Sulit dibayangkan, nyaris enam bulan gak liat pantai dan gak mencium khasnya aroma laut. Tapi itulah kejadiannya, Selain di kerjaan baru ini satu tahun gak punya jatah cuti (SATU TAHUN, saudara-saudara!!–>agak lebay sih..), banyak juga kondisi lain yang membuat niat memantai itu tidak dapat terwujud. Minggu ini, kebeneran banget ada liburan 17an yang membuat weekend menjadi sedikit long. Sekalian merasakan nafas kemerdekaan yang beda suasana, saya memilih berlibur ke Pulau Pahawang di Provinsi Lampung. Sejujurnya sih, Lampung bukan daerah impian saya. Alhamdulillah sejauh ini, menjelajah Pulau Sumatera sudah cukup bagi saya. Namun, nampaknya kawasan ini lumayan kekinian untuk anak-anak muda Ibukota (ciyeee..berasa muda…hihihi). Selain jaraknya yang relatif dekat, biaya yang murah meriah bisa jadi pertimbangan memilih daerah ini.

Darmaga Ketapang
Darmaga Ketapang

Kami menumpang bis umum dari Slipi Jaya menuju Merak. Perjalanan yang dimulai jam 11 malam itu berakhir dengan cantik di Bakauheni pada pukul 6 pagi. Lalu, masih dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Pelabuhan Ketapang yang ditempuh kurang lebih tiga jam dari Bakauheni. Semua akomodasi kecuali ongkos bis Jakarta-Merak disediakan oleh operator open trip. Tiba di Ketapang, kami sempat beristirahat sebentar sebelum menuju Pahawang. Sempet kecewa dengan operator Open Trip kali ini, ada beberapa hal yang nampaknya kurang terkoordinir diantara mereka. Tapiiiii… Selepas kapal kayu kami meninggalkan darmaga dan aroma khas laut diiringi anginnya menerpa wajah, kekecewaan itu semua hilang…. Di depan terpampang laut berwarna biru-hijau tosca yang membuat nafsu ingin nyebur muncul. Dari Darmaga Ketapang ke spot-spot snorkling ditempuh kurang lebih 30 menit saja. Saya nekad nyebur, tanpa pake pelampung. Untung airnya tidak begitu dalam meski saat itu ombak lumayan tinggi. Karena sudah lama gak berenang (apalagi snorkeling), otot rasanya kaku semua. Namun keindahan ekosistem bawah laut Pahawang membuat kira bisa berlama-lama betah di air.

Pahawang, home is where your happiness is...
Pahawang, home is where your happiness is…

Hari pertama, kami menikmati beberapa spot, saya lupa nama-nama spot-nya. Secara umum karakteristik pantai di wilayah ini tidak jauh berbeda dengan perairan Kepulauan Seribu. Kontur pantai di Pulau Pahawang pun agak mirip dengan Pulau Derawan walau ombaknya  tidak sebesar Derawan. Cuma bedanya, disini air nya benar-benar tawar, bukan setengah payau seperti di Derawan. Kami menginap di rumah penduduk yang sudah disulap menjadi “home stay”. Belum ada penginapan disini, jadi wisatawan yang umumnya rombongan tidur-nya pun berombongan. Artinya dalam satu rumah, disediakan banyak kasur yang sudah ditata rapih. Silakan pilih yang paling nyaman. Soal kamar mandi, jangan khawatir menurut saya sih cukup bersih kok… Jangan terlalu berharap ada kamar hotel atau villa yang istimewa ala liburan berkoper disini. Pahawang dan sekitarnya sejauh ini memang masih ditujukan untuk mereka yang mau “bersusah-susah” ala backpacker. Sangat dianjurkan kesini cukup dengan ransel dan bawaan yang praktis. Karena selain jalannya nyambung-nyambung, kalo repot dengan bagasi yang banyak dijamin akan sulit menikmati alamnya.

Dirgahayu Negeriku!
Dirgahayu Negeriku!

Hari kedua, acara tetap dilanjukan dengan snorkeling salah satunya di Tanjung Putus dan Taman Laut. Yah, tipikal sama-lah dengan hari pertama, enaknya disini lautnya relatif dangkal, airnya jernih hingga biota-biota laut nampak dengan jelas dari atas kapal. Meskipun jauh dari daratan, mereka yang datang kesini tampaknya tidak lupa kalau hari ini adalah 17-an. So, banyak diantaranya yang berenang dengan membawa bendera bahkan di dalam laut pun terpancang bendera merah putih. Ah, seneng…anak-anak mudah kita ternyata masih punya nasionalisme yang tinggi meskipun tiap hari dicekokin sama film Korea dan nyanyinya pun lagu Justin Bieber. Hehehe..

Bawah Laut Pahawang. Instagram @rizkiruwijaya
Bawah Laut Pahawang. Instagram @rizkiruwijaya

Saya bertemu dengan teman-teman baru sesama peserta open trip yang menyenangkan. Inilah asyiknya ikut open trip. Kalo mepet pengen jalan sendirian pun, dijamin gak akan sendiri. Saya sempet takjub juga ada satu keluarga lengkap dengan kedua orang tua dan tiga anak dewasa. Bapak Ibunya bahkan sudah cukup berumur. Saya awalnya agak khawatir, karena menurut saya sih plesiran gaya backpacker begini “cuma buat anak-anak muda” Eh, siapa sangka yang berumur pun “berhak” untuk jalan-jalan. Meski Bapak, Ibu tadi gak nyebur, tapi saya yakin mereka turut merasakan indahnya alam Pahawang. Memang sudah seharusnya wisata laut adalah wisata massal.

Sayangnya, di Pulau ini saya belum merasakan  adanya sentuhan pihak ketiga. Entah itu pemerintah atau mereka yang bergerak di bidang lingkungan. Di Pulau Seribu, kita bisa melihat penangkaran penyu, ikan langka dan pembibitan bakau, di Derawan ada lembaga internasional yang menjadga kelestarian penyu-penyu tua yang langka. Sementara Pahawang masih benar-benar perawan dan membutuhkan sentuhan agar lebih baik. Kemana mereka? Entahlah, semoga saya saja yang belum terinfo..

20150816_164717
new friends!

Namun begitu, keliatan kalau penduduk disini mulai serius “membangun bisnis pariwisata” disini. Roh pariwisata sudah menjadi mata pencaharian penduduk pulau kecil ini. Di pinggir pantai banyak berdiri warung-warung kopi sebagai teman nongkrong di malam hari yang kata saya sih enak banget. Suasana starbuck lewat deh… Oh ya, di pulau ini nyaris tidak sinyal ponsel, lo.. Kalo sekedar sms aja bisa sih, melipir ke bibir pantai. Selebihnya, lupakan HP sementara waktu, bercengkrama di pinggi pantai sambil mendengar suara ombak jadi pilihan yang lebih menarik. Di pagi hari, saya sempatkan menulis tulisan ini ditemani secangkir kopi dan indomie rebus plus telor dengan cabe rawit yang banyak. Yummy!!

Hits: 1086

Ketika orang rame-rame mengubah profile picture-nya di Fesbuk dengan latar warna pelangi, saya gak ikut-ikutan latah. Awalnya saya pikir, itu buat lucu-lucuan aja. Kekinian gitu. Belakangan saya baru tahu, bahwa itu adalah campaign dukungan kepada LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) dimana Amerika Serikat baru saja mengesahkan pernikahan bagi sesama jenis di 50 negara bagiannya. Kalau ditanya pendapat pribadi, Yaah,..saya ini sejujurnya orang kampung yang konvensional, tentu saja saya tidak setuju adanya pernikahan dengan sesama jenis. Tapi saya tetap respek dengan keputusan yang dirayakan oleh banyak kaum LGBT tersebut .

Seorang teman saya yang ikut memeriahkan momen ini –dengan memasang foto pelangi- berujar: Ah, selama dia gak ganggu gw sih, gw gak masalah.. gw respek aja! Nah.. kata kuncinya respek, bukan mendukung. So, bagi saya respek tidak sama dengan mendukung, dan ikutan latah membuat foto pelangi bagi saya adalah salah satu bentuk dukungan!

LGBT-PRIDE

Oke..oke, jangan rame dulu… Saya mau jelasin kenapa saya respek, tetapi tidak mendukung. Ada ceritanya. Cerita yang lumayan panjang. Hahaha.. Saya punya beberapa teman gay, salah satunya baca disini.  Ada diantara mereka yang menjadi sahabat dekat saya. Saya tahu kehidupan pribadinya, keluarganya, teman-temannya. Pun saya sering menghabiskan waktu bersama layaknya sebuah pertemanan. Ada yang aneh? Gak.. saya tahu mereka gay, diantara mereka pun kerap bercerita tentang kehidupan pribadi mereka, pacar-pacar mereka, pola hubungan mereka hingga urusan seksual (seriously!). Its your own personal business! Sebagai sahabat pun, mereka sangat baik! Pertemanan itu memang seperti pelangi, berbeda-beda di semua aspek termasuk beda di orientasi seksual, tapi esensi sebagai seorang mahluk sosial dalam pertemanan tidak boleh hilang. Lebih penting lagi, saya tidak menganggap mereka “berbeda”, they are human being. Bagi saya itu adalah bentuk respek dan penghargaan saya yang paling tinggi. Meski lucunya mereka sendiri yang sering menyebut dirinya “sakit”. Hehehe..

Anehnya, meski sebagian besar menyadari dirinya sakit, mereka tidak mencari obat penyakit itu, justru mendekati pemicunya dan malah menikmati.

Hingga pada satu titik, setelah berbagai peristiwa terjadi dalam persahabatan itu (yang tidak mungkin di-ekspos) saya merasa kian mengingkari hati nurani saya dengan memberikan respek yang lama-kelamaan seolah “mendukung”. Karena saya seolah “membiarkan” virus ini terus menyebar dan komunitas ini terus bertambah. Saya takut. Saya belum siap jika nanti anak-anak saya bisa menikah dengan sesama jenis, saya belum siap melihat anak-anak yang punya orang tua dari kelamin sama. Lebih mengerikan lagi saat ini banyak kaum gay yang menikah karena status saja dan itu mulai dianggap “lumrah”. Memang sih, dua hal tersebut debatable, pasti ada yang merespon: Loh, daripada anak-anak hidup dalam keluarga broken home? Hehehe.. silakan saja…

Banyak yang bilang (bukan saya loh…) bahwa mostly LGBT, deep inside hati mereka sebenernya menyadari ini dosa. Tapi dosa sering diukur dengan cara manusia yang bisa berubah dan subyektif. Saya bukan ahli agama, bukan kapasitas saya juga menghubung-hubungkan dengan agama. Saya menahan diri untuk gak bilang itu dosa apa gak. Apalah saya ini. Namun fakta menyedihkan yang ada di depan mata saya, adalah teman gay saya yang sibuk mengomentari hubungan yang tidak syariah antara laki-laki dan perempuan sementara ia sendiri tinggal serumah dengan pasangan gay-nya. Oh, come on..… kamu punya kaca gak sih? Fakta tadi cuma secuil anomali dan sangat subyektif personal bukan penilaian untuk kaum gay secara keseluruhan. Selebihnya, biar mereka yang lebih kompeten saja yang berkomentar dari sisi ini.

Meskipun ada yang bilang LGBT itu masalah genetis yang artinya bawaan orok, kenyataan yang berkembang LGBT itu bisa menular. Artinya, lingkungan juga sangat berpengaruh. Pengakuan seorang teman, ia “memilih” menjadi penyuka sesama jenis karena merasa kurang memiliki figur ayah dalam hidupnya. Pasti selalu ada alasan dan latar belakang (sosial) kenapa akhirnya mereka memilih menjadi  kaum ini. Dan menurut saya belum ada angka statistik yang menunjukkan bahwa faktor genetik lebih besar dari pengaruh lingkungan. Bahkan dari beberapa obrolan, mereka bisa “mengajak” orang lain yang heteroseksual menjadi homoseksual. Nah Lo?!!

Namun sekali lagi, saya menghargai keputusan siapa pun untuk menjadi kaum LGBT. Ketidak-mendukung-an saya hanya bentuk untuk kembali ke hati nurani. Saya tidak ingin mengingkari hati nurani sendiri karena masih tetap percaya kodrat manusia itu berpasang-pasangan, tetapi bukan dari sesama jenisnya.

Hits: 807

Dua hari lalu saya tergelitik ketika membaca headline hampir semua media online tentang permintaan Presiden Jokowi kepada semua menterinya untuk membuat Laporan Kinerja selama bekerja 6 bulan terakhir. Isu yang berhembus, ini berkaitan dengan wacana reshuffle kabinet. Saya tidak akan menyoroti soal reshuffle, tapi saya bingung soal laporan. Agak lucu aja, ketika seorang Presiden harus menunggu laporan dari bawahannya setelah enam bulan bekerja. Selama ini pola pelaporannya bagaimana? Dulu di masa SBY, ada UKP4 yang meng-compile pokok-pokok kinerja menteri secara bulanan. Jadi Presiden tidak perlu repot-repot “menunggu” laporan menteri-nya untuk melakukan pembenahan pada kabinet. Bingungnya lagi, di salah satu berita, Presiden bilang, laporan itu detail namun cukup dua halaman saja. Sungguh saya kurang paham, dua halaman tapi harus ditunggu selama enam bulan!

petaniHmm,.. saya mencoba berbaik sangka. Saya berkeyakinan ada missing link dari berita-berita itu. Atau bisa juga apa yang disampaikan oleh media, bukan maksud asli dari Presiden. Kita sama-sama tahu, presiden yang satu ini belum punya jubir, sehingga banyak sekali ucapan dan kebijakannya yang tidak tersampaikan dengan sebenarnya kepada media.

Namun lepas dari itu semua, saya sebagai pendukung Jokowi rasanya punya kewajiban untuk sedikit memberikan pendapat. Meski ada rasa “ Saya mah apa atuh” seperti kata Cita Citata. Hehehe.. Mungkin ini hikmah kecil mengapa Tuhan “mendaratkan” saya untuk bekerja di sebuah bank. Satu pekerjaan yang rasanya gak nyambung banget dari pekerjaan yang sebelumnya-sebelumnya. Ternyata nyambung juga,  minimal tulisan yang saya beranikan untuk dimunculkan di blog ini adalah buah dari tiga bulan membaca berita ekonomi dan perbankan setiap hari dan sedikit pengetahuan dari pernah bekerja di pemerintahan.

Coba cek berita perekonomian. Dalam dua tiga bulan terakhir hampir tidak ada hari tanpa berita perlambatan ekonomi. Ini bukan cuma masalah rupiah yang melemah terhadap dollar, IHSG yang sangat fluktuatif atau “iming-iming” bahwa kondisi makro ini terjadi hampir di semua negara karena penguatan ekonomi Amerika Serikat. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi tahun ini digadang-gadang hanya tumbuh tidak sampai 5% dari rata-rata 7% setiap tahunnya. Nilai ini bahkan disoroti sebagai pertumbuhan terendah dalam enam tahun terakhir. Lalu, salah siapa? Banyak pihak yang mengatakan menteri-menteri Kabinet Kerja seperti ketiban pulung bom waktu masalah-masalah rezim terdahulu. Mungkin die hard-nya Jokowi akan mengamini pernyataan itu, tapi saya -yang awam ini-, tidak akan sepenuhnya setuju dengan pendapat itu. Sisi paling tegas adalah krisis ini dialami hampir seluruh Negara, tapi lebih dari itu, banyak hal yang masih memerlukan slogan kerja, kerja dan kerja dua kali lipat lagi.

Mari kita urai, dengan indikator-indikator pelemahan ekonomi, pemerintah sudah banyak melakukan pembenahan khususnya di sektor keuangan. Kredit usaha yang seharusnya tumbuh diatas 17%, tahun ini terpaksa direvisi oleh hampir semua bank menjadi tidak lebih dari 13% saja. Kredit turun tapi jumlah tabungan dan deposito meningkat. Artinya, lebih banyak orang yang memilih jalur aman untuk dananya, bukan diputar dalam bentuk produktif. Untuk membuat semua bergairah kembali, ambillah contoh aktifnya pemerintah meminta semua perbankan menaikkan kredit di sektor pertanian dan maritim. Bahkan  pembangunan maritim, menjadi satu gerakan nasional (Bravo Bu Susi!). Sektor ini dulunya hampir tidak pernah dilirik, karena dianggap tidak “bankable”.  Lalu target bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) turun hingga 12-15% di tahun 2015 dari kisaran 22% tahun-tahun sebelumnya, bahkan untuk ini digelontorkan subsidi hingga Rp 1 triliun. Jokowi berusaha mengembalikan khittah, Indonesia sebagai negara agraris dan negara maritim. Sektor yang dulu sedikit dilupakan, bahwa sepatutnya kita bisa “kaya” dari sana. Sektor yang sempat terabaikan; negara pemakan tempe, tetapi bahan baku tempe pun kita impor. Masyarakat pedesaan pun dibuat melek finansial dengan adanya program bank inklusif (bank tanpa cabang). Tidak itu saja, kredit konsumsi pun dibuat lebih ringan, contoh pelonggaran LTV (Loan To Value) untuk kredit rumah dan apartemen, yang artinya sekarang kita bisa bayar DP lebih murah untuk memiliki dua jenis barang tersebut atau nilai yang ditanggung bank sebagai pinjaman kita ke pihak ketiga menjadi lebih besar. Di sisi lain, subsidi dipangkas, bunga bank “dipaksa” turun, pembangunan infrastruktur ditingkatkan. Sejatinya secara teori ini adalah upaya mencapai posisi keseimbangan dalam ekonomi. Pertanyaan besarnya: butuh waktu berapa lama untuk mencapai semua itu?!

Memang, beberapa indikator berukuran jangka menengah bahkan jangka panjang bukan seketika seperti Deddy Corbuzier membengkokkan sendok. Adalah optimisme pemerintah yang sangat percaya diri bahwa semua upaya itu akan membuahkan hasil pada semester kedua tahun ini. Sayangnya, jarang banget media yang menulis atau mengompori pemerintah bahwa ada unsur krusial lain yang harus digenjot pemerintah. Saat sektor swasta melempem, cuma APBN dan APBD yang bisa membuat ekonomi tetap melaju. Masalahnya keterlambatan realisasi dua dana tersebut, sudah jadi penyakit lama. Jangankan saat pergantian rezim seperti sekarang, saat rezim lama pun, pola realisasi yang tidak tepat menjadi PR yang sulit dibenahi. Sejalan dengan itu, pembangunan infrastruktur dari APBN/APBD yang memang menjadi nawacita Jokowi tentu bukan perkara simsalambim. Dari hasil penelusuran, hingga Mei 2015 ini baru 25% APBN yang terealisasikan. Jumlah yang sangat kecil, yang mungkin hanya dicairkan untuk biaya operasional SDM saja. Artinya, Jokowi dan kabinetnya belum banyak bergerak pada bidang fisik infrastruktur. Berdasarkan pengalaman, kendala pencairan APBN dan APBD lebih banyak disebabkan masalah administrasi yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan memangkas birokrasi. Saya sedikit yakin, hal ini masih terjadi. Lagi-lagi, perubahan rezim, pergantian personil dan pergantian sistem jadi masalah klasik yang selalu terjadi siapa pun presidennya.

Dari semua itu, ada satu hal yang sangat perlu dijaga oleh pemerintah saat ini. Kepercayaan. Kembali lagi ke alinea pertama tentang laporan menteri tadi, seharusnya Jokowi meniru SBY di awal masa pemerintahannya. SBY punya program 100 hari yang tidak saja untuk mengontrol kinerja menteri-nya, tetapi sebagai media campaign dan corong “keberhasilan” program-programnya. Memang sedikit abstrak, tetapi fungsi komunikasi dan jubir yang Jokowi belum punya saat ini bisa sedikit ter-cover disana. Selain itu, ini adalah cara SBY untuk menunjukkan keberhasilan programnya dalam periode yang singkat, walaupun setelah itu deretan program jangka panjang masih menjadi PR yang berat. Menurut saya, ini adalah bagian dari upaya untuk menjaga kepercayaan itu. Kepercayaan masyarakat, investor dan dunia secara umum.

Saya dan saya yakin jutaan masyarakat Indonesia masih percaya dengan pemerintahan kini. Saya tahu mereka yang duduk disana adalah orang-orang pilihan. Masalahnya hanya dua, kepercayaan kita dan kesabaran kita bahwa semua ini akan berbuah manis.

Namun jangan lupa, percaya bukan berarti membiarkan,mendukung bukan berarti menutup mata akan kekurangan.

Hits: 770

Ada dua kota yang membuat saya selalu feel hommy, Banda Aceh dan Yogyakarta. Banda Aceh, jangan ditanyalah, udah terlalu banyak tulisan tentang Aceh di blog ini. Nah, akhir minggu lalu, saya berkesempatan kembali mengunjungi Yogyakarta, walau kali ini kurang dari 20 jam saja. Sebenernya sih ini bukan kali pertama saya datang ke Yogyakarta tanpa bermalam. Tahun lalu, pulang pergi Yogya hanya dalam sehari beberapa kali saya jalani, tapi kala itu untuk tugas kantor sebagai seorang pejabat (baca: penjahat) negara. Hahahaha.. Oya, sst…bocorannya, saya juga (numpang) lahir di Yogya, loh!

C360_2015-06-06-21-18-41-359
Alone at Borobudur

Kali ini, ceritanya adik saya yang lama bermukim di Amerika Serikat, pulang kampung dan ngidam banget pengen ke Malioboro. Sementara saya, sebagai anak baru di sebuah bank, belum punya jatah cuti yang cukup untuk berlama-lama di Yogya. Jadilah kami berangkat Jumat malam sepulang jam kantor, tiba di tujuan Sabtu dini hari dan kembali ke Jakarta di malam harinya. Pyuihhh…bacanya aja capek kalii..! Eits, tapi jangan salah, waktu yang singkat itu ternyata cukup lumayan untuk meng-eksplore Yogya dengan kenangan yang tidak kalah manisnya seperti liburan kesini dua-tiga hari.

C360_2015-06-06-16-49-07-967
lovely family..
20150606_095303
the heritage of Yogya

Buat kalian yang gak punya waktu liburan banyak, sepertinya cara saya ini bisa dicontoh. Pertama, pilih naik kereta. Menurut saya sih ini lebih efisien, apalagi kereta eksekutif. Harganya lumayan bersaing, fasilitas nyaman dan paling penting sangat tepat waktu. Di perjalanan selama sekitar 7 jam kita bisa istirahat dan tidur, tau-tau kereta sudah tiba di Yogyakarta. Ada beberapa pilihan kereta jika berangkat dari Gambir, akan lebih murah jika memilih kelas bisnis yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen. Enaknya, stasiun Tugu kan berada di pusat kota, jadi gak perlu rempong cari kendaraan seperti jika kita mendarat di bandara. Jika memilih naik pesawat bisa memakan waktu lebih lama karena jarak menuju Bandara Soetta, menunggu pesawat yang cukup lama atau tiba-tiba delay. Bandingin jika kita start dari stasiun Gambir yang ada di pusat kota Jakarta dan sampai juga langsung ke pusat Yogya. Oya, kalau mau naik kereta, usahakan jangan beli mendadak, karena ada komunitas pekerja Jakarta asal Yogya yang menamakan diri PJKA (Pergi Jumat Pulang Ahad), yang pasti memenuhi gerbong kereta di akhir pekan.

bule ngidam gudeg..
bule ngidam gudeg..

Setelah numpang mandi dan istirahat sebentar di sebuah hotel budget di kawasan Malioboro, ada tiga obyek yang bisa sekaligus dikunjungi. Benteng Vredeburg, Keraton Yogya dan sarapan di Gudeng Yu Jum yang letaknya tidak jauh dari Keraton. Itu pun, kami masih sempat mampir ke Malioboro, membeli sandal jepit khusus buat jalan-jalan hari itu. Setelah itu, sekita pukul 11 siang, kami tancap gas menuju Borobudur. Kali ini gak naik becak, tapi dijemput oleh dua orang sepupu saya. Sebelumnya, saya sudah googling, menuju Borobudur cukup waktunya jika menggunakan kendaraan umum sekalipun. Tiba di Borobudur, sekitar pukul 1 siang dan kami menghabiskan waktu disini hingga pukul 3 sore. Sebenernya bisa kurang dari itu sih, kalau sodara-sodara saya gak pada heboh belanja!

20150606_172647Lepas dari Borobudur, kami menyempatkan diri late lunch di sebuah restoran Rawon yang enak banget di kawasan Kaliurang. Sebenernya rekomendasi restoran ini didapatkan juga dari google. Meski karyawannya sedikit gak ramah, tapi makanannya enakkk banget dan dengan porsi makan berempat yang kelaparan banget, kami “cuma” membayar kurang dari Rp150 ribu.. Hemmm, harga yang cukup bersahabat bagi orang Jakarta.

Kembali ke Yogya, tujuan utama apalagi kalo bukan melanjutkan shopping. Surprise, ternyata harga-harga souvenir di pasar souvenir Boroubudur relatif lebih murah daripada di Malioboro. Pun menyaksikan keramaian Malioboro dan riuh rendah alun alun di malam minggu cukup seru sambil menunggu kembali ke Jakarta pada pukul 21.00. Kami juga masih sempat membeli gudeg dan beberapa makanan kecil buat oleh oleh…

Melelahkan memang, tapi kurang dari 20 jam ke Yogya, ternyata bisa loh..! Saya masih penasaran ingin ke Candi Boko dan beberapa tempat lain besok besok dan kemungkinan besar akan menggunakan metode ini juga!  See you next time, Yogya!

Hits: 1156

Saya percaya setiap orang punya periode sendiri-sendiri dalam hidupnya, dan periode itu tidak sama dengan orang lain. Kalau saat ini saya bahagia dan teman saya tertimpa masalah, bukan berarti hidup saya lurus-lurus saja tanpa pernah punya masalah. Begitu pun sebaliknya. Bahagia pun ukurannya sangat relatif.  Ada seorang temen yang kelihatannya punya hidup yang sempurna. Fisik yang rupawan, pasangan yang sejajar, orang tua yang mampu dan pekerjaan yang sukses, sebut saja namanya Reni. Teman  yang lain bernama Wati, hidupnya menurut saya lurus dan aman sekali. Ia besar dalam keluarga yang lumayan berada, mengenyam pendidikan tinggi terbaik, karirnya pun mengikuti. Urusan percintaan Wati pun datar (mungkin sedikit hambar), karena nyaris tanpa riak.  Secara kasat mata mereka semua seperti punya hidup sempurna. Seperti ungkapan rumput tetangga selalu lebih hijau, wajar jika seorang teman yang lain yang bernama Yanti sedikit iri dengan segala yang Reni dan Wati punya.

tunasSaya?!, Wah, jangan dibandingin. Sejak kecil hidup saya jatuh bangun. Mulai keluarga yang bangkrut, sekolah yang penuh perjuangan sampai urusan percintaan yang tragis bin dramatis (sinetron amat sih…) Kalau pun sekarang “keliatannya” enak, itu sebenarnya semua adalah “template” yang harus saya tunjukkan sebagai ungkapan rasa bersyukur atas semua pasang surut yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Entah itu terjadi memang takdir saya, atau sesuatu yang terjadi karena kecerobohan saya sebagai manusia biasa. Saya percaya nilai-nilai hidup yang saya dapatkan saat ini sebagian besar bukan dari teman-teman bukan juga karena membaca buku self development, tapi dari banyaknya lika liku perjalanan hidup saya sendiri.

Kemudian, Reni dan Wati tertimpa masalah (baca: cobaan besar) dalam hidupnya. Saat itulah saya makin menyadari bahwa semua manusia punya fase yang berbeda dalam hidupnya. Sayangnya kesadaran seperti ini, belum tentu ada di semua orang pun bagi Reni dan Wati. Ketika terbiasa hidup dengan tanpa nyaris masalah, cobaan bertubi-tubi sering disikapi sebagai ketidakadilan bagi hidup mereka yang terbiasa baik kepada semua orang. Saya gak bilang, masalah mereka ringan, tapi tempaan kehidupan yang saya alami, membuat saya selalu pengen bilang: Oh,..I was there!. Justru dunia yang terbolak balik, seperti roda yang berputar menunjukkan bahwa semesta ini adil.

Seorang teman yang lain pernah bercerita, ia berulang kali melamar pekerjaan baru dan mengikuti banyak proses untuk itu. Sayangnya, tidak ada satu pun yang berhasil. Lucunya, pekerjaan baru justru datang tiba-tiba tanpa melalui proses yang njelimet. Dia bilang ke saya: Wah, kalau tau begini, kenapa kemaren gw repot amat ngelamar ke tempat yang lain. Sepertinya ia lupa, proses njelimet yang tadi ia lalui adalah bentuk effort pay in advance untuk mendapatkan yang mudah belakangan itu.

Alhamdulillah, Tuhan memberikan bermacam-macam cobaan itu kepada umatnya. Saya yakin, sebenarnya itu adalah kunci pembuka pintu kebahagiaan di masa mendatang. Dan untuk memiliki kunci itu, saya sudah “pay in advance” dengan melewati semua cobaan tadi. Kalau pun di depan nanti masih banyak tantangan lain, gakpapa.. karena sebagian yang berat sudah terlewati. Dannn… kalau saat ini kamu bahagia dengan segala yang kamu punya dan itu (menurutmu) sudah ditata dengan teramat apik, jangan bangga dulu, tidak ada jalan tanpa polisi tidur dalam kehidupan. Semua ada masanya dan itu bisa terjadi di luar kuasa dan prediksi kita.

Saya percaya kedewasaan itu bukan selalu dari usia dan intelektualitas, tapi dari seberapa banyak jalan berliku yang sudah kita lalui. Semua ada masanya. Tidak ada masa seneng terus dan tidak juga ada masa susah terus.

Hits: 954

Yah, cinta itu memang gak punya teori. Itu teori saya. Teori ini saya dapatkan seiring berjalannya waktu dan mulai kenyang dengan urusan cinta-cintaan (meski sampe sekarang belum ada yang sukses). LOL…

Ada masa dimana saya (atau kamu juga…) sibuk sekali  mencari penyebab masalah (baca: kegagalan) sebuah hubungan. Ada pula masa dimana saya tidak tau alias bingung harus ngapain saat dihadapkan pada cobaan cinta yang berat dan bertubi-tubi. Lalu, kemana mencari jawaban? Dulunya saya paling seneng membaca buku-buku psikologis tentang pria dan wanita, lebih-lebih lagi yang berbau hubungan percintaan.  Mungkin ini akibat keseringan patah hati dan kecewa, buku adalah teman terbaik untuk mencari  jawaban atas semua keadaan itu.  Tidak hanya dari membaca, curhat session dengan beberapa sahabat membuat saya akhirnya lebih memahami kodrat antara laki-laki dan perempuan. Walau sudah mapan  dalam teori, kalo jodoh sih emang belum ada sampai saat ini, hiks… tapi minimal banget saya punya sedikit knowledge dan pengalaman yang bisa saya bagi, saat ada teman yang curhat atau berkeluh kesah tentang hubungannya dengan pasangan atau calon pasangan.

teori cintaHampir saban hari saya mendengar curhat teman dan sahabat tentang urusan lima huruf ini. Gak cuma cewek, cowok atau mereka yang jelas orientasi seksualnya,  pun teman yang homoseksual pun saya dengerin. Seriously!!  Sama seperti mereka, saya pun kalau ada masalah akan mencari tempat curhat. Nah, ketika seorang teman bercerita tentang keluh kesahnya, selain cuma  mendengar sudah pasti ada keinginan dari diri kita untuk memberi saran dan masukan.  Tapi, cinta itu memang barang ajaib. Sudah sekhatam apapun ilmu kita tentang cinta, sudah secanggih apapun rumus dan formula-mu untuk satu hubungan, percayalah hampir tidak ada teori yang paling tepat untuk  setiap kasus. Itu artinya, cenderung percuma memberikan banyak advis ke teman-teman atau ke diri kita sendiri tentang masalah cinta.

Ada seorang teman yang berusaha sekuat tenaga lari dari sebuah hubungan yang tidak prospektif (loh…kok kayak jualan asuransi),  Sudah banyak upaya yang ia lakukan, sudah banyak pula petuah yang diberikan orang disekitarnya untuk mendukung usahanya itu.  Saya capek memberi masukan harus begini, harus begono. Ia pun nampaknya semangat mengikuti saran saya.  Apa cara itu berhasil? Saya berani bilang tingkat keberhasilannya cuma 40%.  Masalah memang hati ajaib, semakin dihindari ia justru semakin mendekat. Besoknya ia bercerita kembali, kalau ia baru saja berkencan lagi dengan orang yang sama (Capek dehhh…) Saya sendiri pernah mengalami hal serupa. Sama aja, saya juga diberikan banyak petuah oleh teman-teman. Saya juga sibuk mencari berbagai teori sebagai referensi. Sebagai contoh, katanya untuk menghindari seseorang, blok dia dari segala macam alat komunikasi dan media sosial. Jangan terlibat dengan sekecil apapun urusan dengannya.  Lalu, apa yang saya lakukan justru berbeda 180% dari semua petuah dan teori itu. Saya justru membiarkan saja semua berjalan apa adanya. Tidak ada blocking kontak, tidak ada urusan menghindar. Sampai akhirnya hati saya kebal sendiri, dan kemudian semua selesai, dan saya benar-benar ikhlas dengan semua yang terjadi. Percayalah, pada satu titik, time is best healing! 

Ada lagi teman saya yang sudah saya “nasehatin” sampe pake emosi. Ini urusannya bener-bener bodoh. Keukeuh mengejar orang yang jelas-jelas cuma iseng saja sama dia. Dulu saya pikir, masukan yang cocok buat dia tidak ada lain, selain: tinggalin.. cari yang lain. Tapi namanya cinta sih, sejuta alasan bodoh tetap ia gunakan untuk tetap berjuang. Karena bosan, akhirnya ia saya cuekin, Ujung-ujungnya memang ia menjauh dari laki-laki itu, tapi itu ibaratnya sudah kepentok, baru mundur. Buang waktu dan energi sih, tapi mungkin cukup pantas untuk semua perjuangan cinta (uhuk…). Selain gak punya teori, cinta juga bodoh. Kalau tidak bodoh, mungkin bukan cinta namanya. HAHAHAH.. Seorang teman pernah jatuh cinta dengan seseorang yang secara kasat mata sangat jelas perbedaannya. Dari agama, suku, ras,latar belakang dan semuanya. Lagi lagi, semua teori gak mempan buat dia, hingga akhirnya kesandung sendiri dan ia pun mundur teratur. Mesakno…

Cinta memang universal, tapi teori tentang cinta sama sekali tidak universal. Itu yang membuat cinta itu unik. Cinta itu customized. Semua hal tentang cinta selalu melahirkan teori baru bagi setiap yang merasakan, dan teori itu belum tentu cocok diimplementaskan untuk orang lain. So, untuk cinta ikuti saja katamu.  But remember, follow your heart, but take your brain along with you….

 

Hits: 1343

Dulu saya berpikir, karena sudah rutin membayar pajak, artinya urusan saya dengan negara ini selesai. Saya bebas komplain, bebas memprotes semua hak saya sebagai warga negara yang belum sempurna. Macet dikit, saya sudah ribut ngomongin ketidakbecusan pemerintah mengelola lalulintas. Pelayanan kesehatan yang amburadul saya omelin. Belum lagi kalau nonton koruptor ditangkep KPK. Langsung terucap “Oh, jadi uang pajak gue, dipake buat membiayai hidup mewah para koruptor?”

pajakSekarang pun sebenarnya masih begitu. Tapi akhir-akhir ini saya mulai menguranginya. Saya membaca banyak sumpah serapah dan caci maki masyarakat di sosial media. Sebagian diantaranya memang banyak yang asbun. Contoh menggelikan adalah pada pelaksanaan KAA minggu lalu. Selama sekitar tiga hari, jalan-jalan protokol di Jakarta terkena jadwal buka tutup untuk memberikan kelancaran bagi delegasi tiap negara. Saya yang berkantor di bilangan Semanggi pun terkena imbasnya. Selama tiga hari, ongkos ke kantor naik signifikan karena saya males jalan kaki, mau tidak mau harus berputar arah dengan biaya lebih mahal. Lucunya, saat begitu ada saja meme di sosial media yang menyebutkan kondisi begitu sebenarnya cuma pencitraan ke para tamu, bahwa Jakarta itu tidaklah macet. Memang sih, Panitia juga tidak menyediakan alternatif seperti bis tambahan. Tapi tau gak kalau dalam pelaksanaan acara kenegaraan ada Pro-tab yang harus dilakukan? Dan penutupan jalan itu adalah salah satunya. Jelas itu bukan pencitraan tapi bentuk tuan rumah menjaga keamanan para tamunya. Lebih konyol lagi ada yang menimpali: loh, saya sudah bayar pajak..harusnya gak begini!. Hahahha.. Ngakak sendiri. Apa hubungannya?! Kikiki.. Justru saat-saat seperti itulah, negara minta kita “berkorban” sedikittt dan sebentar saja di luar pajak yang kita bayar, untuk kebaikan nama bangsa sebagai tuan rumah.

Jika sering menonton program TV Kick Andy, sering sekali kita melihat “orang-orang” biasa yang memberi arti bagi lingkungan sekitar. Dari supir bis malam yang bisa mendirikan madrasah, petani kecil yang membangun pembangkit listrik hingga anak lulusan SMA yang membuka sekolah kecil untuk anak jalanan. Mereka mungkin tidak mengerti politik, mereka juga tidak paham hitungan pajak. Bisa jadi mereka juga belum sepenuhnya paham hak-hak mereka sebagai warga negara. Tapi menurut saya mereka-lah sebenarnya yang lebih memberi berkontribusi daripada mereka berpikir njelimet, komplain dan sibuk menyebarkan kekecewaannya di sosial media.

Saya juga salut dengan gerakan Indonesia Mengajar. Anak anak muda berprestasi lulusan perguruan tinggi terkemuka, rela mengorbankan karir mentereng di kota besar demi mengajar di pelosok negeri, yang kadang listrik pun belum tentu ada. Bahkan seorang rekan saya, rela meninggalkan karirnya di sebuah perusahaan multinasional di Singapura demi memenuhi idealisme untuk mengajar putra bangsa di pedalaman Maluku. Saya memang belum bisa seperti mereka. Tapi minimal saya menyadari bukan berarti gara-gara  bayar pajak (yang banyak itu), lalu semua urusan selesai dan saya bebas mem-bully pemerintah. Saya menyadari belum bisa berkontribusi banyak untuk lingkungan.. Jangankan untuk mengajar anak-anak di kampung sebelah, bertegur sapa dengan tetangga saja, bisa dibilang sangat jarang. Mimpi saya, suatu saat bisa mempunya satu pekerjaan yang bisa memberikan lapangan pekerjaan juga buat orang lain. Saya juga masih berkhayal untuk lebih banyak berkegiatan sosial.

Eh, bukan berarti saya melanggar orang protes atau komplain ya,. Tapi saya ingin mengajak agar kita sama-sama menelaah, melihat lagi peran kita dimana. Komplain pada tempatnya dan yang paling penting tahu dulu masalahnya baru komplain. Bukan asbun. Bayar pajak saja tidak cukup bikin macet kelar. Coba, apakah kita masih sering bawa mobil dengan penumpang yang cuma satu? Atau apalah contoh-contoh lain yang kira-kira sebenarnya penyebabnya kita-kita juga? Pemerintah memang masih banyak carut-marutnya, tapi tanpa kepercayaan masyarakat niscaya pekerjaan mereka tidak akan berjalan baik.

Hits: 925

Libur tiga hari kemarin mungkin menjadi salah satu masa paling nelongso bagi saya. Gimana gak, ditengah suntuk dan bingung ngadepin kerjaan baru yang TOTALLY baru saya pun bokek berat. Diiitung-itung saya juga sudah beberapa bulan gak naek pesawat yang norak norak bergembira (baca: pergi jauh-jauh). Harusnya saat-saat seperti ini yang dibutuhkan adalah liburan, semisal ngopi ngopi di pinggir pantai, baca buku sambil dengerin lagu mellow. What a perfect combination!

Sudahlah, terima nasib saja yaa sis… :p

Mendadak seorang teman mengajak jalan-jalan ke Taman Wisata Alam Mangrove di Pantai Indah Kapuk (PIK) -yang sekarang lagi hits menjadi alternatif wisata di Jakarta- yang memang nyaris tidak punya wisata alam. Sebenernya saya juga kurang paham ini jalan-jalan ngajak seneng bareng-bareng atau temen saya itu butuh hiburan karena lagi galau berantem sama pacarnya. Hahaha.,. gak penting!! Yang penting akhirnya saya bersama dua orang teman yang lain (jadi ber-empat) sangat menikmati tempat ini. Sabtu itu jalanan dari Bogor menuju Jakarta Utara lanjar jaya banget, kami hanya butuh waktu sekitar 1,5 jam (itu pun pake acara mampir-mampir dan nyasar salah keluar tol). Wohoo…

Pasti sudah banyak yang menulis tentang spot wisata yang terhitung baru ini, jadi saya rasanya tidak perlu menjelaskan detail tempat ini lagi. Saya melihat konsep taman ini menekankan ke edukasi pentingnya mangrove bagi ekosistem. Di awal masuk, kita akan melihat banyak bibit mangrove yang ditanam dan sebagian besar merupakan donasi dari berbagai organisasi baik perusahaan maupu lembaga pendidikan. Tempatnya sudah ditata cukup baik, hingga dilengkapi dengan penginapan berkonsep alam, restoran dan jogging track. Saking indahnya, kami sampai menjumpai sedikitnya lima pasangan calon pengantin yang berfoto prewedding disini.. Huh, sebel (jomblo sirik…)!

blog3 r

Jaman dulu, karena saya kuliahnya di Fakultas Perikanan Kelautan, istilah mangrove atau bakau mungkin hanya diketahui segelintir orang. Bahwa fungsi utama mangrove sebagai penahan abrasi pantai dan feeding ground, nursering ground bagi banyak biota laut bisa jadi hanya diketahui mahasiswa-mahasiswa belaka. Bisa jadi juga, jaman dulu yang “piknik” ke mangrove ya…cuma mahasiswa-mahasiswa pencari sampel laboratorium itu. Tidak terbayang kalau sekarang hutan mangrove bisa disulap jadi tempat jalan-jalan yang edukatif begini. Saya mulai bangga, pelan-pelan mata orang Indonesia mulai terbuka akan pentingnya mangrove bagi manusia.

ada masjid terapung yang bagus banget
ada masjid terapung yang bagus banget

Melihat hutan mangrove di tengah kota ini adalah kali kedua untuk saya. Kali pertama tahun lalu di Tarakan Provinsi Kalimantan Utara. Di PIK, sepertinya spesies mangrove yang tumbuh tidak sebanyak di Tarakan. Vegetasi tumbuhan dan spesies hewan lain pun jauh lebih banyak di Tarakan daripada di PIK. Tentu saja, di Tarakan luasnya juga jauh lebih besar. Sangat terasa sisa-sisa pencemaran laut di Teluk Jakarta sudah merusak sebagian ekosistem pesisir-nya.

when narsis is a must :)
when narsis is a must 🙂

Saya tiba-tiba teringat tesis saya tentang Mitigasi bencana di Banda Aceh. Pada satu kesempatan dosen saya bertanya, seharusnya penerapan mitigasi itu dilakukan bukan fokus di Aceh lagi, tetapi juga di daerah pesisir lain yang juga rawan, dan salah satunya adalah Jakarta. Aceh paling tidak sudah punya pola mitigasi bencana yang lebih baik dari daerah lain. Mereka belajar dari bencana mahadahsyat tsunami 2014. Sayangnya Aceh belum punya hutan mangrove di tengah kota seperti PIK atau Tarakan. Atauu, sekarang sudah ada? Hmm, semoga… Karena saya sudah dua tahun tidak “pulang” ke Aceh.. Lebih penting lagi, harusnya semua kota pesisir di tanah air punya hutan mangrove di tengah kota seperti ini. Selain buat lingkungan tentu saja, bisa jadi tempat piknik asyik yang mendidik. Bukan malah direklamasi terus dibikin apartemen…

Karena lingkungan bukan warisan dari nenek moyang kita,

tapi pinjaman dari anak cucu kita..

Hits: 1282

Gara-gara punya kantor baru yang tepat di pinggir jalan tol, saya sempat kepikir untuk sesekali bawa kendaraan ke kantor. Biarpun tol juga tetep ada macetnya, alternatif ini boleh dicoba karena keliatannya cukup praktis, gak perlu nyambung ojek dan lain-lain. Namun karena sering naik ojek juga saya akhirnya mengurungkan niat itu. Saat macet, saya melihat ratusan mobil di sekeliling saya yang hanya berisi 1 orang! Bahkan kalau iseng dihitung, mungkin yang berpenumpang lebih dari satu orang bisa dihitung dengan jari. Tiba-tiba saya mengurungkan “niat mulia” nyetir sendiri tadi.

Di hujan deras yang mengguyur Jakarta malam lalu, saya sempat stag di jalanan sampe nyaris lumutan, padahal saya sudah menumpang bis APTB yang sangat nyaman, meski AC nya lumayan mencekik. Jakarta-Bogor yang biasanya maksimal dua jam dengan bis -yang melalui jalur busway ini-, semalam ditempuh HANYA 5 jam sajahh! Saya pun landing dengan sukses di rumah pukul 2 pagi. Pengalaman yang luar biasa.. atau mungkin “biasa” buat sebagian warga Jakarta.

Kalau beberapa waktu lalu, saya sebel sama motor yang ugal-ugalan kali ini saya “sebel” sama mobil berpenumpang satu yang jumlahnya mungkin ratusan ribu di Jakarta ini. Iseng, saya mencoba sms Gubernur Ahok melalui nomer yang tertera di akun twitter beliau. Isinya, meminta Pemda DKI untuk menggagas Kampanye Naik Kendaraan Umum. Entahlah, saya juga belum tahu apakah program seperti ini sudah ada atau belum. Yang saya tahu, semasa Pak Jokowi masih Gubernur ada program yang mengharuskan PNS di lingkup Pemda DKI tidak menggunakan kendaraan pribadi di hari-hari tertentu.

Coba bayangkan, data Polda Metro Jaya menyebutkan ada 16-17 juta kendaraan yang beredar di Jakarta setiap harinya. Ambil nilai kecil, mobil misalnya hanya 1 juta unit dan jika 30%-nya hanya diisi oleh 1 orang, jadi tau kan siapa yang bikin macet? Percuma pemerintah tiap tahun menambah ruas jalan, karena pertumbuhan penjualan mobil lebih besar dari penambahan jalan. Eitss, saya gak “nyalahin” naiknya penjualan mobil ya.. Yang saya garis bawahi adalah mobil yang berpenumpang HANYA 1 ORANG, yang berkontribusi besar terhadap kemacetan Jakarta.

Bagaimana dengan penduduk Jakarta, eh.. lebih tepatnya mereka yang mencari nafkah di Jakarta? Mau gak naik kendaraan umum? Pasti beberapa diantara kalian langsung ngomelin saya sambil bilang: ngapain nyusahin diri, kendaraan umum di Jakarta tidak nyaman, tidak aman, bla-bla… Sebentarrr sabar dulu, saya ceritanya loncat-loncat nih.. Saya sempat miris ketika beberapa waktu lalu ada seorang teman yang posting foto lagi di dalam Commuter Line yang nyaman banget (saat gak penuh) dan menulis seperti di Jepang. Ada satu lagi teman yang langsung bercerita enaknya naik APTB ke kantor dari rumahnya di lingkar luar Jakarta. Catat, dua orang teman tadi adalah mereka yang biasa naik kendaraan pribadi. Rasanya sedih, karena artinya mereka tidak pernah tahu, pemerintah sudah banyak sekali berupaya membuat kendaraan umum kita lebih baik. Bahasa gaulnya: Eh, kemana aja luuu ? Baru tau? Kesian banget deh..

Pastilah naik kendaraan umum tidak senyaman mobil pribadi. Naik bis, kereta kadang emang bikin susah, tapi terus-terusan naik kendaraan pribadi apalagi yang hanya sendirian juga bikin susah orang! Memang harus diakui lagi-lagi kendaraan umum disini belum sepenuhnya nyaman dan yang nyaman pun masih terbatas. Namun, alangkah indahnya kalau mereka yang punya uang lebih, bermobil bagus menurunkan sedikit kenyamannya dengan naik kendaraan umum minimal 1 kali sajaa dalam seminggu. Gak usah tiap hari kok! Coba kita lihat, saya yakin banget..macetnya pasti berkurang.

Saya salut tuh dengan kerjaan beberapa orang kreatif yang membentuk komunitas seperti Nebengers. Komunitas ini membuat para pengendara mobil yang biasa sendirian bisa ngajak orang yang searah dengannya. Menurut saya ini solusi yang cerdas daripada mereka yang sendiri di belakang kemudi, lalu ngomel-ngomel menyalahkan banyak pihak karena Jakarta yang muacett. Heyy, wake up! Kalau kamu nyetir sendirian, berarti ada ribuan orang lain yang seperti kamu juga! Dan sadarkah, bahwa kalian juga berkontribusi terhadap kemacetan itu?

Sebuah artikel menyebutkan satu mobil pribadi menghasilkan 250 kg emisi CO2 per penumpang per 1000 km, sementara bus hanya menghasilkan 50 kg emisi CO2 per penumpang per 1000 km. Artinya dengan naik kendaraan umum, kita juga sudah menjaga lingkungan.

Terakhir, bagi saya ukuran kemapanan bukan dengan membawa mobil pribadi, tapi kemauan berbaur dengan banyak orang lain.

Kata Rumi: Yesterday I was clever, so I wanted to change the world. Today, I am wise, so I am changing my self. 🙂

 

Hits: 1268

Ketika ditawarkan untuk mengisi sebuah posisi di salah satu bank terbesar di tanah air, saya merasa geli sendiri. Saya pikir, mantan atasan saya di Aceh yang menawarkan pekerjaan itu salah memilih orang (Piss, Pak Ed!) Dari jaman dahulu kala, tidak pernah sedikit pun terbayang bekerja di dunia perbankan. Rasanya kok jiwanya bukan “gue banget”. Gue yang kadang jutek, gak bisa ramah seperti teller bank, yang gak bisa dandan rapih dan susah bangun pagi karena harus duduk manis di meja sebelum jam 8 pagi. Apalagi tujuh tahun terakhir saya bekerja di beberapa organisasi yang sebagian besar bersistem kontrak dengan gaya kerja yang cenderung casual dan bukan organisai permanen yang punya ribuan karyawan di ribuan cabang.

turning pointTanpa mengurangi respek saya ke si Bapak, saya tetap mengirimkan CV saya, toh saat itu posisi saya memang sedang mencari pekerjaan baru setelah selesai masa bakti di sebuah unit kerja pembantu presiden yang eksis di masa Presiden SBY. Ternyata prosesnya menyenangkan, karena selama wawancara saya justru lebih banyak dipaparkan apa yang bisa saya lakukan disana dengan kemampuan saya dan ternyata itu menarik!! Pelan-pelan paradigma kekakuan pikiran saya terhadap akronim “bekerja di bank” mulai tergeser. Setelah melalui beberapa proses, saya dinyatakan diterima di salah satu Indonesian Most Admired Company itu. Agak bimbang awalnya, apalagi ada beberapa tawaran lain yang cukup menarik. Namun setelah dipertimbangkan, saya memilih menerima tawaran bank itu.Alasannya pertama karena ini adalah jenis pekerjaan yang “paling beda sendiri” dibandingkan kesempatan yang lain. Kalau masalah imbalan memang oke sih, tapi bisa dibilang so-so lah.. Gak terlalu luar biasa banget. Pertimbangan utama lebih karena ini kesempatan berharga, saya belum pernah bekerja di perusahaan raksasa seperti ini, di dunia yang berbeda 180 derajat dari yang sebelumnya sementara kesempatan pekerjaan lain cenderung di kuadran dimana saya sudah “khatam”. Hidup ini tantangan kan? Dan tantangan ini tidak datang dua kali. Meski ada sedikit ketakutan saya akhirnya setuju untuk menandatangani kontrak kerja. Saya pikir jika mantan atasan saya saja percaya saya mampu, kenapa saya ragu terhadap diri saya sendiri? Kata Pak Kuntoro di Bukunya Bintang Laut yang berserak: ketakutan dalam pekerjaan itu wajar, tetapi ketakutan itu untuk dihadapi bukan dihindari.

Lebih dari itu, saya sudah lama tidak merasakan “kesetaraan” posisi dan kesempatan dalam sebuah pekerjaan. Ada pekerjaan dimana orang didalamnya digolongkan lebih eksekutif bukan didasari oleh jabatan dan performance pekerjaannya tetapi karena ada “atribut” yang melekat pada personilnya. Misal karena ijazahnya dari negara yang bersalju, karena ia lebih banyak ngomong Bahasa Inggris dari Ibu, karena ia lebih dekat dengan atasan, bla..bla. Anehnya performance personil juga tidak pernah dinilai secara regular sehingga kesempatan untuk mendapatkan peluang berkembang lebih baik hanya ada pada orang-orang yang beratribut tadi. Sementara saya dan teman-teman dari kasta di bawahnya, makin demotivasi karena pekerjaan yang saya lakukan tidak pernah dinilai dan diukur. Seperti ada kasta dalam sebuah kantor. Not to mention kasta itu antara pimpinan dan bawahan ya. Kondisi yang hanya melahirkan segelintir orang-orang sombong. Ah, tapi sudahlah…

Dulu, saya tidak pernah mau bekerja di luar kota, sampai akhirnya nyasar di Aceh, yang kemudian merubah hampir separuh hidup saya.Dari dulu juga saya tidak pernah melamar ke pemerintahan, karena saya tidak suka dan tidak ngerti politik sampai akhirnya saya cukup lama di organisasi pemerintahan. Dan… sekarang saya menclok di perbankan yang jauh sekali dari bayangan saya.

Mungkin pesan moralnya; rejeki dan jodoh bisa datang dari sesuatu yang tidak kita suka. Life is unpredictable. This is my new turning point.

Hits: 677

Pagi ini Bogor masih basah karena hujan yang mengguyurnya sejak tadi malam. Setiap tetes hujan yang jatuh memberi bermacam cerita. Bogor kini sudah banyak berubah. Lima-sepuluh tahun lalu saya masih harus tidur berkaus kaki di siang hari, dinginnya air di kamar mandi membuat Bogor selalu ngangeni. Ini adalah minggu terakhir saya menikmati Bogor tanpa  berbarengan dengan rombongan turis Jakarta yang saban akhir pekan membuat Bogor sesak. Mulai minggu depan, Jakarta (kembali) akan menjadi bagian hari-hari saya dan Bogor hanya tersisa untuk tidur pulas di akhir pekan.

blog-101

Seharusnya laporan yang banyak itu hari ini sudah selesai. Tapi saya sedang malas.  Apalagi ada beberapa masalah yang belum juga terselesaikan. Mumet. Hmm, saya perlu mood booster. Rasanya sudah mulai bosan duduk di kafe ditemani secangkir kopi sembari jari-jari sibuk mengutak-ngatik keyboard. Tiba-tiba saja tercetus ide menuju Telaga Warna di Cisarua Puncak. Berharap disini ada adrenalin dan hormon endorphin bisa memacu otak melahirkan ide-ide baru.

blog-102Menuju Telaga Warna sangat mudah. Letaknya kira-kira 200-300 meter sebelum Restoran Rindu Alam di Puncak Pass. Papan tulisan Telaga Warna memang agak kecil, jadi jika sudah melewati Pasar Cisarua dan jalan makin menanjak, ada baiknya selalu melihat ke kiri, biar gak kelewatan. Jalan masuknya ada di kiri jalan yang didepannya penuh dengan tukang sayur. Kalau lewat daerah Puncak, saya paling suka dengan deretan tukang sayur. Sebagai sahabat si kambing, sebelum masuk ke lokasi saya sempatnya juga membeli sayuran yang menggairahkan itu. Di kanan jalan ada beberapa warung nasi masakan Sunda yang mengundang selera. Dari sini tinggal jalan 200 meter di tengah kebuh teh dan kita akan ketemu sebuah telaga kecil yang memukau. Konon air di sini sering berubah tanpa diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Itulah sebabnya dinamakan Telaga Warna. Di sekelilingnya hidup berbagai hewan yang dilindungi. Hutannya lebat, meski hanya berjarak 200 meter dari jalan raya. Konon lagi, ada macan tutul yang hidup di hutan itu.

Benar saja, Telaga Warna memberi warna baru di imajinasi saya. Airnya yang hijau karena pantulan warna pohon-pohonan di sekelilingnya seperti menarik semua kemalasan dan kecemasan yang tadi pagi masih memenuhi kepala. Memandang alam tanpa batas seolah mengecilkan arti semua masalah yang kita hadapi. Saya makin percaya tidak ada masalah yang permanen dalam hidup ini. Hari berganti, matahari selalu terbit di pagi hari tanpa pernah ingkar janji. Begitu pun dengan harapan, selalu ada harapan di tengah semua kerumitan urusan, selalu ada jalan saat semua seolah buntu.

Ah, hari ini menyenangkan. Setelah puas bertafakur di alamNya, saya bersama dua orang teman menikmati sebonggol jagung bakar yang pedas dipadu dengan semangkuk sekoteng hangat. Hemmm.. Life is beautiful..

Hits: 1006

Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, berdesak-desakan di tengah ribuan orang mencari tempat paling tepat untuk bisa bersalaman dengan Presiden ke 7 Republik Indonesia. Selama ini jika menonton “tingkah serupa” orang lain di TV saya paling cuma ketawa sambil berucap: “Ih, mau mau aja sih..panas-panasan sampe kejepit jepit begitu”… Apalagi sampai akhir tahun lalu, saya sempat bekerja di lingkungan Istana Negara yang punya pass bebas masuk areal Istana tanpa dipelototin dan ditanya-tanyain Pasmpres. Meskipun selama hampir tiga tahun itu, gak pernah selfie sama SBY, bisa keluar masuk dan foto-foto di lingkungan Istana saja sudah jadi prestise tersendiri yang mungkin tidak mudah didapatkan orang lain.

Kerumunan Massa menanti Pak Presiden. Gimana bisa lolos, cobaa??
Kerumunan Massa menanti Pak Presiden. Gimana bisa lolos, cobaa??

Again…takdir berkata lain. Kemarin, dalam pagelaran Festival Cap Go Meh di Bogor, saya niat banget cari jalan agar bisa selfie dengan Presiden. Niat awalnya cuma mau nyobain HP baru saya yang super keren kamera-nya, bak fotografer profesional dan bisa dipake selfie dengan resolusi tinggi cuma dengan melambaikan tangan atau nyengir di kamera. *Ssst, sumpah ini gak beli..ini pinjemin seumur hidup dari seroang sahabat* Saya pikir, okeh juga nih kalau dipake moto barongsai dan atribut-atribut perayaaan Cap Go Meh yang merah meriah. Ternyata perayaan tahunan ini dibuat lebih meriah dari sebelumnya karena diperluas menjadi Festival Budaya Bogor yang juga diisi pawai berbagai budaya lokal dan nasional.  Lebih serunya lagi, Pakde Wiwi alias Om Jokowi, Presiden kita ikutan membuka acara. Beliau memang saat ini lebih banyak bermukim di Bogor, rasanya keluar pagar istana yang cuma berjarak sekitar 200 meter dari tempat lokasi sih gak susah-susah amat lah!

Di lokasi yang dipenuhi ribuan umat itu, saya dan seorang teman kelimpungan mencari tempat yang pas. Kejepit sana-sini, panassss, rebutan tempat dan kaki keinjek-injek.  Tiba-tiba saya sirikkk banget sama panitia dan tamu-tamu yang duduk santai di tenda khusus sambil minum teh botol.Huhh..rasanya pengen nonjok! Dan pengen bilang: Eh, I was there yaa!! Enak amat luu duduk-duduk aja!!  Tidak kurang akal, teman saya yang mantan anggota Resimen Mahasiswa bilang bahwa kita harus melihat posisi strategis dari atas. Kebeneran deket tempat acara ada mall. Meski pintu utama masuk mall dijaga polisi dan ditutup, ternyata pintu belakang dan samping, tidak sodara-sodara! Horeee.. Kami lalu naik ke lantai paling atas dan memantau posisi kosong dari sana. Di posisi itu, akhirnya saya melihat pintu keluar Presiden dan kami pun mulai berpiki bagaimana caranya bisa ada di jejeran paling depan. Singkat cerita, dengan kaki yang udah lumayan pegel, kami turun lagi dan mulai sedikit sedikit masuk ke gerbang utama Kebun Raya Bogor

Selfie sama Paspamres sudah bahagia..
Selfie sama Paspamres sudah bahagia..

Entah baca doa apa, kami pun akhirnya berada pas di belakang pagar betis Paspamres. Huhh..rasanya lega… Sekitar 15 menit sebelum Presiden keluar saya sibuk ngetes kamera keren tadi. Utak atik..klak..klik.. Pokoknya sibuk!! Untungnya Paspamresnya ramah-ramah, malah saya sempat bercanda dengan mereka. Saya juga melihat penampakan Pak Anies (Mendikbud) dan Pak Ahmad Heryawan (Gubernur Jabar) dan tentu saja Kang Bima Arya, Walikota Bogor.

Jreng-jreng..saking sibuknya dengan kamera tadi, saya sama sekali lupa bahwa Pak Jokowi sudah keluar, sampai akhirnya saya balik badan dan Ia tepat ada di belakang saya, menyodorkan tangannya untuk bersalaman! Sumpah kaget banget, karena beliau hanya nyamperin barisan saya di kanan, bukan barisan seberangnya (di kiri). Duhhh..gak sempet lagi moto-moto, saya udah gak inget menu kamera-nya, malah bengong! Bego gak sihh ???? Lalu Ia berlalu begitu saja, meninggalkan saya dan teman saya yang masih cengok gak percaya. Dipikir-pikir mungkin dia nyamperin barisan kanan, karena kasian ngeliat saya yang sibuk dengan kamera yang tak seberapa (bukan kamera Bu Ani). Hahahaha

Mungkin buat sebagian orang, ketemu Presiden itu biasa. Buat saya juga biasa! Tapi “kurang kerjaan” memburu beliau dengan cara begini rasanya luar biasa!! Bukan sombong, dulu saya sering ikut acara-acara kenegaraan yang dihadiri banyak pejabat penting, tapi memburu orang penting ala “rakyat jelata” kemarin beda banget dengan yang biasa duduk manis kemudian antri salaman dengan fotografer khusus. Meski mendukung beliau ketika Pemilu, eittt jangan salah, Saya bukan orang yang mendewakan beliau. Tapi mau gak mau sekarang dia Presiden kita kan… Terlalu naif menilai negatif padanya saat ini, karena ngurus negara bukan kayak memelihara tuyul, ada masalah sekarang besok selesai. Dari keisengan pengen selfie ini saya makin merasa beliau (berusaha) sangat dekat dengan masyarakat. Jadi saya masih tetap menitipkan kepercayaan besar padanya.

Bangunan Antik di Suryakencana, Bogor
Bangunan Antik di Suryakencana, Bogor

Oya, setelah gagal selfie dengan Pak Jokowi itu, niat untuk menonton pawai tetap berlanjut dong. Seru dan meriah. Baru kali ini nonton pawai di Bogor isinya yang hampir sama dengan Pawai 17 Agustus di Istana Negara. Jalan Suryakencana, kawasan Pecinan di Bogor, ditutup hingga pukul 12 malam untuk acara ini. Sekedar informasi, dedung-gedung di daerah ini masih banyak yang mempertahankan bentuk aslinya. Suryakencana sejak dulu jadi pusat kuliner di Bogor. Konsepnya bukan restoran, kebanyakan pedagang kaki lima yang sudah berjualan hingga puluhan tahun. Di sini ada seorang pedagang martabak manis, Bapak tua berumur sekitar 70 tahun yang masih memasak dagangannya dengan arang!. Dagangannya laku, meski kita harus nunggu luaaammaa banget.. Ya, bayangin lah bo..masaknya pake areng! Hebatnya meski laris, ia tidak berjualan berlebihan. Jika adonannya sudah habis, ia tidak akan menambah adonan lagi, meski masih ada yang minat membeli.

Perayaan ini tidak hanya menjadi milik warga keturunan Tionghoa tapi juga seluruh orang Bogor. Bahkan jadi atraksi turis yang menarik sekali. Saking universal-nya keramaian ini, ketika waktu sholat magrib tiba, pawai berhenti sementara, alasannya Barongsai-nya sholat magrib dulu. Hahahaha..

Ah, jarang-jarang jadi turis di kota sendiri…

Hits: 1002

Ketika diajak seorang teman ke Gunung Padang, Cianjur dan berangkat pagi-pagi banget dari Bogor, rasanya mualesss banget!! Tapi akhirnya saya setuju, daripada seharian di rumah saja dan membusuk jadi fosil. Syaratnya, saya gak mau nyetir mobil. Yeay!! Setelah menerobos hujan di Bogor dan jalanan penuh kabut di puncak, saya bersama dua orang teman tiba di Cianjur. Dari sini masih menuju arah selatan, ikuti saja papan penunjuk arah hingga tiba di simpang Warungkondang menuju Gunung Padang. Dari simpang ini, masih sekitar 20 km menuju lokasi. Jaraknya memang cukup jauh ditambah jalanan mendaki namun pemandangan sawah, jurang dan kebun teh membuat perjalanan sangat tidak terasa. Oya, sebenarnya ada metode lain yang cukup praktis kesini yaitu dengan menumpang Kereta Sukabumi (via Cianjur) dari Bogor. Turun di stasiun Lampegan kira-kira 5 km dari Gunung Padang. Kereta ini bukan kayak KRL, jadi harus pesan dulu (bisa via online). Nah dari sana, bisa nyambung ojek. Sorry, saya gak survei harganya, tapi perkiraan saya kereta dan ojek sekali jalan sekitar Rp50 ribu/orang.

Yeay! Sampai setelah 3 jam dari Bogor!

Tiba di lokasi, sudah disediakan tempat parkir, untuk mobil dikenakan parkir Rp10 ribu sedangkan setiap pengunjung dipungut biaya Rp4000 /orang. Ada dua tangga, yang baru bangun dan lebih landai serta tangga batu yang konon bagian asli dari situs. Kami memilih yang kedua dengan 400 anak tangga yang sukses bikin ngos-ngosan!! Setelah lumayan ngos-ngosan, jreng, Jreng.. Sampai di puncak bukit dan melihat tumpukan bebatuan andesit dengan indahnya Gunung Pangrango sebagai latar, capek dan ngos-ngosan-nya hilang! Rasa males yang tadi pagi dibawa dari Bogor juga ikut lenyap! Dan…. tiba-tiba saya ingat Machu Piccu di Peru yang merupakan salah satu situs warisan dunia (World Heritage) versi Unesco.

Undakan 400 anak tangga. Dijamin gempor!
Undakan 400 anak tangga. Dijamin gempor!

Gunung Padang adalah situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara yang terletak di ketinggian 885 dpl. Konon usianya sudah mencapai 8000-9000 tahun. Wow! Pada tahun 1970an, menurut para sesepuh daerah sana, ini adalah bangunan berundak yang menyerupai piramid. Namun karena tidak dirawat dan letaknya di tengah hutan, banyak pohon tumbang yang merusak situs ini. Baru di tahun 2000an, pemerintah memberi perhatian lebih dengan membuatnya menjadi lokasi wisata yang layak disambangi. Situs ini sudah diteliti banyak orang, dimana sebagian besar diantaranya adalah orang asing (hmmm….). Kalo gak percaya, silakan googling aja! Susunan batu-batu yang rapih menunjukkan dulunya banyak ruangan di bangunan ini. Kata Mang Google, dulunya tempat ini diduga adalah tempat pemujaan yang lebih tua dari candi Borobudur. Di puncaknya terdapat batu yang menyerupai singgasana dengan pandangan yang luas ke depan dan bawahnya. Konon inin adalah tempat pimpinan mereka. Udara yang sangat sejuk dan view yang keren membuat kita betah berlama-lama.

dulu ini seperti candi
dulu ini seperti candi

Kalau mau disamakan dengan Machu Piccu mungkin agak berlebihan sih. Saya pun belum pernah kesana (ada yang mau sponsorin ke Peru?) Tapi dari hasil baca-baca di internet, struktur undakan dan batuan Gunung Padang menyerupai Machu Piccu. Lokasi keduanya juga terletak di atas bukit, meskipun posisi Machu Piccu lebih tinggi (sekitar 2000 dpl). Sebagai peruntukan keduanya pun diperkirakan sama, sebagai tempat pemujaan. Bahkan diprediksi Gunung Pandan berusia lebih tua hampir 5000 tahun dari Machu Piccu. Bisa jadi ini yang membuat Machu Piccu masih lebih “awet” dibanding Gunung Padang. Nah, di sisi lain kita sebagai orang Indonesia harusnya bangga dong, karena sebenarnya peradaban nenek moyang kita lebih dulu dibanding suku Inca yang membangun Machu Piccu

Bagi saya, kesini sama saja dengan belajar sejarah peradaban manusia. Dan makin yakin Indonesia adalah negeri yang kaya, bukan cuma alamnya yang indah, budayanya yang unik tetapi juga bukti kebesaran nenek moyang dunia juga ada di sini.

Hits: 2148

Kalau kamu berpikir mereka yang hebat adalah mereka yang “menjual” CV nya kemana-mana lalu, bekerja di kantor bergengsi dan mendapatkan gaji besar, mungkin pikiran itu harus dievaluasi ulang. Di banyak kesempatan, akhir-akhir ini saya bertemu banyak teman yang bagi saya lebih hebat dari mereka yang punya CV mentereng. Mungkin secara akademis mereka biasa-biasa saja, tidak masuk golongan Top 10 di kampusnya, boro-boro deh.. masuk golongan mahasiswa juara berbagai lomba. Oya, tulisan ini bukan teori tentang enterpreneurship (yang membosankan). Ini cuma uneg-uneg saya ke diri sendiri yang belum bisa mengoptimalkan potensi diri sendiri. Lah, kalau yang lain dengan semua keterbatasan mampu,.. kok saya nggak? Saya sempat bercita-cita berjualan sepatu online yang sepatunya dibuat customize. Saya sudah sempat survei sentra industri pengerajin sepatu di Bogor. Saya memilih sepatu, karena benda ini adalah hobi saya. Katanya kalau mau mulai masuk bisnis kreatif, mulailah dari hobi. Kenyataannya sampai tulisan ini dibuat rencana itu seperti selalu menjadi wacana yang jalan di tempat. Nah kalau ini, alasan utamanya adalah malas! Jangan ditiru!!

Read More

Hits: 936