Perjalanan saya ke Amerika tahun ini dimulai dengan transit di Bandara Narita, Jepang. Saya sengaja mencari penerbangan dengan transit lama (hingga 10 jam) dengan harapan bisa ikut city tour transit program. Apa daya sejak seminggu sebelum berangkat saya terserang batuk dan flu yang lumayan menyiksa. Mengingat suhu Tokyo yang saat itu hanya 2 derajat celcius sajah, jadilah saya cuma ngendon di Narita selama 10 jam itu.

IMG20170205154935
Terminal 2 Narita

Terminal 2 penerbangan internasional Bandara Narita tidak terlalu luas, namun memiliki banyak pojok untuk beristirahat. Pilihan restoran dan coffee shop menurut saya juga tidak terlalu banyak, tetapi ada berbagai pilihan toko souvenir, duty free shop dan toko oleh oleh. Saya tiba sekitar pukul 07.00 pagi waktu Tokyo. Setelah segala tetek bengek tansit selesai saya mencoba merebahkan badan di salah satu selasar. Wah, ternyata tidak saya saja, banyak juga penumpang lain melakukan hal yang sama.

IMG20170205102325
working space and relaxing
IMG20170205102259
mau duduk duduk santai, sendiri ? boleh… ada colokan dan wifi kok!

Ada deretan bangku lesehan lengkap dengan kasur tipis buat tiduran. Di sisi lain, bilik-bilik tertutup dengan sofa pribadi juga bisa dicoba. Bahkan beberapa diantaranya menggunakan kursi yang bisa memijat. Cocok deh buat saya yang akan menjalani total hampir 40 jam perjalanan mulai dari Cengkareng-Kuala Lumpur-Tokyo-Los Angeles dan terakhir Phoenix. Sambil rebahan, kita bisa terhubung dengan dunia maya melalui jaringan internet yang menurut saya sih tercepat yang pernah saya saya temui di bandara beberapa negara. Bosen main internet, kita bisa nonton TV yang memang tersedia di spot itu. Beruntung, karena tiba pagi hari beberapa space masih kosong, jadi deh saya istirahat sambil minum tolak angin. Hehehe. Oya, tempat ini dilengkapi juga dengan taman bermain indoor untuk anak-anak. 

blog6
bisa selonjoran, gratis sambil maen fesbuk dan nonton TV!
blog5
tempat bermain anak..

Bosan tiduran, saya berkeliling terminal. Eh, ternyata ada dayroom dan shower yang letaknya agak di sudut tidak jauh dari pusat informasi. Dengan badan yang masih setengah rontok, cuaca dingin, perjalanan masih jauh dan batuk yang tak kunjung reda, saya memang perlu tempat istirahat yang lebih proper. Iseng-iseng saya masuk dan mencari tahu, wah…boleh juga nih dicoba pikir saya.

IMG20170205142655
lobby minimalis

Seorang perempuan Jepang setengah baya menyambut saya dengan ramah. Meski bahasa Inggris-nya terpatah-patah, ia kelihatan sekali berusaha melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Ia menjelaskan beberapa fasilitas. yang tersedia. Ternyata, harganya tidak menguras kantong kok! Tersedia shower room untuk mandi saja yang disewakan sekitar 1.030 Yen per 30 menit atau sekitar Rp 100 ribu dan ruangan tidur single maupun dobel yang sudah dilengkapi dengan shower room. Harga ruangan single sebesar 1,540 Yen (sekitar Rp 150 ribu) satu jam pertama dan harga ruangan dobel sebesar 2,470 Yen (sekitar Rp 250 ribu) satu jam pertama. Saya bisa istirahat nyaman dengan privasi, bisa mandi bersih-bersih dan sholat tentunya. Harga pada jam kedua dan seterusnya, bukan perkalian dari harga jam pertama loh.. Silakan lihat foto dibawah ini untuk lebih jelasnya.

price list
price list

Sayangnya, saat saya kesana, ruangan single sedang penuh. Tapi si mbak Jepang memberikan diskon untuk ruangan dobel selama tiga jam dengan harga dua jam. Wah lumayan! Gakpapa deh, ngeluarin uang yang penting bisa segar dan fit kembali di penerbangan berikutnya yang masih memakan waktu kurang lebih 13 jam. Arrggghhh…

Ruangan dobel yang saya tempati tidak ubahnya seperti kamar di hotel budget chain internasional. Ada dua ranjang empuk, kamar mandi yang super canggih (tombolnya banyak banget), penghangat ruangan, air minum gratis, meja tulis, hairdryer, hingga peralatan mandi. Plus pemandangan lapangan terbang dari kaca-kaca yang sengaja dibuat lapang dan besar agar kita bisa melihat aktivitas landasan pesawat. Keren deh pokoknya! Tiga jam disini sangat tidak terasa. Lumayan, selain bisa istirahat, saya juga dapat pengalaman baru.

IMG20170205114226
dalam kamar

blog7

Buat yang kira-kira akan transit di Narita dalam waktu cukup lama, saya rekomendasikan deh tempat ini. Saya memang bukan yang doyan shopping dan makan-makan di bandara, jadi harga tersebut bagi saya cukup pantas, toh emang tidak ada pengeluaran lain.. Hehehe..

 

Hits: 2433

Kalau dipikir-pikir banyak yang lucu dalam hidup saya. Semua seperti sebuah kebetulan, tepatnya kebetulan yang membawa berkah. Ya, mungkin hidup saya tidak tertata apik seperti sekelompok orang. Padahal, sebagai seorang yang cukup well educated, hidup saya itu seharusnya lurus-lurus saja. Sekolah, kuliah, bekerja, punya karir yang menanjak terus, menikah lalu pensiun dengan bahagia. Dan saya yakin 80% orang di dunia ini menghendaki proses yang demikian. Tapi, saya beda (dan pasti bukan saya saja), karena hidup saya selalu penuh kejutan dan mungkin kebetulan. Eh, tapi apa bener semua itu serba kebetulan? Katanya selembar daun yang jatuh pun Tuhan tahu, jadi apa benar semua ini kebetulan?!

Titik balik kehidupan saya, adalah saat saya nekad pindah ke Aceh pada 2007. Menerima tawaran pekerjaan yang tidak pernah saya duga apalagi inginkan. Pindah ke daerah yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya. Boro-boro sampai di ujung Sumatera yang baru saja dilanda tsunami besar, daerah konflik perang dan memiliki budaya yang saya sungguh tidak paham sebelumnya,- kerja di luar Jakarta pun tidak pernah ada dalam benak saya. Meskipun waktu itu saya galau dan gamang cukup lama untuk memutuskan, akhirnya berangkat juga. Entah angin dan inspirasi apa yang membawa ke keputusan itu. Padahal di Jakarta, saya bekerja di perusahaan cukup besar dan menjanjikan karir manis manja. Ah, mungkin kebetulan? Entahlah, namun Aceh adalah turning point terpenting bagi saya dan kehidupan setelah itu. Makanya, jangan heran di blog ini selalu ada bagian khusus buat Aceh.

Aceh membawa banyak perubahan paradigma dalam diri Saya. Paradigma tentang hidup, kehidupan spritual, kedewasaan berpikir, memberi cerita cinta (accidently in love..hmm..), jatuh bangun, susah senang dan tentu saja menjadi bagian terbesar dalam lika liku pekerjaan saya. Lebih luas lagi, dari Aceh-lah saya menemukan sahabat-sahabat terbaik sebagai keluarga baru yang akan selalu dan selamanya ada di kehidupan saya. Tidak itu saja, dalam kehidupan sehari-hari, Aceh pun memberi pengaruh besar, sampai-sampai minum kopi pun saya belajar dari Aceh. Asal tahu saja, dulunya saya anti dengan kopi. Bisa gemetar seharian kalau minum secangkir kopi.

Blog yang saat ini kalian baca pun adalah buah dari saya bekerja di Aceh. Begitu banyak cerita yang ingin saya tuliskan hingga akhirnya saya belajar teknologi internet dan mulai menulis online. Gara-gara itu, selepas Aceh saya nekad lagi mengambil Magister Manajemen Sistem Informasi. Jauhhh sekali dari S1 saya di Fakultas Perikanan dan Kelautan. Dan tau gak sih, gara-gara blog ini lah, beberapa tahun terakhir hidup saya juga mulai bergeser. Kok bisa? Lanjut baca dulu ya…

Setelah dari Aceh saya sempat merasakan bekerja di Istana Kepresidenan di masa Presiden SBY. Lagi-lagi bisa masuk ke pusat pemerintahan ini karena jaringan dari pekerjaan di Aceh. Awalnya saya tidak nyaman disini, bekerja dengan pelajaran tambahan ilmu politik, pemerintahan dan birokrasi yang dulu sangat sangat saya benci. Namun semua berjalan sebaliknya, saya mulai mengenal birokrasi, punya hubungan baik dengan banyak Pemda dan mulai merasa saya harus punya kontribusi bagi negara ini bukan cuma mencaci maki Pemerintah. Mungkin cuma kebetulan. Eh, tapi apa ini kebetulan juga atau tidak, ternyata pengetahuan dan jaringan dari sanalah yang kemudian membuka jalan saya ke dunia yang sekarang.  

 

Setelah dari Istana, saya sempat “mampir”  dengan mudah ke sebuah bank terbesar di tanah air. Lagi-lagi kok bisa? Bisalah, soalnya yang merekomendasikan juga salah satu atasan saya di Aceh dulu. Tidak merasa berkembang di disana saya nekad lagi, keluar dari karyawan bank yang hidupnya sangat rapih dan tertata apik. Pergi pagi, pulang menjelang malam rutin selama lima hari dalam seminggu. Itu tentu saja belum termasuk lembur-lembur cantik hingga malam atau hari libur. Banyak yang bertanya, kenapa saya mau masuk ke bank yang penuh rutinitas (menjemukan). Hemmm, jawabnya; saya ingin hidup saya (kembali) seperti orang pada umumnya. Bekerja di perusahaan besar, gaji lumayan, semua ditanggung dan kemudian pensiun dengan damai. Tapi akhirnya, saya berani juga (menurut sebagian orang super berani), keluar dari zona super nyaman (yang sebenarnya tidak nyaman), cuma bermodal menulis blog saja dasarnya!

Ya, akhirnya dari blog yang saya kenal tak sengaja di Aceh, saya melanjutkan S2 di bidang yang sesuai. Dari sini saya kenal banyak orang, belajar banyak ilmu baru dan ternyata semua pada akhirnya bisa saya kombinasikan dengan pengalaman-pengalaman “kebetulan” saya yang lain.  Singkat cerita, jadilah saya dan beberapa teman merintis Kamadigital.com. Sebuah start up yang misinya ingin membantu stakeholders pariwisata nasional khususnya Pemerintah Daerah mempromosikan potensi wisatanya dalam format-format digital. Kenapa sasarannya Pemda saat banyak orang menghindari berurusan dengan pemerintah? Nah disitulah peluangnya! Jujur, Saya tidak punya ilmunya, semua berjalan sendiri. Modal dasar kenal banyak orang, senang dan mau membantu pengembangan pariwisata lokal dan sedikit tahu birokrasi pemerintah (gara-gara pernah bergulat dengan Pemda di pekerjaan sebelumnya) yang selama ini justru banyak dijauhi pekerja seperti saya.

Senangnya lagi, saat ini saya bekerja sama dengan teman-teman sejiwa yang asyik. Tidak mungkin kan saya bekerja sendiri. Dan semuanya adalah teman-teman yang bertemu kebetulan. Kebetulan kenal dari teman, kebetulan saya nonton tayangan youtube-nya. Kebetulan kenal di sebuah acara, dan kebetulan-kebetulan lain yang sama sekali tidak pernah saya duga. Seperti jodoh bukan dijodohkan, semua mengalir begitu saja.

Betul, ini memang belum apa-apa. Di depan perjuangan hidup masih panjang. Tantangan masih menghadang. Tapi saya yakin, masih ada “kebetulan kebetulan” lain yang luar biasa.  Kita memang bisa mengatur dan merencanakan hidup ini dengan cara terbaik, tetapi jangan terlalu  ketat juga seperti absen kantor. Banyak hal yang bisa dibiarkan berjalan mengalir seperti air sungai yang ujungnya bermuara ke laut. Pasti.

Hits: 799

Seorang senior travel blogger pernah berpetuah ke saya: “Kalau mau bikin judul tulisan jalan-jalan, lupakan menggunakan frasa-frasa hiperbola seperti surga tersembunyi, emas terselubung, nirwana di kaki langit, atau apalah yang sejenisnya. Kenapa?! Karena kata-kata tersebut memang cenderung berlebihan dan “feeling” orang terhadap sebuah daerah bisa berbeda-beda. Lagian, emang kamu pernah ke surga atau ke nirwana sampe-sampe bisa bikin perbandingan? Ah..jadi ngarang kan??

Beda cerita dengan judul hiperbola, pertanyaan yang paling sering mampir ke saya adalah: Lebih suka pantai atau gunung?  Jelas, saya dengan mantap akan menjawab: pantai tentu saja! Pantai dan laut yang seolah tanpa batas seolah menyimpan misteri yang membuat saya ingin selalu kembali. Hmmm…

blog1
by IG @d.haqiqi

Gara-gara Salem, saya sepertinya mulai melanggar dua pakem itu. Pertama, pada posting kali ini, saya terpaksa menggunakan kalimat “arunika dari Brebes”. Maapkeun, saya memang sudah kehabisan diksi yang pas untuk menggambarkan keindahan Salem. Arunika berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya sinar matahari pagi, karena saya yakin suatu saat Salem akan jadi seperti “matahari pagi” bagi pariwisata Brebes. Kedua, sepertinya preferensi pantai daripada gunung akan sedikit bergeser gara-gara untuk kedua kalinya saya mampir ke Salem minggu lalu. Yes, minceu bersama beberapa teman-teman blogger yang super heboh diajak jalan-jalan ke Brebes dan mengeksplore salah satu kecamatan di Brebes ini. Dan entah saya kenapa tiba-tiba saya suka gunung! Lho kok? Ini dia ceritanya!

***

Salem ditempuh sekitar 1,5-2 jam dari kota Brebes. Gak jauh kok! Perjalanan sama sekali tidak terasa, karena sepanjang jalan mata dimanjakan oleh hijaunya sawah dan ladang bawang. Udaranya sejuk, pepohonan masih rimbun dan infrastrukturnya sudah mencukupi. Namanya juga daerah pegunungan, jalanan menuju Salem memang menanjak. Bahkan ada beberapa tikungan tajam dan mendaki yang bisa bikin kita lebih banyak berdoa saat melewatinya. Untungnya, jalanan kesini super mulus dan pengemudi yang membawa kita sudah sangat mengenal medan. 

Kehebohan menuju Salem memang dimulai dari kelokan-kelolan mautnya. Kami yang sepanjang jalan penuh canda tawa tiba-tiba nyaris diam dalam keheningan, ketika melewati tikungan-tikungan tajam yang nyaris 90 derajat. Belum lagi jalannya dua arah, untung mobil kami, dilengkapi dengan klakson telolet yang akan dibunyikan saat jalan menanjak dan menikung tajam. Tujuannya, agar kendaraan dari arah berlawanan tahu kalau ada mobil besar yang akan lewat. Jadi gak usah jejeritan bilang: Om Telolet Om!  

blog8
by IG @d.haqiqi
by IG @suryadi.sulthan
by IG @suryadi.sulthan

Biarpun aman, melewati tikungan-tikungan tajam ini tetap bawaannya a litte bit scary, sampe-sampe saya (yang kurus) ini minta turun, dengan maksud untuk meringkankan beban mobil. Padahal, kayaknya gak ngaruh juga sih.. hehehe.. Lepas dari tanjakan, mobil kami berhenti sejenak. Wajah-wajah tegang turun satu persatu dari mobil. Lega banget, meskipun tadi hampir seluruh doa-doa diluncurkan. Kapok?! Gak dong!!… justru disitulah letak keseruannya.

Stop point pertama, adalah melihat pembuatan batik tulis khas Salem. Saking kayanya negeri tercinta ini, semua daerah nyaris punya batik. Desa Bentarsari di Salem ini adalah salah satunya. Pembatik Salem umumnya adalah ibu-ibu dan remaja putri. Membatik biasanya dilakukan di waktu luang selepas  bekerja di ladang atau sawah. Batik Salem unik, karena coraknya yang masih sangat old fashioned dengan mengangkat ciri khas Brebes, seperti bebek dan telur asin. Uniknya lagi, batik ini diwarnai secara alami dari tanaman yang ada di seputaran Desa Bentarsari, seperti daun mahoni, daun jambu klutuk hingga kulit jengkol. Satu kain batik seukuran 2×3 meter diselesaikan selesaikan 1-2 minggu. Saat ini, Ibu-ibu pembatik masih kesulitan akses untuk memasarkan produknya lebih luas, ditambah lagi keterbatasan modal yang membuat produksi tergantung pesanan. Hmm, ada yang tertarik jadi investor?!

by IG @suryadi.sulthan
by IG @suryadi.sulthan

Oya, biarpun masuk dalam Provinsi Jawa Tengah, penduduk Salem berbahasa Sunda. Beda banget sama saudara se-KTP nya di Brebes pesisir yang berbahasa Jawa dengan dialek “ngapak-ngapak”. Memang, sebagain besar wilayah pegunungan Brebes berbatasan dengan beberapa kabupaten di Jawa Barat. 

Lepas dari bertemu ibu-ibu pembatik. kami menuju Panenjoan. Sepanjang jalan gerimis tiada henti, tiba di Panenjoan pun tetap gerimis bahkan hujan! Panenjoan adalah daratan berbukit yang dipenuhi hutan pinus dan memamern view pegunungan. Beberapa menara pandang dibangun, buat jadi obyek foto. Teman-teman blogger tetap bersemangat, meskipun banyak banget spot yang tidak bisa difoto maksimal karena cuaca tidak mendukung.

Panenjoan  In frame IG @miss_nidy Pic IG @d.haqiqi
Panenjoan
In frame IG @miss_nidy
Pic IG @d.haqiqi

 

Panenjoan  pic by IG @suryadi.sulthan
Panenjoan
pic by IG @suryadi.sulthan

Tapi gakpapa, pulangnya kami masih bisa mampir di sawah terasering yang kerennn abis! Bagi penduduk sana mungkin sawah ini biasa saja. Cuma kita doang yang kayaknya mampir foto-foto.  Tapi sumpah, selain di Bali dan NTT, ini sawah ter-instagram-able yang pernah saya lihat secara langsung! Biarpun sebenernya saya orang kampung juga, tapi tetap excited melihat susunan sawah menghijau berlatar gunung dan sungai. Lebih indah dari lukisan. Saking bingung mau ngambil foto dari mana, akhirnya saya minta ijin ke salah satu rumah penduduk yang berlantai dua. Yah, lumayan deh… 

by IG @d.haqiqi
by IG @d.haqiqi

blog14

Menjelang sore, kami menghabiskan waktu di Kalibaya Park. Yaah, sayang banget..beberapa spot sedang direnovasi dan tanahnya becek sehabis hujan. Eh, tenyata itu malah jadi berkah sendiri buat teman-teman yang mencoba motor cross dan mobil off road. Belum lagi ada ayunan angkasa yang membuat kita seolah terbang. melayang. Ada menara pandang dari bambu dengan pemadangan waduk Malahayu dan alam Salem. Keren deh, menurut saya malah lebih keren dari Kalibiru di Yogyakarta. Cuma memang masih kalar tenar aja sih… Di Kalibaya juga ada fasilitas outbond,  jadi kalau pergi bareng rombongan, kita gak mati gaya. Banyak aktivitas yang bisa dicoba

Kalibaya pic IG @_rpoppy
Kalibaya
pic IG @_rpoppy
Space Swing Kalibaya in frame  IG @bernavita pic IG @d.haqiqi
Space Swing Kalibaya
in frame IG @bernavita
pic IG @d.haqiqi

Obyek yang belum sempat kami sambangi adalah Ranto Canyon, tebing-tebing tinggi dikelilingi air pegunungan yang dijadikan obyek bodyrafting. Seru juga sih kayaknya, next time saat cuaca bagus, wajib dijajal!

Soal makanan, jangan khawatir.. Kami sempat mampir ke warung Ayam Bumbu Kampung. Aduh, selain murah, enaknya kebangetan. Padahal menunya sih sederhana banget. Ayam goreng krispi dengan kriukan, lalap, tahu goreng, tumis kangkung dan aneka pepes.  Makan sepuasnya pun per orang tidak lebih dari Rp 30 ribu. Kecuali kalo kamu pengen beli gerobak Ibunya, ya?! :p

IMG-20170123-WA0008
by IG @miss_nidy

Paling enak sih kesini bukan sekedar mampir mengunjungi obyek-obyeknya, tapi merasakan sehari dua hari jadi warga Salem. Iya loh.. Salem memang makin terbuka dengan pariwisata. Kita bisa tinggal disini, lari pagi di sawah, makan ala desa yang murah banget. Foto-foto di Panenjoan dan melamun di tengah sawah (eh..ini cuma buat yang lagi galau…). Waktu paling pas untuk puas-puas disini sepertinya antara Maret-Oktober, saat musim kemarau. 

Asal tahu saja, semua inisiatif pengembangan wisata Salem ini diupayakan sendiri oleh penduduknya. Mereka membentuk Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Baru berjalan kurang dari satu tahun, Salem sudah menjadi salah satu tujuan wisata utama di Brebes. Saat ini mereka sedang gencar mempromosikan daerahnya melalui format-format digital. Keren kan? Semoga akan lebih banyak daerah yang bisa mencontoh Salem. Memang, masih banyak yang belum sempurna, tapi kalau menunggu semua oke banget, kapan kita bisa berjalan maju, kan?! Makanya sama-sama kita dukung pariwisata dalam negeri.

Pic by IG @d.haqiqi
Pic by IG @d.haqiqi

Jadi pengen ke Salem, nih!? Saat ini kendaraan umum memang belum banyak. Dari pusat kota Brebes baik terminal mapun stasiun naik angkot menuju Ketanggungan lalu lanjut angkot menuju Pasar Banjarharjo. Dari sini bisa naik angkutan umum dari Pasar Banjarharjo. Hmm, sayangnya sih kebanyakan angkutan ke Salem dari Banjarharjo masih colt bak terbuka…. Cocok sih buat yang ingin merasakan petuangan sesungguhnya. Biar lebih nyaman, mending perginya barengan beberapa teman, agar bisa menyewa mobil dari Brebes menuju Salem, sekaligus pesan home stay di Salem. Semua bisa dilayani oleh Pokdarwis Kalibaya (nomer telepon dibawah tulisan). Biaya sewa mobil dari Brebes sekali jalan sekitar 300- ribuan untuk sekali jalan (bisa urunan 5-6 orang). Sedangkan homestay Rp 50 rb/orang/malam plus satu kali makan.  Murah kann ?

Hayuklah ke Brebes, merasakan liburan kembali ke desa. Merasakan sisi-sisi lain dari negeri tercinta ini. Jarang-jarang kan kita bangun pagi, dan melihat sawah seindah ini? Lupakan sejenak Jakarta yang penuh polusi. Its time back to nature.

Brebes, A Different Taste of Java.

Kontak Pokdarwis Salem : Mas Ajie (0852-01000-9920)

Instagram @kalibaya_park dan @ranto_canyon

Hits: 1473

Makin sering jalan dan bertemu berbagai tipe orang, akhirnya saya bisa mengelompokkan beberapa tipe-tipe teman seperjalanan. Nah, kamu masuk tipe yang mana yaa?!

1. Tipe tertib administrasi

Teman tipe ini adalah paling yang rajin mencatat, semua dicatat. Pengeluaran setiap hari dibukukan secara rinci, sangat patuh dengan itinerary dan tidak boleh telat sedikit pun. Baiknya, mahluk seperti ini bisa jadi jam weker dengan bertugas mengingatkan anggota rombongan yang lelet atau santainya kebangetan. Cuma yang membuat males dari golongan ini, adalah kadang liburan menjadi tidak ubahnya seperti harus ngantor dan ngabsen sidik jari. Menegangkan! Semua seperti terburu-buru, kayak ada deadline yang ditungguin bos killer. Yah, namanya juga liburan sih ya.. tapi kalau sudah terlalu ketat waktunya, gimana bisa dinikmati, kan? Untuk mensiasati hal yang begini, buatlah itinerary dengan skedul yang sedikit longgar. Toh, liburan itu memang masa santai, kan?

Sebagai blogger, saya lebih senang liburan yang waktunya leluasa, bisa mengamati lingkungan baru, mengamati kehidupan masyarakat lokal dan menikmati makanannya dengan santai. Semuanya tentu saja buat bahan nulis blog!

sumber: www.theberry.com
sumber: www.theberry.com

2. Tipe rempong sendiri

Tipe ini ditandai dengan kemana-mana pergi, bawaannya selalu banyak. Pakaian hingga beberapa pasang, padahal perginya cuma dua hari. Bajunya gak bisa kotor dikit, baju basah dikit harus ganti yang baru. Kalau ikutan wisata alam di ruang terbuka, bisa jadi ia tidak nyaman. Apalagi kalau harus tinggal di homestay yang tidur barengan dengan berbagai model peserta open trip. Bahkan ada temen saya, yang tidak bisa tidur jika tidak menggunakan seprei yang dibawa dari rumah. Kebayang kan?! Kalau nginepnya di hotel yang bagus sih, oke ya.. tapi kalau jalan-jalan yang harus sharing dengan banyak orang?!..

Memang sih, kita tidak direpotkan secara langsung, karena dia melakukan sendiri semuanya, tetapi kondisi begini sungguh-sungguh bikin kita gemess sendiri. Saat mau santai-santai, rasanya tidak afdol kalau ada teman yang masih heboh sendiri dengan dirinya dan barang bawaannya. Orang seperti ini cocoknya memang liburan syantik ala Syahrini. Basah-basahan di laut, atau becek-becekan di sawah?! Pasti gak banget deh!

sumber:  blog.virtuoso.com/
sumber: blog.virtuoso.com/

Positifnya punya temen yang kayak gini, biasanya punya perlengkapan tempur lengkap. Mulai dari obat sakit gigi hingga obat kolesterol, semua dibawa. Lumayan, ada fungsi jaga-jaga kan?

3. Tipe traveler checklist

Hayo, siapa yang masuk tipe ini? Ciri-cirinya adalah kemana pun pokoknya harus mampir foto di setiap tempat. Dan yang penting cuma fotonya aja! Foto tok! Gak perlu lama-lama, gak perlu tau itu tempat apa, gak perlu menikmati semua atmosfer. Pokoknya setelah kelar foto, ya udah…cuss! Biasanya traveler seperti ini hanya ingin memenuhi ibadah update sosmed ajah. Hehehhe. Eh, ngomong-ngomong kalau waktunya mepet, saya juga sering sih begini..:D Hehehe..

sumber: www.123rf.com
sumber: www.123rf.com

4. Tipe yang penting gaya dulu

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah pergi dengan rombongan open trip yang terdiri dari sekelompok cewek-cewek keren. Sejak ketemu di bandara, saya sudah keder sendiri soalnya perlengkapan mereka lengkap banget. Ranselnya saja keluaran merek terkenal yang memang ditujukan untuk backpacker-an. Sementara saya, cuma bawa tas batik tentengan beli di Malioboro yang harganya tidak lebih dari 80 ribuan. Cewek-cewek ini juga membawa perlengkapan snorkeling yang lengkap dan tentu saja muaahalll. Intinya, gaya mereka sungguh menyakinkan sebagai petualang alam. Belum lagi outfit-nya, memang khusus buat traveling jauh. Mantep banget dah! Sementara saya, senengnya bawa rok bunga-bunga yang murah meriah biar bisa foto ala-ala princess gitu! :p

sumber: www.emaze.com
sumber: www.emaze.com

Ini namanya bener-bener dont judge a book by its cover! Tiba di tempat tujuan yang luar biasa indahnya, saya pikir mereka akan langsung nyebur dengan perlengkapan snorkeling yang super keren itu. Ternyata.. (hahahaha…) boro-boro!! Mereka lebih banyak berdiam di tepi pantai dan diatas kapal, kelihatan ragu-ragu untuk terjun ke laut. Olala, ternyata takut untuk nyebur! Padahal, tempatnya landai sekali dan memang untuk pemula. Pelampung pun sudah disiapkan oleh operator trip. Akhirnya sih, mereka nyebur juga (mungkin setelah baca doa berkali-kali) itu pun didampingi oleh seorang guide. Selama menunggu keberanian mereka, malah saya dan teman lain yang mencoba perlengkapan mereka, hehehe.. Makasih, ya mbak…

5. Tipe gak bisa moto, tapi doyan difoto!

Ada yang bilang, hindari bepergian dengan orang yang gak bisa moto! Huaaaa…bener banget sih sebenernya. Apalagi buat blogger, kayak saya. Kenapa? Karena saya ini blogger malas mencatat, jadi hampir setiap sepuluh langkah saya mampir berfoto. Nantinya, foto-foto itulah yang menjadi bahan tulisan saya. Dulu sih, waktu belum  jalan-jalan sekerap sekarang, saya juga guoblokk banget kalau ambil foto. Sekarang juga belum jago-jago amat, tapi setidaknya jauh lebih baik daripada dulu. Dari traveling-lah, saya belajar. Mengambil foto atau difoto itu masalah kebiasaan kok! Bukan masalah kamu lebih dominan pake otak kiri atau otak kanan.

Kalau kita sering jalan-jalan, otomatis taste kita meningkat dengan sendirinya kok. Foto yang baik adalah foto yang bisa bercerita, tanpa harus ditulis denga caption yang banyak. Foto-foto yang keren juga bikin nilai jual kita di sosmed naik. Eh, jangan mikir miring dulu loh! Positifnya, kalau kita jalan-jalan di negeri sendiri, foto yang keren bisa membantu mempromosikan daerah yang kita kunjungi! Beramal buat negara, boleh dong…

sumber:  www.123rf.com
sumber: www.123rf.com

Nah, paling menyebalkan adalah jalan-jalan sama orang yang doyannya difoto tapi gak bisa moto. Ini pernah banged saya temui di beberapa perjalanan. Akhirnya, saya seringgg banget jadi tukang foto, tapi foto saya nyaris gak ada! Belum lagi, ada golongan yang sukanya difoto, dimana mukanya muncul lebih dari 70% di frame. Masih musim ya, gitu? Fokusnya bukannya lokasi yang kita kunjungi?! Kalo di setiap foto muka lo semua,..hhmm…mending bikin foto KTP aja kali yee…

Oke, segitu dulu… jangan marah yaa..kalau ada yang merasa. *nyengir…

 

 

Sumber featured image: https://blog.rentini.com/2013/05/08/which-type-of-traveler-are-you/

 

 

Hits: 2695