Pernah merasakan betis pegel seperti habis membajak dua hektar sawah? Atau meladeni ponsel yang berbunyi nyaris setiap satu menit? Belum lagi ada kondisi yang membuat saya harus menyalakan ponsel selama 24 jam dan pada pukul 2 pagi,  hanya untuk menjawab pertanyaan: “Besok, Bapak pakai baju apa?

20130123_173933
Jakarta, Januari 2013

Ini adalah bagian pengalaman paling unik dan berkesan selama hampir tiga tahun bekerja di lingkungan Istana negara. Bisa dibilang, saat itu pekerjaan saya “serabutan”. Divisi saya mengelola satu aplikasi online pemantauan realisasi dan evaluasi APBN dan APBD yang membuat kami semua intens berkomunikasi dengan para pelaksana negara ini. Kami bergerak di hampir semua level, dari melakukan pelatihan untuk para peng-entry data hingga melakukan pendekatan kepada pimpinan di level Gubernur, Bupati dan Walikota agar meningkatkan kepemimpinannya terhadap upaya ini. Oleh karena itu, mengumpulkan para pejabat tersebut sudah menjadi kegiatan reguler saat itu. Dengan alasan penghematan, kami tidak boleh menggunakan Event Organizer, meskipun hampir semua kegiatan merupakan kegiatan nasional yang bisa mengundang hingga seribu orang! Jangan tanya honor, uang lebih didapatkan jika acara diadakan di luar kota (Jakarta), itu pun hitungannya uang perjalanan dinas (artinya termasuk transport lokal) dan uang makan. Jika diadakan di Jakarta, tentu saja tidak ada tambahan income, karena sudah dianggap pekerjaan sehari-hari.

Bergaya ala Menteri, Yogyakarta, Agustus 2013
Bergaya ala Menteri, Yogyakarta, Agustus 2013

Bayangkan repotnya mengurus semua tetek bengek yang bener-bener dari A sampai Z. Dari urusan materi, mencari pembicara hingga konsumsi semua dikerjakan sendiri. Dengan jumlah panitia rata-rata di setiap kegiatan hanya 30 orang, kami harus jungkir balik plus akrobat melayani hingga seribu orang. Walau pernah terjadi gesekan diantara panitia, lama-lama kami jadi mahir sendiri menyikapi semua tantangan. Belum lagi  beberapa kegiatan sering dibuka oleh Wakil Presiden dan jajaran menteri. Itu saja protokolernya sudah bikin ribet- bet, dengan pasukan khusus semua pernak pernik acara tidak ada yang lepas dari sensor mereka.

Bali, Desember 2013
Bali, Desember 2013

Tantangan pertama setelah proposal dibuat adalah menyebarkan undangan. Ini repot loh! Tidak semua daerah punya infrastruktur canggih yang bisa cepat menerima email/fax (yg dikirim via email). Ajaibnya beberapa daerah masih lebih mempercayai undangan yang dikirim via pos/kurir daripada yang melalui kabel. Jadi jika kami mengundang 450 Bupati/Walikota, bisa hadir 75% saja itu sudah merupakan prestasi besar. Bersyukur kita punya jaringan di 34 provinsi, mereka-lah yang menjadi kepanjangan tangan pihak pusat. Indonesia ini memang luas banget, bro. Pernah juga (malah dua kali) acara mengalami perubahan lokasi, setelah semua undangan terkirim. Akibatnya hampir semua proses harus diulang. Repotnyaaa… Oya, undangan dari Istana harus dibubuhi semacam emboss sebagai penanda  keaslian undangan yang kemudin ditukar dengan tanda peserta,

Jakarta, September 2014
Jakarta, September 2014

Tantangan lain adalah “meladeni” pejabat yang (seolah) sudah menjadi raja kecil di wilayahnya. Tingkah ajudannya pun beragam dari sibuk mengatur kursi pimpinannya hingga menelepon malam-malam hanya untuk menanyakan dimanakah toko batik yang buka 24 jam, karena si bos lupa bawa baju batik sebagai dresscode acara esoknya. Kalau soal pembagian kursi, ajudan-ajudan ini suka kreatip banget. Meski panitia sudah menentukan tempat duduk setiap undangan, mereka bisa seenaknya memindahkan nomer kursi agar si bos bisa duduk di sebelah teman dekatnya sesama pimpinan daerah yang lain. Keliatannya, sepele, tapi ini merepotkan banget dan mengacaukan peta duduk yang sudah dibuat njelimet oleh panitia. Note, posisi duduk ini penting banget dalam acara-acara yang menghadirkan pejabat negara. Perlu dicatat, karena mereka adalah orang-orang VVIP panitia harus memperlakukan mereka dengan customize, saya pun akhirnya hapal dan punya komunikasi yang baik dengan orang-orang di belakang mereka.

Gempor di Belakang Panggung
Gempor di Belakang Panggung

Ada beberapa Kepala Daerah yang mempunyai permintaan khusus. Seorang Gubernur pernah minta harus ditemani asistennya ke dalam ruang acara, karena beliau sedang dalam kondisi sakit lengkap dengan kursi roda sendiri. Ada yang minta ruang khusus untuk transit. Terkadang panitia memang tidak menyediakan ruang seperti ini, tapi para ajudan selalu repot menanyakan. Seringnya sih, ajudannya saja sih yang repot, ketika para pimpinan hadir mereka lebih sering berbaur dengan undangan lain, bukan ngumpet secara ekslusif di ruang khusus.

Paling repot adalah urusan penandatangan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas), beberapa daerah sering menyebutnya dengan “visum”. Surat ini ibaratnya nyawa untuk melakukan perjalanan dinas. Tanpa pengesahan dari panitia pengundang, bisa-bisa mereka membayar sendiri semua biaya perjalanan dinas. Coba dihitung, jika kami mengundang 3 orang dari 450 kabupaten/kota, katakanlah yang hadir ada 1000 orang. Maka panitia harus melakukan pengesahan terhadap 1000 SPPD yang setiap dokumen bisa dibuat 3-5 rangkap!. Itu dilakukan manual!! Penandatangan SPPD pun tidak bisa oleh sembarang orang, haruslah mereka yang punya posisi struktural. Untuk hal ini saja harus ada 15 orang yang standby. Yang paling menyebalkan disini adalah, banyak banget undangan yang minta SPPD diberikan duluan sebelum acara selesai. Yang seakan menunjukkan mereka “cuma hadir” demi SPPD yang ada uangnya dibanding duduk mendengar pembekalan materi. Berbagai alasan mereka kemukakan untuk bisa pulang duluan. Tidak jarang panitia berantem dengan mereka-mereka itu. Hemm, saya gak bilang semua Pemda begitu ya, banyak juga kok yang antusias, tidak macem-macem dan bersemangat Semangat yang membuat saya yakin, Indonesia akan lebih baik di masa mendatang.

UNDP-1409-52

Seru, repot, capek tapi rangkaian kegiatan tersebut “ngangeni”. Mungkin besok-besok saya sudah tidak bersentuhan lagi dengan urusan pemerintahan, tapi semua itu tetap menjadi pengalaman penting bagi saya 🙂

Hits: 886

Sejatinya menjadi berbeda bisa jadi hal paling sulit di negeri ini. Terus terang, menulis hal yang “mungkin berbeda” ini pun membuat saya ngeri. Ngeri dikira tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, ngeri dikira antek asing, ngeri dikira -gara-gara dulu saya memilih Jokowi-saya menutup mata atas celah kerja kabinetnya. Atau bisa jadi saya dikira pro partai moncong banteng itu. Hahaha… Padahal itu semuanya salah total. (Disclaimer)

Saya hanya mau sedikit menanggapi “keributan” antara KPK dan Polri. Bermula dari ditetapkannya Budi Gunawan (BG) calon tunggal Kapolri sebagai tersangka hanya satu hari sebelum ia menjalani fit and proper test dari DPR. Kemudian beredar ramai blog tentang cerita Abraham Samad yang menjalani “interview” menjadi Wapres Jokowi. Dan pagi ini kita dikejutkan dengan berita penangkapan Bambang Widjojanto (BW) yang Wakil Ketua KPK oleh Bareskrim Polri.

Lalu kemana saya akan mendaratkan dukungan? Tentu saja saya harus mendukung upaya pemberantasan korupsi tanpa kompromi. Namun yang perlu dicatat pernyataan itu bukan berarti saya mengatakan KPK (baca: personilnya) tidak salah (alias SELALU benar) atau saya membenarkan cara Polri. Tidak sama sekali. Saya mencoba berpikir obyektif seperti hal lainnya, bahwa mencap KPK selalu benar dan Polri selalu salah adalah double standard yang justru bisa memecah belah bangsa sendiri.

Saya ini buta hukum, benar-benar tidak tahu apa-apa. Kalimat berikut ini hanya satu contoh saja, Saya kecewa dengan cara KPK menetapkan BG sebagai tersangka hanya satu hari sebelum BG menjalani fit and proper test. Boleh begitu? Boleh banget katanya, tapi kenapa tidak dari dulu, apa mencari moment yang tepat? Perlu saya tegaskan sekali lagi saya tidak mendukung BG. Kalau dia salah, yang tangkep saja, tapi kenapa telat? Kenapa harus heboh dulu dia mau jadi Kapolri baru ditangkap? Ah, anggaplah KPK sedang mencari moment agar lebih terlihat heroik. Kemudian jika muncul berita salah satu personil PDIP membenarkan blog tentang Abraham Samad, apa tidak tambah keruh tuh suasana. Lalu, pagi ini tiba-tiba Polri “seenaknya” menangkap BW di sekolah anaknya. Ini juga aneh kasus 2010 kok baru diurus sekarang, biarpun katanya baru dilaporkan. Penangkapannya soal biasa, tapi cara dan waktunya yang sungguh tidak tepat.  Semua hal yang tidak terjawab dari semua kasus itu kemudian memunculkan spekulasi yang bisa benar bisa salah namun sulit dibuktikan. Selalu ada “hidden story”. Mulailah muncul pendapat masyakarat bahwa ada unsur pribadi dan institusi yang bermain disini. Saya sih percaya tidak percaya. Karena biar bagaimana pun kepada semua orang kita wajib menekankan azas praduga tidak bersalah.Saya percaya mereka semua orang baik, cuma etika keduanya nampaknya masih perlu diperbaiki.

Saya menaruh hormat pada KPK. Saya bangga punya lembaga ini di negara yang tengah bangkit dan optimis untuk maju. Saya salut dengan prestasi KPK yang lima tahun terakhir khususnya kinclong banget. Saya juga hormat dengan Polri. Saya yakin lembaga ini pelan-pelan mulai melakukan reinkarnasi dari rendahnya ketidakpercayaan atasnya yang sudah mengakar di masyarakat. Ibaratnya begini, Polri itu pacar lama, kita sudah terlanjur dikhianati. Mau salah atau benar, dia tetap salah. Nah, KPK itu pacar baru yang sangat setia dan heroik yang membuat kita bisa move on dari Polri. Pada saat terjadi “apa-apa dengan KPK” dijamin kita belum tentu siap. Tidak siap untuk kembali dikhianati. Padahal KPK pun bukan malaikat, salah-salah sedikit wajar, selama kita tetap saling percaya berjalan bersama. Dan di keduanya, jika ada kesalahan pastikan yang salah itu personilnya. Bukan Lembaganya! Menurut saya ini kasus personal bukan kasus lembaga. Kita hormati saja proses hukum di keduanya, tanpa ikut-ikutan rame menyalahkan satu pihak. Kita sudah kebanyakan nonton sinetron, yang kecil didramatisasi yang gak nyambung disambung-sambungin.

Namun demikian, ayoklah keduanya bikin introspeksi, tidak saling menyalahkan dan menyudutkan. Kita semua sama-sama tahu kedua lembaga ini seharusnya bersinergi untuk memberantas korupsi. Jika keduanya bisa salah dan bisa benar berarti sangat bisa juga disusupi pihak lain untuk mengadu domba. Nah, kita-kita sebagai masyarakat hendaknya pun tidak ikut memanas-manasi dengan hanya menjudge satu pihak. Aduh, gampang banget sih kita dipecah belah?! Kita juga tahu, di jaman dimana sosial media mampu menjadi “hukum”, opini publik gampang banget digiring ke satu arah. Sudah sangat sulit mencari media yang both side, tinggal kita sendiri yang pintar-pintar mencerna kata media, memilah mana yang benar mana yang tidak.

Terakhir, mari bersikap obyektif. Kita hormati saja semua proses hukum yang sedang terjadi.Hati-hati dengan keberpihakan karena jika kita salah berpihak sama dengan menjadi bagian mereka. Kata seorang teman, rakyat Indonesia kini ibarat sedang menyusun puzzle sistem hukum kita. Kita mulai mendapatkan potongan-potongan puzzle itu. Mana yang tepat mana yang tidak hingga nanti menjadi puzzle yang utuh.

Pemimpin tangan besi mematikan nyali, pemimpin yang di-nabi-kan mematikan nalar (Sujiwo Tedjo)

Hits: 850

Ketika menulis tulisan ini saya sedang duduk di sebuah coffee shop sebuah stasiun, ditemani secangkir latte hangat dan setangkup roti. Harusnya hari ini saya puasa sunnah Kamis namun sakit kepala tadi malam yang masih berlanjut di pagi hari membuat saya mengurungkan niat itu. *Ah, ngeles kamu..*

Di luar gerimis, baru saja saya menerobosnya tanpa payung. Dalam gerimis itu, saya melihat seorang bapak, memanggul puluhan sapu lidi dan menawarkannya di sepanjang jalan yang ia lalui. Bajunya yang basah koyak di bagian ketiak, tapi senyum masih tersungging di bibirnya.

Saya berkaca ke diri sendiri yang “katanya” dua bulan ini dalam posisi pengangguran. Tadi malam saya masih makan enak sepuasnya di perayaan ulang tahun sahabat saya. Minggu ini sudah berapa undangan sejenis yang saya hadiri. Duduk, makan, ngobrol, ngopi. Minggu depan rencananya saya akan berlibur ke Pulau Ora di Maluku atas sponsor seorang teman. Saya menikmati hidup ala orang urban. Sesuatu yang mungkin biasa di keseharian manusia kota besar, tapi sangat mewah bagi masih banyak golongan lain.

Saat bersamaan, saya sedang bingung memilih beberapa pilihan pekerjaan. Ya, soal kerjaan saya memang masuk golongan galau-ers. Ada pilihan yang oke, tapi masih menunggu proses birokrasi yang njelimet, ada yang juga bagus tapi lagi-lagi masih menunggu penawaran gaji, satu lagi masih proses seleksi biasa yang bisa jadi diterima bisa jadi tidak. Namun ada satu lagi yang sudah tinggal masuk tiba-tiba saya berubah pikiran membatalkan karena beberapa pertimbangan. Dan ini adalah yang kedua, karena dua-tiga bulan lalu saya pun sempat membatalkan satu pekerjaan yang kontraknya sudah ditandatangani cuma karena saya ingin lebih lama liburan di Amerika.

Hati saya terketuk, memandang cangkir kopi saya, merasakan nikmatnya yang seakan menjadi simbol kemapanan. Hanya sehasta dari tatapan mata saya, saya merasakan hidup yang begitu berat.

Mungkin hidup si Bapak pedagang sapu lidi lebih real daripada hidup saya. Dia menjalani kehidupan yang lebih nyata, sementara saya bisa jadi cuma hidup dalam kamuflase yang mungkin semu. Atau mungkin hidup itu seperti kopi. Pahit, getir terasa di awal, manis dan nikmatnya terasa di akhir.

Pagi ini, seperti beberapa pagi-pagi yang lalu, Tuhan mengirimkan orang lain untuk membuka mata akan indahnya bersyukur. Kata para bijak, manusia paling beruntung adalah mereka yang bisa membaca hikmah dari setiap kejadian. Pagi ini, seperti yang lalu-lalu, terima kasih Ya Allah yang tanpa bosan selalu mengirimkan pertanda untuk bersyukur. Hidup saya memang tidak sempurna, Semoga Allah selalu memberikan kelapangan rejeki untuk berbagi. Karena berbagi sama dengan cara saya menghilangkan beban atas dosa “kemewahan” hidup saya. Aamin..

Dalam hujan saya mendoakan agar si Bapak dagangannya laris. Saya percaya hujan adalah perlambang karunia. Hujan adalah waktu terbaik untuk memanjatkan doa.

Stasiun Juanda, 22 Januari 2015

Hits: 996

Gara-gara baca sebuah meme di sosial media, saya tetiba pengen nulis tentang topik ini. Saya sih tidak pernah mengakui diri saya sebagai traveler, kalau pun sering jalan-jalan mungkin itu rejeki saja. Merencanakan dan punya budget jalan-jalan secara khusus pun sebenarnya tidak pernah. Nah kalau dibilang jalan-jalan adalah obat galau, tentu itu bener banget. Saya juga awalnya begitu, jalan-jalan terutama yang bertema “back to nature”. Jika akhirnya jalan-jalan menjadi sebuah kebutuhan itu adalah hikmah yang membuat saya merasa lebih “kaya”.

Kenapa sih orang harus jalan-jalan? Ketika kita dalam keadaan galau, entah karena patah hati atau karena masalah lain, maunya selimutan terus di kamar. Males ketemu orang, males ngapa-ngapain dan selalu butuh banyak waktu buat sendiri. Sanggup berapa lama bertahan di kamar yang kian lama kian lembab?! Saya sih gak aWith Dirga, Liya and indrisjafrikan tahan lebih dari dua hari. Berlama-lama meratapi nasib, membuat hidup rasanya semakin terkukung, otak mampet dan pikiran makin pusing. Ada kalanya masa berkabung memang dibutuhkan, tapi berkabung terlalu lama juga tentu tidak baik untuk kesehatan jiwa dan raga pastinya.

Keluar rumah, menghirup udara baru bagi saya adalah sumber inspirasi. Kalau lagi bokek, jalan-jalan sendiri di kampung sebelah sudah membuat stok nyawa seperti bertambah satu. Kebetulan rumah saya di Bogor tidak jauh dari bendungan Katulampa, kalau lagi iseng dan mati gaya, saya sering main kesana. Melihat dan mendengar derasnya suara air rasanya sudah menentramkan jiwa. Menonton aktivitas berbagai manusia di sepanjang jalan membuat level bersyukur -yang tadinya sempat drop karena galau- naik lagi. Jalan-jalan juga tidak harus berdua, bagi yang galau akut saya malah menyarankan untuk jalan-jalan sendiri. Yah, gak usah jauh-jauh deh, kalau rumah kamu di Jakarta, boleh juga dicoba jalan sendiri ke Pelabuhan Ratu. Bukan cuma Me Time untuk merenungi nasib pasca ditinggal kekasih (ciyee…), memperhatikan aktivitas banyak orang selama di perjalanan pasti memberu warna tersendiri. Sukur-sukur kalau punya sahabat baik yang mau menemani selama perjalanan.

Ada yang bilang obat galau paling ampuh itu shopping. Itu juga bener, tapi kalau saya sih sekarang lebih memilih jalan-jalan. Kalau punya uang lebih sukur-sukur bisa melakukan perjalanan yang agak jauh. Saya paling suka ke pantai, memandang luasnya laut yang seakan tidak bertepi membuat semua perasaan campur aduk. Mengingat umur yang semakin lama semakin gak muda lagi (baca:tua), saat ini saya seakan dikejar target untuk menyambangi daerah-daerah cantik di Indonesia. Kalau dulu jalan-jalan jadi obat galau, sekarang terbalik; saya jadi galau kalau tidak jalan-jalan. Hehehe..

Hits: 1006

Sebagai pengguna KRL yang sudah bongkotan, sebenarnya saya ini fans Pak Ignasius Jonan. Buat saya beliau hebat, mampu merubah stasiun-stasiun kumuh menjadi stasiun ala-ala Eropa dan Amerika. Belum lagi penghapusan KRL Ekonomi-yang awalnya menuai protes-ternyata justru membuat KRL menjadi angkutan massal yang ramah tanpa sekat kelas sosial. PT KAI yang sempat merugi bertahun-tahun disulap menjadi profit ditangan Bapak satu ini. Walau belum 100% sempurna, jabatan Menteri Perhubungan sangat pantas didapukkan ke beliau.

Namun, buntut dari musibah Air Asia yang baru saja terjadi membuat saya agak bingung membaca pola pikir beliau. Saya memposisikan diri saya sebagai masyarakat awam yang gak ngerti apa-apa, tapi tetap saja saya tidak mengerti kenapa tiket murah pesawat harus dihapuskan. Saya membaca banyak media, takutnya kalau hanya baca satu, pasti dipelintir. Saya coba menilisik mana yang benar, mana yang cuma asumsi wartawan yang kadang kelewat pinter. Jawaban yang “memuaskan” saya adalah wawancara langsung dengan Pak Jonan yang saya tonton di salah satu stasiun TV. Kata beliau: “Dalam peraturan negara ini tidak dikenal istilah LCC atau non LCC, yang kami tahu hanya soal keamanan”. Dan, kami tidak mengatakan menghapus tiket murah, TETAPI memberikan batas bawah harga tiket yang tidak boleh lebih dari 40% batas atas harga tiket. Hal ini ini untuk memberi ruang kepada setiap maskapai untuk lebih meningkatkan keamanannya. Yah, kira-kira begitulah kata Pak Menteri.

Saya selalu percaya dengan siapa pun yang kini duduk di pemerintahan. Saya yakin Pak Jokowi sudah menyaring menteri-nya dari orang-orang cerdas terbaik. Apalagi Pak Jonan, lulusan luar negeri bahkan pernah berkarier di Citibank, bank kaliber dunia. Namun keputusan ini menurut saya adalah keputusan emosional. Kenapa harus berujung kepada penghapusan tiket murah (baca: pemberian batas atas dan bawah)? Ok. Mungkin saya kurang paham dasar Kemenhub mengambil keputusan ini. Mungkin sudah ada pembuktian dengan hipotesis semakin murah harga tiket maka semakin tidak aman suatu penerbangan. Bukankah keamanan adalah paket mutlak bin wajib yang harus dilakukan oleh maskapai berapapun tiket yang dia jual? Bisnis maskapai menurut saya -yang gak terlalu ngerti bisnis- adalah seperti bisnis lain pada umumnya, ada demand dan supply. Pada saat persaingan tinggi, wajar dong kalau ia menurunkan harga? Kemudian jika tiket sudah naik apakah benar dibarengi dengan pengawasan yang seksama terhadap masalah keamanan pesawat? Jangan sampe tiket naik, tapi sebenernya urusan peningkatan keamanan tidak naik signifikan atau linear sejalan dengan harga tiket. Kalau begini yang untung produsen dong! Lagipula pada dasarnya berapa pun harga tiket yang dijual urusan pengawasan mutlak jadi tanggung jawab Kemenhub.

Nah, sebenernya yang menjadi konsen saya yang -cinta banget Indonesia ini- adalah dampak kebijakan ini ke sektor pariwisata lokal yang kian menggeliat akhir-akhir ini. Bayangin aja, sekarang penerbangan lokal tidak hanya numpuk di Ibukota provinsi tetapi juga sudah menjalar ke kota-kota kecil yang pariwisatanya mulai moncer. Banyuwangi, Labuan Bajo, Tarakan, Pangkalan Bun, Belitung adalah contoh-contoh daerah wisata yang kini punya penerbangan sendiri. Kabar buruknya banyak daerah di Indonesia yang belum bisa saya sambangi karena masalah dana yang komponen terbesarnya adalah harga tiket pesawat.

Pak Jonan sekali lagi saya percaya Bapak adalah menteri yang bijaksana. Tapi disisi lain, mungkin Bapak lupa ngobrol dengan Bapak Menteri Pariwisata soal ini. Mungkin sepertinya sepele tapi kebijakan ini kurang sejalan dengan promosi gencar wisata lokal. Boleh dibilang, saya tidak terlalu peduli dengan tiket ke negara tetangga, karena bagi saya target besar pariwisata kita adalah bangsa kita sendiri. Bisa jadi termasuk juga mereka yang demen bolak balik ke Singapura atau Malaysia yang menghabiskan uang belanja untuk memberi devisa ke negara-negara tersebut. Kalau harga tiket ke dalam negeri sendiri lebih mahal, lagi-lagi wisata ke luar negeri akan tetap menjadi pilihan utama.

Saya berharap kebijakan ini bisa dikaji ulang. Biarkan bisnis penerbangan berjalan sebagaimana bisnis lainnya. Tentu saja tanpa mengesampingkan faktor keamanan. Meski selisih harga tiket termurah dan termahal hanya 40%, seharusnya tetap ada ruang untuk maskapai memberi diskon di luar harga tersebut terutama untuk pemesanan yang dilakukan jauh-jauh hari. Pun pasti ada alternatif lain yang tidak meredupkan wisata lokal.

Semoga pendapat saya ini hanya asumsi saya karena bisa jadi ada informasi yang tidak dapat diberitakan oleh media. Namun intinya, jangan batasi harga tiket, pak! Saya belum ke Raja Ampat, baru merencanakan ke Komodo, pun belum pernah ke Ambon. Dan bagi saya belum mengunjungi daerah-daerah itu adalah “hutang” yang harus saya lunasi untuk negara ini.

Hits: 2111