Sepatu Kakek..


Jalan Jalan, Obrolan / Monday, August 11th, 2014

Ketika masih duduk di kelas 2 SD, saya pernah minta dibelikan sepatu baru ke kakek (Ayah dari Ibu saya). Tidak begitu saja langsung menuruti permintaan Saya, kakek (yang kami panggil Nenek Ayah) malah bercerita masa perang merebut kemerdekaan, dimana beliau keluar masuk hutan membawa senjata seadanya dan tidak memakai sepatu! Saat punya sepatu pun, kakek bilang ia baru akan membeli yang baru jika sepatu lama benar-benar sudah tidak layak pakai. Kalau beliau masih hidup sekarang, mungkin saya bisa dikomplain terus karena sekarang hobi saya justru beli sepatu, hehehe.. Namun cerita pendek itu sampai sekarang masih ada di kepala saya, Kakek menanamkan pesan moral untuk tidak hidup berlebih-lebihan.

Ya, Kakek adalah seorang Veteran Pejuang Kemerdekaan. Jika dihitung-hitung, Saya justru belajar banyak tentang perjuangan merebut kemerdekaan dari Kakek daripada dari buku sejarah sekolah.  Setiap Agustus, mungkin Kakek adalah orang yang paling “heboh” bersiap-siap menyambut Hari Kemerdekaan. Ia tidak hanya memasang bendera merah putih di halaman rumah, tapi juga menghiasi pagar dengan umbul-umbul meriah layaknya pawai 17an. Tidak jarang ia juga mengecat rumahnya lebih dari merapihkannya menjelang Lebaran. Jika orang lain hanya menaikkan bendera selama satu-dua hari, kakek mendandani rumahnya sebulan penuh di Agustus. Hebatnya lagi, semua itu dilakukannya sendirian dan penuh suka cita. Terasa sekali betapa beliau sangat menghargai kemerdekaan dan meresapi bahwa kemerdekaan tidak dicapai dengan mudah. Kakek sempat diwawancarai oleh sebuah majalah tentang perjuangannya. Matanya berbinar-binar penuh semangat ketika menceritakan masa-masa membawa bambu runcing dan makan daging ular di hutan.

Dalam kesehariannya, Kakek sangat disiplin sebagaimana layaknya seorang tentara. Bangun tidur, kapan waktu mandi, kapan waktu belajar semua dibawah kendalinya. Ia juga pekerja keras. Sadar gajinya sebagai pensiunan ABRI tidak banyak, ia membuka usaha sampingan mulai dari  angkot, beternak ayam potong, membuka sawah hingga kontraktor bangunan pernah dilakukannya.

Kakek sangat peduli pendidikan. Ia sadar sekali hanya sekolah yang bisa merubah nasib manusia.  Kakek pernah mengambilkan rapor saya ketika SMA. Ia duduk di deretan guru-guru, bukan di barisan orang tua. Mungkin ia tidak mengerti dimana seharusnya Ia duduk, namun Kepala Sekolah saya pun respek dengan beliau hingga tidak “tega” menyuruh beliau untuk pindah kursi. Kakek pula yang mengantarkan saya pertama kali merantau ke Bogor. Menumpang bis 20 jam menuju Jakarta hingga mencarikan kamar kost yang pantas. Kakek sangat bangga, karena saya –cucu pertamanya- bisa sekolah jauh dari kampungnya, meskipun itu harus berpisah dari keluarga.

Seperti sebelumnya, mudik lebaran sudah menjadi agenda rutin keluarga Saya. Berkumpul dan bercengkerama bersama keluarga adalah kebahagian yang tidak ditemukan di kota besar. Bagi saya ini juga momen mengenang Kakek. Berdoa di pusaranya, yang terletak di Taman Makam Pahlawan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Ada rasa haru, karena Ia pergi sebelum saya sempat memberikan sesuatu yang berharga untuknya. Kakek berpulang saat Saya masih duduk di semester empat. Alhamdulillah, Ia wafat tanpa mengalami sakit yang berkepanjangan. Satu hari menjelang beliau wafat, saya merasakan pusing, gelisah, bingung tanpa alasannya yang jelas. Mungkin keterikatan emosi kami yang menyebabkan semua terasa berkaitan. Sampai ajalnya tiba, kakek adalah Ketua Legiun Veteran Kabupaten Lahat, sebuah kota kecil berjarak 250 km dari Palembang.

***

Dulu, rasa kecintaan Saya dengan bangsa ini mungkin belum sebesar sekarang. Saya mencintai Indonesia hanya “disuruh”oleh guru di sekolah. Semakin lama, rasanya Saya makin sadar bahwa Indonesia tidak akan seperti sekarang jika kita masih terkukung oleh penjajahan asing. Kakek dan masa kecil saya bersamanya, menjadi bagian cerita bahwa meraih kemerdekaan bukan perkara mudah. Saya bangga punya kakek pejuang seperti juga saya sangat menghargai pejuang-pejuang lain. Tersisa kita untuk mengisi kemerdekaan ini dengan perjuangan dari berbagai bentuk baru penjajahan. Merdeka!

 Teruntuk Kakek (Alm) Mayor (Purn) H. Ali Kasim.

Al Fatihah.

Sila simak juga tulisan teman-teman travelBloggers disini: #rindupulang #tentangpulang #mudik

Mudik, Rindu Rumah , Danan Wahyu

Kepulangan yang agung , Farchan Noor Rachman

Tradisi Mudik Keluarga Batak , Bobby

Merangkai serpihan kenangan di Peunayong ,Olive

Ibu Aku Pulang ,Yofangga

Mudik atau Tidak adalah Pilihan , Parahita Satiti

Yogyakarta, Pulangnya saya,  ,Rembulan

Sebuah Cerita tentang Pulang, Bolang

Selalu Ada Jalan Untuk Pulang, Nugi

Lebaran Terakhir Bersama Nenek,  Badai

Cirebon: perut yang dimanja , Indri

Pulang adalah Kamu , Eka

Hits: 1268
Share

20 Replies to “Sepatu Kakek..”

  1. […] Tulisan ini adalah bentuk partisipasi thelostraveler.com sebagai salah satu bagian dari keluarga besar Travel Bloggers Indonesia dengan tema #tentangpulang #Mudik #Pulang #Kangen. Silahkan kunjungi karya lainnya di: Farchan Noor Rachman – Kepulangan Yang Agung Danan Wahyu Sumirat – Mudik, Rindu Rumah Olyvia Bendon – Merangkai Serpihan Kenangan di Peunayong Bobby Ertanto – Tradisi Mudik di Keluarga Batak Fahmi Anhar – Tradisi Lebaran Di Kampung Halaman Vika Octavia – Pulang, mengenang Kakek […]

  2. Jadi keinget kakek juga yang seorang guru SD, waktu liburan sekolah, pasti disuruh ikutan masuk ke kelasnya dan jadi murid idola dadakan ‘saking’ pintarnya. Ah, kangen, kakek yang sudah di surga.

Leave a Reply to cirebon : mudik dan perut yang manja | tindak tanduk arsitek Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *