“Haa? Lo dapet duit dari ngeblog?”  

Seorang teman kayaknya cukup kaget mendengar penuturan saya, setelah saya mentraktirmya menikmati secangkir cappucino hangat yang nikmat. Beberapa tahun yang lalu saya juga agak kaget ketika ada yang mengontak saya, menanyakan rate sponsorship di blog ini. Karena saat itu saya belum tahu apa-apa tentang hal ini, dilala saya malah balik bertanya apa alasannya memilih blog saya. Lalu si sponsor memberi gambaran nilai rupiah berdasarkan beberapa indikator seperti Page Authority, Page Rating, Alexa Rating dan lain lain. Loh, loh..ini bikin saya bengong lagi.. Lah, hewan apa tuh? Sumpah saya mah nulis ya nulis aja! Sama sekali belum terpikir, kalau tulisan kita bisa dipantau dan dianggap berprospek oleh pemasang iklan.

Tapi itu cerita dulu. Hehehe.. Dari sana saya mulai tertarik mengikuti perkembangan dunia blogging. Ikut komunitas blogger dan sedikit demi sedikit mulai belajar tentang SEO (Search Engine Optimization). Kalau dulu nulis juga asal-asalan, makin kesini makin belajar menulis yang menarik, tanpa menghilangkan style saya menulis Saya. Tapi itu semua saya lakukan bukan semata karena mengejar uang. loh! Memang..so far, dari blog ini saya sudah bisa dapet uang buat ngopi-ngopi sambil nulis. Belum apa-apa sih, di luar sana, banyak blogger profesional yang bisa menghasilkan uang jutaan dari blog. Namun saya belajar, ternyata hobi saya ini juga bisa menghasilkan uang asal tahu caranya.

Sebuah majalah Pemasaran yang terbit di Jakarta, beberapa bulan lalu menyebutkan bahwa kini format blogging cenderung dinilai lebih powerful dibanding iklan biasa. Pemasang iklan mulai melirik blogger untuk memasarkan produknya. Tidak melulu harus dagang, popularitas sebuah website juga bisa dikatrol oleh blog. Oleh karena itulah, eebsite-website e-commerce dan non e-commerce berebut tampil di halaman pertama Google. Caranya gimana? Dengan memperbanyak penempatan link pada blog-blog yang setema dengan produk mereka.

Tidak itu saja, maraknya trend jalan-jalan, selfie dan kemudian diposting di sosial media, membuat blogger makin dilirik oleh pelaku pariwisata. Mulai jamak, pemerintah maupun swasta mengundang sejumlah blogger untuk menulis tentang daerahnya. Sejumlah blogger diajak jalan-jalan dengan biaya yang ditanggung oleh panitia. Sebagai imbalannya mereka harus menulis tentang daerah wisata yang dikunjunginya dan memposting foto, status atau sejenisnya di sosial media. Makin banyak dibicarakan viral, makin besar peluang wisatawan untuk berkunjung. Menarik sih, apalagi buat saya yang memang seneng jalan-jalan gratis. Hehehe.. Bahkan saat ini, beberapa perusahaan pemerintah dan swasta yang dulunya terkesan kaku dan old school, makin melek menggunakan jasa blogger untuk mengkomunikasikan produk atau menguatkan branding-nya di masyarakat.

Perubahan yang sangat dinamis itu akhir-akhir ini justru banyak menggeser arti blogging itu sendiri. Banyak blogger yang mulai menjadikan tulisannya menjadi sebuah advetorial, lupa dengan review dan persepsi pribadi.  “Enak, ya.. lo masih bisa nulis dengan cara lo sendiri, tidak melulu ada titipan merek.  Kata seorang rekan yang juga blogger dan redaktur senior di sebuah majalah digital kepada saya. Padahal bedanya blogger dengan advetorial  salah satunya blogger harus mampu menghasilkan tulisan dengan persepsi sendiri dengan review yang jujur apa adanya. Saya sering menolak tawaran review produk-produk yang belum pernah saya gunakan. Sumpah, saya pernah ditawarin review lingerie dan pakaian bayi! Ini kok menghina jomblo banget yaa ? Untuk travel blogger, kini banyak bermunculan travel blogger profesional yang bayarannya sekali jalan-jalan bisa ngalahin gaji rata-rata bulanan manajer di perusahaan swasta!

Semua memang sah sah saja. Tapi tetap tidak boleh lupa, blogging pada dasarnya bukan reportase dan advetorial. Beri tempat masing-masing pada posisinya, jangan dicampur aduk. Tetap upayakan agar pembaca blog kita mendapat informasi sesuai porsinya. Tetap kritis, menginspirasi dan memberi kebahagian kepada pembacanya. Happy Blogging!

Hits: 956

Di sebuah kedai kopi dengan secangkir cappucino hangat, Saya mencatat beberapa beberapa aktivitas yang harus saya lakukan hari ini. Mulai dari membayar tagihan, merespon email-email klien, mengupdate website, belanja beberapa kebutuhan sehari-hari, membeli tiket liburan saya bulan depan hingga mengirim beberapa pesanan teman. Beberapa tahun lalu, saya tidak membayangkan jika kini semua itu bisa dilakukan hanya dengan jari, sembari duduk santai mendengarkan musik.

***

Teknologi yang mengubah dunia

Kesibukan, keterbatasan waktu dan kompleksitas aktivitas kita sehari-hari menuntut semua hal dapat dikelola dalam sebuah platform yang dapat digunakan dimana saja dan dipantau kapan saja. Kalau dulu komputerisasi sistem hanya digunakan sebagai repository (media penyimpanan data), kini pergerakan perkembangan sistem menjadi bagian penting sejak pengelolaan informasi hingga proses pengambilan keputusan. Pergerakan jumlah pelanggan, perubahan pembelian bahkan kondisi komplain customer bisa dipantau secara real time yang bisa berubah dalam hitungan menit. Tidak untuk pekerjaan-pekerjan strategis saja, hampir semua sisi kehidupan kini sudah menyatu dengan digitalisme. Seperti kegiatan saya pagi ini, pernahkah dulu kita berpikir,  dari membeli saham bluechip hingga membeli nasi bungkus bisa dilakukan cukup dengan satu jempol saja?!

Media Sosial pun mulai naik pangkat, kalau dulu “cuma” dianggap buku harian personal digital, kini menjadi bidang yang digarap sangat serius oleh berbagai perusahaan swasta bahkan pemerintah. Pernahkah dulu Anda berpikir ocehan kecil kita di twitter ternyata bisa mempengaruhi satu perusahaan mengambil keputusan penting?  Kumpulan  status, ocehan, foto, pendapat, komplain itu menjadi bagian dari  big data, sebuah terminologi yang sedang hits di dunia teknologi. Sudah tidak aneh, saat ini mulai banyak perusahaan kecil maupun besar membuka jalur sosial media sebagai wadah untuk memasarkan produknya, berkomunikasi dengan pelanggan, memperoleh feedback, masukan hingga keluhan dari pelanggannnya. Bahkan beberapa lembaga pemerintah pun mulai terbuka melalui keseriusan mengelola  media sosial untuk membangun komunikasi dengan masyarakat terutama terkait pelayanan publik.

***

Kompetensi Digital Sebagai Kunci

Seperti yang tadi diuraikan diatas, teknologi sudah menjadi keniscayaan yang tidak  bisa dihindari.  Techniasia.com sebuah website yang khusus membahas perkembangan teknologi digital menyebutkan, hingga 2015  ada 72 juta pengguna internet aktif di Indonesia, dimana 62 juta diantaranya menggunakan sosial media. Dalam gambaran lebih luas lagi, kepemilikan ponsel di Indonesia sudah mencapai 308 juta ponsel.  Pertumbuhan pengguna sosial media tahun lalu sebesar 19%. Wajar, jika akhirnya pejabat dari tingkat lurah hingga Presiden pun aktif di sosial media. Dunia digital sudah menjadi satu ekosistem baru dimana semua orang akan terlibat di dalamnya. Tidak terlibat berarti ketinggalan.

Nah, Kalau sudah begini…masihkah kita enggan mempelajari lebih jauh tentang dunia digital?  Eits, ini bukan cuma masalah gagap teknologi (gaptek) atau tidak, loh!… Kadang kita merasa, jika sudah mahir menggunakan ponsel canggih,  menggunakan berbagai aplikasi online, rajin mengupdate status di media sosial artinya kita tidak gaptek. Jangan salah, yang sebenarnya lebih penting dipahami adalah bagaimana kita dapat mengimplementasikan teknologi itu dalam pekerjaan dan perusahaan. Pengetahuan dan penguasaan akan teknologi digital menjadi keharusan di semua lini perusahaan dan pelaku bisnis. Mengikuti training-training atau seminar bertema penguatan kompetensi digital bisa jadi satu pilihan yang bagus. Namun sejatinya, pengetahuan hal ini akan lebih “nendang” jika kita terlibat di dalam proses yang menggunakan teknologi itu sendiri. Jangan lupa, sering membaca dan mengikuti perkembangan teknologi juga  bisa jadi tempat belajar yang mumpuni.

Teknologi digital bukan saja tools tapi sudah menjadi bisnis itu sendiri. Memahami dunia digital tidak sekedar dapat mengoperasikan aplikasi dan mengetahui proses bisnis penggunaan teknologi itu. Namun lebih jauh dari itu, setiap individu yang terlibat wajib mengetahui bagaimana teknologi mampu membuat proses bisnis menjadi lebih mudah, efektif, efisien yang pada akhirnya memberikan profit lebih baik bagi perusahaan dan memenangkan kompetisi.

***

Vika Octavia. Cisarua, 3 Mei 2016

 

Hits: 1218