Dulu saya berpikir, karena sudah rutin membayar pajak, artinya urusan saya dengan negara ini selesai. Saya bebas komplain, bebas memprotes semua hak saya sebagai warga negara yang belum sempurna. Macet dikit, saya sudah ribut ngomongin ketidakbecusan pemerintah mengelola lalulintas. Pelayanan kesehatan yang amburadul saya omelin. Belum lagi kalau nonton koruptor ditangkep KPK. Langsung terucap “Oh, jadi uang pajak gue, dipake buat membiayai hidup mewah para koruptor?”

pajakSekarang pun sebenarnya masih begitu. Tapi akhir-akhir ini saya mulai menguranginya. Saya membaca banyak sumpah serapah dan caci maki masyarakat di sosial media. Sebagian diantaranya memang banyak yang asbun. Contoh menggelikan adalah pada pelaksanaan KAA minggu lalu. Selama sekitar tiga hari, jalan-jalan protokol di Jakarta terkena jadwal buka tutup untuk memberikan kelancaran bagi delegasi tiap negara. Saya yang berkantor di bilangan Semanggi pun terkena imbasnya. Selama tiga hari, ongkos ke kantor naik signifikan karena saya males jalan kaki, mau tidak mau harus berputar arah dengan biaya lebih mahal. Lucunya, saat begitu ada saja meme di sosial media yang menyebutkan kondisi begitu sebenarnya cuma pencitraan ke para tamu, bahwa Jakarta itu tidaklah macet. Memang sih, Panitia juga tidak menyediakan alternatif seperti bis tambahan. Tapi tau gak kalau dalam pelaksanaan acara kenegaraan ada Pro-tab yang harus dilakukan? Dan penutupan jalan itu adalah salah satunya. Jelas itu bukan pencitraan tapi bentuk tuan rumah menjaga keamanan para tamunya. Lebih konyol lagi ada yang menimpali: loh, saya sudah bayar pajak..harusnya gak begini!. Hahahha.. Ngakak sendiri. Apa hubungannya?! Kikiki.. Justru saat-saat seperti itulah, negara minta kita “berkorban” sedikittt dan sebentar saja di luar pajak yang kita bayar, untuk kebaikan nama bangsa sebagai tuan rumah.

Jika sering menonton program TV Kick Andy, sering sekali kita melihat “orang-orang” biasa yang memberi arti bagi lingkungan sekitar. Dari supir bis malam yang bisa mendirikan madrasah, petani kecil yang membangun pembangkit listrik hingga anak lulusan SMA yang membuka sekolah kecil untuk anak jalanan. Mereka mungkin tidak mengerti politik, mereka juga tidak paham hitungan pajak. Bisa jadi mereka juga belum sepenuhnya paham hak-hak mereka sebagai warga negara. Tapi menurut saya mereka-lah sebenarnya yang lebih memberi berkontribusi daripada mereka berpikir njelimet, komplain dan sibuk menyebarkan kekecewaannya di sosial media.

Saya juga salut dengan gerakan Indonesia Mengajar. Anak anak muda berprestasi lulusan perguruan tinggi terkemuka, rela mengorbankan karir mentereng di kota besar demi mengajar di pelosok negeri, yang kadang listrik pun belum tentu ada. Bahkan seorang rekan saya, rela meninggalkan karirnya di sebuah perusahaan multinasional di Singapura demi memenuhi idealisme untuk mengajar putra bangsa di pedalaman Maluku. Saya memang belum bisa seperti mereka. Tapi minimal saya menyadari bukan berarti gara-gara  bayar pajak (yang banyak itu), lalu semua urusan selesai dan saya bebas mem-bully pemerintah. Saya menyadari belum bisa berkontribusi banyak untuk lingkungan.. Jangankan untuk mengajar anak-anak di kampung sebelah, bertegur sapa dengan tetangga saja, bisa dibilang sangat jarang. Mimpi saya, suatu saat bisa mempunya satu pekerjaan yang bisa memberikan lapangan pekerjaan juga buat orang lain. Saya juga masih berkhayal untuk lebih banyak berkegiatan sosial.

Eh, bukan berarti saya melanggar orang protes atau komplain ya,. Tapi saya ingin mengajak agar kita sama-sama menelaah, melihat lagi peran kita dimana. Komplain pada tempatnya dan yang paling penting tahu dulu masalahnya baru komplain. Bukan asbun. Bayar pajak saja tidak cukup bikin macet kelar. Coba, apakah kita masih sering bawa mobil dengan penumpang yang cuma satu? Atau apalah contoh-contoh lain yang kira-kira sebenarnya penyebabnya kita-kita juga? Pemerintah memang masih banyak carut-marutnya, tapi tanpa kepercayaan masyarakat niscaya pekerjaan mereka tidak akan berjalan baik.

Hits: 925

Libur tiga hari kemarin mungkin menjadi salah satu masa paling nelongso bagi saya. Gimana gak, ditengah suntuk dan bingung ngadepin kerjaan baru yang TOTALLY baru saya pun bokek berat. Diiitung-itung saya juga sudah beberapa bulan gak naek pesawat yang norak norak bergembira (baca: pergi jauh-jauh). Harusnya saat-saat seperti ini yang dibutuhkan adalah liburan, semisal ngopi ngopi di pinggir pantai, baca buku sambil dengerin lagu mellow. What a perfect combination!

Sudahlah, terima nasib saja yaa sis… :p

Mendadak seorang teman mengajak jalan-jalan ke Taman Wisata Alam Mangrove di Pantai Indah Kapuk (PIK) -yang sekarang lagi hits menjadi alternatif wisata di Jakarta- yang memang nyaris tidak punya wisata alam. Sebenernya saya juga kurang paham ini jalan-jalan ngajak seneng bareng-bareng atau temen saya itu butuh hiburan karena lagi galau berantem sama pacarnya. Hahaha.,. gak penting!! Yang penting akhirnya saya bersama dua orang teman yang lain (jadi ber-empat) sangat menikmati tempat ini. Sabtu itu jalanan dari Bogor menuju Jakarta Utara lanjar jaya banget, kami hanya butuh waktu sekitar 1,5 jam (itu pun pake acara mampir-mampir dan nyasar salah keluar tol). Wohoo…

Pasti sudah banyak yang menulis tentang spot wisata yang terhitung baru ini, jadi saya rasanya tidak perlu menjelaskan detail tempat ini lagi. Saya melihat konsep taman ini menekankan ke edukasi pentingnya mangrove bagi ekosistem. Di awal masuk, kita akan melihat banyak bibit mangrove yang ditanam dan sebagian besar merupakan donasi dari berbagai organisasi baik perusahaan maupu lembaga pendidikan. Tempatnya sudah ditata cukup baik, hingga dilengkapi dengan penginapan berkonsep alam, restoran dan jogging track. Saking indahnya, kami sampai menjumpai sedikitnya lima pasangan calon pengantin yang berfoto prewedding disini.. Huh, sebel (jomblo sirik…)!

blog3 r

Jaman dulu, karena saya kuliahnya di Fakultas Perikanan Kelautan, istilah mangrove atau bakau mungkin hanya diketahui segelintir orang. Bahwa fungsi utama mangrove sebagai penahan abrasi pantai dan feeding ground, nursering ground bagi banyak biota laut bisa jadi hanya diketahui mahasiswa-mahasiswa belaka. Bisa jadi juga, jaman dulu yang “piknik” ke mangrove ya…cuma mahasiswa-mahasiswa pencari sampel laboratorium itu. Tidak terbayang kalau sekarang hutan mangrove bisa disulap jadi tempat jalan-jalan yang edukatif begini. Saya mulai bangga, pelan-pelan mata orang Indonesia mulai terbuka akan pentingnya mangrove bagi manusia.

ada masjid terapung yang bagus banget
ada masjid terapung yang bagus banget

Melihat hutan mangrove di tengah kota ini adalah kali kedua untuk saya. Kali pertama tahun lalu di Tarakan Provinsi Kalimantan Utara. Di PIK, sepertinya spesies mangrove yang tumbuh tidak sebanyak di Tarakan. Vegetasi tumbuhan dan spesies hewan lain pun jauh lebih banyak di Tarakan daripada di PIK. Tentu saja, di Tarakan luasnya juga jauh lebih besar. Sangat terasa sisa-sisa pencemaran laut di Teluk Jakarta sudah merusak sebagian ekosistem pesisir-nya.

when narsis is a must :)
when narsis is a must 🙂

Saya tiba-tiba teringat tesis saya tentang Mitigasi bencana di Banda Aceh. Pada satu kesempatan dosen saya bertanya, seharusnya penerapan mitigasi itu dilakukan bukan fokus di Aceh lagi, tetapi juga di daerah pesisir lain yang juga rawan, dan salah satunya adalah Jakarta. Aceh paling tidak sudah punya pola mitigasi bencana yang lebih baik dari daerah lain. Mereka belajar dari bencana mahadahsyat tsunami 2014. Sayangnya Aceh belum punya hutan mangrove di tengah kota seperti PIK atau Tarakan. Atauu, sekarang sudah ada? Hmm, semoga… Karena saya sudah dua tahun tidak “pulang” ke Aceh.. Lebih penting lagi, harusnya semua kota pesisir di tanah air punya hutan mangrove di tengah kota seperti ini. Selain buat lingkungan tentu saja, bisa jadi tempat piknik asyik yang mendidik. Bukan malah direklamasi terus dibikin apartemen…

Karena lingkungan bukan warisan dari nenek moyang kita,

tapi pinjaman dari anak cucu kita..

Hits: 1282