Dua tahun kerja di lingkungan istana kepresidenan, bukan berarti saya bisa keluar masuk seenak jidat, bolak balik tanpa tujuan, boro-boro untuk selfie dengan Pak SBY. Paling cuma foto-foto di halaman, itu pun tidak semua tempat boleh difoto. Selebihnya ya, biasa saja, paling banter cuma makan di kantin karyawan Istana. Namun menjelang purna tugas saya disini, senang sekali rasanya diberi kesempatan mengikuti Upacara Kenegaraan IMG_20140908_12365717 Agustus. Memang, saya kebagian acara sore (penurunan bendera), tapi maknanya sama sekali tidak berkurang bagi saya. Itu pun dapet undangannya pake acara “ngerampok” dulu dengan seorang pimpinan di kantor. Hehehe..

Di undangan tertera dresscode yang harus digunakan adalah pakaian nasional. Waduh…rempong juga, dengan persiapan yang hanya sehari. Apalagi saya nyaris tidak punya busana yang pantas disebut busana nasional. Daripada repot, akhirnya saya memilih rok batik panjang berwaran hijau favorit saya dipadu dengan kebaya encim putih polos. Untuk menambah kesan kemerdekaan, saya menambahkan kerudung berwarna merah darah. Merdeka! Di lokasi acara, saya melihat banyak tamu yang tidak menggunakan busana muslim atau pakaian resmi (seperti orang kantoran), wah sayang C360_2014-08-17-18-56-46-931banget tuh.. karena yang mengenakan pakaian nasional diprioritaskan untuk duduk di kursi paling depan. Undangan hanya dibagi per blok berdasarkan jenis undangan, selebihnya pilihan bangku silakan dipilih sendiri cepet-cepetan. Tentu saja peraturan ini tidak berlaku untuk undangan VVIP seperti para menteri, duta besar dan pejabat negara lainnya.

Acaranya meriah sekali. Pagelaran tari kolosal yang penuh ornamen diiringi musik  bersemangat membuat semuanya menjadi pertunjukkan yang menarik. Usia pengisi acara pun beragam dari mulai anak TK sampai orang dewasa. Saya senang, karena pertunjukkannya “Indonesia banget”. Tidak hanya menarik tapi menumbuhkan kembali kecintaan terhadap bangsa ini. Saya juga beruntung karena duduk di barisan paling depan. Hehehe.. Dari jauh Pak SBY dan Pak Boediono terlihat ikut menyaksikan, sementara itu Bu Ani terlihat sibuk dengan kamera kerennya.. Bu Ani bikin sirik, karena bisa punya foto yang bagus meski duduk jauh.. Beda banget dengan saya yang cuma mengandalkan kamera HP. Hikss

barisan hanoman
barisan hanoman

Pak SBY dasarnya membuka luas Istana bagi masyarakat. Banyak sekali anak-anak muda berprestasi yang ikut diundang. Mulai dari penulis, artis, pelajar berprestasi hingga masyarakat umum. Memang sepantasnya generasi seperti itulah yang harus lebih banyak hadir. Acara seperti ini sungguh meningkatkan adrenalin kita akan cinta terhadap Indonesia. Terima kasih Pak SBY, untuk 10 tahun yang bermakna, semoga tahun-tahun depan masih diberi kesempatan untuk kembali lagi ke Istana. Semoga di masa Pak Jokowi, kesempatan itu makin lebih terbuka lagi. Aamin..

Oya, bocorannya setiap tahun, Sekretariat Negara memberi jatah undangan upacara 17an kepada masyarakat umum. Sayangnya selama ini, informasinya tidak menyebar luas, sehingga yang mendapat undangan, umumnya kerabat para karyawan setneg. Jika ada yang berminat..silakan sering-sering lihat website setneg terutama menjelang 17an!

berkibarlah benderaku..
berkibarlah benderaku..

Hits: 964

Beberapa waktu lalu saya sedikit geli membaca status teman di Facebook yang menuliskan bahwa dirinya ogah menjadi PNS, karena enggan bekerja santai yang tidak ada tantangan. Opini-opini begini mungkin ramai muncul sejak pendaftaran PNS mulai dibuka secara online tahun ini. Yang menulis status itu sih usianya masih cukup muda. Tapi teman lain yang lebih berumur, juga “masih” berpaham sama, bahkan sejak dulu ia memang malas menjadi PNS dengan alasan yang kurang lebih sama. Saya sendiri, sama saja. Tapi itu dulu, duluuu banget waktu masih muda (Hahahha…ketauan sekarang udah bongkotan). Sejak lulus S1, saya belum pernah sekalipun mengikuti test PNS. Padahal, dulu saya sempat ditawari masuk “jalur khusus” menjadi abdi negara ini lewat salah satu kerabat Ibu Saya. Meski akhirnya  dengan pede saya tolak karena merasa ini cuma kerjaan absen rutin lalu pulang, hidup santai, tanpa tantangan dan dapat pensiun. Beda banget sama karakter Saya yang pengennya high achiever. Hahahha..

Namun, lagi-lagi garis hidup berkata lain. Terdamparnya Saya di sebuah lembaga   pemerintahan setelah beberapa kali menclok di perusahaan swasta, membuat Saya HARUS merubah   paham itu di otak Saya, orang-orang sekitar Saya, bahkan kalau perlu generasi muda Indonesia tercinta ini. Ciyeeee….. #Uhuk.

source: http://romokoko.com
source: http://romokoko.com

Konsep PNS adalah santai ini, menurut saya adalah peninggalan rezim lama yang dampaknya sudah mengakar di sebagian besar penduduk Indonesia. Dulu, memang seleksi PNS tidak seketat sekarang, tapi bukan rahasia lagi banyak jatah kursi kerabat pejabat dan jalur-jalur khusus lainnya. Lalu, bagaimana bisa menyaring kualitas SDM terbaik jika proses perekrutannya lebih banyak diwarnai titipan? Belum lagi, kita sudah terlalu lama terlena dengan budaya doktrinisasi. Keputusan hanya bisa diambil oleh segelintir pihak, kebebasan berpendapat dan berkreasi juga tidak seluas sekarang. Tidak heran, akhirnya sebagian besar PNS menjadi wahana yang penting kerja, berseragam keren, gajian rutin dan anti dipecat.

Anak-anak muda terbaik bangsa ini tidak dipungkiri masih senang bekerja di perusahaan multinasional bergaji spektakuler daripada bersaing memperebutkan satu kursi menjadi abdi negara. Pilihan menjadi PNS cenderung masih dipandang sebelah mata. Ya, memang ada sih lembaga-lembaga negara yang menjadi favorit para pencari kerja. Selebihnya, lagi-lagi menjadi PNS adalah pilihan bagi mereka yang ingin bekerja dengan “santai”.

Kini jaman sudah berubah, sayang banget jika sebagian besar orang masih menganggap menjadi PNS itu bersinergi dengan santai dan hidup aman dan terjamin hingga ke anak cucu serta nyaris tanpa gejolak. Seharusnya kosa kata santai segera hilang dari benak mereka yang berniat ataupun tidak berminat sama sekali menjadi PNS. Masalah dan tantangan bangsa ini masih banyak banget! Mulai dari birokrasi yang ribet, sumberdaya alam yang belum termanfaatkan dengan optimal, infrastruktur yang minim, pendidikan untuk anak-anak bahkan masalah toleransi beragama. Bisakah semua itu diselesaikan dengan “santai”? Bersyukur sekarang masyarakat semakin melek politik, gerak gerik dan sepak terjang pemerintah tidak luput dari kritikan dan sorotan. Semoga saja bentuk perhatian seperti itu membuat generasi muda tergerak untuk terjun langsung di dalamnya, bukan cuma repot jadi pengamat dan komentator. Buang jauh-jauh paradigma santai yang sudah mendarah daging itu. Sepatutnya orang-orang yang mengurus negeri ini dari level terkecil adalah orang-orang yang terbaik.

TAPI, pemerintah memang masih punya PR banyak, salah satunya bagaimana membuat kompensasi bekerja di pemerintahan menjadi semenarik bekerja di perusahaan besar. Apalagi sekarang (katanya) “semakin sulit mencari “sampingan”. Berita bagusnya proses itu sekarang sedang berjalan. Salah satu terobosan, kini sudah ada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan membuat iklim bekerja di lembaga pemerintahan menjadi semakin kompetitif. Silakan googling sendiri ya….

Jangan lupa seperti halnya di perusahaan swasta, kita digaji dari keuntungan perusahaan, oleh karena itu juga WAJIB bekerja sebaik-baiknya untuk perusahaan. Di pemerintahan, personilnya digaji dari pajak yang diperoleh dari rakyat. So, juga WAJIB bekerja sebaik-baiknya untuk rakyat. Iya kan! Santai? Malu dong!!

Oya, satu lagi..perlu saya tegaskan  banyak juga loh anak-anak negeri terbaik yang sudah berada di dalam pemerintahan. Saya hanya ingin membantu meluruskan bahwa menjadi PNS atau bekerja di pemerintahan itu pekerjaan mulia, banyak tantangan dan semakin kompetitif. Mari kita merubah mindset kita sendiri yang bisa kita tularkan ke lingkungan sekitar kita. Ingat, kalau bukan bangsa sendiri, siapa yang mau membangun negeri ini? Dan itu butuh kerja keras, sama sekali tidak santai!!!

 Tulisan dari orang yang bukan PNS..

Hits: 1001

Kalau ada kecemasan luar biasa yang pernah saya alami, mungkin proses pengajuan VISA Amerika untuk turis adalah salah satunya. Ya sih, dari dulu saya memang mimpi pengen ke Amerika, tapi melihat kondisi yang sekarang, sepertinya sementara ini memang cuma mimpi. Berharap dapat dinas dari kantor rasanya pun agak-agak mustahil buat saat ini. Kenapa saya enggan? Pertama, karena gak punya tabungan yang cukup yang karus diinformasikan pada saat wawancara, kedua (konon) perempuan single (mandiri) yang gak punya tanggungan seperti saya, sangat dikhawatirkan tidak mau pulang dan kemudian bekerja disana. Ketiga, isi stempel paspor saya cuma Asia Tenggara doang, plus Hongkong –Macau dan Saudi Arabia (buat umroh). Konon lagii.. (konon semua yaa…), negara-negara tetangga cenderung “gak dianggap” untuk membuktikan kita mampu menjadi wisatawan di Amerika.  Intinya mendapatkan VISA Turis tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi daripada VISA Sekolah, seminar, training atau sejenisnya. Konon-konon itu saya dapatkan dari hasil googling, yang artinya merupakan pengalaman pribadi orang-orang yang pernah mengajukan aplikasi visa Amerika ini. Belum lagi, saya menggunakan jilbab, yang mitosnya sering “diselidiki” lebih akurat.

Pengalaman di depan mata, adalah Ibu Saya yang sempat dua kali ditolak pengajuannya, tanpa alasan yang jelas padahal saat itu juga disponsori oleh adik Saya dan suaminya yang merupakan warga negara Amerika Serikat. Teman yang lain ditolak juga padahal sudah sering sekali bepergian ke luar negeri. Ada juga teman yang ditolak padahal ia sekretaris sebuah perusahaan besar dengan sponsor besar pula dan tujuan kesana hanya untuk menghadiri sebuah seminar. Haduuhh…belum apa-apa udah males duluan kan… Seandainya Indonesia jadi negara “terpandang” seperti Singapura (yang penduduknya bebas visa masuk USA), mungkin kita gak perlu rempong begini. Semua fenomena itu membuat saya yang mentalnya lemah ini (hehehe), terpaksa mengubur keinginan untuk berfoto di bawah Patung Liberty. Yah..Indonesia aja gak abis-abis dikelilingin, begitu pikiran saya.

Namun kayaknya takdir berkata lain (lebay dotcom). Setelah dua kali ditolak, Ibu Saya disetujui Visa-nya, bahkan mendapatkan Imigran Visa yang diurus langsung oleh adik Saya dari sana. Itu pun memakan waktu hingga satu tahun lebih. Berhubung Mama takut terbang sendiri jarak jauh, beliau memaksa Saya untuk mencoba peruntungan berburu Visa ini. Saya mencoba mencari kabar baik dan melengkapi dokumen sebagus mungkin agar disetujui. Seorang rekan di kantor berpesan: “jangan takut, kalau tidak dicoba yaa mana pernah kita tahu”. Wah bener juga pikir saya.

Dokumen yang menurut saya paling bisa menegaskan alasan saya pasti kembali, adalah rekomendasi kantor. Memang sih, banyak juga yang ditolak meski kantornya perusahaan terkemuka. Sampai saya menulis blog ini, saya masih bekerja di lembaga pemerintahan meskipun status saya bukan PNS. Saya berharap ini jadi alasan yang kuat kalau saya tidak berminat untuk menetap di Amerika. Dokumen kedua, adalah bukti rekening tabungan. Beberapa hasil googling menyebutkan kita harus punya minimal Rp70 juta untuk satu kali perjalanan. Sampai hari interview, saya cuma punya setengah lebih dikit dari nominal itu. Hehehe. Berkas lain yang tidak kalah penting adalah sponsor dari adik Saya. Ia mengirimkan saya surat undangan, scan paspor-nya dan bukti penghasilan. Oya, jika ada saudara yang mensponsori apalagi ia juga imigran, copy paspor lebih dipercaya dibanding KTP-nya orang sana. Kenapa? Karena imigran gelap disana banyak yang menggunakan ID palsu. Namun sekali lagi semua itu bukan jaminan kita pasti lolos loh! Dokumen-dokumen lain yang disarankan oleh banyak orang seperti Ijazah, Bukti Pajak, NPWP sampe surat rumah juga saya bawa untuk jaga-jaga. Sampai anjuran di salah satu blog untuk menggunakan baju warna cerah pun saya ikuti!

Tiba di hari H penentuan, rasanya nervous banget. Saya tiba paling pagi di kedutaan untuk mendapatkan giliran duluan dan lebih penting lagi biar galaunya cepat berakhir apapun keputusannya. Sebuah artikel juga memberikan tips lebih baik ikut antrian yang paling pagi, karena mood konselor-nya masih bagus, sehingga kemungkinan di-approve juga besar. Saya kayaknya gak perlu cerita panjang lebar proses antriannya ya,.. Keliatannya sudah terlalu banyak yang menulis soal itu. Berulang-ulang saya membaca doa-doa pendek yang saya hapal untuk menenangkan diri. Aduh, gak tau yaa..kenapa jadi heboh begini. Seorang Ibu di sebelah saya malah dengan santai bilang: “Tenang aja, mbak.. lebih susah bikin KTP kok daripada bikin Visa Amrik”. Yaah..dia sih enak bisa bilang begitu, wong Visa-nya cuma tinggal diperpanjang doang. Saya amati grup wawancara saya saat itu terdiri dari seorang mahasiswa, beberapa karyawan dengan seragam sebuah BUMN untuk sebuah dinas dan dua keluarga dan beberapa orang yang nampaknya ingin liburan. Bukannya ngomong SARA ya,..mereka yang berminat liburan pribadi umumnya teman-teman kita dari etnis keturunan (Tionghoa). Hehehe… Keder banget deh saya!

Tiba giliran saya, konselornya seorang bule perempuan, bertubuh agak tambun, tapi terlihat cukup ramah. Ohya, ketakutan akan karyawan kedutaan yang jutek dan gak ramah, sama sekali tidak saya temui. Semua petugas dari security bagian paling awal hingga pewawancara menurut Saya sangat baik dan akomodatif. Dengan perasaan yang gak santai banget, saya memulai sesi wawancara yang tempatnya persis seperti posisi beli tiket KRL: (maap, bahasa inggris-nya ancur…yang penting kan lolos..hehehe..)

Pewawancara (P) : Good morning, what your name?

Saya (S): Morning, I am Vika Octavia

P: What it is your purpose to go to America?

S: I want to have a vacation and meet my sister I didn’t meet for about five years.

P: (sambil kutak katik data komputer): Oh, you have a sister there…Could you give me a letter from her?

S: (ngasih dokumen yang diminta)

P : How long have she been there ?

S: About 10 years..

P : Is it your first time to visit her?

S: Yes I am..

P: Are you going with Elyta Surya (nama Ibu Saya…wah, ternyata dia menelusuri nama Ibu saya di sistem mereka)

S: Yes.. She is my mom. She is afraid to travel with a long flight alone (contoh anak berbakti..)

P: And..how long your plan to stay in US?
S: Approximately 2-3 weeks. I couldn’t take a leave more than that (harus begini, biar dipercaya pasti balik)

P: And.. what are you doing now?

S: (Nyeritain singkat soal kerjaan Saya)..bla..bla.. dan saya tegaskan kalau saya kerja di pemerintahan yang HARUS pulang. Note: gak usah panjang-panjang (kalau perlu siapin default untuk jawaban ini).

P: (kemudian dia sibuk sendiri ketik ketik komputernya sekitar 1-2 menit). Paspor lama saya dikembalikan, paspor baru ditahan. Sambil ngasih kertas putih: Ok, your visa been approved! Comeback again in 3 days!

S: (*rada-rada mau pingsan. Rasanya beban rontok semua) Oya, Visa saya disetujui berlaku untuk 5 tahun kedepan! Horee!

Dari wawancara tadi, si bule sama sekali tidak meminta dokumen kecuali surat dari adik saya. Dalam beberapa kejadian bisa saja ini tidak menjadi bukti yang kuat. Print out rekening bank, KK, akte kelahiran, KTP dan berbagai surat lainnya sama sekali tidak ditanyakan! Bahkan rekomendasi dan ID kantor pun hanya dilirik sebentar. Si bule lebih banyak mengutak-ngatik komputer saktinya dibanding bertanya macem-macem sama saya. Mungkin di dalam computer itu riwayat dan kisah hidup saya juga sudah ada. Hehehehe….

1409321978524

Nah, pesen saya buat yang pengen coba-coba apply..dicoba aja..gak ada salahnya kok! Gak usah terlalu khawatir dengan penyebab kegagalan orang lain. Beberapa diantaranya malah cuma mitos. Pastikan saja semua dokumen lengkap dan disampaikan dengan jujur. Jangan lupa banyak-banyak berdoa dan sedekah. Hahahaha.. Kalau lagi beruntung, anggap saja ini rejeki anak sholeh. Aaaminn

Hits: 5115

Ketika masih duduk di kelas 2 SD, saya pernah minta dibelikan sepatu baru ke kakek (Ayah dari Ibu saya). Tidak begitu saja langsung menuruti permintaan Saya, kakek (yang kami panggil Nenek Ayah) malah bercerita masa perang merebut kemerdekaan, dimana beliau keluar masuk hutan membawa senjata seadanya dan tidak memakai sepatu! Saat punya sepatu pun, kakek bilang ia baru akan membeli yang baru jika sepatu lama benar-benar sudah tidak layak pakai. Kalau beliau masih hidup sekarang, mungkin saya bisa dikomplain terus karena sekarang hobi saya justru beli sepatu, hehehe.. Namun cerita pendek itu sampai sekarang masih ada di kepala saya, Kakek menanamkan pesan moral untuk tidak hidup berlebih-lebihan.

Ya, Kakek adalah seorang Veteran Pejuang Kemerdekaan. Jika dihitung-hitung, Saya justru belajar banyak tentang perjuangan merebut kemerdekaan dari Kakek daripada dari buku sejarah sekolah.  Setiap Agustus, mungkin Kakek adalah orang yang paling “heboh” bersiap-siap menyambut Hari Kemerdekaan. Ia tidak hanya memasang bendera merah putih di halaman rumah, tapi juga menghiasi pagar dengan umbul-umbul meriah layaknya pawai 17an. Tidak jarang ia juga mengecat rumahnya lebih dari merapihkannya menjelang Lebaran. Jika orang lain hanya menaikkan bendera selama satu-dua hari, kakek mendandani rumahnya sebulan penuh di Agustus. Hebatnya lagi, semua itu dilakukannya sendirian dan penuh suka cita. Terasa sekali betapa beliau sangat menghargai kemerdekaan dan meresapi bahwa kemerdekaan tidak dicapai dengan mudah. Kakek sempat diwawancarai oleh sebuah majalah tentang perjuangannya. Matanya berbinar-binar penuh semangat ketika menceritakan masa-masa membawa bambu runcing dan makan daging ular di hutan.

Dalam kesehariannya, Kakek sangat disiplin sebagaimana layaknya seorang tentara. Bangun tidur, kapan waktu mandi, kapan waktu belajar semua dibawah kendalinya. Ia juga pekerja keras. Sadar gajinya sebagai pensiunan ABRI tidak banyak, ia membuka usaha sampingan mulai dari  angkot, beternak ayam potong, membuka sawah hingga kontraktor bangunan pernah dilakukannya.

Kakek sangat peduli pendidikan. Ia sadar sekali hanya sekolah yang bisa merubah nasib manusia.  Kakek pernah mengambilkan rapor saya ketika SMA. Ia duduk di deretan guru-guru, bukan di barisan orang tua. Mungkin ia tidak mengerti dimana seharusnya Ia duduk, namun Kepala Sekolah saya pun respek dengan beliau hingga tidak “tega” menyuruh beliau untuk pindah kursi. Kakek pula yang mengantarkan saya pertama kali merantau ke Bogor. Menumpang bis 20 jam menuju Jakarta hingga mencarikan kamar kost yang pantas. Kakek sangat bangga, karena saya –cucu pertamanya- bisa sekolah jauh dari kampungnya, meskipun itu harus berpisah dari keluarga.

Seperti sebelumnya, mudik lebaran sudah menjadi agenda rutin keluarga Saya. Berkumpul dan bercengkerama bersama keluarga adalah kebahagian yang tidak ditemukan di kota besar. Bagi saya ini juga momen mengenang Kakek. Berdoa di pusaranya, yang terletak di Taman Makam Pahlawan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Ada rasa haru, karena Ia pergi sebelum saya sempat memberikan sesuatu yang berharga untuknya. Kakek berpulang saat Saya masih duduk di semester empat. Alhamdulillah, Ia wafat tanpa mengalami sakit yang berkepanjangan. Satu hari menjelang beliau wafat, saya merasakan pusing, gelisah, bingung tanpa alasannya yang jelas. Mungkin keterikatan emosi kami yang menyebabkan semua terasa berkaitan. Sampai ajalnya tiba, kakek adalah Ketua Legiun Veteran Kabupaten Lahat, sebuah kota kecil berjarak 250 km dari Palembang.

***

Dulu, rasa kecintaan Saya dengan bangsa ini mungkin belum sebesar sekarang. Saya mencintai Indonesia hanya “disuruh”oleh guru di sekolah. Semakin lama, rasanya Saya makin sadar bahwa Indonesia tidak akan seperti sekarang jika kita masih terkukung oleh penjajahan asing. Kakek dan masa kecil saya bersamanya, menjadi bagian cerita bahwa meraih kemerdekaan bukan perkara mudah. Saya bangga punya kakek pejuang seperti juga saya sangat menghargai pejuang-pejuang lain. Tersisa kita untuk mengisi kemerdekaan ini dengan perjuangan dari berbagai bentuk baru penjajahan. Merdeka!

 Teruntuk Kakek (Alm) Mayor (Purn) H. Ali Kasim.

Al Fatihah.

Sila simak juga tulisan teman-teman travelBloggers disini: #rindupulang #tentangpulang #mudik

Mudik, Rindu Rumah , Danan Wahyu

Kepulangan yang agung , Farchan Noor Rachman

Tradisi Mudik Keluarga Batak , Bobby

Merangkai serpihan kenangan di Peunayong ,Olive

Ibu Aku Pulang ,Yofangga

Mudik atau Tidak adalah Pilihan , Parahita Satiti

Yogyakarta, Pulangnya saya,  ,Rembulan

Sebuah Cerita tentang Pulang, Bolang

Selalu Ada Jalan Untuk Pulang, Nugi

Lebaran Terakhir Bersama Nenek,  Badai

Cirebon: perut yang dimanja , Indri

Pulang adalah Kamu , Eka

Hits: 3270

Akhir-akhir ini saya sering sekali ngedumel akan buruknya pelayanan PT KAI untuk KRL Jabodetabek. Ini terlepas dari bahwa saya tetap salut dan menghargai perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh PT KAI beberapa waktu belakangan. Kini, semua stasiun sudah lebih nyaman dibandingkan dua tiga tahun lalu, pedagang asongan pun tidak memenuhi gerbong kereta lagi. Terobosan terbesar tentu saja membuat tiket KRL elektronik yang bisa menghemat ongkos perjalanan turun hingga 50%. Bravo Pak Ignasius Jonan dan Pak Dahlan Iskan!! Namun satu hal yang masih mengganjal adalah masih seringnya Commuter Line (CL) “mogok” karena antrian panjang di Stasiun Gambir, Manggarai atau terjadi kerusakan sinyal tiba-tiba yang sering terjadi setelah hujan deras. Kalau antriannya hanya sekitar 10-15 menit sih masih bisa dimaklumi. Saya sering kali bernasib sial menunggu lebih dari satu jam bahkan pernah rekor hingga 2,5 jam!! Bukan  lebay, dua hari lalu saya terpaksa menunggu antrian menuju Manggarai hingga 1 jam 45 menit dari stasiun Cikini yang biasanya ditempuh hanya dalam waktu kurang dari tiga menit! Kereta sungguh penuh sesak, AC digantikan oleh kipas angin yang tidak mampu lagi memberi angin segar. Dalam kondisi lapar (belum berbuka) wajar kalau saya bilang ini fasilitas publik yang nyaris tidak berperikemanusiaan. Alasannya adalah saat ini memang lagi musim pulang kampung, sehingga ada antrian cukup lama dengan kereta api luar kota.

Sebagai masyarakat dengan tingkat permakluman paling tinggi (mungkin tertinggi di dunia) kita terbiasa dengan kata “sabar”, namanya juga orang kecil. Eh, apa iya harus begitu? Saya dan mungkin sebagian besar pelanggan CL memang orang kecil. Bukan mereka yang punya pilihan untuk tinggal di apartemen di pusat kota atau duduk tenang di mobil yang nyaman dengan supir. Tapi saya bayar pajak lho! Saya dan juga yang lain berhak menagih hasil pajak itu ke pemerintah. Salah satu wujudnya dalam fasilitas umum yang memadai. Contoh kecil lain adalah jalan rusak parah di dekat rumah saya yang sudah tidak dibereskan bertahun-tahun. Asal tahu saja untuk mengusulkan perbaikan jalan ini mekanismenya harus melalui Musyarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Ini levelnya dari tingkat kelurahan hingga nasional yang makan waktu hingga satu tahun (menyesuaikan dengan tahun anggaran). Jika tidak ada inisiatif lain dari pemerintahnya, menambal jalan berlubang saja butuh waktu minimal 1 tahun! Gila kan?

Teringat jelas, di setiap akhir Maret para karyawan dengan bangga memamerkan bukti potong pajaknya di sosial media. Betapa kesadaran akan kewajiban ini sudah jadi bagian tak terpisahkan. Itu belum pajak-pajak lain seperti pajak kendaraan, PBB, bahkan pajak makanan kita di restoran. Dari beberapa literatur disimpulkan bahwa penerimaan pajak rata-rata tumbuh 25% per tahun, itu pun sebenernya belum memenuhi target. Memang sih, harus diakui, kesadaran membayar pajak ini belum sepenuhnya masuk ke seluruh lapisan masyarakat. Namun peningkatan permintaan NPWP hingga 30% per tahun paling tidak memberi harapan besar bahwa kita bisa kaya dari pajak.

Balik lagi ke urusan CL yang macet tadi, kok yang saya rasakan kenaikan penerimaan pajak itu belum sebanding dengan fasilitas yang pemerintah sediakan buat masyarakatnya. Oke lah, anggap saja saya salah karena cuma ngasih contoh CL yang ngadat. Bisa didebat bahwa banyak fasilitas umum yang sekarang jadi keren bingits, seperti bandara (bandara lokal daerah keren-keren lho!), jalan tol yang tambah banyak dan akses informatika yang makin baik. Saya belum tahu (tepatnya belum mencari tahu), berapa sih sebenernya perbandingan ukuran penerimaan pajak mempengaruhi besarnya konstanta perbaikan fasilitas publik. Mungkin saja ada!

Tapi, Saya masih kecewa, disaat pemerintah menetapkan deadline waktu setoran pajak bahkan memberikan denda jika terlambat,  pemerintah sendiri hampir tidak punya sanksi apa-apa saat terlambat melayani masyarakatnya.

Duh, akhirnya kita merasakan sendiri betapa korupsi sudah membuat bangsa ini cuma jalan kaki sementara seharusnya bisa berlari kencang. Itu juga sudah syukur gak jalan di tempat!

Di tengah eforia Pilpres yang baru saja berakhir, dan saya harap benar-benar berakhir,  saya menemukan satu dua hal yang menarik. Saya ini orang awam, bukan penganut agama yang super taat dan sama sekali bukan orang partai manapun. Karena itulah, saya bisa dibilang agak tulalit alias gak bisa mikir yang rumit-rumit seperti skenario sinetron. Saya cuma memilih pemimpin yang bisa membenahi omelan saya tentang CL yang menyebalkan tadi. Saya gagal paham dengan berbagai skenario yang ditujukan untuk menyerang salah satu atau salah dua dari capres tersebut. Bagi saya, negara ini perlu orang-orang yang tulus untuk membenahi semua hak masyarakat karena pemerintah itu kerjanya melayani bukan memerintah. Pemerintah yang ber-regenerasi, bukan muka-muka lama yang cuma ganti casing. Segala hal yang berbau SARA jelas hanya berlaku untuk kepentingan golongan, tetapi penumpang CL bisa datang dari berbagai golongan, kan? Apa kita bisa memilih siapa yang akan kita selamatkan duluan jika terjadi kecelakaan CL? Teman segolonganmu di gerbong yang lain atau teman seorang Ibu di sebelahmu?

Jangan menodai semangat Bhinneka Tunggal Ika yang artinya keberagaman menjadi keseragaman. Apapun alasannya SARA dan segala macam polesan intrik di dalamnya hanya upaya pihak ketiga memecah belah bangsa ini. Jangan menggadaikan kecerdasan diri sendiri sampai melupakan logika karena termakan isu-isu yang bisa membuat perang saudara. Tidak kalah penting, jangan sampai pajak-pajak yang sudah kita bayar cuma jadi ongkos kita ribut soal SARA.

Kita banyak belajar dari keberhasilan dan kekurangberhasilan pemerintah sebelumnya. Kita perlu berlari, karena dengan cuma berjalan akan lebih lama sampai di tujuan. Lebih penting lagi, jangan sampai jalan di tempat atau bahkan mundur ke belakang. Salam Persatuan Indonesia!

Hits: 728

Selain Pulau Komodo, di Provinsi Kepulauan Riau tepatnya di Pulau Galang yang juga ada tempat yang diberi julukan World Culture Heritage oleh Unesco, Kampung Pengungsi Vietnam namanya. Kenapa disebut Kampung Vietnam? Di lokasi yang hanya seluas 1 kelurahan ini, pernah berdiam ribuan penduduk Vietnam yang mengungsi akibat perang saudara di negaranya. Lah, kok bisa sampe kesini? Konon para pendahulunya terdampar di pulau ini setelah berlayar menggunakan perahu besar berbulan-bulan lamanya.

Atas dasar kemanusiaan, pemerintah Indonesia bersama PBB kemudian berinisiatif menampung makin banyaknya pengungsi di satu lokasi. Kemudian dipilihlah Pulau Galang ini.  Selama kurun waktu kurang lebih 20 tahun sejak 1979 mereka beranak pinak disini dan “menyulap” pulau Galang yang kecil menjadi “Vietnam banget”. Konon jumlah mereka sempat sencapai 200 ribu orang. Tentu saja setelah perang selesai, para manusia perahu ini dikembalikan ke negara asalnya. Meskipun sebagian besar diantara mereka menolak untuk kembali. Sebagai simbol penolakan itu, mereka membakar dan menenggelamkan perahu yang dulu digunakan untuk mengungsi.

Jika mampir ke Batam, jangan lupa melintasi jembatan Barelang, jembatan yang menghubungkan tiga pulau, yaitu Batam, Rempang dan Galang. Nah… di pulau terakhir itulah, kampung Vietnam ini berada. Lokasinya hanya sekitar satu jam dari pusat kota Batam.  Memasuki gerbang tempat ini kita akan disambut oleh Pagoda Quan Am Tu, pagoda besar yang sepertinya masih cukup terawat. Karena letaknya sedikit di puncak bukit,kita bisa melihat pemandangan Pulau Galang di bawahnya.

pagoda quan am tu
pagoda

Lebih ke dalam lagi, kita akan takjub dengan “fasilitas” yang tak ubahnya sebuah negara kecil. Dari sekolah, rumah sakit, gereja, pemakaman umum bahkan penjara! Uniknya semua tempat diberi nama dalam bahasa Vietnam dengan plang juga dengan huruf Vietnam. Bahkan dulunya, PBB mendirikan sekolah bahasa Inggris dan Perancis bagi anak-anak pengungsi.

gereja tua
gereja tua

Beberapa spot sepertinya dibiarkan tidak dipelihara. Barak-barak pengungsian sekaligus rumah nampaknya sudah mulai keropos dimakan usia. Gereja berornamen khas kayu nampaknya juga sudah mulai usang. Namun itu sama sekali tidak mengurangi nilai sejarah tempat ini. Di satu sudut teronggok sisa-sisa perahu yang tidak sempat dimusnahkan yang seolah menjadi saksi kisah tragis korban perang. Jangan lupa masuk juga ke dalam museum-nya. Bangunan yang difungsikan sebagai museum sejatinya adalah kantor UNHCR. Banyak barang-barang unik yang menjadi peninggalan pengungsi di tempat ini. .Selebihnya aura yang yang “bukan Indonesia” akan sangat terasa disini.

perahu, si saksi bisu
perahu, si saksi bisu

Walaupun bermula dari sebuah penderitaaan akibat kekejaman perang, setidaknya penduduk Vietnam yang pernah bermukim disini pernah merasakan kedamaian alam Indonesia.

where do you want to go?
where do you want to go?

 

Hits: 1052

Dua hari ini berita-berita interprestasi hasil Quick Count jadi perbincangan yang tidak habis-habisnya.. Saya memang pendukung No 2, tapi untuk urusan survei-survei ini saya mencoba menyimak dengan sedikit pengetahuan yang saya punya secara obyektif. Kurang lebih ada 10 lembaga survei yang turut serta dalam quick count ini. Sebenarnya yang tercatat di KPU malah ada lebih dari 50 lembaga untuk keseluruhan survei menyangkut Pemilu. Hampir seluruh lembaga tersebut memaparkan metodologi yang mereka lakukan untuki quick count ini. Bahkan beberapa diantaranya merilis hasil per provinsi. Menurut saya beberapa lembaga seperti CSIS, RRI dan Litbang Kompas yang lembaga kredibel dan punya nama. Rasanya sulit bagi mereka untuk mempertaruhkan integritas mereka demi memihak salah satu capres. Bahkan SMRC salah satu lembaga yang juga nimbrung disini, memiliki sampling hingga 4000 TPS, terbesar di antara yang lain yang rata-rata melakukan survei 1000-2000 TPS. Dalam pandangan saya, quick count berbeda dengan survei biasa. Disini respondennya sudah sangat jelas baik dari sisi demografi maupun kepentingan. Beda dengan survei biasa yang dapat memilih responden secara acak. Penentuan TPS yang menjadi sampel, seharusnya sudah memperhitungkan kondisi geografis, sebaran jumlah TPS itu sendiri bahkan wilayah-wilayah dengan perhatian khusus. Misal kalau sampel lebih banyak dilakukan di Jawa Barat (atau tidak menyeimbangkan dengan provinsi lain), otomatis Prabowo akan menang. Karena Jawa Barat adalah sarang Capres No 1 tersebut. Hasil sebaliknya juga terjadi bila dilakukan dengan komposisi lebih banyak di Jawa Timur, pasti Jokowi menjadi mayoritas.

Hasilnya, secara umum pasangan Jokowi-JK, rata-rata unggul dengan selisih 5-6%. Tapiii… (ada tapinya) seperti kita tahu semua, TVOne yang anti mainstream merilis hasil survei yang sangat berbeda dengan TV-TV lainnya. Disini presiden pilihan mereka adalah Prabowo. Loh kenapa cuma TV One dan MNC Grup yang beda yaa? Tanyaa Kenapaa??! Ini bagi saya kekonyolan yang terlalu kentara. Sudah pada tahulah siapa pemilik TV-TV itu dan dimana posisi politik mereka. Belum lagi lembaga-lembaga survei yang mereka gunakan adalah yang masih dipertanyakan kredibilitasnya. Salah satu diantaranya, pernah terlibat urusan dengan pihak kepolisian karena memanipulasi hasil survei Pilkada Gubernur Sumsel beberapa waktu lalu. Bahkan di media sosial sempat beredar capture foto proposal “rencana kemenangan” bagi Prabowo-Hatta dengan nilai Rp8 Miliar yang diusulkan oleh salah satu lembaga riset mereka itu. Kalo yang ini wallahualam ya… namanya juga berita. Hehehe.. Konon proposal tersebut diajukan ke pihak Jokowi dan ditolak mentah-mentah.

BsKBRiLCMAAvwx6
kondisi quick count..

Lembaga riset yang benar pastilah menggunakan metode sampling yang dianggap paling mewakili. Untuk populasi yang sama (pemilih), distribusi pemilih, wilayah mereka, sampai ke demografis sampel harusnya sudah dirancang dari awal dengan tujuan mengurangi error dan membuat hasil yang dapat merepresentasikan populasi keseluruhan. Penyimpangan pasti ada, namun seharusnya, jika mereka menggunakan kaidah statistik yang sama, perbedaan yang terjadi tidaklah akan signifikan. Hal lain yang perlu ditekankan adalah obyektifitas. Sah sah  saja satu stasiun TV membayar satu lembaga tertentu untuk melakukan survei. Tetapi, selama hasilnya dipolitisir untuk kepentingan sendiri, itu tidak beda dengan menipu dan membohongi diri sendiri

Oleh karena itu, hanya satu yang susah dipegang disini:

etika manusia yang melakukan pekerjaan ini.

Kekonyolan selanjutnya adalah bantahan seorang politikus Partai Golkar pendukung Prabowo yang mengatakan alasan mereka mengeluarkan hasil survei yang berbeda tersebut adalah untuk MENGIMBANGI pemikiran masyarakat yang sudah menganggap Jokowi Presiden, padahal belum ada pengumuman resmi. Haaaa!!?? Maksud lo, buat mengimbangi, boleh keluarin yang validitasnya diragukan? Saya gagal paham disini. Maaf lahir batin..

Keganjilan paling parah adalah, deklarasi Prabowo yang menyatakan sudah menerima mandat dari rakyat RI. Bahkan Lagi-lagi katanya ini untuk mengimbangi kubu sebelah. Yah, kubu sebelah juga ada salahnya sih, mungkin sudah terlalu eforia jadi ada yang tidak terkontrol. Lucunya di satu wawancara, Prabowo bahkan bilang tengah menyiapkan susunan kabinet. Hadeeuuh, maju 5 langkah, sob!

Sejujurnya saya sedih dengan kondisi ini. Hasil quick count itu, bukan fokus saya lagi. Jika memang hasil quick count yang diusung TVOne itu masih diragukan validitasnya, sementara partainya sudah klaim menang, ini adalah bentuk pembodohan baru bagi masyarakat. Kita digiring untuk percaya dengan hal-hal yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Opini publik digiring untuk ragu-ragu terhadap hal-hal yang sebenarnya bukan hal sulit untuk dicerna dengan logika. Kecewa, jika memang survei-survei TVOne “sengaja” di-create untuk “mengimbangi” artinya sama saja masyarakat pendukungnya dipaksa membohongi diri sendiri alias lari dari kenyataan. Maaf banget, buat saya ini adalah satu cermin sikap otoriter. Ini belum berkuasa loh, apalagi kalau udah?! Dan ini memalukan. Begini cara membuat bangsa sendiri menjadi macan? Begini cara membuat asing takut dengan Indonesia?

Meski begitu, Saya bersyukur masih banyak orang yang bisa menilai semuanya dengan obyektif. Biarpun dampaknya TVOne menjadi sasaran bully nasional di sosial media. Tidak itu saja, satu hari setelah berita bodong itu terus menerus ditayangkan saham MNC Group dan Viva anjlok. Pada akhirnya kejujuran adalah kunci utama bisnis apapun itu. Kini berbagai lembaga survei terang-terangkan menantang quick count yang dilakukan oleh kubu Prabowo. Hingga saya menulis paragraf ini, belum ada satupun tanggapan dari pihak TVOne tentang survei mereka. Satu berita malah mengatakan, Puskaptis sebagai salah satu biro riset TVONe secara tersirat menyatakan tidak bersedia diaudit.  Tahu-tahu mereka muncul lagi dengan real count yang katanya dilakukan oleh relawan PKS. Tentu saja hasilnya memenangkan kubu Prabowo. Mungkin ini maksudnya buat menghibur diri sendiri. Hehehe… Namun, lagi-lagi berita yang beredar di media, real count tersebut adalah copy paste dari survei sebelum Pilpres yang juga dilakukan oleh relawan PKS. Kebangetan  ini sih kalo boong… Semoga cuma hoax yaa…biar dosa kita sama-sama gak nambah..

1405027432296
*Real Count* Capres No 1

Terakhir, berkaca dari hasil quick count untuk Pemilu maupun Pilkada sebelumnya, selisih nilai quick count antara real count tidak pernah terpaut lebih dari 1-2%. Jadi, sekali lagi jika quick count dilakukan oleh lembaga yang kredibel, dengan metode yang benar serta tidak disusupi kepentingan satu golongan, Insya Allah hasilnya tidak jauh berbeda. Dua kejadian sebelumnya; Foke mengucapkan selamat kepada lawannya: Jokowi di Pilgub Jakarta 2012 setelah pengumuman Quick Count di hari yang sama. Bahkan SBY sudah mengucapkan Selamat kepada PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2009 pun di hari yang sama, 9 April 2014. Sementara itu, Presiden RI 2014? Kita tunggu tanggal 22 Juli yaa… Biar gak berantem dan biar yang memang kalah sudah siap mental. Bukan siap menyusun “strategi baru”.

 Salam damai Indonesia!

 

Hits: 709

Dalam satu perjalanan pulang di KRL Jabodetabek. Saya duduk di sudut bangku panjang berwarna biru. Sesekali mengutak-ngatik ponsel saya, hanya untuk melihat-lihat postingan teman di media sosial. Suasana di KRL malam ini cukup santai. Stres sendiri kalau ingat tadi pagi nyaris jadi ikan pepes di KRL yang sama. Tiba-tiba mata sata tertumbuk ke seorang Bapak tua dengan dua anaknya. Satu laki-laki, yang digendongnya dengan kain lusuh, berusia sekitar 4 tahun. Satu lagi, perempuan yang masih menggunakan seragam SD berusia sekitar 7-8 tahun. Buat Saya yang tiap hari “bergaul” dengan masyarakat lapisan kelas bawah, pemandangan seperti itu sebenarnya biasa. Namun, kita sendiri yang bisa merasakan mereka yang benar-benar pada kondisi yang sebenarnya atau dibuat-buat untuk memancing rasa iba dan kemudian menjadi peminta-peminta.  Dan saya merasakan, keluarga kecil ini sedang tidak bersandiwara.

Si gerbong panjang baru saja meninggalkan Stasiun Depok. Masih tiga stasiun lagi menuju Bogor. Si Bapak sesekali membalurkan minyak kayu putih dari satu merek dengan kemasan yang paling kecil ke punggung anak perempuannya. Saya melihat punggung itu penuh dengan bekas kerokan yang nyaris berwarna kehitaman. Si anak laki-laki masih tertidur dalam gendongan Bapaknya. Sementara si anak perempuan duduk lemas dengan kepala bersandar pada paha si Bapak.

Saya mengintip isi dompet. Hemm, masih ada sisa Rp50 ribu. Kalau jumlah itu saya berikan kepada si Bapak, saya masih bisa mampir ATM di stasiun Bogor untuk ongkos naik angkot ke rumah. Hanya saja Saya segan untuk memberikan langsung ke dia saat penumpang masih ramai begini. Kayaknya malu aja… Yah, jumlahnya memang tidak seberapa, tapi ada dorongan dalam hati yang menguatkan untuk bersedekah. Saya berpikir cepat, kalau begitu nanti saja ketika turun di Bogor baru uangnya saya berikan. Saat itu, kereta baru lepas dari stasiun Citayam., Tiba-tiba saya berpikir bagaimana kalau si Bapak turun sebelum Bogor. Haduh…mau ngasih uang dikit aja kok bawaannya rempong yah, bo.. Kemudian saya berdiri tidak jauh dari pintu terdekat keluar. Saya pikir, saya bisa memberikan uang tersebut saat si Bapak turun tanpa jadi perhatian banyak orang. Tepat seperti perkiraaan Saya, menjelang stasiun Bojong Gede, si Bapak tua berdiri bersiap untuk turun. Saya cepat-cepat menyisipkan lima puluh ribuan tadi ke kain gendongannya yang lusuh. Dia hanya berucap pelan: Terima Kasih.

Tanpa Saya duga seorang laki laki setengah baya dan seorang Ibu muda mengikuti “ulah” saya. Si Ibu muda berucap. Pak, saya ingin memberi Bapak sedikit uang, namun saya perlu ke ATM, apa Bapak bisa ikut sampai stasiun Bogor?! Saya cepat-cepat kembali ke tempat duduk Saya. Saya tidak mengikuti kelanjutan pembicaraan mereka. Namun yang saya tahu, Si Bapak kemudian mengikuti Si Ibu muda hingga Bogor.

Saya bertemu mereka lagi di deretan ATM di stasiun Bogor. Nampaknya si Ibu ingin memberikan sedekah lebih banyak. Seorang laki laki yang saya tahu penumpang gerbong yang sama, memberikan satu kantong plastik yang nampaknya berisi beras. Saya rasanya lega sekali, meski tadi sedekah tidak seberapa yang penting bisa membuat mereka yang lain juga ikut berbuat baik. Alhamdulillah..

Hits: 1088

Dua tiga bulan lalu, ketika nama-nama capres belum resmi diumumkan, saya bertanya kepada Ibu asisten di rumah. “Bu, nanti pilpres pilih siapa?” Ia dengan santai menjawab: Tentu saja tidak pilih Jokowi, karena posturnya sama sekali tidak mendukung untuk jadi Presiden. Saya pun tertawa. Bisa jadi121, saat itu saya berpikiran yang sama dengan si Ibu, apalagi saya berharap ada jagoan lain selain Jokowi dan Prabowo yang akan bertarung di 9 Juli 2014 nanti. Sama seperti kebanyakan orang, Saya keukeuh bahwa Jokowi harus menyelesaikan tugas besarnya membenahi Jakarta.  Saya juga tidak terlalu suka dengan PDIP dan menganggap Jokowi hanya “suruhan” Megawati yang sudah dua kali bisa dibilang gagal total dalam Pilpres langsung.

Namun waktu berkata lain, kita semua dihadapkan pada hanya dua pilihan. Prabowo atau Jokowi. Bagi saya, ini adalah pilihan yang gampang. Ibarat ujian sekolah, tanpa belajar mati-matian pun, saya yakin lulus. Secara mantap saya akan pilih Jokowi. Alasannya; saya tidak pernah tahu Prabowo selain kemunculannya dengan iklan yang bertubi-tubi menjelang Pilpres.  Rasanya Saya pengen nanya: Bro, kemana aja lo? Tiap lima tahun sekali nongol, kemaren-kemaren lo ngapain? Ah…okelah, kalian mungkin bisa menganggap saya kurang gaul. Tapi memang begitu toh kondisinya?! Kedua, saya ingin sekali Indonesia ini dipimpin oleh orang-orang yang fresh. Bukan mereka yang masa lalu-nya masih abu-abu antara dosa dan pahala. Meski Prabowo belum terbukti secara hukum melanggar HAM, tapi adalah nyata dan jelas bahwa ia diberhentikan dengan homat (mungkin kalo bahasanya “dipecat” jadi kurang etis) dari TNI. Saya rasa kegagalan Mega-Pro di Pilpres 2009 salah satunya “disumbang” dari kesalahannya memilih Wapres. Hahahaha. Lalu, tanpa mengurangi respek terhadap keberhasilan pembangunan di jaman Orba, saya ngeri membayangkan jika Prabowo rujuk kembali dengan mantan istrinya yang putri Soeharto. Apa tidak mungkin kroni-kroni iparnya kembali menguasai ekonomi bangsa. Apa artinya nyawa-nyawa yang habis demi menurunkan Soeharto di 1998?.

Oke, masa lalu adalah masa lalu. Mari kita tutup, karena toh semua tidak ada sempurna. Mari melihat Jokowi dan Prabowo dari masa kini dan masa depan. Saya awalnya mulai mencari tahu, dimana sih hebatnya Prabowo dan dimana sih lemahnya Jokowi. Namun, belum apa-apa kita sudah disodori berita, janji Prabowo yang ingin memberikan jabatan menteri kepada ARB, Ketua Partai Golkar sekaligus pengusaha yang berkasus Lapindo yang belum benar-benar rampung.  Saya respek dengan keberhasilan pemerintahan SBY, tapi banyaknya menteri yang tidak kredibel salah satunya adalah karena sistem jatah kursi per partai yang dilakukan oleh SBY. Apa nanti kondisi yang sama akan terulang? Saya percaya keduanya, Prabowo dan Jokowi punya ketulusan yang sama untuk Indonesia tercinta ini. Tapi jangan menutup mata melihat siapa yang ada di belakang mereka. Lihat kredibilitasnya. Lihat track record-nya. Bikin komparasi untuk analisis sederhana.

Kita mungkin lama terlena dengan gaya pemimpin yang “gak enakan” jadi berkesan tidak tegas. Prabowo tahu betul itu, makanya ia muncul dengan sosok penuh ketegasan dan didukung latarnya yang datang dari kalangan militer. Tapi apa iya, tegas harus dari orang militer. Bentuk ketegasan apa sih, yang absolut diinginkan oleh orang Indonesia. Sejujurnya saya tidak menangkap makna “tegas” dari sosok Prabowo. Mungkin yang tahu ketegasan Prabowo hanya mereka yang hidup lama di jaman Orba. Sayangnya, bukan saya dan generasi Saya. Ketegasan yang sudah beda generasi.

Saya tidak bilang Jokowi sempurna. Sekali lagi, saya bukan fans Jokowi. Bukan! Catat itu! Namun saya melihat Jokowi sudah bekerja. Bekerja di generasi masa kini, meski cacat dan celanya masih banyak. Saya sudah lama mengabaikan berita tentang keIslaman Jokowi, Jokowi yang antek asing, Jokowi yang eks keluarga PKI, Jokowi yang keturunan Tionghoa. Di sisi lain, untuk bersikap netral, saya juga mengabaikan black campaign sejenis terhadap Prabowo. Sayangnya yang sejenis, seperti yang saya sebutkan tadi nyaris tidak ada yang ditujukan untuk Prabowo.  Kalau mau ngarang toh, bisa ditujukan ke kedua kubu capres. Kenapa hanya Jokowi?  Wahai para pencinta rasis, kreatiflah mengusung black campaign, karena tema rasis sudah sangat basi.

Lucunya lagi, makin kesini para pendukung Capres kubu sebelah itu lebih senang fokus pada “kekurangan” Jokowi BUKAN fokus pada kelebihan Capres mereka sebagai bahan obrolan di media sosial.  Obrolan yang kadang minim data dan lebih senang percaya dengan berita di media yang jelas-jelas tidak netral.

Kemudian, lupakan masa lalu, lupakan orang-orang di belakangnya, lupakan black campaign. Semua seneng nonton Debat Capres kan ? Saya berusaha terbuka akan semua ide serta visi misi mereka. Yang saya tangkap, Prabowo-Hatta adalah orator ulung, pengkomunikasi pesan yang baik. Tapi apa isi sesungguhnya dari semua yang mereka bawa? Adakah sesuatu yang benar-benar merupakan terobosan? Saya sedih, sebagian besar masyarakat kita nampaknya masih senang dengan orasi dan retorika yang disampaikan dengan berapi-api dan penuh semangat. Tapi lupa, bahwa program detail adalah tingkat lanjutan dari cuman orasi dan pidato yang sudah dipakai dari jaman majapahit. Jangan mengingkari kenyataan bahwa kepemimpinan SBY selama 10 tahun ini telah banyak memajukan bangsa. Indonesia tidak terpuruk sehingga perlu bangkit. Indonesia sudah hampir menuju gerbang kemajuan, hanya menunggu pemimpin yang tepat untuk mengantarkan itu. Sejujurnya saya kurang sreg dengan gaya kampanye yang menjelek-jelekknya kondisi sekarang. Misal kebocoran anggaran hingga ribuan triliun yang disebut berulang-ulang, lemahnya posisi tawar Indonesia di luar negeri yang dijadiikan senjata untuk menarik orang. Gaya seperti itu hanya membawa aura negatif dan memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat bagi pemerintah kini dan bisa juga yang mendatang. Kenapa tidak muncul dengan mau ngapain aja lima tahun mendatang? Dengan hal yang real tentu saja. Gaya debat seperti itu sangat keliatan di awal-awal. Namun sepertinya Prabowo Hatta mulai sedikit menyadari, sehingga pada debat selanjutnya mereka sudah datang dengan program yang lebih rinci. Bravo!

Gimana dengan Jokowi-JK? Jokowi dengan gaya santainya harus diakui bukan orator yang ulung. Namun dia nyaris menggunakan semua bahasa sederhana yang bahkan mudah dimengerti oleh penduduk di Kabupaten Fakfak! Dia sudah muncul dengan program yang lebih matang dan jelas. Jokowi JK masih salah ucap dan ngomong disana sini, masih kurang sempurna, tapi mereka apa adanya. Tidak ada teriakan ala orasi, tidak ada retorika dan tidak ada eforia.

Saya rasa kita tidak perlu dengan slogan yang terlalu pengen “go internasional”. Lama-lama saya bingung dengan slogan “go internasional” capres satu itu. Sebegitu burukkah Indonesia di mata dunia sehingga harus luar biasa bangkit? Wallahualam…

Walau demikian, banyak kesamaan “ujung” dari semua visi misi mereka. Saya menghargai itu.

Indonesia butuh figur yang meng-Indonesia. Kita tidak harus sama seperti negara asing jika ingin sejajar dengan mereka. Indonesia butuh figur yang Indonesia banget. Gak usah sok kebarat-baratan buat sama dengan dunia barat. Indonesia membutuhkan orang yang mengantarkan Indonesia ke gerbang kemakmuran. Mari membuka mata membuka hati, menyingkirkan ego, fokus pada kelebihan Capres. Ibarat beli HP, liat spesifikasinya. Lupakan casing, karena setiap saat casing bisa diganti. Jangan sampai salah pilih, kemudian ngedumel di ujung hari nanti. Saya mantap memilih no 2, dan saya berjanji tidak akan ngedumel di kemudian hari. Karena, saya yakin mereka sedang bekerja.

Terakhir, saya masyarakat biasa yang melihat semuanya dari kacamata biasa. Saya orang awam, gak ngerti politik yang canggih-canggih. saya hanya ingin yang memimpin kita datang dari kita. Pemimpin yang tidak berjarak.

 

Hits: 765

Buat kalian yang berkunjung ke Pulau Weh, ujung terbarat Indonesia, jangan lupa memburu selembar kertas seukuran folio ini. Kayaknya kurang afdol saja kalau sudah dari Sabang, tapi belum mengoleksi dokumen ini. Hehehe.. Saya, baru mendapatkan selembar kertas ini pada kunjungan ketiga saya di Sabang. Biarpun gak bisa dipake ngelamar kerja (apalagi ngelamar pacar), rasanya seneng aja, karena tidak banyak orang yang bisa menikmati langsung indahnya ujung Indonesia. Di sertifikat yang ditandatangani Walikota Sabang  ini tertulis nama dan nomor urut pengunjung kita. Tentu saja nomor ini dikeluarkan berdasarkan jumlah sertifikat yang sudah terdistribusi, bukan hitungan banyaknya orang yang kesana.  Untuk mendapatkan sertifikat ini, sekarang tepat di bawah Tugu KM 0 sudah ada petugas Dinas Pariwisata yang akan menghadiahi wisatawan cukup dengan biaya penggantian Rp20.000 per orang. Jika kalian berkunjung di hari kerja, silakan langsung ke Dinas Pariwisata Kota Sabang, jika petugas di lapangan juga tidak ada.

IMG_20140623_002123
Pada saat saya kesana, Tugu KM 0 sayangnya sedang dalam proses renovasi, sehingga petugas Dinas Pariwisata pun ikut absen. Namun..jangan khawatir, Pemda Kota Sabang telah bekerja sama dengan beberapa toko Souvenir yang juga menyediakan sertifikat ini. Salah satunya adalah Piyoh, toko kecil yang menjual pernak pernik lucu bertuliskan hal-hal lucu dan unik tentang Sabang. Saya yakin, semua pelaku wisata di Sabang pasti bisa mengantarkan kamu ke Piyoh. Sayangnya, jika memesan di Piyoh, tidak bisa langsung jadi, tapi pemilih toko akan dengan senang hati mengirimkan ke Jakarta, asal kita tidak lupa menitipkan uang pengiriman via pos.Kayaknya saya gak perlu cerita soal keindahan Sabang. Semua bisa googling sendiri. Saya cuma ingin berpesan, jangan mengaku jadi traveler dari Indonesia kalau seumur hidup belum pernah ke Sabang. Oya, tolong doanya juga biar saya bisa sampai di ujung paling timur Indonesia di Merauke. Yuk cusss….

20121215_125148

Hits: 1283

Apa sih musibah atau cobaan paling berat yang kalian pernah alami? Kalau saya saya udah jungkir balik kali..dari masalah keluarga, pekerjaan, pertemanan, keuangan sampai masalah percintaan. #eaaa.. Tapi beberapa hari lalu, saya baru menyadari bahwa selain deretan hal-hal tersebut, ternyata ada satu lagi cobaan yang masuk kategori berat. Yes! Ceritanya MacBook saya kerendem air di rumah sendiri gara-gara kecerobohan Si Ibu yang beberes rumah. Aduhhh…rasanya nyesek banget. Secara MacBook Air 11 inchi kesayangan itu saya beli 2 tahun lalu dengan susah payah, itu pun pake nyicil!. Lebay mungkin ya, tapi begitulah keadaannya. MacBook ini sudah menemani saya saat sibuk, saat banyak kerjaan bahkan saat sendirian gak punya siapa-siapa (curhat mode on).

bye my mac.. hikss
bye my mac.. hikss

Nah, gimana ceritanya sampe bisa kelelep air? Ini bener-bener kena apes atau gue mungkin yang lagi kurang sedekah. Ceritanya tanggal 31 Mei 2014 lalu saya melakukan perjalanan sehari ke Yogyakarta untuk kondangan kawinan seorang sahabat. Saya, yang biasanya saban Sabtu beberes rumah, mempercayakan beres-beres hari itu ke Ibu asisten. Sialnya, saat si Ibu datang, air PAM lagi mati. Namun ia tetep menunggu sampai air mengalir dengan bersih-bersih rumah tetapi membiarkan kran air dalam posisi terbuka. Karena tidak mengalir juga, si Ibu pun pulang ke rumahnya tanpa menutup kembali kran air goblok itu. Bisa diduga tidak lama berselang, air mengalir deras dan membanjiri seluruh rumah, masuk ke kamar, merembes ke rak tas yang kebetulan salah satunya adalah tas laptop. Duh, sial banget!

Jreng….hari berikutnya Mac tercinta dinyatakan tewas oleh service center-nya. Bisa dihidupkan kembali dengan biaya yang nyaris 80% dari harga baru. Nyesek banget sih!!! Banget kan? Mana lagi bokek, gaji sedang numpang lewat doang, mau lebaran dan lagi niat pengen ke Pulau Komodo. Oh, My God!! Masih ada untungnya sih… (orang Indonesia mah untung mulu…), data-datanya masih bisa diselamatkan, meski untuk itu pun harus mengeluarkan kocek yang gak sedikit!  Ada benernya  kalo masih belum kaya, miskin nanggung kayak saya..sebaiknya tidak menggunakan Mac. Memang kalau soal kualitas, Mac nyaris tetap oke dan tidak menurun performa-nya meski sudah digunakan bertahun-tahun. Tapi kalau begini… ? *pengen nangis aja rasanya..

Gusti, kasih sabar deh, semoga bisa kebeli type terbaru dan yang lebih keren lagi.. Aaamin

Hits: 568

Sebelum bekerja di tempat yang sekarang, saya belum tahu bahwa sebenarnya negara ini punya enam istana kepresidenan. Ya, ada enam yang artinya pengelolaan dan perawatan istana-istana tersebut dilakukan oleh negara. Pertama dan kedua tentu saja Istana Merdeka dan Istana Negara yang berada dalam satu kompleks di Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Kedua, Istana Bogor di Bogor, ketiga Istana Cipanas di Cianjur Jawa Barat. Satu lagi ada di Bali, Istana Tampak Siring dan terakhir Istana Kepresidenan Yogyakarta yang lebih sering disebut Gedung Agung. Posisi istana ini tepat di ujung tusuk sate Jalan Malioboro yang menjadi pusat keramaian kota Yogya. Hanya selemparan batu dari jalan maskot Kota Yogya.

Semangat Indonesia...
Semangat Indonesia…
megahnya ruang utama
megahnya ruang utama
pilar kokoh peninggalan kolonial
pilar kokoh peninggalan kolonial

Beruntung banget, tahun lalu saya sempat berlama-lama di Istana Yogya sebagai panitia semua acara nasional yang diadakan kantor saya. Pekerjaan kami memang heboh dan repot, tapi saya sempatkan menikmati gedung bersejarah ini.

Konon istana ini sudah berdiri sejak 1823 sebagai kediaman seorang pimpinan Belanda. Meski sempat beberapa kali direnovasi, Gedung Agung tidak melupakan asal muasalnya sebagai saksi sejarah. Darah Eropa abad 17-19 sudah berpadu dengan ornamen khas Jawa dan bau bau mistisnya terasa sangat kental. Memang Gedung Agung tidak memiliki pergola besar seperti Istana Negara di Jakarta, tapi justru kesan mungilnya membuat istana ini istimewa. Meski tidak seluas Istana di Jakarta dan Bogor tetap saja, namanya istana. Kesan mewah, elegan dan berwibawa sangat kuat terasa. Bangga bisa mondar mandir disini selama acara berlangsung.

Gedung indah ini punya tiga ruang besar utama. Pertama adalah ruang di Gedung Utama yang khusus digunakan oleh Presiden. Sekeliling ruang utama dihiasi foto enam Presiden Indonesia mulai dari Bung Karno hingga Pak SBY. Lucunya, di salah satu dinding kosong sejajar dengan foto Ibu Megawati justru ada foto Ibu Kartini (loh…?) Hehehe.. Saya mikirnya positif saja, mungkin space itu nanti akan digunakan untuk memajang foto Presiden kita yang ke-7. Siapa yaaa?!

minum teh ala tamu negara
minum teh ala tamu negara

Disini juga ada kamar tidur pribadi Presiden dan Wapres jika berada di Yogya lengkap dengan ruang kerjanya. Terharu dehhh.., saya bisa ikutan masuk ke ruang pribadi itu, tapi Bapak Kepala Istana (Kais) sangat mewanti-wanti agar foto-foto ruang pribadi tidak dipublikasikan. Siap pak!!

Ruang lain yang paling sering digunakan untuk acara-acara nasional adalah Ruang Seni Sono dan Ruang Kesenian. Saya kurang paham juga sebenernya bedanya apa, namun kedua ruang tersebut seperti ruang rapat besar dengan panggung yang kuno yang sangat eksotis. Dulu, di jaman Belanda dua ruangan tersebut memang sering digunakan untuk pagelaran kesenian masyarakat Yogya. Bahkan di Ruang Kesenian masih ada beberapa gamelan tua dan perlengkapannya. Ruang Kesenian ini tersambung dengan ruang makan utama. Wah, kalau lewat sini siang-siang sendirian, bulu kuduk bisa ikutan merinding. Apalagi gorden yang membatasinya tipis, tranpasran dan mudah tertiup angin. Hiii…

perlengkapan mandi ala hotel berbintang
perlengkapan mandi ala hotel berbintang

Untuk menampung tamu-tamu, Gedung Agung dilengkapi dengan sekitar 20-an kamar. Kamar-kamar ini juga sebagian besar peninggalan Belanda. Saya dan teman-teman sebenarnya mendapat kesempatan bermalam disini. Beberapa teman sih, dengan senang hati menerima tawaran ini,  karena sekalian uji nyali katanya.. Hehehe.. Saya, sumpah masih takut…dan lebih memilih tidur di hotel di daerah Malioboro. Takut ketemu Noni Belanda.. Saya cuma sempat (eh..berani) leyeh leyeh siang di salah satu kamar (tapi tetep gak sendirian sih…). Hehehe..

Perabot kamar seluruhnya terbuat dari kayu jati yang sudah berumur puluhan tahun dan sungguh menguatkan kesan “spooky”. Ukiran-ukiran antik menghiasi warna cokelat tua yg mendominasi. AC Kamar juga masih dari model keluaran lama. Namun jangan tanya soal perawatannya, nyaris tidak setitik debu pun saya temui disini. Sangat bersih dan terawat ala hotel bintang 5.

mejeng bentar di halaman samping..
mejeng bentar di halaman samping..

Halaman Gedung Agung sangat luas, terawat dan rapih. Di beberapa sudut masih terlihat arca peninggalan candi (saya gak tau candi apa). Ada juga satu bagian kolam renang, namun sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Sultan Yogya masih rutin menggunakan halaman gedung ini setiap tanggal 17 Agustus. Selebihnya, hanya acara-acara yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden-lah, Gedung ini digunakan.

Sayangnya, Gedung Agung setahu saya jarang dibuka buat umum. Tapi jangan kecewa dulu, kalau berkunjung ke Yogya, bisa kok foto-foto dari depan pagar-nya. Lumayan lah… Abis itu kita shopping deh di Malioboro., hehehe..

Hits: 1148

Saya baru-baru ini saja menyadari bahwa sebenarnya saya sudah menginjakkan kaki di sekitar 2/3 provinsi dari total 34 provinsi di tanah air tercinta ini. Walaupun sebagian besar diantaranya bukan liburan, tetapi atas nama pekerjaan alias dinas *hehehehehe. Saya sempat terkagum-kagum dengan seri pertulangan Naked Traveller-nya Trinity dan lebih bangga lagi dia sering sekali menuliskan bahwa di ujung semua petualangannya di seluruh belahan dunia, Indonesia adalah negeri yang paling indah. Sedikit demi sedikit saya mulai mengumpulkan ingatan dan foto-foto tempat yang pernah saya kunjungi. Eh, ternyata Indonesia indah pake banget loh! Dan saya pun mengulik-ngulik apa yang unik disana kemudian menuliskannya di blog saya.

Sebagian besar blogger yang punya “darah internasional” pasti lebih memilih menulis dengan bahasa Inggris yang bisa jadi biar lebih go internasional dan memancing wisatawan asing main ke Indonesia. Saya -yaah…selain karena kalo nulis in English emang kacrut- lebih memilih menulis dengan bahasa kita sendiri. Kenapaa?? Karena target wisatawan kita sebenarnya bukan warga negara asing. Tapi bangsa kita sendiri yang lebih senang memberi devisa ke Malaysia, Singapura, Hongkong atau negara tetangga lain. Coba sebar survei yang bolak balik ke Hongkong, pernah gak maen ke Danau Toba atau mampir lihat Jam Gadang di Bukittinggi? Bisa dipastikan wisata alam menurut mereka adalah jalan-jalan ke Puncak (Bogor) doang. Sedih donk.. saya, sedih banget… Memang terkadang biaya ke negeri tetangga lebih murah, apalagi gengsi dan keeksisannya di sosial media jadi naik lima tingkat. Boleh deh kita protes masih jeleknya pengelolaan pariwisata kita oleh pemerintah. Tapi kalau saya –yang sok idealis- ini merasa, saya juga punya kewajiban mengenalkan negara sendiri ke orang lokal sebelum ke bangsa internasional. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Saya senang sekali ada komunitas TravelbloggersIndonesia. Adanya media sepertinya akan membuat keindahan Indonesia lebih terangkum. Tujuan dan alasan saya menulis lebih banyak tentang Indonesia pun bisa dibaca banyak orang. Semua blogger selalu punya sisi dan cara berbeda untuk menceritakan perjalanan. mereka. Pastilah itu menjadi hal yang sangat menarik. Bergabung disini juga bisa membuat saya jadi lebih tahu, kira-kira liburan besok kemana yaa? Semoga juga nantinya bisa punya banyak teman baru disini. Bravo komunitas TravelbloggersIndonesia!

Hits: 616

Huaaa..kayaknya cerita Derawan gak abis-abis ya, bo.. Namun sepertinya saya perlu juga menganjurkan eh…tepatnya menuliskan beberapal DOs and DONTs kalau mau liburan ke Derawan.

DOs

  1. Kalau via Tarakan dan menggunakan travel sebaiknya cek dulu jadwal travel, karena biasanya travel gak punya jadwal tiap hari, umumnya di akhir pekan dan sering penuh kalau pesan mendadak. Pengalaman saya kemarin, “terpaksa” tambah nginep sehari di Tarakan untuk menyesuaikan jadwal keberangkatan travel;
  2. Jika dari Jakarta, cari pesawat paling pagi dari Soetta yang tiba di Tarakan sebelum pukul 12 siang dan kembali dari Tarakan menuju Jakarta dengan jadwal paling sore. Lumayan efisien, karena tidak perlu menginap di Tarakan;
  3. Siapkan fisik yang prima dua tiga hari sebelum berangkat;
  4. Pastikan travel bisa menjemput dan mengantar ke bandara (ada yang free da nada yang dikenai biaya tambahan)
  5. Sangat dianjurkan untuk mengorder penginapan di atas air, agar suasana samudera-nya bisa lebih terasa;
  6. Di perjalanan, jangan bandel, gunakan selalu pelampung. Selain untuk alasan keamanan juga sebagai jaket anti masuk angin;
  7. Pipis dulu sebelum berangkat, boat-nya gak punya toilet. Malu kan kalo harus pipis ke laut?
  8. Setiap beli makanan kemasan di Derawan seperti mi instan, jangan lupa cek masa kadaluarsa-nya!
  9. Kalau punya waktu banyak, mending sewa sepeda. Derawan punya beberapa Darmaga yang cihuy banget untuk hunting sunset atau cuma ngetes tongsis;
  10. Terakhir, wisata keren di Derawan sepertinya belum berdampak positif bagi ekonomi masyarakatnya. Kalau ada uang lebih, beli produk laut seperti ikan asin yang mereka olah sebagai oleh-oleh.

DONTs

  1. Di boat dalam perjalanan ke Derawan, tidak dianjurkan pindah-pindah tempat duduk karena bisa menganggu keseimbangan kapal. *penting bangettt!!
  2. Karena perjalanan akan lebih banyak di laut, bawalah bawaan yang simpel, misal cukup 1 ransel dan 1 tas tentengan. Hindarin bawa koper, Ini jalan-jalan bukan pindah rumah;
  3. Sebisa mungkin tidak membuang sampah ke laut apapun alasannya. Saya sempat melihat seseorang –mungkin dia petugas kebersihan di tengah laut – yang memunguti sampah plastik. Mulia banget yaa…;
  4. Tidak disarankan membeli produk kerajinan yang berasal dari hewan laut. Beberapa diantaranya sudah langka dan dilindungi. Lebih baik membeli hasil laut olahan untuk makanan;
  5. Terakhir… tidak lupa pulang… Hahaha..

 

 

Hits: 921