Our home...

Melanjutkan cerita Derawan sebelumnya, pada hari yang sudah ditentukan kami berangkat menuju Derawan. Saya bersama 15 orang lain yang tergabung dalam biro travel yang sama. Perjalanan selama tiga jam yang melelahkan dan mendebarkan rasanya terbayar begitu kapal kami merapat di darma kecil Derawan. Airnya sangat bening, sehingga ikan-ikan yang berenang di dalamnya bisa terlihat jelas. Uniknya lagi, penginapan kami berada di atas beningnya air tersebut. Ibarat tinggal di atas akuarium raksasa yang kapan pun kita mau, bisa langsung nyebur di bawahnya.

Rumah kami..
Rumah kami..

1400460859924

Kamar saya langsung menghadap ke lautan luas, sehingga sunset dan sunrise bisa nampak jelas setiap hari. Bangun pagi yang di hari-hari biasa susah setengah mati, disini jam berapa pun tidurnya, bangun pagi adalah hal yang menyegarkan. Di malam hari, wajah bulan yang sangat bulat dan indah juga terlihat jelas. Cocok banget untuk suasana bercengkrama atau sekedar menulis ditemani secangkir kopi dengan latar belakang suara deburan ombak. Derawan adalah pulau kecil, yang bisa dikelilingi dengan sepeda. Disini banyak dermaga kecil dari kayu yang sangat alami dan eksotis. Saya setuju banget, darmaga daerah wisata memang harusnya dibuat tidaka permanen. Seluruh darmaga adalah spot terbaik untuk melihat sunset di sore hari. Its really priceless!

1400460745598
menanti sunrise..
1400461122280
my sunset

Keesokan harinya, eksplorasi dimulai dengan menu utama snorkeling, foto foto dan menikmati indahnya hasil karya Tuhan. Buat yang belum pernah snorkeling, jangan takut buat nyebur. Rugi banget jika tidak melihat keindahan bawah laut derawan. Jangan khawatir, guide dari travel pasti akan membantu dan membimbing meskipun kalian tidak bisa berenang. Ada beberapa pulau yang menjadi lokasi snorkeling, yaitu Maratua, Sangalaki dan Kakaban. Siapkan fisik yang cukup. Liburan disini gak asyik kalau kita hanya duduk di pinggir pantai sambil menikmati sepoi-sepoi angin laut.

1400460694592
kakaban, the hidden paradise..

Dari pulau-pulau yang saya sebutkan tadi, yang menurut saya paling keren adalah Kakaban. Buat saya, pulau kecil tak berpenghuni ini ajaib. Kenapa? Karena ada danau di tengahnya, yang konon terbentuk dari air laut yang terjebak dengan hadirnya daratan. Lebih lucu lagi, di danau ini hidup empat spesies ubur-ubur laut yang sudah berkembang biak dan sangat jinak. Jangan sampai gak nyebur kalau kesini. Merasakan berenang bersama dan memegang ubur-ubur laut yang jinak merupakan sensasi yang bisa jadi satu-satunya di dunia. Beruntung banget, pas saya kesini, Kakaban lagi sepi. Wah, serasa danau ini jadi milik kami sendiri. Asal tahu aja, untuk masuk dan berenang di danau ini, waktu wisatawan dibatasin, karena itu semua harus antri. Peraturan ini diterapkan agar lingkungan dan habitat di danau ini tetap terjaga. Kita juga mengunjungi pulau pasir kecil yang jadi tempat favorit untuk berfoto.

Beruntungnya lagi, di malam hari kami diajak melihat atraksi langka, penyu bertelur. Kini berbagai jenis penyu yang ada di Derawan sudah dilindungi. Beberapa NGO melakukan penangkaran telur-telur penyu, untuk kemudian dilepas ke laut lepas saat sudah menetas. Upaya ini dilakukan, agar telur-telur penyu tidak dicuri kemudian dijual. Dari kebeningan air Derawan, penyu yang hilir mudik sering sekali terlihat. Usia induk penyu ini mencapai 80 tahun. Bayangkan kalau tidak dilindungi, anak cucu kita nanti bakal tidak pernah tahu bentuk penyu seperti apa.

Rumah kami..
Rumah kami..

Semua tempat di kepulauan ini ibarat sebuah surga kedamaian yang tersembunyi. Saya jadi mikir, kenapa orang Indonesia demen banget dikit dikit ke Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Bangkok? Mau ngeliat apa? Yah, kalo satu dua kali sih boleh, tapi kalau jadi tujuan rutin? Haduh…please deh, jangan keterusan memperkaya bangsa asing. Kalau bukan kita, siapa lagi yang bantu mempromosikan wisata negara sendiri? Di Derawan, yang saya amati memang lebih banyak wisatawan asing dibandingkan domestik. Lucunya, wisatawan manca negara lebih sering ngomel ke penduduk sekitar jika ketemu sampah dibandingkan orang lokal. See? Keliatan kan bagaimana orang asing lebih menghargai alam kita disbanding kita sendiri yang lebih seneng liburan ke mall dan ngabisin uang buat belanja ke Singapura?

I love Indonesia…

 

1400461005408

Hits: 883

Yeay!!  Kalau orang lain mimpi ke Amerika atau Eropa, mimpi saya sederhana saja, ingin ke Derawan. Sejak tahun lalu, mupeng berat pengen main ke pulau yang lagi hits bagi wisata bahari Indonesia ini. Dannnn..jreng jreng minggu lalu sempat menyambangi pulau ini meski cuman 3 hari, 2 malem. Here we go dan ini cerita komplitnya. Lanjutttt…!!

Berangkat dari Tarakan

Ada dua alternatif menuju Derawan, melalui Berau dan melalui Tarakan. Kedua daerah tersebut dijangkau pesawat Jakarta dengan transit di Balikpapan. Lion Air sudah membuka direct flight Jakarta-Tarakan (VV) satu kali setiap hari (silakan cek sendiri jadwalnya). Penerbangan Jakarta-Tarakan lebih banyak banyak daripada Jakarta –Berau. Balikpapan-Berau umumnya dilayanani oleh pesawat kecil, apelabuhan Tengkayu Tarakanlias harus ganti pesawat setelah dari Jakarta. Kabar baiknya, kini Garuda dan Lion juga sudah membuka penerbangan ke Berau. Sementara untuk harga tiket ke Jakarta-Berau umumnya lebih mahal daripada Jakarta-Tarakan. Sebagai perbandingan lagi, dari Berau harus naik mobil lagi selama 3 jam menuju Tanjung Batu, ibukota Kecamatan Derawan. Kemudian naik speedboat hanya 30 menit hingga tiba di Derawan. Dari Jakarta menuju Derawan via Berau, adalah perjalanan yang komplit karena semua moda udara, darat dan laut kita gunakan. Jika melalui Tarakan, kita bisa langsung menuju pelabuhan yang terletak di tengah kota Tarakan yang ditempuh hanya sekitar 15 menit dari bandara. Namun, harus siap 3 jam di laut untuk sampai Derawan. Silakan dibandingkan sendiri, kalau saya lebih memilih via Tarakan karena perjalanan darat kan terlalu mainstream. Heheheh. Bisa jadi kalau via Berau lebih hemat secara ongkos -meski kalau dikalkulasikan dengan tiket pesawat bisa sama aja dengan pake travel via Tarakan- Jika jalan sendiri tanpa travel, setiba di Derawan pun kalian masih harus menyewa boat lagi untuk berkunjung ke pulau pulau di sekitar Derawan (sama aja kan..nambah duit juga).

Sendirian atau via Travel ?

Wisata ke Derawan dari Tarakan UMUMNYA hanya diperuntukkan bagi mereka yang menggunakan jasa travel. Karena, tidak ada kapal/speed boat umum dari Tarakan ke Derawan, so kita harus menyewa yang lumayan mahal untuk rombongan kecil (silakan googling sendiri). Mereka yang baru pertama kali kesini dan mau dapet banyak tempat sangat dianjurkan menggunakan jasa travel. Apalagi buat yang baru pertama jalan-jalan ke alam baca: pantai (bukan Puncak di Bogor, loh…), dan terbiasa liburan ke mall dan kota besar luar negeri :p. Jangan takut “gak bebas” karena menggunakan jasa travel. Bebas banget kok! Mereka pun sudah punya itenarary yang bisa mengatur stamina kita serta waktu yang cukup menikmati keindahan Derawan dan sekitarnya.

Biaya travel bervariasi tergantung jumlah hari dan fasilitas yang dipilih. Kemaren saya memilih paket 3 Hari 2 Malam dengan fasilitas yang paling mahal di kelasnya, total Rp1,8 juta. Yah, maklumlah…sayah kan horang kayaahhh :p . Jumlah itu sudah termasuk penginapan di atas air (kelas hotel) makan, kapal, dan jalan-jalan ke tiga pulau lain serta asuransi pastinya. Kalau mau irit bisa juga ambil paket standar sekitar Rp1,2 juta, yang membedakan cuma kelas penginapannya saja. Oya, dengan ikut travel, kita juga didampingi guide professional yang siap melayani nafsu jalan jalan kita bahkan bisa ketemu teman baru, lumayan bagi yang traveling sendirian.

di dalam speedboat...
di dalam speedboat…

Magnet wisata Derawan bukan pulau Derawan-nya tok! Derawan hanya ibarat meeting point kita, karena pulau itu berpenghuni, tenang dan nyaman buat beristirahat. Keindahan pulau kecil lain yang tak berpenghuni sepeti Kakaban dan Sangalaki hukumnya WAJIB dikunjungi. So, kebanyakan mereka yang jalan sendiri tanpa travel adalah mereka yang memang punya misi lain seperti diving, liburan panjang atau memang petualang backpacker. Dari Tarakan, biro travel umumnya menyediakan speed boat dengan tenaga 200 PK bernumpang maksimal 20 orang dengan posisi duduk berhadapan seperti naik angkot. Kapalnya kecil, full AC (Angin Celah). Menggunakan life vest (pelampung) wajib hukumnya, selain buat urusan keamanan juga buat pencegah masuk angin. Hehehe.. Buat kalian yang suka mabok perjalanan, sebaiknya siap-siap karena arus laut menuju Derawan cukup kuat sehingga sering ada hentakan keras seperti mobil yang lewat polisi tidur tapi gak ngerem. Lama perjalanan yang kurang lebih tiga jam, cukup membuat pantat pegel, karena bangku speedboat yang tidak ada jok busanya. Hiks. Cerita tentang perjalanan ini, saya potong dulu ya… Akan nyambung di tulisan berikutnya,

Hits: 769

Yes! Kali ini saya memang terperangkap di Tarakan. Ceritanya saya ditugaskan kantor untuk sebuah pekerjaan di pulau kecil ini. Hayoo.. pasti pada banyak yang belum tau, kan…bahwa Tarakan itu pulau? Sama!! Saya juga dengan gobloknya baru tahu Tarakan itu pulau setelah tiba disini karena diberi tahu orang lokal. Awalnya saya pikir, kota kecil -yang masuk Provinsi Kalimantan Utara- ini berada di sudut utara Pulau Kalimantan, bukan pulau!  

Luas wilayah  yang pernah  dengan kaya minyak ini hanya sekitar 650 km persegi yang bahkan dari ujung utara ke ujung selatan hanya butuh waktu kurang dari sejam.  Letaknya berbatasan dengan Kalimantan besar dan perairan Malaysia.  Penduduknya sebagian besar suku Bugis, Jawa dan sisanya penduduk asli Kalimantan. Kenapa terjebak? Setelah menyelesaikan tugas, saya berniat melancong ke Derawan bersama seorang teman. Tarakan adalah salah satu gate way ke Pulau Derawan (tunggu tulisan khusus tentang Derawan yaah!!)  Namun, karena teman saya menyusul dari Jakarta, jadilah saya menunggu dia selama satu hari disini.  

Mau kemana di Tarakan?

Pasti pertanyaan ini akan muncul pertama kali. Karena saya penggila pantai, saya sempatkan mampir ke pantai Amal, pantai kebanggaan kota Tarakan yang letaknya sekitar 10 km dari pusat kota. Sayangnya saya agak kecewa, karena buat saya pantai amal sangat biasa bahkan terkesan tidak dikelola dengan baik. Pemandangan menuju pantai ini yang merupakan perbukitan justru lebih menarik. Namun masih ada yang bisa dikenang dari kunjungan yang sebentar ini. Saya memesan sepiring kerang putih besar yang biasa disebut ‘kapah’ di Tarakan. Rasanya enak dan segar! Tidak amis, dimasak pada saat dipesan dengan bumbu dan rempah serta tidak perlu dimakan dengan nasi cukup dicocol sambal. Jangan lupa pesan kelapa muda yang langsung dengan buahnya. Lumayan, mengobati ekpektasi saya akan sebuah pantai yang indah.

Satu tempat unik yang saya rasa wajib dikunjungi di Tarakan adalah hutan mangrove yang letaknya tepat di tengah kota. Unik, karena hutan ini tidak saja sebagai paru-paru kota tetapi juga sebagai penahan abrasi pantai. Harusnya kota-kota di pesisir wajib punya. Jangan contoh Jakarta, yang di ujung pantainya pun sudah berdiri mall dan apartemen. Mengelilingi hutan ini, kita tidak menginjak tanah, tetapi melalui jembatan kayu yang melingkari hutan ini.  Bau khas air payau dengan pemandangan akar bakau yang semerawut membuat hutan kota makin menarik.  Yang membuatnya berbeda, di dalamnya juga dikembangbiakkan bekantan, spesies monyet yang berhidung mancung dan berekor panjang. Bagi kamu yang belum tahu bekantan itu gimana,itu lo..hewan yang jadi maskot Dufan Ancol. Hewan yang sudah dilindungi ini konon dulunya hanya berjumlah 5 ekor kini yang dipelihara di hutan mangrove Tarakan sudah mencapai 40 ekor. Wow!

Hutan Konservasi Mangrove, Tarakan
Hutan Konservasi Mangrove, Tarakan

Nah, terakhir soal kuliner. Kemana pun kamu pergi, sempatkan makan kuliner khas daerahnya. Setelah tadi saya ceritakan tentang kerang kapah, tentu saja sebagai daerah pesisir makanan paling istimewa di Tarakan adalah seafood. Beberapa tempat makan yang layak dicoba adalah Warung Bambu, letaknya di Jalan Mulawarman di depan hotel Paradise. Rumah makan yang katanya paling enak adalah Rumah Makan Turi tidak jauh dari Grand Mall Tarakan. Kedua rumah makan ini sama-sama menyajikan seafood yang ikannya kita pilih sendiri. Namun RM Turi menurut saya lebih istimewa, karena ada empat jenis sambal yang disajikan bersamaan untuk disantap dengan seafood yang kitapilih. Sayuran pelengkapnya juga segar bahkan lalapan dan rebusannya dibuat pada saat dipesan. Jangan heran, ketika kesini saya cukup lama menunggu pesanan datang karena tamu yang cukup banyak. Makan disini relatif murah, buat makan berdua dengan pilihan seafood yang lengkap cukup Rp150 ribu saja.

Jangan lupa juga mencicipi kepiting soka yang bertulang lunak yang banyak disajikan rumah makan sea food di daerah ini. Kalau bosen dengan seafood, boleh juga mencicipi bakso tetelan yang berkuah santan di pasar malam belakang KFC. Rasanya gurih, gak kayak bakso pada umumnya. Harganya? Hanya Rp10 ribu saja! Ohya, karena Tarakan berbatasan langsung dengan Malaysia, disini banyak dijual makanan kemasan produksi Malaysia seperti yang kita jumpai di Batam. Namun saya sih menganjurkan, kalau ke Tarakan jangan banyak-banyak belanja barang Malaysia buat oleh-oleh. Lebih baik membeli produk khas lokal seperti ikan asin dan olahannya. Daripada memperkaya bangsa lain, mari kita bantu pengusaha (kecil) lokal kan ???

Ayokkk makan di Tarakan!
Ayokkk makan di Tarakan!Akomodasi di Tarakan

Akomodasi di Tarakan

Untuk ukuran kota kecil, jumlah hotel di Tarakan cukup banyak. Pendatang yang datang kesini sepertinya rata-rata punya dua tujuan, pertama: pegawai pegawai perusahaan migas yang bertugas disini ATAU mereka yang transit untuk jalan-jalan ke Derawan.  Sebagian kecil memang ada yang transit untuk ke Sabah Malaysia, karena ada ferry dari Tarakan ke Tawau (wilayah Sabah) yang beroperasi tiga kali seminggu. Tarakan juga salah satu pintu gerbang keluar dari wilayah Kalimantan terutama bagi kepulauan di sekitarnya, karena adanya Bandara Internasional Juwata. Julukan “Little Singapore” yang pernah saya baca di sebuah media, sepertinya masih jauh panggang dari api. Padahal melihat letak geografisnya, bukan tidak mungkin hal itu terjadi.

Bandara Juwata letaknya kurang 3 km dari pusat kota. Buat kalian yang pertama kali datang kesini, jangan heran untuk jarak sedekat itu tarif resmi taksi bandara mencapai Rp65 ribu. Bagi kalian yang sekedar transit menuju Derawan dan mau irit, alternatif lain yang bisa dicoba adalah jalan kaki ke ujung parkiran bandara sekitar 300 meter kemudian naik ojek dengan ongkos sekitar Rp20 ribu.  Pusat utama kota tarakan hanya satu jalan sepanjang tidak kurang dari 5 km dan disanalah berjejer sejumlah hotel. Untuk di dalam kota,tidak ada taksi hanya ada angkot yang tidak punya trayek. So, kalau mau naik, tinggal bilang sama supirnya mau kemana, semoga searah denga tujuan kita. Heheheh..

Soal hotel. Hotel paling hits di Tarakan cuma ada Swiss Bell. Saya sempat bermalam di hotel ini, mengingat nama besarnya sebagai chain hotel internasional. Ternyata, Swiss Bell Tarakan termasuk hotel tua yan -yah…bisa dibilang biasa saja. Bahkan untuk hitungan harga termurah Rp800 ribu/malam, bisa dibilang lumayan mahal. Menjelang ke Derawan, saya pindah ke Padma Hotel. hotel kecil yang lebih murah dan letaknya dekat dengan pelabuhan. Dengan harga permalam via Agoda hanya Rp320 ribu, hotel ini sangat direkomendasikan. Furniture-nya masih baru, bersih, nyaman dan pelayanannya oke. Cukup bersaing untuk hotel bintang 1. Bahkan menurut saya, kamarnya lebih nyaman dari Swiss Bell.

Terakhir, Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi yang berencana ke Tarakan atau ke Derawan via Tarakan. Buat Bapak Sofyan, Walikota Tarakan yang baru, Tarakan punya banyak PR nih, pak! Terus dikembangkan ya, pak!

 

Hits: 1193

Diantara kita, pasti pernah ada yang menerima undangan Rapat RT, Rapat RW atau bahkan cuma sekedar kerja bakti di lingkungan. Dan lebih pasti lagi, banyak dari kita yang enggan untuk hadir. Entah karena capek, atau karena kita merasa hal-hal begini hukumnya ibarat “fardhu kifayah”, yang artinya jika orang lain sudah ada yang melakukan maka kita tidak wajib turut mengerjakan. Banyak diantara kita yang merasa cukup membayar iuran lingkungan tanpa perlu meluangkan waktu bergabung di urusan RT, RW apalagi sampai di tingkat kelurahan dan kecamatan. Pilihan ini sebenarnya diambil bukan karena tidak peduli, tapi memang kondisi pekerjaan rutin serta terbatasnya waktu dengan keluarga menjadi penyebab utama. Sepertinya memang sudah sedikit menyimpang dari semangat gotong royong yang jadi “makanan” sejak SD.

Keterlibatan masyarakat, community participation, community engangement menjadi padanan kata yang sangat nge-trend akhir-akhir ini. Sebulan belakangan, inilah bagian dari pekerjaan saya dan teman-teman kantor. Kami berkeliling di sekitar 30 kota di Indonesia, untuk mensosialisasikan perlunya melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Deuh, bahasanya pemerintahan banget, yak! Pemerintah Daerah wajib menghadirkan berbagai elemen masyarakat dalam kegiatan ini.

Saya bukan mau bercerita soal rangkaian kegiatan (yang membosankan) ini, namun tergelitik juga ketika seorang peserta di salah satu kabupaten di Jawa Barat yang sempat merasa pesimis apakah masyarakat masih mau berperan aktif dalam pembangunan. Itu baru contoh dari daerah kecil, kata Bapak tersebut, bagaimana dengan kota besar? Yes, mungkin itu benar dalam konteks rapat-rapat RT dan RW yang saya contohkan sebelumnya. Jangankan untuk nimbrung dalam rapat RT, tidak kenal dengan tetangga pun sudah jadi hal lumrah di kota besar.

Bulan ini di Bali, juga digagas sebuah acara bertajuk Open Government Partnersip (OGP). OGP adalah suatu kemitraan yang dibentuk pada September 2011 yang kini beranggotakan 63 negara,  bertujuan untuk mendukung kemajuan keterbukaan pemerintah, tranparansi dan keterlibatan publik. Lalu buat siapa dong konferensi, sosialisasi dan sejenisnya dilakukan jika masyarakat makin lama makin “egois’ dengan kepentingan pribadi ?

 IMG_20140512_122158Setelah “metode lama” dinilai tidak lagi dilirik oleh masyarakat. Kini kita mulai memasuki masa e-government. Semua yang dulu dibicarakan langsung melalui forum tatap muka, kini mulai dipindahkan melalui media online.  Pemerintah beramai-ramai membuka diri dengan mempublikasikan sebagian isi perutnya ke depan umum. Apalagi ada UU No 14/2008 tentang keterbukaan informasi  publik yang mewajibkan pemerintah meng-online-kan data-data penting seperti besaran APBD, realiasasi anggaran dan masalah perijinan online. Bahkan, Pontianak, Ambon, Surabaya dan beberapa daerah lain sudah menyediakan forum diskusi online yang interaktif pada situs mereka.  

Metode ini sepertinya memang dikhususkan bagi mereka yang masih peduli dengan kota-nya, namun punya keterbatasan waktu untuk mengikuti musyawarah di lingkungan masing-masing.  Surabaya menerima setidaknya 10 ribu usulan melalui forum online ini setiap tahunnnya. Sementara walikota Pontianak mengelola dan menjawab sendiri puluhan sms warganya setiap hari.  Ia juga mengelola satu rubrik tanya jawab di Koran lokal, yang ia jawab sendiri tanpa menugaskan lapisan di bawahnya. Sekarang pun sudah sangat jamak pimpinan daerah menggunakan berbagai media sosial untuk mengetahui keinginan masyarakatnya.

Struktur organisasi pemerintahan yang berlapis-lapis, mungkin merupakan warisan kolonial yang sudah kita gunakan sejak 150 tahun yang lalu. Pimpinan ibarat puncak gunung yang sulit dijamah, karena untuk menyampaikan pesan harus melalui banyak lapisan di bawahnya. Akibatnya aspirasi masyarakat yang sampai ke pucuk pimpinan bisa berubah atau bahkan tidak sampai.  Ketika metode tatap muka yang konvensional makin tidak “diminati” masyarakat, kreativitas untuk menciptakan metode baru -salah satunya dengan memanfaatkan teknologi- menjadi sebuah tuntutan. Namun pemanfaatan teknologi canggih pun menurut saya tidak bisa menjamin masyarakat berperan aktif, belum ada penelitian sahih yang menunjukkan bahwa teknologi lebih efektif daripada tatap muka. Apalagi buat Indonesia, yang masih bergerak menuju online sistem yang terintegrasi dan masyarakatnya masih banyak yang belum melek TI. Saya pikir karena itulah, Jokowi masih blusukan atau Bupati Bojonegoro masih menyelenggarakan Dialog Jumatan dengan warga.  Teknologi hanya pelengkap yang memudahkan dan membuat semuanya lebih akuntabel.

Saya ingin mengerucutkan bahwa partisipasi bukan terbatas duduk manis mendengarkan pengarahan para pejabat, rutin memberikan usulan secara online kepada pemerintah atau ikut kerja bakti di lingkungan. Partisipasi justru melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya. Seperti membayar pajak tepat waktu, mentaati peraturan lalu lintas, tidak latah ikutan nyogok aparat pemerintah dalam pengurusan dokumen atau hal-hal sepele seperti tidak membuang sampah sembarangan atau lebih memilih naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi.

Di blog ini, saya sering menulis cerita perjalanan saya di beberapa daerah di Indonesia, bagi saya itu partisipasi kecil untuk promosi pariwisata domestik. Buat yang kelebihan rejeki atau butuh tambahan rejeki, metode sedekah bisa dipilih. Saya percaya, kalau kaum berpunya negeri ini lebih rajin bersedekah, pemerintah tidak perlu heboh menganggarkan bantuan sosial, bantuan subsidi BBM dan sejenisnya, yang justru lebih sering menimbulkan polemik. Satu lagi, karena kita masih dalam aura Pemilu dan Pilcapres, tidak golput juga adalah bentuk partisipasi.

Saya lebih senang menggunakan media sosial untuk mengeluarkan uneg-uneg ketidakwajaran yang terjadi di depan mata. Misal, saya beberapa kali mengirimkan twit ke Walikota Bogor karena pedestrian menuju stasiun yang berbau pesing, mengusulkan agar ijin pembangunan bangunan tinggi di Bogor bisa dikaji ulang. Pernah iseng juga meminta agar Pak Arya Bima, walikota Bogor yang baru bisa berguru cara membuat taman kota kepada Bu Risma, walikota Surabaya. Semuanya, karena saya sadar saya belum bisa aktif di rapat RT tentang perbaikan jalan atau bahkan ikut Musrenbang di kelurahan dan kecamatan.

Saya mungkin baru bisa urunan dalam bentuk uang, belum waktu, pikiran dan tenaga.  Tidak dipungkiri, kadang masih ada sisi apatis terhadap pengelola negara ini, namun untuk masuk lebih jauh  dan memperbaiki, mungkin bukan waktu dan bagian saya.  Tapi saya percaya banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

 

Hits: 675

Wah, kok baru kepikir ya menulis tentang Tolitoli. Saya berkunjung ke kabupaten kecil di Provinsi Sulawesi Tengah ini sekitar akhir tahun lalu.  Jaraknya sekitar 450 km dari Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Bisa ditempuh dengan rute darat selama kurang lebih 12 jam atau pesawat kecil berkapasitas kurang dari 30 orang selama sekitar 1 jam.  Nah, ini adalah kali pertama saya menumpang pesawat kecil dengan tenaga baling-baling dan terbang cukup rendah.  Agak lebay sih, soalnya saya berdoa-nya lebih banyak dibandingkan naik pesawat yang lebih besar. Hahahha.. Oya, kalo gak salah, pesawat ke Tolitoli seminggu hanya 3 kali dan dilayani oleh dua operator yaitu ExpressAir dan Merpati Airlines. 

Tolitoli kota kecil penghasil cengkeh dikelilingi pegunungan dan pantai yang berbatasan langsung dengan wilayah Filipina. Karena itu, tidak heran Tolitoli menjadi salah satu pangkalan Angkatan Laut RI bahkan sejak jaman Belanda. Selain menghadiri sebuah acara yang digagas oleh Pemerintah Provinsi, saya berkesempatan mengunjungi sebuah puskesmas yang berada di Desa Lampasio sekitar 30 km dari pusat kota.  Puskesmas ini cukup istimewa, letaknya di dataran tinggi, pasiennya masih ada suku terasing, dokternya hanya satu (bahkan kadang merangkap supir ambulans). Jalan berbukit dan berliku-liku dan sepi yang harus dilalui dalam perjalanan ke puskesmas ini dibayar dengan pemandangan indah di sepanjang jalan. Uniknya lagi, di sepanjang perjalanan, saya melihat beberapa Pura Hindu. Oh, ternyata banyak penduduk transmigrasi asal Pulau Bali yang hidup disini. 

Pemandangan dari atas Desa Lampasio, Tolitoli
Pemandangan dari atas Desa Lampasio, Tolitoli

Cukup jauh memang, tapi ternyata masih ada bukit lagi setelah Desa Lampasio yang sering disebut masyarakat sekitar: Gunung Penyesalan.

bersama paramedis di Puskesmas Lampasio
bersama paramedis di Puskesmas Lampasio

Sebutan ini konon muncul, saking jauhnya hingga bisa kalau kesana sering menimbulkan penyesalan. Hahahaa. Eh, tapi masih banyak penduduk juga yang bermukim di Gunung Penyesalan loh, sebagian besar diantaranya orang asli Tolitoli yang masih agak terbelakang.  Hebatnya, para medis Puskesmas Lampasio beberapa kali diundang ke Istana Negara pada acara 17an sebagai salah satu Paramedis Teladan tingkat nasional. Yah, kalau dipikir-pikir jika bukan atas nama pengabdian siapa yang mau kerja di daerah terpencil begini?!

Seperti umumnya daerah pantai, seafood adalah makanan yang wajib dicoba di Tolitoli.  Saya sempat mencicipi warung seafood di sebuah pantai (lupa namanya)  di pinggiran kota. Sambil menikmati matahari terbenam, saya rasa cumi goring tepung di rumah makan ini adalah yang terenak di dunia. Sayangnya, dua hari waktu yang diberikan selama di Tolitoli, penuh dengan agenda kerja. Saya tidak sempat mengunjungi beberapa pulau yang menjadi tujuan wisata Tolitoli. Namun, meski tidak begitu istimewa, bagi saya pengalaman ke Tolitoli cukup berkesan. Perjalanan singkat yang membuat saya makin jatuh cinta dengan bangsa sendiri.

 

Perahu nelayan di pantai, pinggiran kota
Perahu nelayan di pantai, pinggiran kota
Hits: 748
source: merdeka.com

Semoga tulisan ini belum terlambat, di detik-detik menjelang 9 April 2014. Memang bukan persoalan mudah mengedukasi masyarakat agar menggunakan hak pilihnya dengan baik di tanggal keramat itu. Dulu, saya juga mungkin berpikir bahwa tidak memilih adalah lebih baik. Toh, dari tahun ke tahun rasanya begitu-begitu saja hidup di negara ini. Eh, tapi sebentar,…coba dipikir baik-baik, apa benar negara kita tidak punya kemajuan sama sekali? Apa benar hidup generasi sekarang secara umum lebih buruk dari yang sebelumnya? Jangan menutup mata, banyak kemajuan yang signifikan dari bangsa ini sejak dari jaman rezim 32 tahun hingga kini. Siapa pun presiden yang pernah bertahtah. Saya juga pernah begitu “membenci” politik. Bagi saya- yang kadang naïf dan polos-, politik adalah manipulasi, kepura-puraan dan pemenuhan kekuasaan belaka. Tapi apa memang begitu? Tak sadarkah kita apapun yang terjadi di negara belahan dunia manapun di dunia ini, dengan sistem apapun itu adalah sesuatu bernama “politik” sebagai dasarnya.

Sebuah survey menyebutkan bahwa keikutsertaaan lebih dari 70% penduduk yang berhak pada satu Pemilu di hampir semua negara sudah terhitung tinggi. Pada 2009 tercatat 30% penduduk Indonesia yang berhak adalah golput. Ada banyak alasan mengapa sisanya memilih golput, namun saya lebih menyoroti sikap masyarakat urban yang apatis. Contoh mereka yang apatis, seperti yang saya tulis sebelumnya. Menganggap siapa pun calonnya, hasilnya nanti akan begitu-begitu saja, DPR tetap brengsek, pemerintah tetap korup. Mungkin, lima tahun yang lalu mereka berpikir yang sama sehingga tanpa mereka sadari, ke-golput-an mereka dulu juga merupakan bagian dari asal muasal masalah yang sekarang dihadapi bangsa. Politik memang kejam, sikut sana, sikut sini, penuh dengan ke-negatif-an dan ke-absurd-an. Tapi satu-satunya jalan membenahinya adalah ikut ke dalamnya dengan menjadi pemilih yang benar, bukan keluar dari lingkaran dan mencerca mereka yang ada di dalamnya.

Those who refuse in politics will end up governed by their inferior (Plato)

Sangat disayangkan, banyak golput yang datang dari golongan terpelajar dan punya wawasan luas. Tanpa mereka sadari wawasan luas itulah yang mengantarkan mereka menjadi golput. Bagus caleg-nya, hancur partai-nya dan atau seribu fakta lain menjadi alasannya. Hey, wake up! Politik memang bukan kesempurnaan, apalagi ditambah dengan sikap abstain kalian. Menurut perspektif saya, keapatisan ini berakar dari sikap tidak peduli. Ya, tidak peduli. Ada ribuan caleg, taruhlah di wilayah kita ada 500-an orang, saya masih yakin diantara jumlah itu masih ada orang baik. Bagaimana kita tahu? Yah, cari tahu donk… bukan dari poster, spanduk dan baliho yang menyesakkan kota, melainkan bertanya pada Google yang sangat cukup informasinya. Tidak ada alasan bahwa kita tidak punya waktu. Sekali kali alasan itu hanya muncul bagi mereka yang sejatinya tidak peduli. Kalau kalian masih sempat membaca tulisan ini, berarti kalian masih punya banyak waktu untuk melakukan investigasi siapa caleg kalian. Sekali lagi saya hanya bicara kemungkinan ini bagi mereka, kaum urban yang (katanya) berpendidikan dan berwawasan luas serta punya akses internet yang cukup.

Foto-dari-BeritaSatu

Ditengah carut marut politik bangsa, marilah menanam sedikit harapan bahwa kita bisa berubah, bahwa Indonesia akan jauh lebih baik. Dimulai dari kepedulian kita terhadap 9 April 2014. Marilah menyisikan rasa huznuzon, bahwa masih ada mereka yang baik dan amanah menjadi wakil rakyat. Ingat, calon legislatif itu fit and proper test-nya di kita, para pemilih. Tips dari saya, lupakan partainya, lihat dan cari tahu siapa orangnya. Berdoa semoga pilihan itu tidak salah.

(Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA. M.Phil.) Wakil Rektor Institut Studi Islam Pondok Modern Gontor bilang : Jika anda tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah dan anggota DPR, atau parpol Islam, itu hak anda. Tapi jika anda dan jutaan yang lain tidak ikut pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan.”

 

Hits: 687

Tadi sore saya disodori pertanyaan, yang hampir serupa dengan judul ini tulisan ini.  Jujur, sejak benda yang bernama telepon selular (ponsel) ibarat Tuhan kedua (upsss..) alias menjadi benda yang bisa “segala-galanya” konsumsi melahap buku saya lumayan turun. Dua atau tiga tahun lalu, buku adalah salah satu isi tas yang hukumnya wajib.  Saya biasa membaca buku di kereta, di bis, pada saat menunggu antrian atau saat makan sendiri di restoran (yang terakhir ini sih, dilema jomblo :p). Bahkan saya sering menghabiskan satu buku dalam perjalanan dengan KRL Bogor-Jakarta yang hanya berdurasi kurang dari dua jam.  Ketika masih bekerja di Aceh, buku adalah teman paling setia selain kopi dan teman-teman ngopi-nya. Maklumlah, daerah ini nyaris minim hingar bingar hiburan. Selama disana,  setiap pulang ke Jakarta, buku adalah oleh-oleh paling banyak untuk saya sendiri dan teman-teman di Aceh. Tema buku saya beragam mulai dari buku yang rada berat, psikologi popular sampai novel-novel cemen yang mengaduk-aduk perasaan.  Tentu ini di luar keharusan membaca buku-buku kuliah selama jadi mahasiswa, ya..

 

http://lexfun4kids.com/summer-reading-programs/
http://lexfun4kids.com/summer-reading-programs/

Kalau ingat masa-masa keemasan itu saya jadi miris. Sekarang mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah; sudah berapa banyak game yang terselesaikan minggu ini?, sudah berapa banyak momen dan foto  yang diposting di sosial media minggu ini?.  Betul, sekarang jaman canggih dimana buku bisa berbentuk e-book yang bisa dibaca di ponsel, tablet atau sejenisnya. Tapi mungkin karena saya orangnya rada katro, saya lebih memilih membaca buku konvensional -yang menurut saya sensasi-nya lebih luar biasa- dibanding membaca lewat gadget-gagdet canggih itu.  Saya ingat, satu atau dua bulan lalu, gadget canggih saya sempat rusak yang akhirnya membuat saya mundur sementara dari dunia per-game-an dan per-sosmed-an. Walhasil, saya pun kembali ke kebiasaan lama, membaca dalam perjalanan.  Alih-alih ngomel-ngomel karena ponsel yang tak kunjung pulih, saya malah bersyukur bahwa membaca ternyata lebih nikmat dibanding maen game. Hehehe..

Deuh, kalau pencandu narkoba perlu direhab biar normal, sepertinya saya juga harus direhab. Tantangan lumayan berat, karena tentu saja saya “emoh” mengganti ponsel ke jaman model  ponsel seribu umat.  Caranya sih susah-susah gampang,  diantaranya mulai mengurangi kebiasaan belanja online dengan kembali mengalokasikan biayanya buat beli buku baru dan “memaksa” diri untuk kembali membawa buku di dalam tas seperti dulu. Wismilak!

Konon, penduduk Jepang adalah pengkonsumsi buku tertinggi di dunia yang angkanya mencapai 40 buku pertahun yang rerata-nya sekitar 3-4 buku per bulan. Seandainya 10% saja dari 250 juta penduduk Indonesia menghabiskan minimal 1 buku dalam 1 bulan berarti ada 25 juta buku yang dibaca dalam 1 bulan, pasti akan lebih banyak ilmu dan wawasan baru yang menyebar.  Bukan ilmunya saja, kebiasaan baik seperti ini  seharusnya juga menular. Kebiasaan membaca juga berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Salah satu survei yang pernah saya simak, di Asia saja untuk jumlah tulisan ilmiah seperti jurnal  dan hasil-hasil riset, Indonesia hanya berada di atas Vietnam dan satu negara lagi yang saya lupa. Padahal secara intelegensia jelas kita tidak kalah dibanding mereka. Mungkin pokok permasalahannya adalah bangsa kita lebih seneng “banyak ngomong” dibanding banyak nulis. Syukur-syukur kalau obrolannya bermanfaat. Sayangnya sih kebanyakan sih gak begitu..… Hahahaha…

 

Hits: 593

Bulan-bulan terakhir ini, hampir seluruh sudut jalan dipenuhi tampang-tampang yang hampir seluruhnya tidak kita kenal.  Semua berlomba-lomba “mejeng” di persimpangan, batang-batang pohon, pos ronda bahkan tiang listrik.  Tulisan yang melengkapi foto pun, dibuat heboh. Pilih saya, coblos saya, Ingat saya, dan sebagainya. Jarang sekali yang membubuhi keterangan pendek saja, dia itu siapa minimal deh ditulis: pengusaha, guru, ketua organisasi anu, pedagang nasi padang atau ditulis tukang ojek pun boleh!  Kadang sebagai orang awam, saya pengen bilang: eh, siapa elo, nyuruh-nyuruh gw?! Saya sih gak ngerti-ngerti amat marketing, tapi melihat kondisi yang sekarang rasanya saya pengen bilang, ternyata caleg-caleg yang terhormat tersebut lebih gak ngerti dari saya.

 

Sumber: http://m.kaskus.co.id/thread/5318abd240cb1726168b4578
Sumber: http://m.kaskus.co.id/thread/5318abd240cb1726168b4578

Semua seperti berlomba mengejer awareness dengan mengenalkan tampang mereka dan nomor urut mereka dengan publisitas yang jor-jor-an. Tapi sedikit sedikit sekali yang mencoba membangun “image” mereka yang akan membuat masyarakat sukarela mencoblos tanpa disuruh-suruh. Memang sih, membangun image bukan pekerjaan satu dua hari seperti memasang spanduk. Tapi memang begitulah seharusnya caleg, karena orang yang siap menjadi calon legislatif  yang mulia sepatutnya adalah mereka yang sudah merintis upaya ini sejak awal bukan hanya saat masa kampanye. Kenyataannya, memang sebagian besar caleg kita adalah caleg-caleg karbitan (dureen kaleee, karbitan….).  Yah, kalo caleg-nya saja karbitan, bisa kita bayangkan sendiri bagaimana keputusan-keputusan mereka kelak saat duduk di gedung megah itu.

Duh, saya tidak underestimate dengan mereka yang setor tampang dimana-mana. Tapi sayangnya, saya juga belum menemukan korelasi apakah dengan mejeng di semua tempat lalu, elektabilitasnya menjadi tinggi? Rasanya tidak. Sebagai contoh, pada Pilkada Kota Bogor tahun lalu, ada satu calon yang baliho yang segede-gede gaban di sudut strategis kota-kota Bogor. Bisa dibayangkan, biaya pajaknya pasti mahal.  Pada satu baliho-nya di depan Botani Square (mall terbesar di Bogor), sama sekali tidak mencantumkan nama, hanya akun twitternya! Buat saya ini kampanye terbodoh yang pernah saya lihat. Pertama, sudah bayar pajak di lokasi termahal di Bogor, kedua berapa banyak sih orang Bogor yang punya twitter, ketiga: berapa banyak dari yang punya twitter mau repot-repot sambil jalan ngecek akun twitter dia? Niatnya sih mau keren, tapi fatal. Hasilnya gampang ditebak, dia bukan pemenang, bahkan pemenang walikota Bogor sekarang- Kang Bima Arya- hampir tidak  kelihatan punya baliho, spanduk atau sejenisnya.

 

nestapa-pepohonan-di-tangsel-jadi-korban-kampanye-caleg-007-nfi
sumber: merdeka.com

Akhir-akhir ini saya sering mengamati Angel Lelga baik di media online maupun media sosial. Terlepas dari pem-bully-an dia di media massa, satu hal yang saya tangkap Angel Lelga adalah caleg yang serius membangun image. Atau bisa juga disebut merubah image? *entahlah (hehehe)  Saya bukan penduduk di Dapil Angel Lelga, namun menurut pengakuannya, dia sangat sedikit memasang baliho, spanduk atau sejenisnya, mantan istri Capres Roma Irama ini konon lebih seneng blusukan dan menggalang kegiatan sosial. Dia juga tahu target masyarakat yang potensial untuk memilih dia.  Dengan caranya sendiri, ia melakukan edukasi dan pendekatan programnya. Program yang bisa jadi hanya dimengerti oleh target yang dituju yang belum tentu masuk di kalangan masyarakat dengan strata lebih tinggi.  Saya rasa Angel Lelga (atau orang-orang cerdas di belakangnya) sudah melakukan kalkulasi statistik berapa  target potensial mereka dan  metode pendekatan apa yang kira-kira dapat mereka terima. Sekali lagi, terlepas siapa dan bagaimana itu Angel Lelga, saya sih cukup mengapresiasi upaya dia. *catatan, saya bukan pendukungnya loh!

Untuk kalangan urban yang melek teknologi dan peduli dengan bangsa ini (saya bilang peduli, karena banyak yang tidak peduli), bukan perkara sulit mencari profil caleg mereka. Saya sih melakukan itu, jadi tampang-tampang yang berseliweran itu buat saya cuma perusak pemandangan dan penganggu kebersihan.  Tapi buat golongan masyarakat lain terutama mereka di rural area, apa iya baliho, spanduk dan sejenisnya itu efektif untuk menarik massa? Apa iya,  masyarakat mencoblos karena mengingat wajahnya yang ada dimana-mana? Saya pikir kok gak ya…  Mungkin sudah ada yang pernah mensurvei ini? Kayaknya sih, metode Angel Lelga lebih layak dicoba…  Hehehehe…

 

Hits: 1020

Kali ini saya mau sok-sok-an nulis tentang green smoothies.  Saya yakin sebagian besar kalian sudah tahu yang saya maksud. Tapi bagi yang belum pasti berpikir, itu hewan apa ya? Sebenernya sih, kebiasaan ini saya tahu dari beberapa bacaan tentang life style orang (yang katanya) modern. Smoothies (yang padanan bahasa Indonesia-nya belum saya temui), pada dasarnya adalah campuran buah dan sayur, susu atau olahannya dan biji-bijian yang kaya nutrisi. Saya yang dasarnya penggemar segala jenis sayur, merasa makanan (atau minuman) ini cocok buat saya. Saya sadar sehari-hari saya lebih banyak makan di luar yang belum tentu higienis, perlu banget nutrisi yang lebih original. Apalagi bikinnya cepat, mudah dan gampang banget.  

IMG_20140322_125448

Dari beberapa literatur yang saya baca, smoothies lebih baik daripada sayur olahan, karena proses pembuatannya yang hanya “menghaluskan” cenderung tidak membuang serat dan kandungan alami sayuran dan buah-buahan dibandingkan jika kita mengolahnya menjadi berbagai macam masakan.  Smoothies juga mengenyangkan, sehingga cocok buat yang sedang dalam program diet.  Bedanya dengan jus, jus lebih bisa disebut minuman karena hanya mengambil sari dari buah.  Manfaat smoothies  lebih lanjut silakan teman-teman cari di mang Google. Namun yang pasti saya rasakan, rutin mengkonsumsi smoothies membuat daya tahan tubuh lebih baik dan tidak mudah capek.  Makanan ini buat saya menggantikan fungsi sekian banyak suplemen buatan yang sering kita konsumsi.

 

Read More

Hits: 637

Buat saya, landmark tidak selalu harus berwujud sebuah bangunan atau tugu atau semacamnya. Loh, boleh boleh aja kan? Meskipun saya sendiri belum tahu dengan pasti apakah landmark yang aslinya bahasa bule’ itu bisa diterjemahkan dalam bentuk lain. Contohnya angkot.. Saya yang sudah tinggal di Bogor belasan tahun,  sudah lama mengganggap ciri khas Bogor itu adalah angkot ijo-nya, bukan lagi  Kebun Raya, Tugu Kujang atau Istana Presiden. Hehehe. Ok, mungkin Bogor bukan contoh yang bagus buat ini, karena angkotnya sudah bikin sumpek dan bikin macet. Tapi coba kita lihat kota-kota lain di Indonesia, meskipun keliatannya agak ganjil, sebenernya ke-khas-an angkot di satu daerah bisa jadi landmark kota.  Yah, paling gak bisa jadi alternatif sarana yang harus dicicipi oleh turis jika dikelola optimal.

source: http://www.nyunyu.com/
source: http://www.nyunyu.com/

Di Makassar, angkot disebut dengan pete-pete. Pengucapannya pete’ bukan seperti pete yang biasa kita makan (kita? ,eloo kaleee. :p), tetapi seperti “e” pada kata cewek.  Jangan tanya saya asal muasal kata ini. Setidaknya ada 10 rute pete-pete di ibukota Sulawesi Selatan ini. Bandingin dengan Bogor, kota yang jauh lebih kecil tapi rute angkotnya sampe hampir 20 (dasar kota angkot!!). Pete pete di Makassar umumnya berwarna biru dengan pola duduk 4-6 seperti angkot pada umumnya. Dijamin rute-rute utama di Makassar dijangkau dengan pete-pete ini. Dari Makassar kita loncat ke ujung Sumatera.  Di Banda Aceh, angkot disebut labi-labi. Agak beda dengan pete-pete, “kabin” labi-labi terpisah dari supir, dan kita naik dari pintu belakang. Dengan bentuk begini, labi-labi bisa memuat hingga 12 orang.  Tidak ada warna khas dari labi-labi,  tapi untuk menikmati Banda Aceh, sangat bisa dilakukan dengan naik kendaraan ini. Cukup sediakan Rp2000-Rp3000 kita sudah bisa muterin Banda Aceh.  Oya, jangan lupa pencet bel atau ketok kaca pak supir kalau ingin turun ya..

 

Read More

Hits: 692

Februari lalu Saya beroleh kesempatan “melancong” eh…dinas ke Filipina selama seminggu. Ceritanya,  Pemerintah Filipina tertarik untuk mengadopsi sebuah aplikasi sistem informasi yang digunakan di masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias pasca tsunami.  Kita semua tahu, beberapa wilayah Filipina di akhir 2013 lalu terkena bencana topan hayyan (dalam bahasa lokal disebut Yolanda) yang kerusakannya tidak kalah besar dengan tsunami 2004 lalu.  Ini kali pertama saya mengunjungi kampungnya Imelda Marcos. Pengalaman yang lumayan mengesankan, karena gak nyangka aja, sesuatu yang pernah kami lakukan di Aceh dulu dipandang begitu penting sampai-sampai ingin diadopsi negara lain. Plok…plok…plok… Disana kami melakukan serangkaian knowledge sharing  dan presentasi tentang kita dulu ngerjain apa saja di Aceh terutama pemanfataan TI untuk mengurus lebih dari 800 donor dan NGO. *pyuhhh.. ngomongnya aja udah susah yah. Tapi topik ini kayaknya terlalu serius kalau harus dibahas disini. Hehehe…

Mahfud, salah satu teman yang juga ikut kesana, sempat mencatat beberapa obyek wisata menarik yang mungkin bisa kita kunjungi disana. Saya sendiri sih, gak kepikir bikin catatan, karena setahu saya destinasi wiasata Filipina kalah tenar dibanding negara Asean lain seperti Malaysia dan Thailand yang sangat gencar berpromosi. Eh, setiba disana… *ya, namanya juga dinas ya, bo*..boro-boro jalan, agenda yang dijadwalkan oleh pengundang sangat padat. Kami nyaris keluar hotel di pagi hari dan selalu kembali menjelang tengah malam.  *capekk deh…

Namun saya masih mencatat hal-hal kecil yang memorable di Manila dan Makati, yang sayang kalau tidak di-blog-in. Hihihi.. Pertama tiba di Bandara Ninoy Aquino, agak kaget juga sih.. kok bandara internasional-nya  biasa banget. (kalau gak enak dibilang jelek…). Malah jauh lebih keren beberapa bandara lokal di Indonesia. Tidak ada kesan gemerlap, fasilitas pun terhitung biasa-biasa saja bahkan bisa dibilang minim. Kami mendarat menjelang malam, memasuki Manila yang macet dan tidak ada aura gemerlapnya, saya hanya berharap cepat sampai hotel dan tidur.  Diperjalanan Saya mengamati kendaraan umum, yang mirip bis-bis seperti Mayasari di Jakarta dan eh…ada satu yang cukup mencolok namanya Jeepney. Bentuknya seperti jip panjang tetapi sudah dimodifikasi hingga bisa muat sekitar 20 penumpang dengan posisi duduk berhadapan persis seperti naek angkot. Konon, mobil ini aslinya buatan Amerika Serikat untuk Perang Dunia II, namun sekarang sudah diproduksi sendiri oleh Filipina. Jeepney dicat berwarna warni dengan ornamen yang meriah persis angkot di pedesaan.  Unik, karena sangat kontras dengan penampilan Manila dan Makati yang termasuk kota Metropolitan. Di hari-hari terakhir, saya baru mengetahui bahwa ada Jeepney yang Full AC!! Namun posisi duduknya udah gak kayak angkot, tapi seperti bus kopaja.  Ongkos naik kendaraan lucu ini lumayan murah, untuk jarak paling jauh hanya sekitar Peso 7 (sekitar Rp2500).

Yuk, naek Jeepney (sumber: livesharetravel.com)
Yuk, naek Jeepney (sumber: livesharetravel.com)

Tidak ada yang terlalu istimewa dari Manila dan Makati. Manila, ibukota Filipina sepertinya beradu dari kota tradisional menjadi kota modern. Urbanisasi masih nampak memenuhi sudut-sudut kota. Jalanan macrettt, cret, cret, cret. Belum lagi supir-supir di Manila dan Makati mungkin les nyetirnya sama supir Medan semua. Gaya nyetirnya bikin pusing dan mual.  Huekkk…

Pusat pemerintahan sebagian besar terpusat di Manila. Harus diakui, di banyak sisi, kantor pemerintahan kita memang lebih keren dibanding Filipina. Sementara itu, Makati memang di-setting sebagai pusat bisnis. Letaknya kurang lebih 20 km dari Manila. Ini bedanya, pusat bisnis dan pemerintahan sudah terpisah, gak tumplek blek di seputaran segi tiga emas seperti di Jakarta. Secara konsep, Makati layaknya SCBD atau Kawasan Mega Kuningan di Jakarta tetapi dalam areal yang lebih luas.  Bangunan tingginya sih belum sebanyak Jakarta, tetapi yang saya perhatikan, Makati dan sekitarnya mulai ditata sebagai kawasan bisnis yang nyaman dan bersahabat dan terpadu. Mungkin ini yang bisa dicontoh Jakarta.

Macet di Bonifacio
Macet di Bonifacio

Nah, yang paling gak enak di Manila atau mungkin juga di negara non muslim lainnya adalah susahnyaaaa…cari makanan halal!  Miss Piggy dimana-mana, mencari menu halal yang tidak terkontaminasi mahluk imut itu susah luar biasa. Kalau udah mentok, apa boleh buat, ke “kedai kopi internasional” itu dan makan roti! Alhamdulillah karena saya memakai jilbab, orang Filipina yang baik dan ramah selalu mengingatkan kalau yang saya pilih bukan makanan muslim.  Beruntung, di Makati kami sempat ketemu Restoran khas Indonesia yang enak banget, sebagai alternatif makanan halal selain restoran Timur Tengah dan India.  Di sela-sela waktu kerja yang padat kami sempat makan malam ke satu kawasan yang namanya Paluto. Konsep tempat ini persis seperti Pasar Ikan Muara Baru dan Muara Angke di Jakarta Utara. Kita beli ikan sendiri trus dimasakin sama restorannya.  Bedanya, karena diperuntukkan khusus buat turis, tempatnya lebih bersih dan jauh dari bau amis seperti di Muara Baru. Makanan di tempat ini pun Insya Allah terjamin halal.  Hihihi. Dan.. harus diakui kalau masakannya sangat enak!! Yang kurang enak, cuma kurang sambel terasi doang…! Lucunya pelayan-pelayan restorannya hampir semuanya “waria” 😀

Memilih ikan segar di Paluto
Memilih ikan segar di Paluto

Di Manila, kami juga melewati Golden Mosque di kawasan muslim Manila dan sempat sholat disana. Masjid yang katanya terbesar di Manila ini menjadi kebanggaan warga muslim di Filipina. Tapi saya agak kecewa juga sih, selain letaknya yang agak mblusukan alias masuk-masuk lewat pasar tradisional, masjid ini nyaris tidak terawat baik.  Bayangin, tempat wudhu aja dikunci, dan tempat sholat perempuan tidak dilengkapi sajadah.  Sebagai orang muslim, sedih dan miris juga rasanya. Nama kerennya Golden Mosque gak sebanding dengan wujud masjidnya. Tentu jauh lebih bagus Masjid Kubah Emas di Depok. Maybe its called when moslem become a minority.

Manila Golden Mosque
Manila Golden Mosque

Secara bahasa, sejauh yang saya tahu (atau menurut saya), penduduk Filipina berbahasa Inggris paling baik diantara negara-negara Asean seperti Malaysia, Singapura, Indonesia apalagi Thailand! Pengucapannya dan strukturnya pun sangat jelas, tidak banyak terkontaminasi oleh bahasa lokal kecuali pada pengucapan seperti kata function yang seharusnya dibaca “fang-syen” tetapi dilafalkan dengan: fang-tion”. Artinya setiap kata yang berakhiran “ion” akan diucapkan bulat-bulat menjadi ‘ion”.  Namun selebihnya, penguasaan Bahasa Inggris sangat jamak di masyarakat Filipina. Mereka terbiasa menggunakan dua bahasa sekaligus, Inggris dan Tagalog sebagai bahasa sehari-hari.

Hal menarik lain yang sempat saya rekam adalah ternyata banyak kesamaan antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Tagalog lho.. Contohnya mereka menyebut pulang dengan “balek” yang artinya sama dengan kata balik di kita. Mereka menyebut payung dengan payong, kanan dengan kanan, sabon untuk sabun, bato untuk batu dan sepato untuk sepatu. Hmm… katanya sih nenek moyang mereka memang satu buyut dengan orang Melayu kebanyakan. Namun yang benar-benar “lost in translation” adalah mereka mengartikan “tunggu sebentar ya..” dengan “sandal Ilang” Sumpah, ini saya yang ini gak ngerti asal-usulnya dari mana! Yang saya tahu, sandal ilang kebanyakan dialami jamaah sholat jumat yang kelamaan menunggu khotbah selesai… Hahaha…..

Hits: 1381

Sebelum bekerja di pemerintahan, saya sempat bekerja di perusahaan swasta bahkan NGO. Kala itu, pemikiran saya sangat mainstream seperti masyarakat lain pada umumnya. Saya doyan mencerca pemerintah, gampang banget mencerna apa kata media (yang menurut saya pasti benar). Sayang, saya tidak sempat berpikir untuk ganti warga negara melihat Indonesia tercinta yang “carut marut” ini.  Hehehe. Mungkin baiknya adalah media sosial tidak sebanyak sekarang, jadi  saya tidak latah menyebarkan tentang “kebobrokan” yang saya rasa itu.

imagesSaya bersyukur, akhirnya Tuhan mematahkan asumsi itu dengan memasukkan saya ke dunia ini. Mungkin sudah sedikit terlambat sih, karena baru lima tahun terakhir saya ada disini, saat sudah jaman reformasi. Namun pelan-pelan saya menyadari bahwa Indonesia ini negara besar yang sangat kompleks. Apalagi di urusan tata pemerintah yang sudah kenyang beranak pinak dengan warisan rezim 32 tahun yang kita sama tahu.  Tanpa mengurangi rasa kritis saya, ternyata urusan di pemerintahan tidak semudah omong-omong kritisisasi media  dan masyarakat. Ok, kita gak usah ngomongin soal kerumitan ini, bukan saya deh ahlinya.. Hehehe..

Fenomena baru sekarang muncul. Maraknya sosial media membuat masyarakat punya hobi baru. Mem-bully pemerintah, pejabat-pejabat tinggi negara bahkan Presiden dan keluarganya.  Awalnya sama seperti yang lain, saya pikir ini cuma lucu-lucuan saja. Tapi makin kesini, makin banyak yang latah dan tiba-tiba berasa berhak men-judge tanpa punya pengetahuan yang cukup.  Kasus  yang lagi hits belakangan adalah instagram Ibu Ani Yudhoyono, first lady of Indonesia.  Berawal dari hobi fotografinya, media ini akhirnya justru ditunggangi menjadi ajang pem-bully-an.  Sayangnya, Bu Ani (yang notabene adalah Ibu Negara) mungkin tidak siap dengan dampak media sosial. Beberapa  komentar pedas yang kadang malah “gak nyambung” dengan konteks fotonya ditanggapi Ibu Ani dengan tidak kalah pedasnya. Wah, rame deh media! Akhirnya dihubung-hubungkan dengan banyak hal dalam pemerintahan SBY yang sebenernya gak ada hubungannya.  Lebih tololnya lagi, ini dimanfaatkan oleh banyak penggemar sosial media yang “dasarnya gak ngerti apa-apa” untuk latah menyebarluaskan dengan format yang beraneka ragam.  Bersyukur, setelah saya amati  90% komentar di instagram Bu Ani adalah komentar positif, jadi sebenarnya populasi lapisan masyarakat yang  “masih waras”  lebih banyak daripada yang “kurang kerjaan “. Hehehe..

Saya pribadi, memilih berkomentar offline  seperti menulis di blog ini dan tidak ikut-ikutan menyebarkan dengan membuat screen capture atau ikut mengedarkan apa yang sudah ada di sosmed.  Buat apa toh? Sebagai orang yang (harusnya cukup intelek *ehmm..) saya sadar, melakukan hal tersebut sama dengan memperkeruh suasana. Banyak golongan lain yang gampang tersulut dengan hal-hal begini dan ikut-ikutan bikin rame. Cari tahu lebih banyak sebelum melakukan hal-hal serupa. Kalau cuman tahu 3 ya, gak pantes dong ngomong seolah-olah tahu 10. Lagian, banyak orang yang terlalu gampang menyimpulkan sesuatu itu benar hanya karena foto-foto yang dibuat oleh orang-orang kerjaan dan sengaja dibuat untuk menunjukkan bobroknya negara ini. Banyak yang tidak sadar, semakin rajin mereka ikutan mem-posting hal-hal seperti ini, semakin banyak dunia luar yang melihat jeleknya Indonesia. Di sisi lain, saya kok miris juga ya.. Indonesia sebagai salah satu negara pengguna smartphone terbanyak di dunia, ternyata pengguna-nya tidak se-smart handphone-nya. Ada apa-apa langsung di telan mentah-mentah kemudian disebarkan tanpa berpikir panjang benar tidaknya beritanya serta dampak sosialnya.

Duh, daripada repot-repot nambah kerjaan menyebarkan yang begitu-begitu, cobalah menanam kepercayaan yang lebih kepada pemerintah. Saya masih percaya pemerintah (dengan segala kekurangannya) selalu berusaha terbaik buat negara tercinta ini. Kepercayaan masyarakat sebenarnya salah satu faktor kunci agar pemerintahan lebih baik. Pun termasuk percaya dengan orang-orang yang menjalankan pemerintahan. I love Indonesia!

Hits: 813

Setelah beberapa kali ke Kuala Lumpur, saya rasanya sudah enggan sekali ke Malaysia. Sekarang mind set liburan saya adalah ke tempat yang tenang dan adem ayem, dimana kita bisa duduk santai dengan secangkir kopi panas dan membiarkan waktu berjalan perlahan. Satu ketika  di TV, saya menonton liputan kota tua Malaka yang nampaknya sangat menarik. Mulailah saya berburu informasi tentang kota ini di Embah google. Cita-cita itu akhirnya kesampaian juga di awal 2014 ini. Tepat tanggal 1 Januari, saya berangkat dari Jakarta dan tiba di LCCT Kuala Lumpur pukul 20.30 (waktu Malaysia). Sudah cukup malam memang… Dari informasi yang saya dapatkan,  beberapa traveler blogger rata-rata menyarankan masuk ke Kota Kuala Lumpur dulu baru menumpang bis ke Malaka.  Ternyata, dari LCCT sendiri ada lohh…bus langsung ke Malaka, namun bus terakhir hanya hingga pukul 21.00. Bagi yang landing di KLIA, masih ada bus hingga pukul 23.30.  So, saya masih kebagian bus terakhir meski pake lari-lari. Biar aman, ada baiknya bus sudah di-booking online dengan harga sekitar 20 RM. Karena saya beli di tempat, dapat harga lebih mahal (RM 24).

Dua jam lam perjalanan ke Malaka sungguh tidak terasa. Saya tiba di guest house yang sudah dipesan secara online tepat pukul 23.00. Guest house ini berada di pinggir Sungai Melaka yang menjadi pusat peradaban kota ini. Harganya juga lumayan murah, buat dua malam hanya menghabiskan RM 110 (sekitar Rp 390.000,). Saya masih sempat naik ke balkon untuk melihat lampu-lampu di sepanjang sungai.  Tempat yang sangat inspiring buat yang sedang nulis laporan tahunan (seperti saya saat ini). Hahaha…

Menyusuri Sungai Melaka
Menyusuri Sungai Melaka

Pagi harinya, petualangan dimulai. Saya menyusuri jalan Kampung Pantai, Kampung Jawa, Hang Jebat (dikenal dengan nama Jonker Street) hingga tiba di Gereja Merah atau yang sering disebut The Stadthuys, Benteng Formosa dan Gereja St Paul yang letaknya di puncak sebuah bukit kecil.  Kota yang ditetapkan Unesco sebagai salah satu World Heritage ini menawarkan atmosfer abad 17-19 yang sangat kental. Bangunan-bangunan tua terpelihara rapih dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Sepertinya memang dijaga karena pemerintah Malaysia melarang untuk mendirikan bangunan modern di lokasi ini. Malaka dulunya pernah dijajah oleh Portugis, Belanda dan Inggris. Karena itulah, perpaduan arsitektur Eropa, Cina dan Melayu menjadi eksotika lain kota kecil ini.

deretan bangunan tua Jonker Street
deretan bangunan tua Jonker Street

Menariknya lagi, Sungai Melaka yang membelah kota ini sangat bersih bahkan wisatawan dapat menyusuri sungai ini dengan menumpang Melaka Cruise seharga RM 15 untuk perjalanan sekitar 45 menit. Saya sempat mencoba wahana ini di malam hari. Lumayan seru, menyusuri sungai dengan lampu-lampu yang meriah dan pemandu kapal yang menjelaskan sejarah setiap bangunan yang kami lewati.  

Benteng Formosa
Benteng Formosa

Melengkapai “ketuaannya”, Malaka menyajikan banyak museum. Dalam catatan saya, tidak kurang ada lima museum yang saya lewati yaitu Maritime Muzium, Youth Muzium, The Baba Nyonya Heritage Muzium, Straitz Chinese Jewelry Muzium dan Tun Teja Muzium. Dari peta yang saya dapatkan di  konter informasi wisata, ternyata masih ada museum-museum lain di sisi lain Malaka. Hmm, menarik buat yang doyan pengen tahu sejarah atau doyan barang antik. Sayangnya saya tidak terlalu berminat..karena bangunan museum umumnya bangunan “agak” baru, sementara saya lebih senang hunting bangunan-bangunan kunonya. Hehehe..

Yang tidak kalah penting, adalah soal kuliner. Jonker street selain menawarkan souvenir-souvenir buat oleh-oleh, disini juga pusat kuliner khas Malaka. Sama seperti gedungnya, kuliner Malaka pun perpaduan masakan Eropa, Cina dan Melayu. Di sore hari, coba masuk ke café di pinggir Sungai Malaka sambil menikmati cendol khas Malaka. Yummy..  Wah, sayangnya lupa foto makanannya nih..  Disini saya juga sempat menemukan durian crepe yang sering kita sebut juga  pancake durian. Enakk….. Oya, di Malaka memang banyak ditawarkan varian makanan dari durian loh… Satu yang saya sesalkan adalah, tidak sempat menikmati warung kopi di sini.  Nyesel banget deh, apalagi saya memang penikmat kopi. Sayang waktunya mepet dan saya kali ini traveling dengan Ibu saya yang gak suka ngopi…Ya udah…terpaksa ngalah.. Hiks..

 

20140102_110339
satu sudut kota

Satu lagi, Malaka ini kotanya santai banget. Toko-toko baru buka sekitar jam 10-11 siang. Sebagian besar juga sudah tutup menjelang gelap. Tidak ada hingar bingar hiruk pikuk ala kota besar. So, Malaka is so recommended buat yang butuh liburan penenangan diri dan mencari inspirasi yang murah dan dekat!

 

 

Hits: 1043