Rumah berhalaman tak seberapa luas itu, terletak di kompleks perumahan yang sempit. Jika tidak ada deretan kendaraan terparkir di depannya, mungkin orang tidak pernah tahu, bahwa di dalamnya ada kesibukan yang mempengaruhi lajunya pemerintahan Kabupaten Pohuwato. Inilah kantor Tatiye.Net, rumah bagi sekelompok anak muda asli Gorontalo yang terobsesi membantu pemerintah lokal membangun berbagai aplikasi untuk mengefisienkan berbagai proses pelayanan publik di Pohuwato. 

***

Dua minggu sebelumnya, ketika diminta memberi usulan tagline kampanye digital Kabupaten Pohuwato, kami cukup berpikir keras. Terus terang, saya sendiri belum banyak mengenal kabupaten ini. Selain karena posisinya nun jauh di luar Jawa juga pemberitaan nasional yang masih minim tentang kabupaten yang baru berusia 14 tahun ini. Setelah membongkar-bongkar beberapa referensi, melakukan riset kecil-kecilan ditambah dengan informasi dari pihak internal sendiri, akhirnya kami pun mengusulkan : Pohuwato Goes Digital.

Kenapa sampai dipilih rangkaian kata berbahasa Inggris tersebut, tidak lain karena ingin menunjukkan positioning Pohuwato sebagai kabupaten yang sudah menjadikan teknologi bagian penting dalam tata pemerintahan dan pelayanan pada masyarakat. Pohuwato Goes Digital juga mengindikasikan bahwa kabupaten ini terus berbenah dan bergerak mewujudkan digitalisasi pemerintahan. Sempat terpikir beberapa kata seperti Smart City, Digital City, namun sepertinya kurang pas karena sudah digunakan oleh banyak daerah di Indonesia. 

Pohuwato Goes Digital

Terus terang, ada rasa penasaran juga, apa betul kabupaten yang beribukota Marisa ini sudah pantas disebut kota digital. Hingga tiba hari kami sampai Gorontalo, semuanya terjawab. Waktu tempuh kurang lebih tiga jam dari Bandara Jalaludin menjadi tidak terasa, karena sepanjang jalan kita disuguhi pemandangan pegunungan yang berpadu dengan alam pesisir. Kontur jalan yang berkelok, berliku dan mendaki membuat perjalanannya seperti sebuah tantangan tersendiri.

***

Akhirnya saya paham, di rumah kecil itulah semua teknologi yang digunakan di Pohuwato digodok. Kami berbincang santai dengan para pengelola Tatiye.Net. Raut wajah penuh semangat, melek teknologi dan bersahabat menyambut kami. Mereka menyadari masalah paling mendasar dalam mewujudkan kota digital adalah ketersediaan informasi. Oleh karena itulah, pengembangan portal yang khusus mengangkat aktivitas pemerintah, informasi layanan publik dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan menjadi sangat krusial. Kami  lalu ditunjukkan portal Pohuwatokab.go.id sebagai sentra informasi publik kabupaten Pohuwato. Portal ini diperbaharui tiap hari, mau tau apa saja tentang Pohuwato, bisa dicari disini. 

Portal Pohuwato
Portal Pohuwato

Wah, ternyata rumah yang dari depan terlihat biasa saja itu penuh dengan komputer canggih lengkap dengan server sendiri. Disinilah semua informasi tentang Pohuwato diramu dan dikelola.

Dibawah kepemimpinan Bapak Bupati Haji Syarif Mbuinga, S.Pd,MM, Pohuwato tidak main-main mewujudkan mimpi sejajar dengan daerah daerah lain di Indonesia yang sudah lebih dulu tergantung pada teknologi. Bagi Pak Bupati, teknologi adalah keniscayaan di era open and clean goverment saat ini. Tidak mengadopsi teknologi bukan saja berarti ketertinggalan tetapi sama saja dengan tidak membangun.

Bersama Tim Tatiye.Net
Bersama Tim Tatiye.Net
Bersama Bapak Bupati Pohuwato
Bersama Bapak Bupati Pohuwato

Menuju Digitalisme

Optimisme Pahuwato dimulai dari beberapa aplikasi yang kini telah dijalankan untuk melayani masyarakat. Contoh RSUD Buni Panua meluncurkan aplikasi tentang ketersedian fasilitas mulai dari jumlah kamar, jumlah pasien saat ini, jadwal dokter dan lain-lain yang semuanya terintegrasi dengan portal Pohuwato. Tidak kalah Perpustakaan Daerah mulai menggembangkan aplikasi sendiri, agar lebih banyak masyarakat yang mau berkunjung ke perpustakaan. Sementara kantor arsip daerah juga sudah mulai mendigitalkan dokumen-dokumennya. Ada lagi Laporan kemajuan pembangunan Pohuwato juga telah dirintis dalam format digital melalui Aplikasi Elektronik Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (e-LPPD). 

Tatiye.Net kini juga tengah mengembangkan aplikasi pelayanan satu pintu dibawah ownership Dinas Penanaman Modal. Sama seperti daerah-daerah lain, Pohuwato menyadari pentingnya investasi baru di daerahnya. Karena itu, kemudahan perijinan bagi calon investor baru, mutlak hukumnya. Tentu saja dikembangkan juga aplikasi-aplikasi umum yang diwajibkan Pemerintah Pusat seperti e-planning, e-musrenbang dan e-procurement. 

Aplikasi informasi layanan RSUD
Aplikasi informasi layanan RSUD

Terobosan yang paling menarik adalah mengembangkan website untuk setiap desa. Jika selama ini informasi desa hanya terpusat di Kantor Kelurahan atau Balai Desa, kini Pohuwato pelan-pelan mengedukasi setiap desa menjadi tidak gagap teknologi. Nantinya sekitar 70 desa yang tersebar di 13 kecamatan dapat dipantau secara online dari pusat pemerintahan. Tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur tradisional dan khas pedesaan, teknologi digital diharapkan bisa memperlancar pelayanan bagi masyarakat di pedesaan.

 Anak Muda Kreatif dan Potensi Wisata

Tiga hari di Pohuwato membuat saya makin sadar bahwa Indonesia ini kaya dan sangat indah.  Pohuwato dikelingi pantai dan gunung yang menawan, budaya yang unik perpaduan berbagai suku, makanan-makanan lokal yang lezat tiada tara (nanti saya akan tulis terpisah tentang kuliner Pohuwato), infrastruktur yang sudah mendukung dan masyarakat yang ramah dan terbuka terhadap pendatang.  Sungguh itu merupakan sebuah kemewahan untuk yang bernilai jual. Sayang, kadang kita memang suka lupa kalau rumah sendiri kaya potensi yang wajib dikenalkan ke dunia di luar sana.

Di satu sisi, ternyata Pohuwato penuh dengan generasi millenium yang tumbuh berdampingan dengan internet dan sosial media. Kami sempat melakukan diskusi kecil di sebuah cafe yang cozy di sudut Kota Marisa. Saya kagum, tidak sedikit dari mereka yang sudah merintis bisnis online, menulis buku, membuka cafe dengan promosi online bahkan menjadi fotografer. Borderless world karena hadirnya internet membuat anak-anak muda itu mampu menciptakan sendiri lapangan pekerjaannya.  Ternyata bukan cuma anak-anak di kota besar loh, yang bisa merintis start up! Nah, keeksisan para generasi kekinian itu tentu saja bisa dimanfaatkan untuk menunjang promosi pariwisata lokal.

DIskusi di Warong Inspirasi
Diskusi di Warong Inspirasi

phg2

 

Saya percaya, duta wisata terbaik sebuah daerah itu, bukan orang yang dipilih melalui kompetisi tapi justru kita-kita sendiri yang hidup di dalamnya.

Dan mereka yang kami temui malam ini bisa jadi pionirnya. Dengan kekuatan jaringan sosial media mereka, sangat mungkin Pohuwato akan menjadi salah satu destinasi unggulan pariwisata Gorontalo. 

Pemerintah Kabupaten Pohuwato memang masih punya banyak pekerjaan rumah dan lika-liku tantangan. Tapi semangat dan upaya mereka patut diacungi jempol. Perlahan tapi pasti, pantas kan disebut Pohuwato Goes Digital?!

Hits: 1394

Adakah cinta pada pandangan pertama? Dulu saya yakin 100% itu tidak ada. Bagi saya cinta itu merupakan sebuah rangkaian, bagaimana bisa suka apalagi cinta kalau cuma melihat sekelebat. Menurut saya, cinta pada pandangan pertama hanya merupakan proses visual sementara cinta sebenarnya  perlu “bukan hanya sekedar apa yang kelihatan oleh mata” Ok, ok..jangan di-argue ya.. kan semua orang sah sah saja memiliki pendapat yang berbeda.

Gara-gara baca buku dan nonton film Critical Eleven, opini saya tadi tiba-tiba sedikit berubah. Kata buku itu, dalam dunia penerbangan, ada istilah critical eleven yaitu sebelas menit paling kritis di dalam pesawat – tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing. Alasannya, secara statistik 80% kecelakaan pesawat terjadi dalam rentang waktu sebelas menit tersebut. Ternyata itu bisa dianalogikan pula dengan pertemuan kita dengan seseorang. Tiga menit pertama merupakan titik kritis, karena disitulah kesan pertama terbentuk. Kemudian ada delapan menit sebelum berpisah, dimana ekspresi dan sikap orang tersebut akan jadi pertanda apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah merupakan pertemuan yang pertama dan terakhir.

Saya tidak akan menganalogikan 11 menit pada pertemuan dengan seseorang merupakan pertanda dari ada tidaknya cinta pada pandangan pertama. Bukan! Beneran bukan! Tapi saya mencoba menarik benang merah dari pengalaman jatuh cinta saya sampai akhirnya nekad (baca: iseng) menulis artikel ini . Ciyeee.

Jadi gini, bagi saya cinta pada pandangan pertama itu ibarat sebuah kebohongan besar. Tapi saya (mungkin juga kamu) sering lupa bahwa selalu ada kesan yang terbentuk dari pertemuan pertama.

Tidak selalu kesan yang manis, imut, lucu, baik, ganteng, sopan, menarik atau apalah yang bagus-bagus lainnya. Bisa juga kesan, seperti “duh, ini cowok jutek amat jadi laki” atau “hmm…gak banget deh nih orang”, atau “yah, kayaknya oke juga nih orang, tapi kok tengil banget mentang-mentang keren”.

Persepti seperti itu tanpa sadar tersimpan di kepala hingga cukup lama, meskipun mungkin beberapa waktu setelah itu, tidak lagi bertemu orang yang dimaksud. Eh, tapi siapa sangka kesan-kesan itu akhirnya nempel di memori otak dan melahirkan “kekuatan” tersendiri yang bisa jadi justru membuat kita ingin mengenal dia lebih jauh. Kemudian semua berjalan begitu saja, ada dorongan yang secara biologis memancing hormon-hormon untuk bergerak ke arah yang lebih jauh. Menurut saya, itu adalah “chemistry” yang memang sudah Tuhan ciptakan buat kita. Jangan dibantah, itu takdir!

love-at-first-sight_100286346

Pada pertemuan pertama, syaraf-syaraf otak sudah bergerak menumbuhkan rasa “ketertarikan”, makanya ada kesan tercipta otomotis. Ingat, “ketertarikan disini tidak seujug-ujug berarti: “I want to stay with you”. Sederhananya begini; kalau kita sampai bisa menyimpulkan karakter orang yang kita jumpai hanya dalam beberapa menit saja, artinya otak bekerja lebih keras mencari sesuatu tentang dirinya dalam waktu yang singkat itu. Nah, otak yang bekerja lebih keras tadi, sejatinya memang pertanda yang semesta kirim ke kita. Kamu percaya kan, kita terkadang memang tidak bisa memilih dengan siapa kita harus jatuh cinta? #uhuy. Kalau alam tidak memberikan sinyal, artinya otak juga diem-diem aja makan gaji buta dan akhirnya kita cuma bisa bilang: Ah, biasa saja atau hmm, standar aja nih orang, dan atau sejenisnya.

Memang kesimpulan dari kesan tadi, sifatnya sangat prematur, tapi itulah yang menjadi bekal kita untuk melangkah ke depan. Misal kesan pertama tentang dia adalah : memang jutek orangnya, memang tengil, memang cuek. Eh, ternyata itulah sisi-sisi dari dirinya yang membuat kita tanpa sadar (TANPA SADAR) memberinya ruangan dalam memori kita yang kemudian bisa tumbuh dan berkembang jadi cinta. Eh…ini beneran, coba kalian cek lagi pengalaman pribadi masing-masing. Atau yang lebih ekstrim, kita mungkin bisa total benci maksimal sama seseorang, ini bisa jadi lebih gawat. Kata orang, jangan terlalu benci nanti jadinya suka. Bener banget sih, soalnya benci dan suka kan bedanya tipis banget. Setipis kain kelambu. Hehehe..

Hmm, kok saya bisa-biasanya sok biologis bin psikologis ngomong begini ya? Tapi percayalah: nothing beat experiences. Orang-orang yang pernah mengisi hati saya (#eaaa) semuanya adalah mereka yang SELURUHNYA tidak memberi kesan menyenangkan saat pertemuan pertama. Dan saya juga percaya, sebagian besar dari kita pasti mengingat pertemuan pertama dengan orang-orang yang pernah (atau masih ada di hati). Mau langsung suka, atau tidak suka, semuanya selalu tersimpan rapih di memori masing-masing. Iya, kan? Dan harus diakui sebenarnya itu adalah asal muasal cinta. Iya, kan?

So, do you believe in love at first sight?

Hits: 2553

Seorang putri cantik dari Negeri Johor tiba-tiba hilang saat bermain di tepi pantai. Tak ayal, Sang Raja memerintahkan pasukannya untuk mencari sang putri tercinta. Namun yang menemukan putri itu, justru seorang Pangeran asal Makassar yang akhirnya menikahinya. Mereka lalu hidup dan beranak pinak di tengah lautan dan kemudian dianggap sebagai nenek moyang suku Bajo.

Konon legenda tadi hanya salah satu penggalan cerita asal muasal Suku Bajo. Banyak sekali kisah-kisah lain yang tercetus tentang sejarah suku terapung ini. Ada pula yang menyebut asalnya dari Filipina, karena di perairan negara ini ditemukan beberapa titik pemukiman mereka. Namun di Indonesia, setidaknya mereka ada di Torosiaje (Gorontalo), Jambi, Wakatobi (Sultra) dan Berau (Kaltim). Karena asal muasal mereka yang sedikit simpang siur, wajar saja jika ada yang bilang ini adalah bagian sejarah yang hilang.

Team Kamadigital.com
Team Kamadigital.com

Dilanda rasa penasaran akan cerita Putri Johor itulah perjalanan kami dilakukan. Siang itu perahu bermesin kecil yang mengantarkan kami ke Torosiaje, sudah menunggu cukup lama di satu-satunya darmaga menuju desa ini. Entah ini kali keberapa saya bersampan melewati hutan mangrove yang memenuhi sisi darmaga. Bedanya, kali ini sama sekali bukan menuju daratan, melainkan perkampungan di atas laut. Sesaat lagi semua lelah akan terbayar setelah menempuh penerbangan sekitar 3 jam dari Jakarta dilanjutkan 3 jam perjalanan darat dari Marisa (Ibukota Kabupaten Pohuwato) dan terakhir menyeberang laut sekitar 10 menit. 

blog4

Kapal kecil kami dikemudikan oleh Pak Sunaryo. Ia mengantar kami dengan ramah hingga penginapan yang posisinya tepat di ujung desa.”Namanya kok “Kejawa-jawaan” ya?” pikir saya. Ternyata pemukiman Suku Bajo di Torasiaje ini sering disebut Bajo modern, salah satunya karena sudah banyak orang Bajo yang menikah dengan suku lain kemudian ikut menetap disini. Tidak heran jika 1300 penduduk disini ada yang berasal dari Jawa, Bugis, Makassar bahkan keturunan Tionghoa.

IMG20170505100904

Sepanjang jalan, sekilas seperti kampung biasa dengan aktivitas warga sehari-hari. Bedanya, jelas tidak ada daratan disini. Seluruh kampung dihubungkan dengan jembatan-jembatan kayu yang kokoh yang dinamakan kayu gopasa batu. Di setiap rumah terparkir pula satu dua perahu sebagai kendaaraan pribadi setiap keluarga. Beberapa rumah dicat warna warni menambah obyek foto kami. Laut di bawah rumah-rumah itu tampak begitu jernih. Banyak penduduk yang membuat keramba di depan atau samping rumah. Di satu sudut sekelompok anak muda sedang nongkrong santai tanpa kopi berlogo kepala hijau. Di sudut lain, beberapa ibu-ibu asyik mengobrol sambil membawa balitanya, sementara dua orang ibu lain sibuk menjajakan kue-kue kecil seharga seribu rupiah saja kepada kami. Riak bersahabat terpancar di wajah mereka yang  paham betul bahwa kampung ini sudah menjadi  tujuan wisata utama Pohuwato.

blog5
pic by @suryadi.sulthan
blog6
pic by @suryadi.sulthan

Tiba-tiba seorang anak berseragam sekolah dengan santai melintas dengan perahu kecilnya. Latar belakang langit biru, dengan laut jernih Toroasiaje membuat peristiwa itu menjadi begitu memesona. Kata Pak Jackson Sompat, Kepala Desa yang akrab dipanggil Ayah, satu dekade terakhir pendidikan sudah menjadi prioritas bagi warga Torosiaje. Mereka sudah punya sekolah dari tingkat TK hingga SLTP yang juga terapung. Beberapa fasilitas umum pun mulai dibangun. Bahkan jaringan air bersih sudah mulai masuk sejak beberapa tahun lalu. Satu hal yang mungkin masih perlu pembenahan adalah masalah sampah rumah tangga. Namun walau belum optimal tetap saja kampung ini bersih dan nyaman. Masyarakat Bajo yang hidup turun temurun di laut tahu betul bagaimana menjaga lautnya. Sebagai nelayan, mereka juga memegang teguh prinsip 3P dalam melaut; Pukat, Pancing dan Panah adalah alat alat yang digunakan dalam mencari ikan. Pantang bagi mereka menggunakan alat tangkap yang dapat merusak lingkungan. 

 

pic by @suryadi.sulthan
pic by @suryadi.sulthan

blog3

Sambil menikmati hidangan ikan goreng, ikan bumbu kuning lengkap dengan sambal pedas nikmat ala Gorontalo, kami berbincang dengan Pak Akbar pemilik rumah makan asal Makassar dan Pak Faldi Pakaya, Sekretaris Desa orang asli  Torosiaje. Mereka bertutur, Suku Bajo hidup harmonis di tengah lautan, nilai-nilai Islami mereka jalankan dengan taat. Tidak ada kawula muda yang boleh keluar lebih dari jam 10 malam. Jangan dikira sanksinya ringan, loh. Dua orang remaja lawan jenis yang kedapatan masih berdua di atas jam itu, harus dinikahkan. Nah loh! Belum lagi ada larangan untuk melaut di hari Jumat. Konon, barang siapa yang melanggar bisa tertimpa malapetaka di laut. Mungkin  saja ini secara tidak langsung dimaksudkan agar Bapak-Bapak nelayan dapat khusuk beribadah di hari yang sakral itu. Setiap tahun mereka juga melakukan Masaro, sebuah ritual tolak bala dan bentuk rasa bersyukur atas karunia laut yang menghidupi mereka.

pic by @suryadi.sulthan
pic by @suryadi.sulthan

Ketika sore mulai turun, kami beringsut mencari tempat terbaik untuk menikmati sunset. Seorang Ibu dengan ramah mempersilakan untuk menunggu perginya matahari dari dapur belakang rumahnya. Pandangan mata bebas lepas seperti lautan di depan sana.

Kemudian Senja turun pelan-pelan, air laut tetap tanpa riak. Semburat jingga, biru berpendar dengan perginya cahaya. Mungkin ini adalah salah satu senja terbaik saya. Pagi esok, saya akan bangun menyongsong kembalinya matahari. Karena hanya matahari yang PASTI menepati janji untuk terbit di pagi hari

 

Hits: 1928