Sejauh ini, kalau dihitung hitung saya sudah menjejakkan kaki di hampir 2/3 provinsi di Indonesia. Tapi sih itu sebagian besar karena dinas (bukan jalan-jalan) dan kebanyakan di ibukota provinsi alias gak sampe blusukan melihat alam cantik di pelosok negeri. Orang tua saya juga datang dua daerah, yang jauh jaraknya, satu dari Sulawesi selatan, satu lagi dari Sumatera Selatan. Belum lagi dari tiga bersaudara kami tempat lahirnya beda-beda semua, beda kota, beda pulau. Kami juga tinggal berpindah-pindah. Komplit lah. Gara-gara kondisi begini, saya tidak punya teman sekolah yang awet. Artinya, tidak ada teman SD yang se-SMP, tidak ada teman SMP yang se-SMA dan nyaris tidak ada teman SMA yang kuliah bareng. Hihihi.. Tambah komplit lagi, saya sekarang bermukim di Bogor dan bekerja di Jakarta, yang membuat nuansa Indonesia itu kuat banget dalam diri saya. Saya juga sempat menclok bekerja di Aceh kurang lebih tiga tahun yang membuat deretan “kampung halaman” saya pun bertambah.

Nah, dari semua itu; ada dua daratan besar di Indonesia yang belum pernah sama sekali saya injak: Maluku dan Papua. Ketika masih bekerja di kantor lama, saya dua kali dapat kesempatan dinas ke Maluku. Dasar gak jodoh, ada saja hal yang membatalkan. Niatnya sih emang bukan jalan-jalan tapi minimal menambah direktori daerah kunjungan saya. Februari lalu, ada seorang teman yang berbaik hati “mensponsori” jalan-jalan ke Pantai Ora. Gila kan..kapan lagi kesempatan begini!! Saat itu saya lagi menunggu keputusan terakhir tentang penerimaan saya sebagai karyawan Bank Mandiri. Eh…dasar lagi- lagi gak rejeki, batal juga, karena proses terakhir bertepatan dengan jadwal negosiasi pekerjaan baru ini. *nangis bombay*

Sementara itu, kalau soal Papua, wah saya niat banget pengen kesana. Saking niatnya, saya beberapa kali melamar pekerjaan di negeri emas hitam ini, terutama pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya temporer. Salah satunya sudah sampai tahap akhir, dan entah kenapa gagal maning…gagal maning. Padahal saya yakin, saingannya gak banyak, karena menurut saya tidak terlalu banyak orang (apalagi perempuan) yang niat banget kerja di Papua. Mungkin waktu itu pemberi pekerjaannya tidak yakin sama saya yang kurus kecil ini bisa survive disana. Hehehe.. Sekarang sejujurnya masih nabung buat bisa selfie di Raja Ampat. Doakan sayah kakak!!

source: anekatempatwisata.com
The Amazing Raja Ampat. source: anekatempatwisata.com

Dari dua wilayah itu, saya juga masih menyimpan keinginan berkunjung ke Waerebo di NTT, sebuah kampung adat yang unik yang masih mempertahankan bentuk alami rumahnya. Saya pernah membaca bahwa sebenarnya “teknologi” yang mereka gunakan sejatinya malah lebih maju dari masa kini. Penasaran!

source: www.setapakkecilcom
Warebo, NTT source: www.setapakkecilcom

Lebih dari itu, saya sebenarnya penyimpan dendam dan hasrat yang dalam mengunjungi semua pantai-pantai di Indonesia. Saya ini beach addicted! Mengingat kondisi waktu, biaya dan semua sumberdaya, saya tidak muluk-muluk dulu untuk mengunjungi semua pantai-pantai indah. Agenda yang ada di depan mata adalah, Oktober mendatang saya sudah merencanakan untuk merayakan ulang tahun saya di Pulau Flores dan Komodo (uhuy!!). Alhamdulillah, sudah ada sponsor free tiket ke Denpasar. Tinggal biaya sendiri ke Labuan Bajo plus akomodasinya. Kemudian, yang tidak juga muluk-muluk saya ingin sekali menyambangi pantai-pantai indah di Banyuwangi. Kalau ini, Insya Allah bisa terwujud dari kantong sendiri dalam waktu dekat. Aaamin..

source: www.pikavia.com
Flores. source: www.pikavia.com

Terakhir, doakan saya biar panjang umur yaa… Intinya saya belum mau mati jika belum berkunjung ke daerah-daerah tadi. Atau kita jalan bareng aja yukkk…..!!

*Tulisan ini dibuat bersama-sama komunitas Travel Blogger Indonesia, untuk membantu promosi wisata negeri tercinta dalam rangka Dirgahayu 70 Tahun RI. Silakan dibaca juga link dari teman-teman saya dibawah ini…

Hits: 4764

Sulit dibayangkan, nyaris enam bulan gak liat pantai dan gak mencium khasnya aroma laut. Tapi itulah kejadiannya, Selain di kerjaan baru ini satu tahun gak punya jatah cuti (SATU TAHUN, saudara-saudara!!–>agak lebay sih..), banyak juga kondisi lain yang membuat niat memantai itu tidak dapat terwujud. Minggu ini, kebeneran banget ada liburan 17an yang membuat weekend menjadi sedikit long. Sekalian merasakan nafas kemerdekaan yang beda suasana, saya memilih berlibur ke Pulau Pahawang di Provinsi Lampung. Sejujurnya sih, Lampung bukan daerah impian saya. Alhamdulillah sejauh ini, menjelajah Pulau Sumatera sudah cukup bagi saya. Namun, nampaknya kawasan ini lumayan kekinian untuk anak-anak muda Ibukota (ciyeee..berasa muda…hihihi). Selain jaraknya yang relatif dekat, biaya yang murah meriah bisa jadi pertimbangan memilih daerah ini.

Darmaga Ketapang
Darmaga Ketapang

Kami menumpang bis umum dari Slipi Jaya menuju Merak. Perjalanan yang dimulai jam 11 malam itu berakhir dengan cantik di Bakauheni pada pukul 6 pagi. Lalu, masih dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Pelabuhan Ketapang yang ditempuh kurang lebih tiga jam dari Bakauheni. Semua akomodasi kecuali ongkos bis Jakarta-Merak disediakan oleh operator open trip. Tiba di Ketapang, kami sempat beristirahat sebentar sebelum menuju Pahawang. Sempet kecewa dengan operator Open Trip kali ini, ada beberapa hal yang nampaknya kurang terkoordinir diantara mereka. Tapiiiii… Selepas kapal kayu kami meninggalkan darmaga dan aroma khas laut diiringi anginnya menerpa wajah, kekecewaan itu semua hilang…. Di depan terpampang laut berwarna biru-hijau tosca yang membuat nafsu ingin nyebur muncul. Dari Darmaga Ketapang ke spot-spot snorkling ditempuh kurang lebih 30 menit saja. Saya nekad nyebur, tanpa pake pelampung. Untung airnya tidak begitu dalam meski saat itu ombak lumayan tinggi. Karena sudah lama gak berenang (apalagi snorkeling), otot rasanya kaku semua. Namun keindahan ekosistem bawah laut Pahawang membuat kira bisa berlama-lama betah di air.

Pahawang, home is where your happiness is...
Pahawang, home is where your happiness is…

Hari pertama, kami menikmati beberapa spot, saya lupa nama-nama spot-nya. Secara umum karakteristik pantai di wilayah ini tidak jauh berbeda dengan perairan Kepulauan Seribu. Kontur pantai di Pulau Pahawang pun agak mirip dengan Pulau Derawan walau ombaknya  tidak sebesar Derawan. Cuma bedanya, disini air nya benar-benar tawar, bukan setengah payau seperti di Derawan. Kami menginap di rumah penduduk yang sudah disulap menjadi “home stay”. Belum ada penginapan disini, jadi wisatawan yang umumnya rombongan tidur-nya pun berombongan. Artinya dalam satu rumah, disediakan banyak kasur yang sudah ditata rapih. Silakan pilih yang paling nyaman. Soal kamar mandi, jangan khawatir menurut saya sih cukup bersih kok… Jangan terlalu berharap ada kamar hotel atau villa yang istimewa ala liburan berkoper disini. Pahawang dan sekitarnya sejauh ini memang masih ditujukan untuk mereka yang mau “bersusah-susah” ala backpacker. Sangat dianjurkan kesini cukup dengan ransel dan bawaan yang praktis. Karena selain jalannya nyambung-nyambung, kalo repot dengan bagasi yang banyak dijamin akan sulit menikmati alamnya.

Dirgahayu Negeriku!
Dirgahayu Negeriku!

Hari kedua, acara tetap dilanjukan dengan snorkeling salah satunya di Tanjung Putus dan Taman Laut. Yah, tipikal sama-lah dengan hari pertama, enaknya disini lautnya relatif dangkal, airnya jernih hingga biota-biota laut nampak dengan jelas dari atas kapal. Meskipun jauh dari daratan, mereka yang datang kesini tampaknya tidak lupa kalau hari ini adalah 17-an. So, banyak diantaranya yang berenang dengan membawa bendera bahkan di dalam laut pun terpancang bendera merah putih. Ah, seneng…anak-anak mudah kita ternyata masih punya nasionalisme yang tinggi meskipun tiap hari dicekokin sama film Korea dan nyanyinya pun lagu Justin Bieber. Hehehe..

Bawah Laut Pahawang. Instagram @rizkiruwijaya
Bawah Laut Pahawang. Instagram @rizkiruwijaya

Saya bertemu dengan teman-teman baru sesama peserta open trip yang menyenangkan. Inilah asyiknya ikut open trip. Kalo mepet pengen jalan sendirian pun, dijamin gak akan sendiri. Saya sempet takjub juga ada satu keluarga lengkap dengan kedua orang tua dan tiga anak dewasa. Bapak Ibunya bahkan sudah cukup berumur. Saya awalnya agak khawatir, karena menurut saya sih plesiran gaya backpacker begini “cuma buat anak-anak muda” Eh, siapa sangka yang berumur pun “berhak” untuk jalan-jalan. Meski Bapak, Ibu tadi gak nyebur, tapi saya yakin mereka turut merasakan indahnya alam Pahawang. Memang sudah seharusnya wisata laut adalah wisata massal.

Sayangnya, di Pulau ini saya belum merasakan  adanya sentuhan pihak ketiga. Entah itu pemerintah atau mereka yang bergerak di bidang lingkungan. Di Pulau Seribu, kita bisa melihat penangkaran penyu, ikan langka dan pembibitan bakau, di Derawan ada lembaga internasional yang menjadga kelestarian penyu-penyu tua yang langka. Sementara Pahawang masih benar-benar perawan dan membutuhkan sentuhan agar lebih baik. Kemana mereka? Entahlah, semoga saya saja yang belum terinfo..

20150816_164717
new friends!

Namun begitu, keliatan kalau penduduk disini mulai serius “membangun bisnis pariwisata” disini. Roh pariwisata sudah menjadi mata pencaharian penduduk pulau kecil ini. Di pinggir pantai banyak berdiri warung-warung kopi sebagai teman nongkrong di malam hari yang kata saya sih enak banget. Suasana starbuck lewat deh… Oh ya, di pulau ini nyaris tidak sinyal ponsel, lo.. Kalo sekedar sms aja bisa sih, melipir ke bibir pantai. Selebihnya, lupakan HP sementara waktu, bercengkrama di pinggi pantai sambil mendengar suara ombak jadi pilihan yang lebih menarik. Di pagi hari, saya sempatkan menulis tulisan ini ditemani secangkir kopi dan indomie rebus plus telor dengan cabe rawit yang banyak. Yummy!!

Hits: 1086