Saleman, Aku Padamu…


Jalan Jalan / Tuesday, July 12th, 2016

Desa Saleman. Masih lekat di ingatan, beberapa jam sebelumnya pesawat kami mengalami turbulensi cukup hebat, hingga selama 1,5 jam perjalanan Makassar-Ambon lampu seat belt tidak sekalipun mati, bahkan beberapa kali Pilot mengumumkan untuk tidak beranjak dari kursi, walaupun cuma untuk lavatory.

Selanjutnya, dua setengah jam terombang-ambing di lautan dari Pelabuhan Tulehu, Ambon menuju Dermaga Amahai di Masohi Pulau Seram. Baru kali ini rasanya naik kapal cepat dengan guncangan yang lumayan dahsyat. Beberapa tahun lalu saya sempat merasakan hal yang sama ketika bertolak dari Derawan menuju Tarakan. Namun baru kali ombak lautan membuat saya nyaris mabuk.

“Gue yang sudah empat kali kesini, baru sekarang ngalamin kejadian kayak gini” kata Ifan yang mengajak saya jalan-jalan kesini.

kapal

Belum selesai merasakan sisa-sisa mual akibat amukan Laut Seram, kami harus melanjutkan perjalanan darat Masohi-Saleman selama kurang lebih 2,5 jam. Awalnya sih jalannya mulus, lancar dan lurus. Tetapi selepas kawasan Waipia memasuki wilayah Saleman, jalanan berbatu, berkelok kelok tajam dan naik turun di tengah hutan belantara harus dilalui. Yes, inilah turbulensi ketiga! Lagu Broery Pesolima yang diputar Bang Andre sepanjang perjalanan sama sekali tidak mengurangi rasa mual dibarengi kantuk karena perjalanan malam yang menghabiskan waktu lebih dari 15 jam dari Jakarta. Dan nyaris tanpa tidur!

blog2

Tetapi semua itu terbayar lunas saat kami tiba di Saleman. Desa kecil ini adalah titik pangkal menuju Pantai Ora yang ditempuh 10 menit menyeberang dari sini. Topografi Seleman yang berada diantara hutan dan pantai di Teluk Ambon membuat desa terpencil ini dikaruniai pemandangan yang sempat membuat saya berpikir untuk tidak mau pulang. Rasa lelah, mabuk, penat, kantuk dan pegal-pegal selama perjalanan yang cukup panjang itu, tiva-tiba hilang begitu saja.

***

Desa Saleman hanya berpenduduk sekitar 700 jiwa. Sebagian besar dari mereka beragama Islam, tidak heran ada dua masjid di desa ini. Uniknya, sistem pemerintahannya masih mengikuti adat, dimana pemimpin mereka disebut Raja, dan hanya keturunannya yang dapat menjadi penguasa disini. Konon karena perebutan kekuasaan, Saleman terbagi menjadi dua wilayah yang berdampingan.

blog9

Raja kami, bernama Raja Ali Arsyad Makatita” kata Bang Andre sambil menghirup kopi di sore itu. Dalam struktur pemerintahan resmi, Raja disetarakan dengan Kepala Desa. Di Maluku, konsep pemerintahan yang diselaraskan dengan hukum adat seperti ini sudah sangat jamak dilakukan.

Kami tinggal disini selama dua hari ke depan. Keluarga Bang Andre yang memfasilitasi perjalanan kali ini menyambut kami dengan ramah. Ayah Bang Andre masih berdarah Sumatera, sementara Ibunya adalah orang asli Saleman. Lantai dua dan tiga rumah mereka disulap menjadi homestay yang super nyaman. Ibu Bang Andre jago memasak, lengkaplah sudah kebahagian kami karena setiap hari disuguhi makanan enak.

blog8

“Oya, kita harus ke ujung desa”, kata Ifan. Ada rumah ABRI yang bertugas menjaga Saleman dan beberapa desa lain dari kerusuhan antar suku, agama dan golongan disini. Ada sekitar 10 orang ABRI yang dinas disana, terkadang mereka juga diperbatukan untuk menjaga laut yang berbatasan langsung dengan perairan Filipina ini. “Kami disini bergiliran bertugas dan tidak pulang selama satu tahun” ujar salah seorang personil. Untuk menambah kesibukan, Bapak-Bapak ini menanam sayur mayur di pekarangan. “Lumayanlah, karena sayuran termasuk barang langka di desa ini” kata mereka. Dedikasi terpancar jelas di wajah mereka yang begitu ramah dan bersemangat atas kunjungan kami.

IMG-20160710-WA0024
Bersama bapak ABRI penjaga perdamaian dan perbatasan. NKRI harga mati!

Paginya saya berkeliling Saleman. Melihat dari dekat rumah-rumah penduduk asli yang sebagian besar masih terbuat dari kayu. Tanpa ragu, saya menyapa penduduk yang mulai beraktivitas di pagi itu. Tidak ada tatapan aneh dan curiga, senyum bersahabat yang mengembang dari Ibu Ibu yang menjemur pakaian bayi, menandakan desa kecil ini ramah dan terbuka kepada para pendatang. Di depan rumah terjemur cengkeh-cengkeh yang akan dijual. Ya, mata pencaharian utama mereka memang bertani cengkeh. Hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai nelayan. Mungkin karena penghasilan berdagang cengkeh lebih menguntungkan dari nelayan.

blog1

Jangan tanya teknologi canggih. Listrik saja hanya menyala di malam hari. Hanya ada satu provider telekomunikasi pelat merah yang beroperasi, itu pun paling banter cuma bisa buat SMS. Tidak ada game online, hanya anak-anak kecil berlarian di tanah berpasir pantai sebagai jalanan kampung. Di satu sisi terlihat sekelompok lelaki bergotong royong membangun tenda bambu untuk sebuah hajatan.

blog16
wake up every morning with this view 🙂

Sambil ngobrol di depan kamar, saya mengamati tiga bukit karang yang mengapit Saleman. Rolessy, Hatumalulohon dan Kelinanti.  Ketiganya seolah melindungi Saleman dari pengaruh buruk dunia luar. Bukit-bukit itu berpayung kabut abadi menyatu dengan birunya langit. Sementara di sisi berlawanan, sepanjang mata memandang, laut biru dan hijau toska berpadu membuat pandangan lepas tanpa jarak, membuka semua relung hati, membuang semua gundah dan menggantinya dengan perasaan damai, nyaman dan tenang. Asal tau ajah, sebuah penelitian menyebutkan, mendengarkan deburan ombak dan menatap birunya laut dapat membantu meningkatkan kecerdasaan.

Di tengah kampung berdiri sebuah Masjid dengan suara azan yang memenuhi setiap sudut desa. Ada rasa yang berbeda. Rasa yang sama sekali belum pernah saya rasakan di Jakarta.

blog5

Kata seorang teman, ada emotional feeling, ketika sunrise menjadi saat yang paling dinantikan dan ketika sunset menjadi waktu terbaik untuk merasakan megahnya ciptaan Tuhan. Dan, Saya menemukan semua itu di Saleman.

Saya Jatuh Cinta…

Untuk yg mau ke Saleman dan Ora, sila kontak Bang Andre Kamaruzzaman 085354506962

Hits: 1450
Share

22 Replies to “Saleman, Aku Padamu…”

  1. ooh di sana masih pake sistem kerajaan juga ternyata….. tapi jadi bingng juga ya kalo aku ke sana ntar.. wkwkkw…

    eh bentar raja disetarakan dengan kepala desa berarti kepemimpinananya masih seputar desa ya… bukan kayak bupati gt yang udah memimpin beberapa desa… hm.. bingung. wakakak

    1. Mau nanya lagi nih Mbak hehe… Waktu ke sana, kepala desanya (raja) mengenakan pakaian kasual, seragam dinas, atau justru pakaian tradisional ya? Omong-omong, saya perempuan Mbak hehe….

Leave a Reply to Vika Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *