Surabaya is a beautiful and bustling port city on the island of Java. Because of this, it attracts people from all over the world who want to live and work here. If you are looking to sell your home in Surabaya, chances are you may encounter a non-Indonesian to buy it. If that is the case, there are some special considerations that need to be known to you as the seller and to the potential buyer of you home. Here is what you need to know about foreign ownership and how it could impact the sale of your home in Surabaya.

The Fundamentals

If a foreigner wants buy land in Indonesia they must first navigate some intricate land laws. Indonesian land law is, in fact, distinctly unlike laws in most other developed countries. Any foreigner interested in buying land in Indonesia must first understand the law and understand that the laws from whatever country they may be coming from do not apply. For starters, there are several different types of titles recognized in Indonesia. Those are outlined here for your understanding as a seller as well as the understanding of any foreigner that may be interesting in buying your home.

Freehold Title or Hak Milik

This is a type of title can only be held by an Indonesian citizen. A foreigner will not be able to have ownership of a direct freehold or land in Indonesia.

Building Rights Title or Hak Guna Bangunan

These types of titles gives the holder the right to build and own buildings on land that somebody else owns. This title can only be granted for 30 years but can be extended for another 20 years. These titles are granted to citizens or authorized entities and can be used as collateral or reassigned to a third party.

Right to Use Title or Hak Pakai

This is basically a freehold title for foreigners. This enables a foreigner to buy use of a Hak Milik land, but it is registered in a separate certificate in the name of the foreigner. This type of title is not the same as a leasehold title, or Hak Sewa. These titles are denote a registered interest in the land. A foreigner may only hold one of these titles in Indonesia at a time.

These titles are granted for a term of 25 years initially but can be extended for up to a total of 100 years. These are also transferrable titles.

Leasehold or Hak Sewa

Leasehold titles are granted to both tenants of residential properties as well as commercial ones. The lease is in the name of the foreigner and are generally for periods of time between 30 and 50 years, agreed to in advance of the lease signing.

How Can a Foreigner Legally Buy Property?

Now that all the different titles are out of the way you can begin to understand how a foreigner can legally purchase a home in Surabaya, because it is possible for foreigners to do this and enjoy the full rights of owning property. There are two basic ways for this to happen:

  • Nominee Arrangement where the an Indonesian citizen is nominated to buy land on the foreigners behalf
  • Form a foreign investment company to purchase the title

Nominee Arrangement

This is probably one of the most common ways in which a foreigner will buy a home or land in Indonesia. The ownership of the land is transferred from the previous owner to the nominee. For the security of the buyer there must be several agreements made with the nominee.

The first is a loan agreement where that indicates that the buyer lent the money to the nominee to buy the property. The second is the Irrevocable power of attorney which gives the buyer full authority to sell, lease or mortgage the land. The final agreement is called permanent right of use agreement that states that the buyer has full rights to own and live on the land.

What this Means for the Seller

When you are in the market to sell your home it is best to have professional help in order to navigate the details of someone purchasing your property. This protects your rights as the seller as well as the rights of the person purchasing the home.

What you should try to concentrate on as the seller is to familiarize yourself with the process in order to make sure you are aware of what is going on at any given point in the sale. Knowledge is definitely power and this is one transaction where you want as much power as you able to get.

It’s possible that you may never encounter a foreigner wishing to buy your property, but it’s better to be prepared and know the land laws in your country before you start!

Hits: 1231

Ada yang berbeda dari teror bom di Jakarta, 14 Januari 2016 lalu dengan aksi-aksi serupa sebelumnya. Saya awalnya cemas, bukan hanya cemas tentang keselamatan diri sendiri dan keluarga, namun juga cemas akan pengaruhnya kepada ekonomi kita yang baru merangkak naik lagi. *Duh, bahasa gw berat banget ya…udah kayak pejabat keuangan negara. Hehehe.. Tapi serius, teror-teror bom sebelumnya benar-benar berdampak bagi berbagai aspek di negara ini. Dari nilai rupiah yang jeblok, kunjungan wisatawan yang turun dan yang rusaknya kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia. Belum lagi “tatapan” orang asing terhadap bangsa kita yang “seolah-olah” semuanya adalah antek-antek teroris. Tidak heran, beberapa negara besar “mempersulit” memberikan Visa kunjungan kepada WNI apalagi bagi mereka yang memiliki nama berbau-bau Arab dan Islam.

Namun semangat yang lain saya rasakan setelah tragedi 14 Januari 2016 lalu. Rasa cemas yang dulu-dulu selalu hadir di peristiwa serupa, justru melahirkan rasa optimis, bahwa kita mampu mengenyahkan teroris dari muka bumi Indonesia. Kehadiran Presiden Jokowi hanya beberapa saat setelah kejadian, ketika lokasi belum sepenuhnya steril, tanpa baju pelindung,  berjalan gontai namun tetap tegas seolah menjadi simbol bagi dunia luar. Jokowi ingin menunjukkan jika Ia saja berani, lalu tidak ada alasan bagi rakyatnya untuk tidak berani. Seingat saya, di peristiwa-peristiwa sebelumnya Presiden-presiden terdahulu tidak hadir langsung setelah kejadian.  Kemudian, di sore harinya mulai muncul berbagai macam tagar di sosial media untuk menunjukkan bahwa kita tidak takut dengan segala ancaam teror ini. Sungguh, ini adalah sesuatu yang akhirnya membuat rupiah tidak jadi terpuruk. Berbagai rumor yang menyebutkan ini adalah sekedar pengalihan dari beberapa isu pun akhirnya tidak terbukti.

Lepas dari berbagai ironi, antara musibah dan realita satir -seperti pedagang asongan yang cuek beralu lalang, masyarakat yang asyik menonton aksi baku tembak, tukang sateng yang tetap eksis jualan atau obrolan tentang polisi ganteng-, bagi saya teror yang dilakukan entah siapapun itu kemarin bisa dibilang gagal. Jika dilihat dari jumlah korban, justru korban dari terduga pelaku yang lebih banyak daripada masyarakat sipil. Ini satu-satunya yang pernah terjadi di dunia! Memang, sedikit atau banyak jumlahnya, ini tetap masalah nyawa, bukan bahan becandaan. Namun kalau dihitung-hitung toh metromini  “membunuh” masyarakat lebih banyak setiap tahunnya. Hehehe.. Ya secara sederhana apa yang perlu dikhawatirkan, jika “kekejaman” lain seperti metromini tadi sudah biasa ada dalam keseharian orang Indonesia. Yang lebih berbahaya justru adalah kekhawatiran rusaknya ideologi bangsa karena aliran-aliran sesat yang dibawa oleh para teroris.

Ada lagi yang bilang, bahwa aksi dan kampanye di sosial media dengan tagar #KamiTidakTakut, sebenarnya hanya sebuah kamulflase dari rasa takut yang terselimuti. Saya kok tidak setuju ya, saya yakin dasarnya orang kita adalah orang-orang yang berani dan kuat. Kita bukan bangsa yang manja, karena hidup di negeri ini nyaris minim fasilitas tidak seperti negara-negara maju. Adalah salah pula, jika dikatakan aksi di sosial media ini justru akan membuat kita lupa akan kewaspadaan jika hal serupa terjadi. Hey,..masalah kewaspadaan, keamanan serahkan urusannya kepada yang berwenang, yang bisa kita lakukan satu-satunya adalah mempererat persatuan diantara kita dan sosmed adalah salah satu media untuk itu. Ada yang salah? Gak kan? Tidak Takut dengan Tidak Waspada adalah dua hal yang sangat berbeda.  Justru masyarakat sebenarnya marah namun cara pengungkapannya  yang berbeda.

Ketika Paris dibom beberapa waktu lalu, media-media disana memunculkan berita-berita yang membuat situasi makin mencekam. Paris Under Attack yang kemudian diikuti oleh pernyataan Presiden Perancis yang mengatakan: We are at War. Memang, secara jumlah korban bom Sarinah kemarin jauh lebih sedikit dibanding Bom Paris. Namun lagi-lagi ini masalah nyawa bukan hanya jumlah. Lalu, apakah Presiden kita mengeluarkan pernyataan serupa? Tidak! Presiden Jokowi justru seolah menantang dan mengajak masyarakat bersatu bersama-sama memerangi teroris. Bagaimana dengan media? Ini dia hebatnya, meski beberapa media memang suka lebay, namun sehari setelah kejadian, hampir semua media justru memunculkan rasa optimisme masyarakat yang besar untuk melewati semua ini. Kita pun saling meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahkan di Facebook ada gerakan untuk tidak menambah banyak posting foto-foto kejadian dan korban  yang dikhawatirkan juga akan membuat heboh. Meskipun akhirnya yang muncul justru meme-meme lucu yang kadang memang agak garing yang sedikit lepas dari fokus kejadian yang sebenernya. But, it is Indonesia!

Berkaca dari banyak kejadian, bangsa kita ini justru makin erat bergandengan tangan jika terjadi bencana. Sebagai contoh,  saat tsunami 11 Tahun lalu semua datang ke Aceh untuk saling membantu, tanpa melihat suku, bangsa, agama, ideologi apalagi partai. Sebelas tahun berlalu, Aceh lebih maju.. Tapi kita justru nyaris terpecah belah, karena perbedaan “pandangan” yang tidak seberapa penting. Sibuk mencaci maki, sibuk mencela, sibuk menjadi haters, sibuk berburuk sangka. Kini, ketika musibah terjadi lagi dalam wujud yang berbeda, terasa bahwa kita sejatinya masih punya rasa solidaritas yang tinggi.  Ya, kita harusnya banyak belajar tentang persatuan dari bencana dan musibah.

Hits: 681

Destinasi-destinasi berikut saya temukan paling banyak di sosial media dan internet. Ada yang jauh, ada yang dekat. Good news buat pariwisata lokal. Selfie memang seru, tapi tetap perlu hati-hati. Sudah banyak kejadian selfie yang menantang bahaya benar-benar merenggut nyawa.

and..here they are…

1. Gunung Padang, Cianjur: Terletak  sekitar 1,5 jam dari Pusat Kota Cianjur Situs peninggalan kuno yang asal-muasalnya masih menjadi misteri Sebenernya bukan tempat baru, tapi ngetrend belakangan ini, karena banyak ditulis di blog-blog dan sosial media.

Mejeng di Puncak Gunung Padang
Mejeng di Puncak Gunung Padang

2. Kalibiru, Yogyakarta. Pernah liat orang yang foto seperti diatas pohon diatas ketinggian? Nah itulah Kalibiru, Yogyakarta. Baru tenar 1-2 tahun belakangan. Saya sih belum pernah kesana, tapi yang foto disanaa…ampunnn buanyaakk bangett..

Kalibiru sumber: paketwisatayogyakarta.com
Kalibiru
sumber: paketwisatayogyakarta.com

3. Tebing Keraton, Bandung. Bandung Memang gak pernah kehabisan lokasi wisata.  Konon katanya tebing ini baru ditemukan (mungkin maksudnya sih baru keliatan). Selain dekat dari Jakarta, tentu saja mampir kesini gak perlu effort besar, karena Bandung sudah hampir jadi tujuan wisata utama orang Jakarta dan sekitarnya

sumber: portalindonesianews.com
Tebing Keraton sumber: portalindonesianews.com

4. Benteng Martelo, Kepulauan Seribu. Ini dia wisata bahari yang dekat dari Jakarta, murah dan keren! Kita bisa berfoto ala miss universe disini…

sumber: http://reviewwisataindonesia.blogspot.com
Benteng Martelo sumber: http://reviewwisataindonesia.blogspot.com

5. Gunung Munara, Bogor. Hasil survei saya di Instagram banyak juga yang berfoto disini. Disini memang ada situs peninggalan kerajaan Pajajaran, tapi menjadi tenar karena di puncaknya yang menghadap langsung ke Bogor.

munara
Gunung Munara sumber: jalanpendaki.com

6. Pulau Padar, NTT. Upsss.. inilah tempat selfie yang saya tunggu-tunggu!. Jangan lupa mampir kesini buat ber-selfie aneka gaya… dan. jagalah kebersihan!

Pulau Padar sumber: wisatapriangan.com
Pulau Padar
sumber: wisatapriangan.com

7. Pulau Pianemo (Raja Ampat). Foto disini udah berasa kayak naik haji bagi sebagian traveler.Ada kebanggaan luar biasa kalau bisa sampai disini. Sampe-sampe tahun baruan kemarin, Presiden Jokowi pun nyari kecebong disini.. #Eh….:p

raja ampat
Pulau Pianemo

Hits: 1546

Judul tulisan diatas, semoga bukan cuma mimpi saya. Setiap awal tahun, ada yang jelas-jelas bikin target : tahun depan gak jomblo lagi, tahun depan beli rumah, tahun depan beli jet pribadi…bla..bla.. Tapi Saya rasa, sebagian besar orang membuat resolusi setiap tahunnya dengan tema-tema yang abstrak, seperti karir makin meningkat, rejeki makin lancar, ibadah makin baik, hidup lebih damai, dll. Padahal banyak yang lupa, meletakkan ukuran apa yang bisa menunjukkan peningkatan pada indikator-indikator tersebut. Apakah misalnya jadi manager atau direktur menunjukkan karir makin baik, apakah naik gaji, banyak proyek menunjukkan rejeki makin lancar?, atau seminggu minimal lima kali ke mesjid menunjukkan ibadah makin baik? Dan ukuran orang memang akan selalu berbeda-beda.

Setelah jungkir balik jadi orang kantoran (yang membosankan), saya mungkin terlambat membuat resolusi ini. Memang sih, kalau soal jalan-jalan mungkin frekuensi saya lebih banyak dari orang kantoran pada umumnya. Meski sejujurnya, harus diakui beberapa jalan-jalan memang “hadiah” alias dinas dari kantor. Nah, awal 2016 ini saya sudah bikin prasasti:  do more, travel more, learn more. Yes, meski saya sadar dengan pasti… kemungkinan besar akan mengorbankan kehidupan normal saya sebagai mbak-mbak kantoran (ciyeee…) yang seperti robot: bangun jam 4 pagi, mengejar kereta sebelum pukul 6 pagi. Duduk cantik di meja sebelum jam 8 pagi dan selalu kembali ke rumah setelah malam menjelang. Sounds boring, itu pun belum bonus macet, kereta ngadat dan keluh kesah (yang harus dijalani dengan ikhlas dan tawakkal setiap harinya).

Wonderful-Indonesia

Resolusi tadi sudah saya catat dengan indikator-indikator konkrit yang juga sudah saya tentukan, misal dalam tahun ini saya akan mengunjungi minimal 4 pantai di Indonesia. So far waktunya memang masih menyesuaikan dengan liburan umum dan kantong pastinya, tapi bisa jadi lima enam bulan ke depan berubah. Heheheh.. Entah kenapa, dua tiga tahun ini  saya semangat banget untuk jalan-jalan terutama keliling Indonesia. Pengen juga lebih banyak ke luar negeri, tapi saya bukan Trinity-lah. Saya cuma cinta Indonesia dan memang gak punya cita-cita lain selain keliling Indonesia. Keluar negeri bagi saya adalah bonus. Mungkin memang sekarang jamannya mengukuhkan diri sebagai seorang “traveler” lagi trend. Tapi tenang, bagi saya jalan-jalan itu bukan cuma foto-foto update status, dan bilang sama orang: Oh, I was there! Lebih dari itu dari jalan-jalan saya belajar banyak, tentang alam, pembagunan, infrastruktur, hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan Tuhannya bahkan belajar politik! Nambahin tulisan di blog adalah salah satu bonus lain bahwa saya ingin lebih banyak orang kita mengenal negeri kita sendiri. Ada satu tulisan blog orang yang bilang, gak usah memprovokasi orang untuk pergi ke satu daerah, kalau nanti malah merusak daerah itu. Weks.. Buat saya itu gak salah, tapi benernya juga gak banyak :p. Justru dengan menulis dengan baik dan mengajak orang adalah cara mengedukasi calon wisatawan lokal. Karena cuma sektor pariwisata yang pertumbuhannya stabil dan berpotensi besar bagi negara. 

Di sisi lain, saya bingung banyak sekali orang yang “sangat menikmati” pekerjaan kantorannya. Dateng jam 7 pagi, pulang rata-rata jam 9 malem (bisa lebih), hampir gak pernah cuti dan sering lembur di sabtu minggu. Wow, luar biasaa.. Salut! Saya pikir mereka enjoy, eh…ternyata masih ada juga yang mengeluh “capek”. Wah..ternyata masih manusia biasa yang gak super… Dulu saya pikir quality time -yang sering diagung-agungkan oleh pemuja kesibukan- adalah slogan yang penting. Sayangnya sekarang bagi saya quality without quantity is nothing.  Di awal-awal bekerja secara profesional saya juga hampir tidak pernah cuti, pikiran sepenuhnya buat pekerjaan menjadi nomer satu, kadang gaji pun tekor atas nama loyalitas.  Saya tidak menyesal pernah di posisi seperti itu, justru saya belajar banyak karena saya mencintai pekerjaan Saya. Seiring berjalannya waktu, saya baru sadar sestrategis apapun posisi saya di satu perusahaan, saya tetap karyawan yang dibayar. Jika ada apa-apa dengan saya, perusahaan akan mudah mencari pengganti saya dalam hitungan hari, dan perusahaan akan berjalan baik-baik saja. Sementara waktu-waktu pribadi  saya dengan keluarga, dengan teman-teman, dengan kegiatan sosial sudah banyak hilang karena pengabdian yang tidak mengenal waktu. So,You’re not as important as you think.. 

Saya percaya orang-orang yang suka piknik adalah orang-orang yang asyik. Percaya deh, kalo kurang piknik akibatnya seperti J**ru, yang setiap hari adaaa aajaa caranya untuk menebar kebencian.  Adalah paradigma lama yang menyuruh kita bekerja keras di masa muda kemudian menikmatinya di masa pensiun. Bagi saya -meskipun mungkin telat-, keseimbangan hidup itu dimulai dari sekarang, bukan setelah pensiun.  Manusia butuh hidup yang seimbang. Seimbang kerja, seimbang keluarga dan seimbang kehidupan pribadi dan bagi saya ada tambahan satu: seimbang jalan-jalan, melihat dunia lain, dan mengganti paradigma.  Kamu?

Hmmm… survei membuktikan, orang yang sering traveling adalah orang yang paling bahagia..

Hits: 832