Namanya Supardi. Saya mengenalnya hanya beberapa hari dalam perjalanan umroh beberapa waktu lalu.  Kami tergabung dalam rombongan yang sama. Kami sebenarnya  tidak intens berkomunikasi, hanya sesekali di sela ibadah atau dalam perjalanan tour di di dalam bis. Terakhir saya berbincang cukup lama ketika menunggu keberangkatan pesawat kami kembali ke Jakarta.

Kalau ada sinetron tukang bubur naik haji, nah ini cerita tentang tukang sayur pergi umroh. Supardi, don’t judge a book by its cover… Datang bukan dari keluarga berpunya dan berprofesi sebagai pedagang sayur keliling di sebuah daerah di pinggiran kota Bandung –tidak menjadi alasan untuk tidak memenuhi panggilan Allah.

supardiUsianya belum genap 25 tahun. Awalnya saya pikir ia salah satu anggota dari rombongan yang mendapatkan hadiah umroh dari sebuah institusi di Bandung. Dari gerak gerik, pembawaaan dan cara bicaranya kita pasti bisa menebak bahwa ia bukan dari kalangan “luar biasa”. Pertama kenal dia cuma bilang; “Saya kerjanya di pasar”. Kelihatan, Ia juga bukan orang dengan pendidikan tinggi. Saya lupa menanyakan pastinya. tapi sepertinya ia hanya sempat bersekolah hingga SMP. Namun dalam caranya bertutur sama sekali tidak ada rasa rendah diri malah terkesan sangat bersahabat.

Selama umroh saya jarang bertemu dengannya, sepertinya dia lebih banyak beri’tikaf di masjid. Belakangan dia baru memberi tahu, selama program yang hanya 10 hari (plus perjalanan) itu, ia berusaha menamatkan Al Qur’an. Luar biasa menurut saya (baca: dibandingkan dengan saya yang suka males-malesan) Tak jarang setiap mengaji Supardi menangis, karena sama sekali tidak terbayangkan bisa sampai jazirah Arab. Frekuensinya melakukan rukun umroh juga lebih banyak dibanding jamaah lain. Hebatnya lagi karena perawakannya yang kecil, ia berhasil menerobos ke depan hajar aswad melalui kaki-kaki jamaah yang berebutan mencium batu hitam itu. Sementara untuk mencapai batu itu, perjuangan “mengalahkan” jamaah dengan badan-badan super besar berkulit hitam tentu bukan hal mudah. Benar-benar berkah Allah buat Supardi.

Di obrolan terakhir, ia banyak bercerita tentang perjuangannya menuju Baitullah. Setahun terakhir, setiap pulang kerja ia selalu menangis jika melewati sebuah masjid di kampungnya. Tiba tiba saja terbersit keinginan yang sangat kuat untuk pergi ke tanah suci. Berbagai cara yang halal pun diupayakannya.  Selama setahun ia berusaha melunasi dulu hutang modal jualan sayur ke koperasi di desanya. Setelah lunas, barulah ia menabung untuk memenuhi mimpinya itu.  Ia mengaku juga dibantu oleh seorang pemuka agama di desa yang menguatkan untuk menyisihkan laba dagangannya. Hingga awal Maret 2013, ia sama sekali tidak menyangka jika Pak Ustadz itu sudah mendaftarkannya untuk berangkat di bulan April ini. Tentu saja bekal tabungannya belum cukup. Dalam waktu kurang dari sebulan, ia pun “jungkir balik” mencukupi biaya yang totalnya mencapai Rp18 juta. Jumlah yang bukan sedikit, apalagi harus dicukupi dalam waktu kurang dari sebulan.  Anehnya, ada saja jalan halal untuk mendapatkan uang lebih.  Ia sendiri bingung, baru kali ini jualannya bisa mendapatkan untung hingga Rp2 juta dalam seminggu. Masyaallah..

Dari semua cerita panjangnya, saya terkesima ketika ia mengatakan; “betapa adilnya Allah yang menurunkan Islam di bumi Arab Saudi yang gersang, tandus dan nyaris tidak ada apa-apa”. Saya diam, mencoba mencerna apa yang ia katakan dengan analisis yang tidak terlalu tinggi-tinggi.  Ternyata jawaban dia sungguh di luar imajinasi dan kemampuan analisis saya (yang sok tinggi). Katanya (dengan dialek Sunda-nya yang kental): “Coba bayangkeun, kalau Islam turun di Pulau Jawa yang subur, siapa yang mau bercocok tanam?  Siapa yang mau memanfaatkan hasil bumi?” Semua akan sibuk beribadah seperti hiruk pikuk di Tanah Haram. Jlebb!!! Pernahkah saya berpikir begitu? Kayaknya belum pernah deh…..dan saya yakin lingkungan saya yang penuh dengan orang-orang sekolahan dengan pekerjaan mentereng dan mengaku beriman, belum tentu juga berpikir yang sama. Ya Allah, Supardi pedagang sayur keliling yang tidak makan bangku sekolahan ini membuka mata saya, bahwa Allah juga begitu adil memberikan ia pemikiran sederhana tapi mendalam. Bahwa pada akhirnya dunia dan akhirat memang harus seimbang, hingga sedetail itu alasan Allah menurunkan Islam di Tanah Arab.

Kemudian kami berpisah, mungkin ia sudah lupa dengan saya, namun terima kasih Supardi, kamu sudah memberi keyakinan lagi, bahwa buat pergi ke Tanah Suci bukan masalah waktu dan masalah biaya tapi masalah niat yang kuat. Terima kasih juga sudah membuka mata saya untuk tidak boleh memandang rendah orang lain dari kalangan mana pun ia berasal. Semoga kapan-kapan kita bisa ketemu lagi, yah..  Oh, ya kalo sempet baca ini (mungkin gak, Supardi googling-an??.. Thanks juga waktu di bandara sempet gotong-gotong jatah air zam-zam saya yang 10 liter itu… 🙂

Tulisan bersama-sama dengan Komunitas TravelBloggerIndonesia untuk 14 Februari. #travelmate. Yuk dibaca posting teman-teman saya berikut ini..

1. Shabrina – 14 Signs You Found The Perfect Travel Mate
2. Astin Soekanto – Travelmate, Tak Selalu Harus Bareng Terus Traveling Kemana-mana
3. Parahita Satiti – #UltimateTravelmate: Rembulan Indira Soetrisno
4. Dea Sihotang – Hindari 7+1 Hal Ini Saat Sedang Ingin Cari Teman Jalan
5. Titiw Akmar – 10 Alasan Mengapa Suami Adalah Travelmate Terbaik
6. Mas Edy Masrur – Istriku Travelmate-ku
7. Olive Bendon – My Guardian Angel
8. Leo Anthony – Travelmate(s), It’s Our Journey
9. Indri Juwono – Si Pelari Selfie, sebut saja namanya Adie
10. Rembulan Indira – Ultimate Travelmate : Kakatete
11. Karnadi Lim – Teman Perjalananku dan Kisahnya
12. Rey Maulana – Ke Mana Lagi Kita Berjalan, Kawan?
13. Atrasina Adlina – Menjelajah Sebagian Ambon Bareng Bule Gila
14. Richo Sinaga – My Travelmate, Pria Berjenggot dengan Followers 380K
15. Puspa Siagian – Travelmate : GIGA
16. Sutiknyo Tekno Bolang – Mbok Jas Teman Perjalanan Terbaik
17. Taufan Gio – Travelmate Drama, Apa Kamu Salah Satunya?
18. Lenny Lim – 3 Hal Tentang Travel-Mate
19. Matius Nugroho – 3 Host, 3 Negara, 3 Cerita
20. Wisnu Yuwandono – Teman Menapaki Perjalanan Hidup
21. Fahmi Anhar – Teman Perjalanan Paling Berkesan
22. Liza Fathia – Naqiya is My Travelmate
23. Imama Insani – Teman Perjalanan
24. Indri Juwono- Si Pelari Selfie
25. Putri Normalita- My Unbelievable Travelmate

Hits: 3007

Hujan semalam membuat pagi ini masih terasa basah. Saya melangkah ringan menuju Suryakencana sebuah daerah pecinan di Bogor. Pagi ini saya ingin merasakan aura tahun baru Cina di salah satu pusat kota Bogor.  Bersama seorang teman pagi-pagi kami sudah nongkrong di depan Vihara Dhanagun. Terlihat sudah banyak umat yang bersiap-siap untuk beribadah. Ternyata banyak juga mereka yang memang cuma pengen lihat-lihat seperti kami. Dan ternyata, Pak Polisi dan penjaga vihara mengijinkan kami masuk hingga ke tempat ibadah daIMG-20160208-WA0015n boleh mengambil foto selama tidak menganggu mereka yang beribadah. Wow!

Vihara Dhanagun, bagus banget, dan konon sudah berusia 300 tahun. Meski letaknya berhimpitan dengan pasar, tidak menghilangkan suasana magis dan sakral yang melingkupinya. Ornamen merah dan emas memenuhi ruangan kelenteng yang membuatnya terasa mewah. Di halaman kelenteng dihidupkan banyak lilin-lilin raksasan berwarna merah. Kata penjaganya, lilin-lilin itu masing-masing mempunyai pemilik yang namanya tertulis di batang lilin dalam huruf China. Konon, lilin adalah media untuk menyampaikan doa.

Lepas dari Vihara Dhanagun, kami menyusuri jalan Suryakencana untuk mencari Sarapan pagi. Jalanan sepanjang tidak lebih dari 3 km ini terkesan semerawut. Deretan toko-toko di kawasan yang padat ini, masih memiliki bangunan-bangunan tua  yang sebagian besar masih difungsikan untuk berdagang. Disini ada toko-toko legendaris Bogor yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Beberapa diantaranya mulai terlihat sepi, tergerus era digital marketing dan modern channel lainnya. Ada satu dua gedung yang masih memperlihatkan sisa-sisa kolonial, sayangnya kesan tidak terawat tampak sangat menonjol. Salah satu bangunan tua itu digunakan sebagai cabang Bank Mandiri.

20160208_103019
gedung tua di Suryakencana

Suryakencana adalah salah satu pusat kuliner di Kota Bogor.  Bukan cafe mewah yang menjadi andalan, tetapi justru pedagang kali lima dan ruko-ruko tua yang mungkin sudah berdagang puluhan tahun yang jadi destinasi.  Makanan itu pun masih diolah secara tradisional. Saya menemukan satu orang Bapak yang sudah berjualan martabak lebih dari 30 tahun dan, ia tetap mempertahankan cara memasaknya yang menggunakan arang. Di Gang Aut salah satu jalan disini, tersedia bermacam-macam makanan perpaduan Tionghoa dan Sunda. Walaupun letaknya agak blusukan, kalau hujan pun becek, ternyata tiap akhir pekan daerah ini pasti penuh dengan pengunjung. Oh ya, tahun lalu, saya sempat kesini juga, menyaksikan Pesta Rakyat yang memang digagask bersamaan dengan perayaan Imlek.

20160208_085249

Hampir seluruh daerah di dunia ini memiliki daerah Pecinan bahkan Banda Aceh yang terkenal dengan kota syariah pun memiliki daerah pecinan. Dan kenyataannya mereka berbaur sebagaimana mestinya.  Sementara itu, dua daerah pecinan di luar negeri sangat berkesan bagi saya adalah Pecinan di Malaka, Malaysia dan China Town San Francisco.Suasana Pecinan di Malaka, sangat kental dengan arsitektur perpaduan Melayu, Muslim dan Portugis, sementara di San Francisco, China Town tidak saja jadi pusat souvenir tetapi seperti menjadi pusat peradaban orang Asia di Amerika. Tidak saja didiami orang China, namun tempat ini menjadi pusat perdagangan barang-barang Asia. Meskipun arsitekturnya terkesan modern, tetapi ornamen China Town di San Francisco, meriahnya sama dengan perayaan imlek di Indonesia yang hanya satu tahun sekali.

Hits: 1241

Membaca status Facebook seorang teman, saya sering terkagum-kagum sendiri. Hari ini dia bisa berkomentar lancar tentang Partai Golkar yang tiba-tiba menyatakan dukungannya ke Pemerintah. Kemarin, dengan canggihnya ia mengeluarkan analisis teror Bom Thamrin (Sarinah). Saat bersamaan, ia membagi berita tentang Gafatar, kelompok aliran terlarang disertai komentar yang (kelihatannya) cukup cerdas. Kemudian ia tiba-tiba jadi detektif ulung mengomentari kasus kriminal pembunuhan Mirna yang sedang ramai dibicarakan.  Dan populasi orang seperti itu tidak sedikit. Coba buka  sosial media, masyarakat kita selalu mampu menjadi pakar ahli atau komentator ulung terhadap kasus-kasus yang lagi marak. Eh, dilala.. saya pun kadang merasa diri saya bagian dari mereka. Hahahha..

Wow, luar biasa, darimana kita bisa begitu multitasking?!

Dengan hanya membaca satu berita, kita sudah cukup percaya diri untuk berkomentar. Kadang baca beritanya pun hanya dari satu media -dimana kini sebagian besar media memang tidak netral-. Cckckck.. Belum lagi, kita sering sekali menelan mentah-mentah apa kata media tanpa mencari informasi pembanding. Lebih lucu lagi, kalau baca berita, coba lihat bagian komentarnya. Saya salut, meski banyak yang belum tentu punya  pengetahuan yang cukup tentang topiknya, ternyata tidak menghalangi mereka untuk berkomentar. Wah, seru-seru.Bahkan kadang ada yang saling berantem, mengeluarkan kata-kata tidak pantas padahal sejatinya mereka tidak saling mengenal. Kalau dibikin Komentator Championship, saya yakin pesertanya pasti banyak!  Kebalikannya, di media sosial kolom komentar justru sudah sangat lazim digunakan sebagai tempat promosi jualan. Makin banyak follower, siap-siap akan akan dapet makin banyak komentator buka lapak. Nah, loh?!

8906476-Illustration-of-a-Group-of-Kids-Talking-Stock-Illustration-talking-children-people

Jangan heran kalau sekarang komentator menjadi sebuah profesi. Kalau dulu cuma ada profesi komentator bola, sekarang semua  bisa punya komentator yang kalo di televisi sering disebut dengan julukan keren seperti: pengamat atau pakar. Saya tidak bilang, komentator itu jelek loh, banyak dari mereka memang pakar di bidangnya. Contohnya beberapa ajang pencarian bakat di Televisi sangat mengandalkan komentator. Mereka umumnya memang tidak memberi penilaian kepada peserta, tetapi komentar mereka nyaris bisa mempengaruhi vote penonton di rumah. Tapi lebih banyak lagi komentator karbitan yang mendadak ditodong stasiun televisi untuk memberi pendapat tentang satu kasus yang lagi marak, tapi knowledge-nya terhadap kasus yang dia komentari masih sepotong-sepotong. Para komentator ini, entah yang profesional maupun yang amatir, tanpa disadari mampu menggiring opini publik. Setiap komentator hampir selalu mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan komentator satunya. Celakanya, sebagian masyarakat kita belum cukup dewasa dan cerdas untuk melihat semuanya secara imbang. Akhirnya, mana yang paling banyak disorot, mana yang paling sering tampil, perlahan tapi pasti akan mempunyai lebih banyak “pengikut”.

Gejala apa ini?! Coba tanyakan kepada ahli psikologi atau ahli sosial kemasyarakatan. Boleh juga tanya sama pakar IT, telekomunikasi atau telematika. Satu dekade yang lalu, fenomena ini mungkin nyaris tidak ada, setelah dunia digital makin marak, rasanya hidup itu garing kalau tidak berkomentar setiap hari. Hahahaha..Nah, berkomentar sebenernya sah-sah saja.

Cuma baiknya kalau mau berkomentar, coba cari tahu dulu lebih banyak bukan asbun mengikuti trend. Baiknya sih, berkometarlah hanya untuk sesuatu yang benar-benar kita pahami, gak cuma bikin rame doang. Lebih penting lagi, jangan cuma berkomentar, tapi do something real!

Hits: 696