Sebelum kenal dunia blogger, saya selalu berpikir bahwa Pemerintah-lah yang paling bertanggung jawab terhadap pariwisata di Indonesia. Jika pergi kemana-mana dan melihat buruknya pengelolaan pariwisata saya pun ikutan mengumpat. Kita semua tahu Indonesia ini alamnya cantik luar binasa eh..luar biasa. Kok begini-gini aja ngurusnya? Di sisi lain, saya juga merasa (semoga cuma perasaan saya saja sih) promosi pariwisata nasional seolah-olah cuma membidik turis manca negara? Kok begitu yaa? Sementara orang yang punya kemampuan di negara kita lebih seneng rutin melancong ke Malaysia dan Singapura, negara tetangga termaju saat ini.

Sebuah artikel di Tempo beberapa waktu lalu menyebutkan pertumbuhan industri pariwisata Indonesia pada 2014 mencapai 9,39%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Angka itu di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,7%. Total pendapatan negara di sektor ini adalah Rp347 triliun atau 23% dari dengan total pendapatan negara. Sektor pariwisata juga menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara di 2013.

Saat pengelolaannya terlihat masih banyak cela dan kurang disana-sini, sektor pariwisata bisa dibilang paling kinclong perkembangannya. Bayangkan saja jika sektor ini ditangani dengan lebih serius. Sayangnya saya tidak punya data dari nilai itu berapa kontribusi turis mancanegara dan turis lokal. Walau demikian saya yakin sepenuhnya, industri ini bisa tumbuh dan punya peluang besar dari wisatawan lokal.

20121228_145158

Menurut saya, hitungan jumlah wisatawan dengan makin baiknya wisata ibarat menebak ayam dulu, atau telur dulu. Apakah menunggu turis banyak dulu baru punya biaya untuk memperbaiki atau diperbaiki dulu baru turis berdatangan. Jika kita tidak memikirkan peran apa yang bisa kita lakukan, pastilah sebagian besar akan memilih opsi kedua yang artinya menyerahkan semuanya ke pemerintah. Jika ini dilakukan seharusnya diiringi promosi agar biaya pekerjaan ini bisa berputar dan prosesnya tidak berhenti.

Nah, porsi promosi inilah yang bisa saya bantu sebagai seorang blogger. Tidak harus menunggu pemilihan putra-putri atau duta-duta pariwisata untuk melakukan upaya ini. Sama sekali tidak mengecilkan keberadaan ajang pencarian bakat seperti itu. Tapi kita harus realistis, jika butuh informasi tujuan wisata, kemana kita kini mencari? Nelpon duta wisata atau googling? Silakan dijawab sendiri. Mohon abaikan kurangnya pengetahuan saya akan hal ini. Kalaupun dibuat semacam survei, saya yakin sekali blogger adalah tools ampuh untuk membuat wisata lokal kita berjaya.

20131103_084755

Dengan alamnya yang cantik sangat disayangkan jika sebagian besar penduduk yang bermukim di daerah wisata kita masih miskin. Seorang teman saya yang bekerja di sebuah NGO lingkungan, saat ini tengah melakukan sebuah program untuk mengurangi kemiskinan di beberapa lokasi wisata di NTT. Miris jika kita selalu melihat dengan nyata banyak yang jalan-jalan ke Singapura cuma untuk belanja. Jelas-jelas hal ini cuma memberi devisa buat negara lain. Jika saja uang itu bisa dialihkan ke mereka yang bergantung hidupnya dari wisata alam, bukan saja devisa, penurunan tingkat kemiskinan pun terbantu.

Memang sih, secara logika wajar juga mereka memilih berakhir pekan di Singapura, wong tiketnya lebih murah. Nah, ini pun seperti telur atau ayam. Harga tiket pesawat akan mengikuti jumlah permintaan. Jika permintaan banyak, harganya cenderung akan murah, karena akan membuat persaingan maskapai menjadi sengit. Siapa yang mau mulai beli tiketnya? Ya, kita juga dong.. Masak berharap duluan sama turis asing.

Karena cinta itu lahir dari melihat dan merasakan.

So, sejatinya duta wisata bangsa ini ya ..kita sendiri. Siapa sasaran utamanya? Ya kita-kita juga. Menjadi pekerjaan kita juga sama-sama bagaimana membuat penduduk Indonesia menjadi lebih mencintai negaranya. Bagaimana caranya? Dengan lebih banyak berkunjung ke berbagai wilayah negeri. Karena cinta itu lahir dari melihat dan merasakan. PR pemerintah membuat bagaimana infrastruktur pariwisata menjadi lebih baik, akomodasi memadai, harga tiket menjadi lebih terjangkau dan lain sebagainya. Sebagai blogger saya bersedia membantu habis-habisan untuk mempromosikan Indonesia. Semoga Pemerintah mendukung upaya ini dengan optimal.

Dibuat bersama-sama dengan Tim TravelBloggerIndonesia

Baca Juga!

silakan kunjungi surat yang lain di :
Lenny Lim – Surat Untuk Menteri Pariwisata
Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat untuk Menteri Pariwisata
Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia
Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka untuk Menteri Pariwisata
Rijal Fahmi – Pariwisata Indonesia dan Segala Problematikanya
Titi Akmar – Secercah asa untuk Pariwisata Indonesia
Parahita Satiti – Surat untuk Pak Arief Yahya
Yofangga Rayson – Pak Menteri, Padamu Kutitipkan Wisata Negeri
Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia
Matius Nugie – Merenda Asa untuk Pariwisata Kota Indonesia
Olive Bendon – Indonesia, Belajarlah pada Malaysia
Bobby Ertanto – Dear Menteri Pariwisata Indonesia
Danan Wahyu – Repackage Visit Indonesia Year
Firsta Yunida – Thought and Testimonial : Tourism in Indonesia
Felicia Lasmana – Target 1 Juta Wisman Per Bulan menurut seorang Biolog, Pejalan, dan Blogger

 

 

Hits: 4794

Tidak terasa tujuh tahun berlalu sejak kedatangan saya pertama kali ke Tanah Rencong. Masih teringat jelas pagi itu 2 Juli 2007 dengan pesawat paling pagi saya diantar beberapa orang sahabat. Masih pula teringat pakaian apa yang saya pakai hari itu, apa isi koper saya, bahkan type ponsel baru yang sengaja saya beli satu hari sebelum berangkat. Pindah dan menetap (sementara) di Aceh bisa jadi salah satu keputusan terberat (atau mungkin terhebat) yang pernah saya ambil. Setelah lama menetap di Bogor dan bekerja di Jakarta yang nyaris tanpa masalah (bahkan punya potensi karir yang bagus). Ssst, bocorannya sebelum ini saya takut banget untuk kerja ke luar kota. Saya ada di zona nyaman mbak mbak kantoran Jakarta yang masuk jam 9 pulang jam 5 dengan hiburan karaoke dan teman-teman yang itu-itu saja. Sounds so boring, isnt it?

buku1Dan kemudian, Aceh menjadi bagian dari perjalanan hidup Saya, seperti juga menjadi bagian cerita yang tidak pernah habis untuk dituliskan di blog ini. Aceh mengubah dan menuntun pandangan saya tentang paradigma hidup, kehidupan spritual, kedewasaan berpikir, memberi cerita cinta (hmmm), jatuh bangun, susah senang dan tentu saja menjadi bagian terbesar dalam kehidupan pekerjaan saya. Lebih luas lagi, dari Aceh-lah saya menemukan sahabat-sahabat terbaik yang telah menjadi keluarga baru dan akan selalu dan selamanya ada di kehidupan Saya. Lebay mungkin.. Tapi jujur, apa yang Saya dapat sejauh ini adalah karena saya pernah di Aceh. Ya, hampir semua… 

Mengenal dunia menulis dan blogger pun karena Aceh. Pada waktu itu, satu-satunya yang bisa menjadi hiburan disana adalah internet kantor yang kencang. Di waktu senggang, mengutak ngatik blog adalah hal baru yang sangat menyenangkan. Jika akhirnya saya nekad menempuh Master di bidang Manajemen Sistem Informasi, juga karena terinspirasi pekerjaan di Aceh yang banyak berhubungan dengan IT. Agak gak nyambung memang dari S1 saya di Ilmu Perikanan dan Kelautan. Hehehe.. Contoh lain adalah kopi. Tak pernah terpikirkan saya jadi penggemar si hitam ini? Bisa dibayangkan, sebelum ke Aceh, minum kopi adalah pantangan buat saya karena bisa membuat kembung plus jantung yang rasanya berdetak lebih kenceng. Setahun di Aceh, semua berbalik. Sulit membayangkan bagaimana rasanya gak ngopi satu hari saja. Sampai-sampai pernah terpikir untuk punya warung kopi sendiri.

IMG-20120930-00653Tsunami telah mensyuhadakan hampir 10% penduduk Aceh saat itu. Mungkin banyak lupa Aceh dibantu lebih dari 600 organisasi yang datang dari 50 negara. Ini sungguh bantuan terbesar dalam semua bencana yang pernah terjadi di dunia. Tidak ada waktu untuk memilih siapa menolong siapa. Tidak ada batas negara, budaya dan agama. Alasan kemanusiaan-lah yang menjadi pondasi untuk membangun Aceh. Jika perbedaan bangsa, ras, warna kulit saja terabaikan apalagi hanya perbedaan etnik, suku, ideologi dan agama bagi sesama pekerja kemanusiaan asal Indonesia. Sesuatu yang akhir-akhir ini menjadi barang langka. Ketika makin kerap kita temui perpecahan karena perbedaan pandangan, golongan, agama dan paham-paham tertentu. Bahkan setelah usai Pilpres tahun ini masih saja ada fitnah terhadap pihak-pihak tertentu yang terkadang jauh dari kata logis. Bukan cerita baru jika banyak persahabatan yang retak, hubungan saudara yang merenggang bahkan kebencian pada kelompok-kelompok tertentu.

Ketika semua bisa bersatu saat bencana, Mengapa kini kita harus terpecah hanya karena perbedaan pandangan?

Lucu, kenapa kita bisa bersatu justru saat terjadi bencana? Kenapa kini perbedaan membuat kita harus terpecah. Padahal sejatinya perbedaan ibarat minyak dan air. Tidak bisa bersatu tetapi bisa berdampingan. Saya percaya perbedaan itulah yang membuat hidup kita kaya dan berwarna. Dulu, pasca tsunami kita hanya punya satu tujuan yaitu membangun Aceh kembali setelah bangkit dari keterpurukan. Kita percaya pada siapa pun yang menjadi pimpinan kita. Tidak ada bedanya dengan Indonesia saat ini. Keinginan kita sama; hidup damai dan sejatera di negara yang sama-sama kita cintai. Seperti saat kita mencintai Aceh yang porak poranda setelah diterjang tsunami. Sudah seharusnya kita bisa belajar dari tsunami 2014.

Hits: 1750

Ajakan seorang teman untuk menyusuri kaki gunung salak di pagi hari, sungguh sulit ditolak. Hampir dua puluh tahun menjadi penduduk Bogor tidak berarti saya sudah khatam lekuk-lekuk daerah ini.

Ada beberapa deretan gunung yang melingkupi Bogor diantaranya Gunung Salak, Gunung Gede, Gunung Halimun dan Gunung Bunder. Saya tidak tahu pasti posisi letak geografis mereka. Pagi itu kami hanya menyusuri kaki Gunung Salak hingga sampai lereng Gunung Halimun dan Gunung Bunder.

Path 2014-12-19 11-42 (1)Cuaca pagi itu agak mendung, rasanya saya belum siap untuk mandi dan belum mood buat sarapan. Dengan si Jus Alpukat mobil kecil saya menuju Ciapus, sebuah desa terdekat sebagai meeting point kami. Berharap disana saya bisa menemukan makanan yang pas buat sarapan. Benar saja, baru memasuki pedesaan kami bertemu dengan pedagang tahu bulat keliling. Lucunya, jika yang lain menggunakan gerobak, pedagang yang satu ini cukup kreatif (dan bermodal cukup), dengan menggunakan mobil bak terbuka. Terang saja dia laris, karena cuma mobil jenis ini yang bisa naik sampai ke desa terujung yang jalannya menanjak dan berliku. Ah sayang, seharusnya tahu garing itu bisa dinikmati dengan secangkir kopi hitam dengan pemandangan alam pegunungan.

Saya yang berKTP Bogor baru tahu di sepanjang jalan menuju Gunung Salak banyak ditemui Situs-situs peninggalan purbakala peninggalan zaman Megalitik. Walaupun saya tidak sempat masuk melihat-lihat, selalu ada papan penanda Situs yang dibuat oleh Dinas Pariwisata Bogor. Belum optimal memang, namun setidaknya Pemda sudah memberi perhatian untuk obyek-obyek tersebut. Sebagian besar situs tersebut berbentuk batu-batu yang dulu nampaknya merupakan wujud sebuah bangunan. Ya, jalan menuju Gunung Salak ibarat jejak-jejak tradisi megalitikum.

Hal lain yang juga baru saya tahu, ternyata disini-lah pusatnya Curug. Curug adalah sebutan air terjun di Bogor. Sepanjang jalan kita akan selalu melihat penanda masuk ke berbagai Curug, diantaranya Curug Nangka, Curug Seribu, Curug Cigamea, Curug Ngumpet dan Curug Cihurang. Kami sempat mampir ke Curug Ngumpet yang tempatnya asyik buat ngobrol karena agak landai. Lebih asyik lagi kalau kesini bawa bekal, karena hampir tidak ditemui pedagang makanan disini. Yah, bagus sih… Itung-itung untuk menjaga kebersihan alamnya.

ngobrol di Curug Ngumpet
ngobrol di Curug Ngumpet

Di areal Gunung Salak (sering disebug Gunung Salak Endah) ada tiga jenis spot yang bagus yaitu berbagai curug, hutan pinus dan Kawah Ratu, Namun jika ingin ke kawah Ratu kita harus siap disana pukul 07.00 pagi. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk jalan kaki menuju kawah. Selain harus pagi-pagi banget tentu butuh fisik yang kuat. Spot paling cihuy untuk berfoto adalah Hutan Pinus. Kami menemukan beberapa pasangan yang sepertinya sedang melakukan foto prewedding disini. Hemm…kayaknya sih masih gratis ya.. Bandingkan kalau berfoto yang sama di Kebun Raya Bogor kita diharuskan membayar cukup mahal. Untuk masuk kawasan wisata ini, dikenakan tarif yang wajar, saya bersama dua orang teman dan satu mobil dikenakana Rp30.000,-. Lumayan murah kan?

mencari spot terbaik di Hutan Pinus
mencari spot terbaik di Hutan Pinus

Sambil mengunyah tahu goreng dan membiarkan teman saya menjadi supir, saya menikmati pemandangan padi yang menguning dan sisa-sisa panen yang indah. Jalan yang meliuk-liuk dengan sesekali terlihat pemandangan kota Bogor membuat perjalanan ini terasa beda.’ Kalau biasanya nuansa pegunungan selalu identik dengan Puncak ternyata disini ada yang lebih kental suasana pedesaannya dan bisa ditempuh sekitar satu jam saja dari Bogor. Bandingkan dengan puncak yang sudah makin penuh dengan villa serta toko-toko modern. Disini memang sudah ada beberapa villa yang disewakan, penginapan dan hotel pun mulai bermunculan. Hmmm..belajar dari Puncak yang makin banyak kehilangan pohon dan hobi mengirim air ke Jakarta, semoga daerah ini lebih diawasi pembangunannya.

Hits: 1176

Bandung memang gak ada matinye! Sejak Tol Cipularang dibuka, sudah menjadi pemandangan jamak ratusan bahkan ribuan mobil mendesaki kota ini setiap harinya. Apalagi di akhir pekan. Bandung pun makin tenar sejak Walikota-nya yang hebring, Kang Ridwan Kamil membuat berbagai terobosan untuk membuat kota ini makin menarik. Blogger pun rasanya tidak pernah kehabisan membahas tentang Bandung. Selain mengupas tentang surga belanja, para blogger juga kerap membahas magnet lainnya, yaitu wisata alam, kuliner, hingga ulasan tentang hotel-hotel favorit, mulai dari yang mewah sampai hotel murah yang ada di wilayah Bandung. Hal senada juga dapat ditemukan kalau sering nonton liputan di berbagai media, karena biasanya mereka meliput tempat kuliner yang recommended dan salah satunya pasti kota Bandung yang selalu melahirkan tempat makan baru setiap saat. Jadi kalau ke Bandung sebenernya kita tidak akan pernah bosan karena selalu ada yang baru untuk dicicipi. Coba deh, kalau mau cari referensi, lokasi bahkan rute ke tempat-tempat asyik dimanapun termasuk di Bandung, kita pasti googling kan? Setelah kemarin sukses (ciyee.. sukses) membuat tulisan tentang warung kopi di Bogor, saya berniat banget pengen nulis tentang rekap warung kopi di Bandung. Doakan sayah!!

Walaupun kerap bertandang ke Bandung, ajakan seorang teman untuk menemaninya ke Bandung minggu lalu tidak kuasa untuk ditolak. Selain untuk satu urusan pekerjaan, tentu saja tujuannya mencari makanan enak. Meski saya sama sekali tidak berdarah sunda, bagi saya makanan Ala Sunda adalah makanan terenak di dunia. Tidak perlu masuk resto mahal yang bayarnya bisa gesek kartu elektronik, makan di pinggir jalan pun rasanya nikmat luar biasa. Maklumlah bagi saya hanya makanan Sunda yang bisa “mengakomodir” hobi saya makan dengan tumpukan lalapan yang bisa menyaingi kambing. Hehehe..

Pasti sebagian besar turis yang datang ke Bandung sudah memiliki tempat makan favorit dan yang pasti lagi hampir semuanya masuk kategori “mainstream”. Batagor Riri, Batagor Kingsley, Martabak SanFrancisco, Kartika Sari sepertinya sudah jadi menu wajib oleh-oleh mereka yang datang dari Bandung. Ini beda banget dengan saya! Percaya gak, setiap ke Bandung saya selalu mampir ke pasar tradisional. Yah, pasar tradisional alias pasar becek! Dua “komoditi” yang saya harus bawa pulang adalah tahu kuning Bandung dan Cabe Gendot. Apaan tuh? Sabar..sabar.. Saya cerita satu-satu deh…

Tahu Kuning
Tahu Kuning

Dua jenis makanan tadi sudah saya kenal sejak tujuh tahun lalu, karena dioleh-olehi teman yang memang orang Bandung. Tahu kuning Bandung adalah tahu tergurih. Memang di daerah lain juga banyak jenis tahu atau tahu yang “mengaku-ngaku” dari Bandung. Tapi tidak ada yang se-otentik jika kita beli sendiri di Bandung. Selain gurih dan enak, tahu ini tidak menggunakan pengawet. Penjualnya di pasar sering berpesan di kulkas hanya bisa bertahan dua hari. Lebih dari itu, rasanya akan berubah. Kita bisa memilih berbagai merek yang ditawarkan, namun rasanya relatif sama. Tinggal tanya ke penjualnya mana yang paling asli. Tekstur tahu ini cukup padat. tidak begitu kenyal, tetapi tidak juga gampang hancur. Harganya murah banget! Untuk satu kantong berisi sekitar 10 potong hanya sekitar Rp5000,- Upss..itu harga setelah BBM naik loh! Mungkin saja di toko oleh-oleh, ada tahu jenis ini juga. Namun saya lebih menyarankan mampir ke pasar tradisional di mana pun di sudut kota Bandung. Lumayan buat oleh-oleh yang murah dan enak.

Cabe Gendot
Cabe Gendot

Padanan yang paling nyambung untuk memasak tahu Bandung adalah Cabe Gendot. Pasti pernah ada yang mendengar Cabe Habanero. Nah, cabe gendot ini sebenernya satu jenis dengan Habanero yang merupakan salah satu dari cabe terpedas di dunia. Di dunia!! Habanero lebih umum digunakan sehari-hari di Amerika Selatan. Saya pernah menemukan cabe gendot ini sebuah supermarket di Jakarta. Tapi kalau di Bandung, cabe gendot sangat umum dijual di pasar tradisional. Wajarlah, karena cabe jenis ini hanya hidup di dataran tinggi seperti Lembang dan Ciwidey. Terakhir harga cabe gendot hanya sekitar Rp25.000/kg. Bandingkan dengan harga cabe merah yang sekarang naik hingga Rp100.000/kg. Sayang ya, distribusi cabe ini memang terbatas sehingga banyak yang tidak tahu rasanya sedap dan bisa menggantikan harga cabe yang menggila akhir-akhir ini.

Tahu Tumis Cabe Gendot
Tahu Tumis Cabe Gendot

Bocoran resep tersederhana dari keduanya adalah cukup dengan ditumis dengan ke bawang putih dan kecap yang banyak. Gurihnya tahu berbaur dengan pedasnya habanero pasti (PASTI) bikin ketagihan. Buat yang doyan pedes silakan melupakan diet untuk sementara waktu. Oya, sebenernya orang Bandung sendiri selalu menggunakan cabe gendot dalam masakan sehari-hari. Namun untuk menu khusus berbahan dasar cabe ini, memang masih jarang ditemukan di restoran-restoran di Bandung. Tapi, jika masuk rumah makan Sunda dan menemukan potongan besar seperti tomat yang gede-gede, lebih baik tanyakan dulu. Kalau tidak siap pedas, bisa-bisa sakit perut. Serius!

 

Hits: 1944

Mau kemana wiken ini? Bogor? Puncak lagi? Ohh, tidak! Pasti macet pake banget!

Saya sih sebagai orang Bogor tidak siap bersaing dengan ratusan atau bahkan ribuan mobil per plat B. Jangankan sampai Puncak, lepas tol Jagorawi saja macetnya sudah minta ampun DJ!! Nah, kalau sudah bingung begini, mungkin Sentul City bisa jadi alternatif, baik yang bagi yang berkeluarga maupun yang mau pacaran doang (uhuk).

Dulunya saya pikir dari Kota Bogor harus lewat tol Jagorawi untuk menuju daerah ini. Setelah tol BORR selesai saya tidak perlu lagi melalui tol Jagorawi tapi dengan membayar Rp5500 hanya dalam 15 menit sudah sampai di Sentul City. Cukup mahal buat panjang jalan tol yang hanya sekitar 1 km! Kemudian, surprise banget, ternyata saya bisa sampai disini melalui jalan kampung biasa dari rumah saya di Sukaraja Bogor juga dalam waktu 15 menit saja. Sekarang, jadilah Sentul City alternatif tempat nongkrong yang asyik . Selain dekat rumah, banyak alternatif dan yang pasti nyaman banget.Sentul

Sentul City menjadi primadona baru wisata di Bogor. Letaknya yang bisa dijangkau dari tol Jagorawi menjadi pilihan akhir pekan selain masuk ke dalam kota Bogor yang (pasti) macet. Sentul City awalnya adalah komplek perumahan kelas atas yang dibangun oleh beberapa pengembang. Kini didalamnya sudah berdiri pusat perbelanjaan, pusat kuliner hingga Jungle Land Thematic Park.

Pasar Apung
Pasar Apung

Bicara soal kuliner, pasti sudah banyak yang pernah berkunjung Pasar Ah Poong. Memang, pusat jajanan ini telag menjadi maskot Sentul City. Ah Poong adalah Food Court raksasa yang berdiri di tepian sungai dan harus dilalui dengan berjalan kaki melalui jembatan goyang. Disini berdiri banyak gerai makanan lokal yang enak-enak. Harganya sih lumayan mahal menurut saya. Tapi terbayar dengan view dan suasana yang pasti susah didapatkan di Jakarta. Kalau kesini pas akhir pekan, dipastikan sulit mendapatkan tempat parkir. Jadi saya sarankan, jangan kesiangan dari Jakarta jika ingin makan siang disini.

Nah, yang belum dikenal banyak orang adalah Taman Budaya. Lokasinya sekitar 2 km dari Pasar A Poong. Disini juga ada Food Court yang menyerupai kantin dengan harga yang relatif lebih murah. Meski tidak ada pemandangan sungai, rindangnya dedaunan dengan pemandangan Gunung Salak membuat kita betah berlama-lama. Di tengahnya ada arena outbound mini, cocoklah buat bermain dengan anak-anak.

Taman Budaya
Taman Budaya

Sebagai pencinta kopi, saya paling sering nongkrong di Kopi Tiam Oey yang juga terletak di Taman Budaya. Gerai franchise ini menawarkan view lapangan pacuan kuda dengan latar belakang Gunung Salak yang asyik banget. Ada wifi disini, cocok buat yang mau numpang kerja (kayak saya). Heheheh.. Saya selalu memilih tempat duduk yang agak keluar biar berasa kerja di alam. Disamping Kopi Tiam Oey ada beberapa restoran lain yang bisa dicoba jika datang bersama keluarga.

Starbucks Jungle Land
Starbucks Jungle Land

Ngomong-ngomong soal kopi, sudah sering saya ceritakan di tulisan sebelumnya, saya adalah pencinta kopi lokal. Sangat jarang saya mampir ke Starbucks. Tapi di Sentul City beda! Dalam satu areal dengan Jungle Land berdiri Starbucks yang bisa dibilang Starbucks terkeren yang pernah saya kunjungi. Kenapa ? Karena pemandangan alam yang mengelilinya bikin kita berasa gak mau pulang! Dengan interior kaca transparan kita bisa menikmati pemandangan jurang plus menikmati hujan yang selalu mengguyur Bogor di sore hari. Saya sering menghabiskan waktu disini, membawa komputer jinjing saya dan duduk di meja yang sepertinya khusus disediakan untuk mereka yang bekerja mobile. Jangan khawatir, selain punya wifi, hampir semua operator punya sinyal yang bagus di sini. Di sebelah starbucks juga berdiri Oh La La Coffee yang tidak ada salahnya juga dicoba.

Menuju Jungle Land
Menuju Jungle Land

Nah..megawisata terbaru di Sentul City, tentu saja Jungle Land. Thematic Park milik grup Bakrie ini jadi alternatif wisata permainan baru mendampingi Dufan di Ancol. Meski baru satu tahun berdiri, pengunjungnya di akhir pekan bisa mencapai ribuan orang Saya sendiri sudah dua kali masuk ke dalam arenanya. Menyenangkan, meski pun beberapa wahana tampaknya belum rampung.

Oya, kalau tidak mau keluar uang banyak, di seputaran Sentul City masih tetap banyak pilihan. Di wilayah yang ditata penuh pepohonan ini sudah berdiri Hypermart dan Giant Store. Mungkin bisa jadi pilihan tempat belanja jika bosan dengan Jakarta. Disini juga banyak pilihan makanan seperti di mall pada umumnya. Ada juga pasar tradisional modern di belakang Hypermart dan mall Bellanova yang juga menawarkan beberapa cafe dan hiburan.

Yuk..mampir!

Hits: 1038

Makanan Jepang? Yang kebayang di otak saya cuma sushi. Yes, saya pencinta sushi baik yang mentah maupun matang. Lucunya lima enam tahun yang lalu makanan ini gak pernah bisa sukses lewat di tenggorakan saya. Namun sekarang sushi menjadi salah satu alternatif jika makan di luar rumah. Beberapa tahun belakangan, ramen sejenis mie asal Jepang mulai menyaingi kepopuleran sushi. Apalagi untuk menyesuaikan selera pedas orang Indonesia, ramen disini dijual dengan level kepedesaan dari yang paling biasa hingga yang paling pedas. Sayangnya saya bukan penggemar makanan berbahan dasar mie. Beberapa kali mencoba ramen pun, saya pasti memilih yang bersayur banyak untuk dihirup bersama kuahnya yang segar.

Chicken Teppan Ippudo yang enak banget,,
Chicken Teppan Ippudo yang enak banget,,

Ngomong-ngomong, menurut saya sushi yang dijual di Indonesia adalah yang paling enak. Mungkin karena yang sudah disesuaikan dengan lidah melayu. Saat di Amerika bulan Oktober lalu, saya sering dibawakan sushi untuk makan malam. Sushi van Amerika ukuranya gede-gede. Untuk saya yang ceking ini, makan dua tiga potong udah kenyang banget. Rasanya? Hambar! Tipikal makanan Amerika lain yang miskin bumbu. Sushi paling enak dan murah yang dijual di pinggir jalan saya temukan di Hongkong. Sangking kalap-nya, saya dan teman-teman saat itu memborong banyak. Ukurannya kecil-kecil pas untuk sekali telan. Tapi saya belum pernah ke Jepang, sebagai induknya sushi, katanya rasa sushi di negeri sakura itu lumayan jauh berbeda dengan yang sering kita temui di Jakarta. Hemm, penasaran, semoga dalam waktu yang tidak lama lagi, saya bisa mampir kesana.

Kiwi di Ippudo yang segerr abiss,,
Kiwi di Ippudo yang segerr abiss,,

Minggu lalu, saya diundang Mbak Amanda Sihombing, Marketing Manager Ippudo Indonesia, sebuah restoran Jepang di Pacific Place, Jakarta Pusat . Ippudo Jakarta belum lama masuk pasar Jakarta. Restoran ini didirikan oleh Shigema Kawahara yang sudah kondang di Jepang dengan julukan King Of Ramen. Ippudo sendiri merupakan restoran Jepang yang mengusung ramen sebagai sajian utama dan sudah berdiri di 12 negara. Namun sayang seribu sayang, karena Ippudo Indonesia baru menyediakan menu halal untuk ramen di awal tahun 2015 mendatang. Tapi tak apalah pikir saya, toh..saya masih bisa menikmati sajian lain. Dan benar saja, saya bisa disuguhi Chicken Teppannyaki yang enak banget dibarengin minuman irisan buah kiwi yang nampaknya dicampur dengan sedikit soda. Seger banget! Saya juga sempat mencicipi appetizer dengan plating ala hotel bintang lima. Bocorannnya chef Ippudo juga “native” dari Jepang. So, tentu saja rasa makanannya sangat autentik. Berani mencoba?!

Hits: 816

Ada dua kota kecil yang sekarang mulai menjadi pembicaraan di pariwisata nasional: Banyuwangi dan Cirebon. Penasaran juga sih,.. dan akhirnya minggu lalu saya sempat main ke Cirebon yang dijuluki kota Para Wali. Saya bersama tiga orang teman berangkat dari Stasiun Gambir pukul 9 pagi menumpang Kereta Argo Jati. Dengan biaya sekitar Rp140.000,- untuk kelas eksekutif, perjalanan selama kurang dari tiga jam ini sangat tidak terasa. Ini kali pertama saya ke Cirebon, kaget juga ternyata Jakarta-Cirebon hanya 3 jam! Katanya sih kalau pake bis atau bawa mobil bisa hingga 6 jam. Selain bis, ada alternatif kereta ekonomi yang cukup murah, tapi mungkin laju-nya gak se-ngebut Argo Jati. Hehehe..

tiff infomation
Cirebon yang kian berbenah..

Tiba di stasiun Cirebon, kota kecil dan baru menanjak pariwisatanya, sudah berdiri sebuah Starbucks. Tidak bisa dipungkiri, keberadaan kedai kopi van Amerika itu bisa jadi indikator pembangunan sebuah daerah. Kami kemudian menuju sebuah hotel tidak jauh dari stasiun. Hampir di setiap sudut Cirebon kini dipenuhi hotel, bahkan beberapa diantaranya adalah hotel jaringan dunia. Kami menginap di Hotel Sidodadi yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari stasiun. Hotel yang murah, bersih dan dekat dengan pusat kota.

Meskipun tidak terlalu istimewa, jalanan di kota Cirebon sepertinya mulai ditata sebagai kota wisata. Sebuah sumber mengatakan, Cirebon makin ramai dengan pelancong sejak infrastruktur dan rute kereta api kesini dibenahi total. Thanks Pak Jonan!

Dari hasil googling, Things to do di Cirebon ada 3 jenis: wisata religius, belanja batik dan yang pasti wisata kuliner. Baru sampai dengan perut yang super keroncongan kami mampir makan di Nasi Jamlang Bu Nur. Beragam lauk yang mengundang selera membuat antrian yang lumayan panjang menjadi tidak terasa. Nasinya dibungkus kecil-kecil dengan daun jati, tipikal bungkusan yang sering dipakai di daerah pesisir. Saya memilih lauk pauk yang jarang saya temui di tempat lain seperti tumis kering tauco dan pepes rajungan. Dengan porsi yang lumayan penuh plus satu gelas es teh manis harganya hanya Rp14 ribu saja!. Rekor murahnya buat turis lokal setelah harga BBM naik. Hihih.. Saat makan siang, kami mencoba Empal Gentong yang sudah sangat tenar. Makanan sejenis soto ini memang enak, tapi lumayan nambah lemak dan kolesterol. Hati hati buat yang lagi diet. Nah, saat makan malam kami sempat bingung mau makan apa lagi. Untungnya Mas Yudi, pengemudi mobil rental kami mengusulkan makan di Restoran Klapa Manis, sebuah restoran di jalan raya Kuningan yang memiliki view keren. Resto ini letaknya di dataran tinggi, seperti jalanan menujuk Puncak Bogor. Sayangnya karena malam dan habis hujan saya tidak mendapatkan foto yang bagus disini. Oya, makanannya enak dan harganya cukup bersahabat.

Besoknya, kami mampir ke Keraton Kasepuhan yang masih dihuni oleh keturunan ke-18 Sunan Gunung Jati bernama Pangeran Adipati Arief dan keluarganya. Kesan pertama saya, hmmm..keraton bersejarah ini kurang terawat. Saat saya kesana, terlihat beberapa pekerja bangunan sedang merenovasi beberapa bagian. Beberapa bangunan dijadikan museum, sayangnya lagi barang-barang yang dipamerkan sepertinya kurang sentuhan jadi nilai sejarahnya kurang terbawa.

satu sudut di Kasepuhan
satu sudut di Kasepuhan

Semoga pemerintah Cirebon makin punya perhatian lebih terhadap aset budaya ini.  Sayangnya saya tidak sempat menyambangi Keraton Kanoman dan dua keraton lain. Sebenarnya masih banyak lagi tempat wisata unik di Cirebon seperti Masjid Agung, Gua Belanda, Makan Sunan Gunung Jati dan Gedung Perundingan Linggar Jati. Selain itu juga ada wisata alam seperti Situ Sedong dan Cikahalang.

Pintu masuk Kasepuhan
Pintu masuk Kasepuhan

Bagian paling menarik tentu saja; shopping! Sebuah kawasan bernama Plered sangat terkenal dengan Batik Trusmi-nya. Trusmi adalah nama legenda pembatik di daerah ini. Batik ini dikenal karena warna dan coraknya yang lebih berani. Jadi gak usah takut dibilang mau kondangan kalau pake batik Trusmi. Saking banyaknya yang jualan batik, kita dibuat bingung mau mampir ke toko yang mana. Dari harga jutaan hingga 20 ribuan ada di sini. Akhirnya kami pun berlabuh di sebuah toko grosir yang harganya lebih murah. Oya, di daerah ini juga ada makam Eyang Trusmi sang legenda batik Cirebon yang turut sering dikunjungi turis.

..dipilih..dipilih...dipilih...
..dipilih..dipilih…dipilih…

Sebelum kembali ke Jakarta, jangan lupa mampir membeli oleh-oleh. Deretan toko oleh-oleh menjamur di pusat kota Cirebon. Lagi-lagi untuk mendapatkan harga murah (#uhuk) kami memilih belanja di Pasar Pagi Cirebon. Asikk..disini bisa nawar. Saya paling doyan dengan tape ketan berbungkus daun jambu yang rasanya manis dan legit. Saya juga membeli beberapa jenis ikan asin. Ini wajib, karena hasil laut adalah komoditas unggulan Cirebon. Selain buat dinikmati, membeli hasil produksi nelayan dan produsen macam-macam makanan disini sama dengan membantu ekonomi mereka.

ragam ikan asin favorit sayah!
ragam ikan asin favorit sayah!

Meski baru beranjak, yuk kita sama-sama bantu wisata Cirebon dan nasional. Tidak usah muluk-muluk sampai harus menarik wisatawan asing, orang lokal Indonesia aja sendiri masih banyak yang ogah jalan-jalan di negaranya sendiri. Bapak dan Ibu di Pemda Cirebon, masih butuh kerja lumayan keras nih, untuk menaikkan pamor Cirebon yang mulai kelihatan. Sebagai blogger saya cuma bisa bantu menulis. Semoga makin banyak yang tertarik main ke Cirebon, kota kecil, tenang dan penuh makanan enak!

Hits: 1513