto, saya udah gak inget menu kamera-nya, malah bengong! Bego gak sihh ???? Lalu Ia berlalu begitu saja, meninggalkan saya dan teman saya yang masih cengok gak percaya. Dipikir-pikir mungkin dia nyamperin barisan kanan, karena kasian ngeliat saya yang sibuk dengan kamera yang tak seberapa (bukan kamera Bu Ani). Hahahaha

Mungkin buat sebagian orang, ketemu Presiden itu biasa. Buat saya juga biasa! Tapi “kurang kerjaan” memburu beliau dengan cara begini rasanya luar biasa!! Bukan sombong, dulu saya sering ikut acara-acara kenegaraan yang dihadiri banyak pejabat penting, tapi memburu orang penting ala “rakyat jelata” kemarin beda banget dengan yang biasa duduk manis kemudian antri salaman dengan fotografer khusus. Meski mendukung beliau ketika Pemilu, eittt jangan salah, Saya bukan orang yang mendewakan beliau. Tapi mau gak mau sekarang dia Presiden kita kan… Terlalu naif menilai negatif padanya saat ini, karena ngurus negara bukan kayak memelihara tuyul, ada masalah sekarang besok selesai. Dari keisengan pengen selfie ini saya makin merasa beliau (berusaha) sangat dekat dengan masyarakat. Jadi saya masih tetap menitipkan kepercayaan besar padanya.

Bangunan Antik di Suryakencana, Bogor
Bangunan Antik di Suryakencana, Bogor

Oya, setelah gagal selfie dengan Pak Jokowi itu, niat untuk menonton pawai tetap berlanjut dong. Seru dan meriah. Baru kali ini nonton pawai di Bogor isinya yang hampir sama dengan Pawai 17 Agustus di Istana Negara. Jalan Suryakencana, kawasan Pecinan di Bogor, ditutup hingga pukul 12 malam untuk acara ini. Sekedar informasi, dedung-gedung di daerah ini masih banyak yang mempertahankan bentuk aslinya. Suryakencana sejak dulu jadi pusat kuliner di Bogor. Konsepnya bukan restoran, kebanyakan pedagang kaki lima yang sudah berjualan hingga puluhan tahun. Di sini ada seorang pedagang martabak manis, Bapak tua berumur sekitar 70 tahun yang masih memasak dagangannya dengan arang!. Dagangannya laku, meski kita harus nunggu luaaammaa banget.. Ya, bayangin lah bo..masaknya pake areng! Hebatnya meski laris, ia tidak berjualan berlebihan. Jika adonannya sudah habis, ia tidak akan menambah adonan lagi, meski masih ada yang minat membeli.

Perayaan ini tidak hanya menjadi milik warga keturunan Tionghoa tapi juga seluruh orang Bogor. Bahkan jadi atraksi turis yang menarik sekali. Saking universal-nya keramaian ini, ketika waktu sholat magrib tiba, pawai berhenti sementara, alasannya Barongsai-nya sholat magrib dulu. Hahahaha..

Ah, jarang-jarang jadi turis di kota sendiri…

Hits: 1002