Beberapa waktu lalu saya sedikit geli membaca status teman di Facebook yang menuliskan bahwa dirinya ogah menjadi PNS, karena enggan bekerja santai yang tidak ada tantangan. Opini-opini begini mungkin ramai muncul sejak pendaftaran PNS mulai dibuka secara online tahun ini. Yang menulis status itu sih usianya masih cukup muda. Tapi teman lain yang lebih berumur, juga “masih” berpaham sama, bahkan sejak dulu ia memang malas menjadi PNS dengan alasan yang kurang lebih sama. Saya sendiri, sama saja. Tapi itu dulu, duluuu banget waktu masih muda (Hahahha…ketauan sekarang udah bongkotan). Sejak lulus S1, saya belum pernah sekalipun mengikuti test PNS. Padahal, dulu saya sempat ditawari masuk “jalur khusus” menjadi abdi negara ini lewat salah satu kerabat Ibu Saya. Meski akhirnya  dengan pede saya tolak karena merasa ini cuma kerjaan absen rutin lalu pulang, hidup santai, tanpa tantangan dan dapat pensiun. Beda banget sama karakter Saya yang pengennya high achiever. Hahahha..

Namun, lagi-lagi garis hidup berkata lain. Terdamparnya Saya di sebuah lembaga   pemerintahan setelah beberapa kali menclok di perusahaan swasta, membuat Saya HARUS merubah   paham itu di otak Saya, orang-orang sekitar Saya, bahkan kalau perlu generasi muda Indonesia tercinta ini. Ciyeeee….. #Uhuk.

source: http://romokoko.com
source: http://romokoko.com

Konsep PNS adalah santai ini, menurut saya adalah peninggalan rezim lama yang dampaknya sudah mengakar di sebagian besar penduduk Indonesia. Dulu, memang seleksi PNS tidak seketat sekarang, tapi bukan rahasia lagi banyak jatah kursi kerabat pejabat dan jalur-jalur khusus lainnya. Lalu, bagaimana bisa menyaring kualitas SDM terbaik jika proses perekrutannya lebih banyak diwarnai titipan? Belum lagi, kita sudah terlalu lama terlena dengan budaya doktrinisasi. Keputusan hanya bisa diambil oleh segelintir pihak, kebebasan berpendapat dan berkreasi juga tidak seluas sekarang. Tidak heran, akhirnya sebagian besar PNS menjadi wahana yang penting kerja, berseragam keren, gajian rutin dan anti dipecat.

Anak-anak muda terbaik bangsa ini tidak dipungkiri masih senang bekerja di perusahaan multinasional bergaji spektakuler daripada bersaing memperebutkan satu kursi menjadi abdi negara. Pilihan menjadi PNS cenderung masih dipandang sebelah mata. Ya, memang ada sih lembaga-lembaga negara yang menjadi favorit para pencari kerja. Selebihnya, lagi-lagi menjadi PNS adalah pilihan bagi mereka yang ingin bekerja dengan “santai”.

Kini jaman sudah berubah, sayang banget jika sebagian besar orang masih menganggap menjadi PNS itu bersinergi dengan santai dan hidup aman dan terjamin hingga ke anak cucu serta nyaris tanpa gejolak. Seharusnya kosa kata santai segera hilang dari benak mereka yang berniat ataupun tidak berminat sama sekali menjadi PNS. Masalah dan tantangan bangsa ini masih banyak banget! Mulai dari birokrasi yang ribet, sumberdaya alam yang belum termanfaatkan dengan optimal, infrastruktur yang minim, pendidikan untuk anak-anak bahkan masalah toleransi beragama. Bisakah semua itu diselesaikan dengan “santai”? Bersyukur sekarang masyarakat semakin melek politik, gerak gerik dan sepak terjang pemerintah tidak luput dari kritikan dan sorotan. Semoga saja bentuk perhatian seperti itu membuat generasi muda tergerak untuk terjun langsung di dalamnya, bukan cuma repot jadi pengamat dan komentator. Buang jauh-jauh paradigma santai yang sudah mendarah daging itu. Sepatutnya orang-orang yang mengurus negeri ini dari level terkecil adalah orang-orang yang terbaik.

TAPI, pemerintah memang masih punya PR banyak, salah satunya bagaimana membuat kompensasi bekerja di pemerintahan menjadi semenarik bekerja di perusahaan besar. Apalagi sekarang (katanya) “semakin sulit mencari “sampingan”. Berita bagusnya proses itu sekarang sedang berjalan. Salah satu terobosan, kini sudah ada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan membuat iklim bekerja di lembaga pemerintahan menjadi semakin kompetitif. Silakan googling sendiri ya….

Jangan lupa seperti halnya di perusahaan swasta, kita digaji dari keuntungan perusahaan, oleh karena itu juga WAJIB bekerja sebaik-baiknya untuk perusahaan. Di pemerintahan, personilnya digaji dari pajak yang diperoleh dari rakyat. So, juga WAJIB bekerja sebaik-baiknya untuk rakyat. Iya kan! Santai? Malu dong!!

Oya, satu lagi..perlu saya tegaskan  banyak juga loh anak-anak negeri terbaik yang sudah berada di dalam pemerintahan. Saya hanya ingin membantu meluruskan bahwa menjadi PNS atau bekerja di pemerintahan itu pekerjaan mulia, banyak tantangan dan semakin kompetitif. Mari kita merubah mindset kita sendiri yang bisa kita tularkan ke lingkungan sekitar kita. Ingat, kalau bukan bangsa sendiri, siapa yang mau membangun negeri ini? Dan itu butuh kerja keras, sama sekali tidak santai!!!

 Tulisan dari orang yang bukan PNS..

Hits: 1002

Kalau ada kecemasan luar biasa yang pernah saya alami, mungkin proses pengajuan VISA Amerika untuk turis adalah salah satunya. Ya sih, dari dulu saya memang mimpi pengen ke Amerika, tapi melihat kondisi yang sekarang, sepertinya sementara ini memang cuma mimpi. Berharap dapat dinas dari kantor rasanya pun agak-agak mustahil buat saat ini. Kenapa saya enggan? Pertama, karena gak punya tabungan yang cukup yang karus diinformasikan pada saat wawancara, kedua (konon) perempuan single (mandiri) yang gak punya tanggungan seperti saya, sangat dikhawatirkan tidak mau pulang dan kemudian bekerja disana. Ketiga, isi stempel paspor saya cuma Asia Tenggara doang, plus Hongkong –Macau dan Saudi Arabia (buat umroh). Konon lagii.. (konon semua yaa…), negara-negara tetangga cenderung “gak dianggap” untuk membuktikan kita mampu menjadi wisatawan di Amerika.  Intinya mendapatkan VISA Turis tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi daripada VISA Sekolah, seminar, training atau sejenisnya. Konon-konon itu saya dapatkan dari hasil googling, yang artinya merupakan pengalaman pribadi orang-orang yang pernah mengajukan aplikasi visa Amerika ini. Belum lagi, saya menggunakan jilbab, yang mitosnya sering “diselidiki” lebih akurat.

Pengalaman di depan mata, adalah Ibu Saya yang sempat dua kali ditolak pengajuannya, tanpa alasan yang jelas padahal saat itu juga disponsori oleh adik Saya dan suaminya yang merupakan warga negara Amerika Serikat. Teman yang lain ditolak juga padahal sudah sering sekali bepergian ke luar negeri. Ada juga teman yang ditolak padahal ia sekretaris sebuah perusahaan besar dengan sponsor besar pula dan tujuan kesana hanya untuk menghadiri sebuah seminar. Haduuhh…belum apa-apa udah males duluan kan… Seandainya Indonesia jadi negara “terpandang” seperti Singapura (yang penduduknya bebas visa masuk USA), mungkin kita gak perlu rempong begini. Semua fenomena itu membuat saya yang mentalnya lemah ini (hehehe), terpaksa mengubur keinginan untuk berfoto di bawah Patung Liberty. Yah..Indonesia aja gak abis-abis dikelilingin, begitu pikiran saya.

Namun kayaknya takdir berkata lain (lebay dotcom). Setelah dua kali ditolak, Ibu Saya disetujui Visa-nya, bahkan mendapatkan Imigran Visa yang diurus langsung oleh adik Saya dari sana. Itu pun memakan waktu hingga satu tahun lebih. Berhubung Mama takut terbang sendiri jarak jauh, beliau memaksa Saya untuk mencoba peruntungan berburu Visa ini. Saya mencoba mencari kabar baik dan melengkapi dokumen sebagus mungkin agar disetujui. Seorang rekan di kantor berpesan: “jangan takut, kalau tidak dicoba yaa mana pernah kita tahu”. Wah bener juga pikir saya.

Dokumen yang menurut saya paling bisa menegaskan alasan saya pasti kembali, adalah rekomendasi kantor. Memang sih, banyak juga yang ditolak meski kantornya perusahaan terkemuka. Sampai saya menulis blog ini, saya masih bekerja di lembaga pemerintahan meskipun status saya bukan PNS. Saya berharap ini jadi alasan yang kuat kalau saya tidak berminat untuk menetap di Amerika. Dokumen kedua, adalah bukti rekening tabungan. Beberapa hasil googling menyebutkan kita harus punya minimal Rp70 juta untuk satu kali perjalanan. Sampai hari interview, saya cuma punya setengah lebih dikit dari nominal itu. Hehehe. Berkas lain yang tidak kalah penting adalah sponsor dari adik Saya. Ia mengirimkan saya surat undangan, scan paspor-nya dan bukti penghasilan. Oya, jika ada saudara yang mensponsori apalagi ia juga imigran, copy paspor lebih dipercaya dibanding KTP-nya orang sana. Kenapa? Karena imigran gelap disana banyak yang menggunakan ID palsu. Namun sekali lagi semua itu bukan jaminan kita pasti lolos loh! Dokumen-dokumen lain yang disarankan oleh banyak orang seperti Ijazah, Bukti Pajak, NPWP sampe surat rumah juga saya bawa untuk jaga-jaga. Sampai anjuran di salah satu blog untuk menggunakan baju warna cerah pun saya ikuti!

Tiba di hari H penentuan, rasanya nervous banget. Saya tiba paling pagi di kedutaan untuk mendapatkan giliran duluan dan lebih penting lagi biar galaunya cepat berakhir apapun keputusannya. Sebuah artikel juga memberikan tips lebih baik ikut antrian yang paling pagi, karena mood konselor-nya masih bagus, sehingga kemungkinan di-approve juga besar. Saya kayaknya gak perlu cerita panjang lebar proses antriannya ya,.. Keliatannya sudah terlalu banyak yang menulis soal itu. Berulang-ulang saya membaca doa-doa pendek yang saya hapal untuk menenangkan diri. Aduh, gak tau yaa..kenapa jadi heboh begini. Seorang Ibu di sebelah saya malah dengan santai bilang: “Tenang aja, mbak.. lebih susah bikin KTP kok daripada bikin Visa Amrik”. Yaah..dia sih enak bisa bilang begitu, wong Visa-nya cuma tinggal diperpanjang doang. Saya amati grup wawancara saya saat itu terdiri dari seorang mahasiswa, beberapa karyawan dengan seragam sebuah BUMN untuk sebuah dinas dan dua keluarga dan beberapa orang yang nampaknya ingin liburan. Bukannya ngomong SARA ya,..mereka yang berminat liburan pribadi umumnya teman-teman kita dari etnis keturunan (Tionghoa). Hehehe… Keder banget deh saya!

Tiba giliran saya, konselornya seorang bule perempuan, bertubuh agak tambun, tapi terlihat cukup ramah. Ohya, ketakutan akan karyawan kedutaan yang jutek dan gak ramah, sama sekali tidak saya temui. Semua petugas dari security bagian paling awal hingga pewawancara menurut Saya sangat baik dan akomodatif. Dengan perasaan yang gak santai banget, saya memulai sesi wawancara yang tempatnya persis seperti posisi beli tiket KRL: (maap, bahasa inggris-nya ancur…yang penting kan lolos..hehehe..)

Pewawancara (P) : Good morning, what your name?

Saya (S): Morning, I am Vika Octavia

P: What it is your purpose to go to America?

S: I want to have a vacation and meet my sister I didn’t meet for about five years.

P: (sambil kutak katik data komputer): Oh, you have a sister there…Could you give me a letter from her?

S: (ngasih dokumen yang diminta)

P : How long have she been there ?

S: About 10 years..

P : Is it your first time to visit her?

S: Yes I am..

P: Are you going with Elyta Surya (nama Ibu Saya…wah, ternyata dia menelusuri nama Ibu saya di sistem mereka)

S: Yes.. She is my mom. She is afraid to travel with a long flight alone (contoh anak berbakti..)

P: And..how long your plan to stay in US?
S: Approximately 2-3 weeks. I couldn’t take a leave more than that (harus begini, biar dipercaya pasti balik)

P: And.. what are you doing now?

S: (Nyeritain singkat soal kerjaan Saya)..bla..bla.. dan saya tegaskan kalau saya kerja di pemerintahan yang HARUS pulang. Note: gak usah panjang-panjang (kalau perlu siapin default untuk jawaban ini).

P: (kemudian dia sibuk sendiri ketik ketik komputernya sekitar 1-2 menit). Paspor lama saya dikembalikan, paspor baru ditahan. Sambil ngasih kertas putih: Ok, your visa been approved! Comeback again in 3 days!

S: (*rada-rada mau pingsan. Rasanya beban rontok semua) Oya, Visa saya disetujui berlaku untuk 5 tahun kedepan! Horee!

Dari wawancara tadi, si bule sama sekali tidak meminta dokumen kecuali surat dari adik saya. Dalam beberapa kejadian bisa saja ini tidak menjadi bukti yang kuat. Print out rekening bank, KK, akte kelahiran, KTP dan berbagai surat lainnya sama sekali tidak ditanyakan! Bahkan rekomendasi dan ID kantor pun hanya dilirik sebentar. Si bule lebih banyak mengutak-ngatik komputer saktinya dibanding bertanya macem-macem sama saya. Mungkin di dalam computer itu riwayat dan kisah hidup saya juga sudah ada. Hehehehe….

1409321978524

Nah, pesen saya buat yang pengen coba-coba apply..dicoba aja..gak ada salahnya kok! Gak usah terlalu khawatir dengan penyebab kegagalan orang lain. Beberapa diantaranya malah cuma mitos. Pastikan saja semua dokumen lengkap dan disampaikan dengan jujur. Jangan lupa banyak-banyak berdoa dan sedekah. Hahahaha.. Kalau lagi beruntung, anggap saja ini rejeki anak sholeh. Aaaminn

Hits: 5116

Ketika masih duduk di kelas 2 SD, saya pernah minta dibelikan sepatu baru ke kakek (Ayah dari Ibu saya). Tidak begitu saja langsung menuruti permintaan Saya, kakek (yang kami panggil Nenek Ayah) malah bercerita masa perang merebut kemerdekaan, dimana beliau keluar masuk hutan membawa senjata seadanya dan tidak memakai sepatu! Saat punya sepatu pun, kakek bilang ia baru akan membeli yang baru jika sepatu lama benar-benar sudah tidak layak pakai. Kalau beliau masih hidup sekarang, mungkin saya bisa dikomplain terus karena sekarang hobi saya justru beli sepatu, hehehe.. Namun cerita pendek itu sampai sekarang masih ada di kepala saya, Kakek menanamkan pesan moral untuk tidak hidup berlebih-lebihan.

Ya, Kakek adalah seorang Veteran Pejuang Kemerdekaan. Jika dihitung-hitung, Saya justru belajar banyak tentang perjuangan merebut kemerdekaan dari Kakek daripada dari buku sejarah sekolah.  Setiap Agustus, mungkin Kakek adalah orang yang paling “heboh” bersiap-siap menyambut Hari Kemerdekaan. Ia tidak hanya memasang bendera merah putih di halaman rumah, tapi juga menghiasi pagar dengan umbul-umbul meriah layaknya pawai 17an. Tidak jarang ia juga mengecat rumahnya lebih dari merapihkannya menjelang Lebaran. Jika orang lain hanya menaikkan bendera selama satu-dua hari, kakek mendandani rumahnya sebulan penuh di Agustus. Hebatnya lagi, semua itu dilakukannya sendirian dan penuh suka cita. Terasa sekali betapa beliau sangat menghargai kemerdekaan dan meresapi bahwa kemerdekaan tidak dicapai dengan mudah. Kakek sempat diwawancarai oleh sebuah majalah tentang perjuangannya. Matanya berbinar-binar penuh semangat ketika menceritakan masa-masa membawa bambu runcing dan makan daging ular di hutan.

Dalam kesehariannya, Kakek sangat disiplin sebagaimana layaknya seorang tentara. Bangun tidur, kapan waktu mandi, kapan waktu belajar semua dibawah kendalinya. Ia juga pekerja keras. Sadar gajinya sebagai pensiunan ABRI tidak banyak, ia membuka usaha sampingan mulai dari  angkot, beternak ayam potong, membuka sawah hingga kontraktor bangunan pernah dilakukannya.

Kakek sangat peduli pendidikan. Ia sadar sekali hanya sekolah yang bisa merubah nasib manusia.  Kakek pernah mengambilkan rapor saya ketika SMA. Ia duduk di deretan guru-guru, bukan di barisan orang tua. Mungkin ia tidak mengerti dimana seharusnya Ia duduk, namun Kepala Sekolah saya pun respek dengan beliau hingga tidak “tega” menyuruh beliau untuk pindah kursi. Kakek pula yang mengantarkan saya pertama kali merantau ke Bogor. Menumpang bis 20 jam menuju Jakarta hingga mencarikan kamar kost yang pantas. Kakek sangat bangga, karena saya –cucu pertamanya- bisa sekolah jauh dari kampungnya, meskipun itu harus berpisah dari keluarga.

Seperti sebelumnya, mudik lebaran sudah menjadi agenda rutin keluarga Saya. Berkumpul dan bercengkerama bersama keluarga adalah kebahagian yang tidak ditemukan di kota besar. Bagi saya ini juga momen mengenang Kakek. Berdoa di pusaranya, yang terletak di Taman Makam Pahlawan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Ada rasa haru, karena Ia pergi sebelum saya sempat memberikan sesuatu yang berharga untuknya. Kakek berpulang saat Saya masih duduk di semester empat. Alhamdulillah, Ia wafat tanpa mengalami sakit yang berkepanjangan. Satu hari menjelang beliau wafat, saya merasakan pusing, gelisah, bingung tanpa alasannya yang jelas. Mungkin keterikatan emosi kami yang menyebabkan semua terasa berkaitan. Sampai ajalnya tiba, kakek adalah Ketua Legiun Veteran Kabupaten Lahat, sebuah kota kecil berjarak 250 km dari Palembang.

***

Dulu, rasa kecintaan Saya dengan bangsa ini mungkin belum sebesar sekarang. Saya mencintai Indonesia hanya “disuruh”oleh guru di sekolah. Semakin lama, rasanya Saya makin sadar bahwa Indonesia tidak akan seperti sekarang jika kita masih terkukung oleh penjajahan asing. Kakek dan masa kecil saya bersamanya, menjadi bagian cerita bahwa meraih kemerdekaan bukan perkara mudah. Saya bangga punya kakek pejuang seperti juga saya sangat menghargai pejuang-pejuang lain. Tersisa kita untuk mengisi kemerdekaan ini dengan perjuangan dari berbagai bentuk baru penjajahan. Merdeka!

 Teruntuk Kakek (Alm) Mayor (Purn) H. Ali Kasim.

Al Fatihah.

Sila simak juga tulisan teman-teman travelBloggers disini: #rindupulang #tentangpulang #mudik

Mudik, Rindu Rumah , Danan Wahyu

Kepulangan yang agung , Farchan Noor Rachman

Tradisi Mudik Keluarga Batak , Bobby

Merangkai serpihan kenangan di Peunayong ,Olive

Ibu Aku Pulang ,Yofangga

Mudik atau Tidak adalah Pilihan , Parahita Satiti

Yogyakarta, Pulangnya saya,  ,Rembulan

Sebuah Cerita tentang Pulang, Bolang

Selalu Ada Jalan Untuk Pulang, Nugi

Lebaran Terakhir Bersama Nenek,  Badai

Cirebon: perut yang dimanja , Indri

Pulang adalah Kamu , Eka

Hits: 3270