parno


Opini / Friday, March 21st, 2008

Ini tercetus gara-gara beberapa hari yang lalu, seorang sahabat  curhat  padaku (atau tepatnya kita saling bercurhat ria), tentang kekhawatiran alias parno. Bukan Parno yang mas mas jawa itu loh, tapi parno bahasa gaul dari paranoid terhadap sesuatu. Ceritanya sahabatku itu, konon sudah sangat kenyang pengalaman dalam kehidupan percintaannya (baca: in her romantic life). Kini, di usia yang beranjak matang memang ia belum mempunyai  pendamping hidup walau sebenarnya sudah ada calon nun jauh disana. Yah, long distance relationship-lah. Seperti kata Marcel di firasat : bagai sungai yang mendamba samudera, kutahu pasti kemana kan kubermuara, seperti itulah..hubungan itu diharapkan menjadi tambatan terakhir bagi keduanya.  

Namun akhir-akhir ini, ada saja masalah-masalah  yang memicu keraguan di sisi perempuan itu. Masalah-masalah kecil  yang membuatnya sedikit meragukan kelangsungan hubungannya. Ia sejujurnya menyadari tidak ada yang prinsip dari semua  itu, tapi pengalaman “buruk” masa lalu seolah sudah men-setting dirinya jadi super khawatir bakal “gak jadi” lagi.  Dia bilang gini: “Jadi lu masih bisa liat kita jodoh, kalo begini kejadiannya?” Iya, emang sih..aku sebagai orang yang pernah belajar ilmu perdukunan asmara (hehehe….) pernah sedikit menerawang, kalo Insya Allah mereka memang berjodoh. Dan karena itu, aku bilang padanya; gak ada yang perlu dikhawatirkan, toh semua akan tiba pada masanya. Amien.  

Tapi ya itu, pengalaman emang kaca dan pelajaran dari segalanya. Memori otak memang tidak bisa men-delete begitu saja apa yang pernah terjadi. Apalagi untuk hal-hal yang buruk. Karena pernah (sering) dikhianati seolah olah terpatri kalo akhirnya memang akan dikhianati (lagi). Karena ditinggalkan jadi merasa bakal ditinggalkan kembali. Karena pernah dibohongin, maka akan merasa akan selalu dibohongi.  Karena terlalu sering disakiti, akhirnya merasa akan selalu tersakiti.  Terus terang aku juga “sedikit” mengalami hal itu yang akhirnya membuatku selalu skeptis memandang satu hubungan (that’s why,  sebagai jawaban atas comment temen-temen yang bilang : “kenapa lu cuek banget?!”).   Gak tau aja, tiba-tiba kok otakku bekerja men-generalisir semua kasus menjadi “sama aja”.  Ending dari semuanya itu seakan sudah jadi skenario jamak dan kuyakini akan berakhir  seperti yang dulu-dulu . So, karena hasilnya seakan sudah aku tahu akan seperti yang tidak kuharapkan (seperti peristiwa peristiwa sebelumnya),  saraf-saraf pun secara otomatis bereaksi : acuh tak acuh, cuek dan gak peduli.  Dan tanpa kusadari  itu adalah respon terbaik yang HARUS aku munculkan.  

Nah, cerita teman lain yang serupa tapi tak sama (karena kebetulan dia sudah menikah). Akibat  kenyang dengan asam garam pengalaman dengan mantan-mantannya, dengan suami sekarang pun sikap parno itu masih sering muncul. Suami dandan keren dikit curiga; suami sedikit lebih mesra, merasa ganjil;  suami pulang lebih malem, lebih worried lagi; suami kurang perhatian dikit, bisa bikin ngamuk. Padahal sebenernya gak ada apa-apa yang berarti.  Tapi ada hal-hal diluar kebiasaan sedikit saja, sudah menimbulkan imaginasi (buruk) macam-macam.  Mungkin ini disebabkan kerja otak yang repetitif sensitif  terhadap semua kejadian yang dialami manusia.  

Jelek kan?? Jelek bangeddd!! Idealnya kan sebuah hubungan harus dibangun dengan kepercayaan, dari yang sekedar “dating” apalagi pernikahan.  Dan kata orang-orang bijak (katanya ya, karena gw juga belum kawin),  kepercayaan itu kunci dari semuanya. Harusnya hal-hal begitu tidak ada atau paling tidak diminimalkan. Tapi kalo parno parno dikit seperti konteks cemburu mungkin malah jadi aksesoris untuk memperindah hubungan itu. 

Duh, jadi inget buku The Secret.  Buku itu seolah menjabarkan “you are what you thinking”.  Lalu ada tag; Universe: your wish is my command.  Menurut  Mbak Rhonda Byrne penulisnya, alam semesta raya ini akan merespon APAPUN catat APAPUN yang kita harapkan bahkan bisa jadi dari apa yang hanya kita pikirkan. Jadi, dari kasus Mas Parno ini secara tidak langsung bisa disimpulkan semua ke-parno-an itu memang PASTI akan terjadi. Padahal parno selalu bereferensi dengan hal-hal negatif yang sebenarnya justru sangat tidak diharapkan terjadi. Ih…syeremm kan??  Kalo benar-benar demikian, ini membuktikan betapa kuatnya energi perasaan (feeling energy) itu mempengaruhi kehidupan manusia.  Padahal kata Habiburrahman El Shirazy dalam Ketika Cinta Bertasbih; “sebagian dari perasaan itu adalah nafsu yang menuju dosa” .  Jadi,  bisa dibilang dalam hal ini parno yang terpicu karena perasaan semata sesungguhnya adalah bagian menuju dosa.  Hmmm… gw kurang ahli dalam yang beginian, jadi, gak usaha dibahas –lah kayaknya juga terlalu berat. Biar masing-masing orang saja berinterprestasi sendiri.   

Susahnya nih, kalo ke-parno-an itu tanpa disadari sudah jadi bagian dari keseharian. Parno yang jika dibiarkan lama-lama kadarnya naik jadi trauma. Buatku sendiri, sulit rasanya memberi saran untuk keluar dari keparnoan yang teman-teman alami bahkan aku alami sendiri. Kecuali mencoba ber-postive feeling sebagai pondasi positive thinking dan perlahan-lahan melepaskan diri semua “pengalaman buruk” .  Lalu, percaya bahwa semua peristiwa baik yang baik maupun yang buruk adalah bagian menuju kedewasaan. Bahwa semua yang telah terjadi adalah bagian dari menggapai nanti (MNF, Desember 2003).  Satu lagi yang sedang berusaha keras kujalani adalah tawakkal, bahwa semua telah diatur oleh-Nya.

(21 March 2008, long weekend with no plan, oasis lounge, with apop. alone in bna) 

Hits: 764
Share

4 Replies to “parno”

  1. kerennnn
    lebih bagus kalo analisa yang lebih spesifik dan lebih dalam lagi
    coba aja ambil satu masalah percintaan
    ambil masalah yang menurut kamu “paling”
    truss analisa deh dengan penuh “keberanian”
    sukur2 bisa kasih jalan keluar

    maap sugest dari temen yang gak tau nulis juga:D

    sukses yah
    take care

  2. Kseimpulan dari tulisan lo di atas ada di akhir cerita.Emang semua kita intinya hrs tawakal sama Allah. Krn apapun di dunia ini sdh diatur Sang Maha Kehendak.Tugas kita hanya berusaha dan berdoa. Gue juga lg brusaha meminimalkan parno vik..he..he..

  3. Dear,

    Ada satu kutipan dari salah satu tokoh Tetralogi Laskar Pelangi yang aku ingat banget yaitu si Ikal “Jangan pernah mendahului nasib”. Itu diucapkan Ikal ketika Arai merasa bahwa dia tidak mungkin bisa melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi apalagi kuliah di Sourbone sesuai dengan cita-citanya. Tapi nyatanya dia berhasil sekolah disana…. entah itu cerita benaran atau ndak… aku ndak tahu juga… tapi yang pasti kata-kata itu sangat bagus.

    Contoh lain Walt Disney.. itu tuh…. pencipta tokoh kartun. Dia bilang… (ndak persis seperti ini ya, maklum semakin low memory…) “Tetaplah bermimpi. Namun yang harus kamu lakukan adalah menguji mimpi itu hingga menjadi kenyataan”.

    Kalau dalam konteks hubungan asmara… he.. he…. no comment….

    Salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *