Pernah ngerasain antri masuk restoran seperti antri audisi Indonesia Idol? Nah! ini! Tidak tanggung-tanggung, antrinya pun di luar ruangan yang suhunya “cuma” 10 derajat sajah plus gerimis yang mengundang! 

Anyway, saya bukan food blogger bukan juga pengamat kuliner, jadi tulisan ini sama sekali bukan ulasan. Ini cuma sedikit  pamer dan pengen bilang bahwa makanan paling enak itu (buat kita yang orang Indonesia) ya, makanan kita. Misalnya pecel lele pinggir jalan simpang Indomaret atau ayam cabe ijo yang mangkalnya di depan kantor PLN tidak jauh dari rumah saya. 

***

Pada sebuah hari di penghujung Februari, kami tiba di San Diego sekitar pukul  2 siang setelah berkendara kurang lebih 5 jam dari Arizona. Cuaca cukup ganas. Hujan badai yang kenceng banget, membuat kami ngendon di hotel hingga malam tiba. Hotel kami tepat menghadap pantai yang katanya sih buat ukuran sana udah keren banget. Eh, buat kita yang terbiasa dengan pantai Indonesia mah, gak ada apa-apanya. Entar deh saya tulis, sekarang saya ceritain dulu soal mengantri makan yang mirip menunggu pembagian raskin.

Setelah badai reda, Lisa mengajak untuk mencoba Raki Raki Ramen yang berlokasi di Japanese Town dan konon itu adalah ramen terenak di San Diego. Terakhir makan ramen di Pacific Place Mall Jakarta dan itu enak banget. Mungkin yang di Amerika ini bisa lebih enak, begitu pikir Saya.  Oya, San Diego termasuk kota yang paling banyak penduduk Asia-nya selain San Francisco di negara bagian California. Tidak heran, disini penuh dengan restoran makanan Asia di setiap sudutnya.

Tiba disana, antrian sudah mengular dan pengunjung harus antri dengan berdiri di luar yang suhunya hanya sekitar 10-an derajat dan gerimis! Saya merapat ke perapian yang modelnya mirip obor.  Restorannya memang kecil, jadi daya tampungnya memang tidak banyak. Melalui kaca-kaca besar aktivitas di dalam resto terlihat jelas. Kelihatan beberapa pelayannya memang orang Jepang asli, chef-nya pun begitu. Mereka sangat sibuk, sampai ada beberapa meja yang belum sempat dibereskan, padahal antrian di depan makin panjang. Hingga nyaris dua jam kami belum juga bisa masuk ke dalam restoran. 

Interior Raki Raki

Then… akhirnya tiba juga rombongan kami dipanggil masuk, sungguh Saya excited. Penasaran. Kemudian Buku menu terhidang di meja, (tentu saja banyak yang non halalnya). Sebagai bangsa kambing-kambingan, saya memesan Vegetable Ramen. Harganya?! Lumayan, US$ 13,95 saja. Kalau dirupiahkan sama saja Rp 150 ribu alias bisa makan 3 mangkuk ramen paling enak di Pacific Place. Emang Amerika kapitalis!! Hahahaha.. Mama dan Lisa memesan menu lain, minumnya air mineral yang tulisannya Kangen Water. Wow, sama dong kayak yang lagi hits di Jakarta, konon air ini mineralnya dan ionnya lebih banyak yang bikin dia lebih sehat. Total jenderal kami menghabiskan hampir US$ 50 buat makan bertiga. Mehong!

 

Akhirnya, pesanan pun tiba di meja, mau tau rasanya?!! Yahhh…so so aja sih. Kurang sebanding dengan perjuangan mengantri selama hampir 2 jam dengan bonus kedinginan. Enak yang gak enak-enak amat. Beneran.

Tau begini, rasanya saya pengen pulang saja ke rumah masak indomie kari ayam pake telor setengah mateng dengan irisan cabe rawit yang banyak! Atau menunggu dengan duduk manis di rumah dan membiarkan abang gojek yang mengantri selama dan sepanjang tadi. 

Tidak kapok ngantri, esoknya Lisa lagi-lagi mengajak sarapan pagi di restoran pancake yang konon (lagi-lagi) paling enak di San Diego, namanya Richard Walker’s Pancake. Saking larisnya, dia hanya buka hingga menjelang makan siang. Again, ukuran enak ternyata salah satunya dilihat dari antrian. Persis sama dengan Raki Raki Ramen, disini juga kita berjejer menunggu seperti antri sembako. Duh, bule mau makan susah bener ya.. Di Jakarta, antrian ayam goreng bensu dan kue artis saja gak segininya. Itu pun bisa diwakilkan dengan ke abang gojek yang setia.

Yang istimewa dari Richard Walker’s Pancake adalah porsinya yang besar-besar. Rasanya memang saya akui enak. Meskipun lidah kita mah, sarapan tetep nasi uduk yang paling nendang. Saya memilih Omelette Cheese Mushroom yang umum sering kita temui. Tapi ini memang gede banget porsinya, bisa buat bertiga. Hot dish mereka adalah Ginormous German Pancake, pancake yang bentuknya seperti baskom dan dimakan dengan butter. Sumpah enak! Kami juga memesan blueberry pancake yang rasanya tidak standar, memang mantap! Lebih mantap lagi karena kopi dan teh yang kita pesan bisa refill sampai kembung. Asik kan ?

Saking banyaknya, makan disini ibarat makan di Restoran All you can eat. Total sekitar US$60 dihabiskan buat bertiga. Lumayan banget buat kantong kita kebanyakan. 

Dua hari di San Diego, kami capek juga ngantri-ngantri terus. Besoknya kami kembali ke selera asal, makan rendang dan nasi yang kita bawa dari rumah. Karena cuaca masih terhitung musim dingin, tanpa kulkas pun semua tetap awet..

Makan puas di Richard Walker’s

 

Ya sudah, gimana cerita wisata kulinermu?

 

 

 

 

 

Hits: 3086

Kamu kapan terakhir ikut pawai berbaju nasional? Kalau saya, hmm.. mungkin waktu SD atau malah TK?  Setahu saya,  selain pada peringatan 17an, biasanya siswa-siswa sekolah akan berbusana nasional pada peringatan Hari Lahir Ibu Kartini. Iya, kan?! Kecuali kalau kamu memang penari atau orang yang kerjanya dekat dengan pertunjukan tradisional. Nah, apa jadinya jika yang berpakaian nasional adalah Bapak, Ibu pegawai pemerintahan yang biasanya berbatik atau berseragam cokelat kulit sapi? Ya, ini beneran kejadian di Tangerang beberapa waktu lalu.

Mengusung tajuk Festival Budaya, pada pagi itu ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Tangerang berbaris rapih, berdandan tampan dan cantik dengan puluhan jenis pakaian daerah. Ada juga rombongan yang berjumlah hingga 500 orang berbaju batik mengikuti kirab budaya pagi itu. Mereka dilepas oleh Walikota Tangerang, Bapak Arief R Wismansyah. Parade juga dimeriahkan oleh macam-macam tarian dari berbagai suku dan daerah. Tidak cuma dimerihkan oleh ASN Kota Tangerang tetapi juga ada  perwakilan dari 11 kota dan kabupaten di Indonesia, seperti Kota Kediri, Bandung  bahkan Kabupaten Merauke, Papua.  

Tidak main-main, seluruh Kepala Dinas, Pak Camat hingga Pak Lurah, wajib menyiapkan tim-nya dengan pakaian adat daerah manapun dari seluruh Indonesia.  Tepat di bawah Tugu Adipura, dua orang MC memperkenalkan setiap kontingen. Masyarakat tumpah ruah. menyaksikan dengan gembira. Mungkin ada yang baru hari itu melihat dengan mata langsung pakaian adata Aceh, pakaian adat Dayak atau bahkan koteka dari Papua. Seru. Beberapa kontingen bahkan tidak hanya berparade, tetapi juga menyuguhkan atraksi dari tari-tarian khas nusantara hingga atraksi barongsai. Siapa bilang Barongsai cuma milik suku Tionghoa? Para pemainnya, jelas-jelas bukan dari suku Tionghoa.

Sebagai informasi, Festival Budaya Nusantara 2017 tersebut digelar selama satu minggu, pada minggu pertama Desember 2017.  Kirab di minggu tadi, hanya merupakan salah satu rangkain. Masih ada kegiatan lain seperti  berbagai perlombaan, di antaranya lomba palang pintu, lomba tari kreasi nusantara, lomba baju pengantin tradisional, lomba standup comedy, serta penampilan Sendratari Ramayana dan pertunjukan lighting Tangerang dalam Visual di penutupan kegiatan.

Buat saya, inisiatif Kota Tangerang melaksanakan acara ini, patut diacungi jempol. Kapan lagi kita diingatkan bahwa Indonesia ini kaya dan beragam. Jangan cuma anak TK dan SD yang wajib menggunakan pakaian daerah pada hari-hari tertentu. Orang-orang dewasa pun sesekali perlu melakukan simbol-simbol Bhinneka Tunggal Ika seperti ini.

Festival-festival seperti ini seharusnya rutin diadakan. Apalagi Tangerang yang menjadi kota Satelit Jakarta adalah minatur Indonesia. Tangerang memang tidak mempunyai penduduk asli. Suku Betawi dan Keturunan Tionghoa sudah membaur jadi satu. Wilayahnya yang masuk Provinsi Banten (yang pecahan dari Jawa Barat), membuat disini juga banyak didiami orang Sunda. Kini, sebagai kota penyanggah, lebih banyak lagi asal muasal penduduk yang tinggal disini. Mungkin tingkat pluralismenya belum semajemuk Jakarta, tapi untuk ukuran Kota kecil dan menengah, harmoni keberagaman di Tangerang pantas jadi contoh daerah lain.

Ayo ke Tangerang!

Hits: 1277

“My mother is traveling alone to LA, using wheel chair and now she is awaiting for me at the boarding gate, please help me to see her just for a moment… ” Dengan terbata-bata dan ingin menangis saya jelaskan ke petugas imigrasi bahwa mama saya sendirian, pakai kursi roda dan sedang menunggu saya membeli makanan. Perasan berkecamuk, menatap mata Mbak-Mbak imigrasi yang kulitnya putih kinclong dengan harap-harap cemas.

***

Sebagai pemegang green card, Ibu Saya memang punya hak yang sama dengan warga negara USA, bedanya Ia tidak punya hak politik. Alias tidak boleh memilih dan dipilih dalam legistlatif. Tidak enaknya, beliau tidak bisa meninggalkan Amerika lebih dari 6 bulan setiap tahunnya, which is… kalau pulang kampung (ke Indonesia) ya, maksimal 6 bulan. Katanya sih, kecuali kalau sudah lebih dari 5 tahun jadi green card holder, boleh pulang ke negara maksimal hingga 1 tahun lamanya.

Kata orang enak, bisa sering-sering  ke USA. Kata saya sih, sekarang gak enak-enak (amat) lagi. Pertama, kalau ke USA saya hanya bisa di akhir tahun atau di awal tahun banget. Periode itu lagi musim dingin, dimana saya TIDAK SUKA DINGIN! Suhu AC kamar saja saya bisa senewen apalagi ketemu suhu minus. Saya tidak peduli namanya salju, namanya musim gugur. Pokoknya kalau dingin, saya menderita. Titik. Saya bisa mati karena rindu matahari. Kedua, harus preparing dana ekstra setiap tahun, karena mama sering pengen pulang dan saya harus jemput atau nganterin balik. Kita sekeluarga belum tega membiarkan Mama jalan sendirian lebih dari 20 jam dengan transit di negara-negara yang bandaranya super luas dan hurufnya saja belum tentu huruf latin. Apalagi Mama tidak begitu lancar berbahasa Inggris dan cepat lelah kalau jalan jauh dari gate ke gate di bandara yang terlalu besar.

Nah, kejadian ini baru saja Agustus lalu. Kondisi saya dan keluarga benar-benar sedang tidak bisa mengantarkan Mama (macam-macam alasannya, termasuk situasi keuangan yang kurang mendukung). Sementara Mama sudah hampir 6 bulan pulang kampung, yang artinya harus segera balik ke “kampung barunya” itu kalau nggak mau kena “black list”  Pemerintah USA. Setelah melalui berbagai pertimbangan, kami mencarikan Mama  tiket pesawat yang transitnya cuma sekali, pesawat lokal Asia dan saya bisa mengantar sampai bandara transit sebelum direct flight ke Los Angeles plus murah tentu saja. Dan dari semua kriteria itu saya memilih Phillipine Airlines. Beberapa tahun lalu saya juga pernah naik pesawat Filipina yang full service ini, dan not bad-lah. Masih recommended. 

Maka tibalah hari keberangkatan. Saya membeli tiket pesawat yang sama dengan Mama sampai Manila. Niatnya memang mau nganterin sampai Manila saja, dan memastikan beliau masuk pesawat direct ke LA, yang artinya tidak turun-turun lagi dan langsung dijemput Saudara di LA. Ini perjalanan Mama yang pertama  dan sendirian sejauh ini. Agak cemas juga plus nggak tega. Tapi mau bagaimana lagi, Mama harus kembali ke USA bulan ini. Dari Bandara Soetta, saya sudah memesankan wheel chair, biar mama nggak capek jalan dan tidak repot mencari gate sendirian saat landing. Intinya, kalau pakai wheel chair, crew pesawat akan lebih memperhatikan. Itu saja. 

Rencananya, setelah tiba di Manila pada pagi harinya (kami berangkat dini hari dari Jakarta), saya akan langsung balik siangnya ke Jakarta via KL dengan Cebu Pacific. Bokek, males mampir-mampir Manila. Tentu saja saya memilih jam setelah pesawat Mama take off ke LA. Setiba di Manila, Mama langsung ke gate transit dengan wheel chair bersama petugas. Sementara saya tetap harus keluar imigrasi dulu lalu check in pesawat pulang dan kembali ke boarding gate menemani Mama yang transit 3 jam (rempong ya boo…) Oya, kalau ada yang nanya, kenapa nggak check in online aja trus langsung masuk boarding gate sama nyokap, nih gw jawab ya : biarpun lo udah check in online,tetep kudu keluar imigrasi karena pesawat Saya bukan connecting flight. Gitu.

Saya juga keluar rencananya mau menukar Rupiah ke Peso buat bekal Mama beli makanan pas transit di dalam, karena Mama tidak punya kartu kredit. Kelar imigrasi, mau check in, baru sadar sebuah ketololan telah terjadi. Ternyata Phillipines Air (PA) dan Cebu beda terminal, saudara-saudara!! Cebu di terminal baru yang jauhhh.. dari Terminal PA. YANG ARTINYA GW NGGAK BISA MASUK LAGI NEMUIN MAMA YANG NUNGGU SENDIRIAN.  Jauhnya pake banget, lebih jauh dari sekedar T1 ke T3 di Soetta, mirip-mirip dari Soetta ke Kota Tangerang dipinggir Soetta. Duh, kenapa bisa stupid begini, seharusnya pada saat memesan tiket, ini sudah Saya antisipasi.

***

Tiba-tiba bingung dan agak linglung, saya coba ke imigrasi untuk minta tolong; minta ijin masuk ke gate dan ketemu sebentar saja. Seorang petugas masih muda berumur 20an, bilang tidak bisa, karena Saya tidak punya pass masuk gate PA. Oke, Saya ke counter tiket PA, cari tiket kemana pun yang terdekat, yang penting bisa masuk gate dan ketemu mama sebentar. But it was sold out! Mulai stress, bener-bener stress. Mama pun HP nya mati. 

Ok, duduk sebentar tarif nafas.

Dalam kalut, saya mencoba menelpon Kedutaan RI di Manila. Intinya sekedar minta penjaminan bahwa Saya memang cuma berniat ketemu Ibu Saya walau sebentar. Pagi itu hujan deras dan masih pukul 06.30.  Seorang di seberang sana menjawab dalam Bahasa Inggris; petugas kedutaan belum ada yang masuk kantor. Masih kepagian. Hikss…ini gimana mau bantu WNI 24 jam??  

Duh, kebayang,…selama Mama di Jakarta-Bogor, rasanya waktu Saya buat Mama sedikit sekali. Saya suka sibuk sendiri, dan jarang menghabiskan waktu dengan beliau. Sekarang mau ketemu saja pakai bawa-bawa negara.

Ya wes, satu-satunyanya jalan.. balik lagi ke imigrasi memohon-mohon dengan ratapan anak tiri. Mungkin karena iba, petugas yang tadi akhirnya meminta saya menghadap “supervisor”. Seorang perempuan Pilipino setengah baya yang cantik. Katanya ini “special case” banget, tidak pernah ada yang begini. Saya mencoba menjelaskan dengan Bahasa Inggris seadanya tapi  dengan clear bahwa ini sangat mendesak.

Terbayang Mama yang pasti sedang kebingungan kenapa Saya tidak juga muncul. Saya memberikan nama Mama, nomer flight dan ciri-cirinya. Awalnya dia tetap bilang tidak bisa. Tapi saya berkilah, bahwa sebagai sesama warga Asia Tenggara (yang tidak perlu VISA) Mama bisa keluar sebentar menemui Saya di depan jika Saya tidak bisa masuk. Ternyata menurut hukum, jika sudah  masuk ke boarding gate internasional, kita dianggap sudah meninggalkan negara bersangkutan. Si Pilipino pun sepertinya bingung tapi mencoba memahami perasaan Saya. Hening sesaat. Tidak berapa lama, Ia memaggil seorang stafnya, berbicara dalam Bahasa Tagalog (yang tentu saja tidak saya pahami). Sekitar 10 menit kemudian, staf tadi datang dengan Mama. Saya berkaca-kaca sambil mengucapkan terima kasih. Saya peluk Mama dengan erat dan Mama pun bingung apa yang terjadi.

Saya cuma diberi waktu 10 menit buat ketemu Mama. Untungnya tadi saya sempat membelikan roti dan minuman buat bekal menunggu penerbangan berikutnya. Rasanya ini 10 menit paling berharga bagi Saya bersama Mama. Sedih, banget! Karena belum tahu lagi, kapan bisa ketemu beliau. Sungguh saya tidak suka drama, tapi kejadian ini benar-benar drama buat Saya. Namun dengan senyum manis petugas bandara yang baik hati menguatkan Saya; “dont worry, we’ll take care of her.. 

Now, I miss you,..mom..

 

 

.

Hits: 2452

Katanya, topik-topik keberagaman sekarang lagi sangat seksi. Di tengah gempuran berbagai pihak untuk memecah belah Bhinneka Tunggal Ika, masih banyak orang yang berjuang untuk tetap mengutamakan perbedaan sebagai kekayaan bangsa. Saat membaca postingan orang-orang di Sosial Media yang penuh ujaran kebencian, saya sempat berpikir; beginikah sebenarnya wajah orang Indonesia di dunia nyata? Ternyata dunia sosmed, cenderung melebih-lebihkan alias lebay.

Tahun lalu saya ke Semarang, menyaksikan dari dekat bagaimana keberagamaan itu membaur menjadi bagian kehidupan masyarakatnya. Di Pohuwato, sebuah kabupaten yang ditempuh sekitar 4 jam dari Ibukota Gorontalo ada satu desa kecil yang dihuni lima agama sekaligus lengkap dengan rumah ibadahnya yang besar-besar. Atau tidak usah jauh-jauh sampai ke Indonesia Timur, coba deh perhatikan kota kalian masing-masing. Hampir semua kota di Indonesia punya daerah Pecinan yang tinggal berdampingan dengan penduduk asli. Bahkan di Aceh, -yang 99% penduduknya muslim yang taat dan peraturan Pemerintahnya dibuat dalam Syariat Islam- ada kawasan Pecinan-nya. Dan hebatnya, semua hidup aman bersama. Eniwei, di berbagai kota-kota besar di dunia daerah Pecinan adalah lokasi pariwisata unggulan, loh!

Minggu lalu, saya berkesempatan mengeksplor Kota Tangerang dan baru saya tahu bahwa daerah di pinggiran Jakarta ini, dahulu kala dibangun oleh berbagai suku dan golongan. Saya dan teman-teman blogger menyambangi Pasar Lama, sebuah kawasan yang merupakan cikal bakal Kota yang dibelah oleh Sungai Cisadane ini. Dulunya wilayah ini dibangun bersama antara orang-orang Betawi, SukuTionghoa dan para perantau dari Timur seperti Suku Bugis dan Makassar.

Pintu Air 10, Landmark Kota Tangerang

Di kawasan Pasar Lama ada beberapa klenteng diantaranya Klenteng Boen Tek Bio yang usianya sudah ratusan tahun dan masih difungsikan hingga sekarang. Letaknya yang berada tempat di tengah-tengah pasar tradisional keberadaannya yang menyatu dengan seluruh kelas masyarakat. Tidak jauh dari sana, ada Mesjid Kalipasir, masjid tua sederhana yang dibangun pada abad ke 17 dan arsitekturnya juga mengadopsi budaya Tionghoa. Konon, keduanya dibangun bersamaan dan dikerjakan juga secara bersama antara muslim dan Tionghoa.

Boen Tek Bio

Nah, yang paling baru disini adalah museum Benteng Heritage. Museum memang terhitung baru (sekitar 6 tahunan), tapi bangunan museum ini sama tuanya dengan Mesjid Kalipasir dan Klenteng Boen Tek Bio. Adalah seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang membeli dan merestorasi bangunan ini menjadi museum yang bernilai sejarah tinggi. Bentuk bangunan dan isinya persis seperti Museum Peranakan Penang yang saya kunjungi tahun lalu, hanya ukurannya saja yang lebih kecil.

Pintu Utama Benteng Heritage, sayang kamera gak boleh masuk…
Rombongan Blogger Kamadig

Bedanya, disini diceritakan bagaimana akulturasi Budaya antara Tionghoa, Betawi dan perantauan dari Bugis Makassar membangun Tangerang bersama-sama. Mirip-mirip dengan Klenteng Sam Poo Kong di Semarang, disini diceritakan juga perjalanan Laksamana Ceng Ho seorang muslim yang mendarat di Teluk Naga Tangerang dan diyakini sebagai nenek moyang orang Tangerang.

Btw, dari museum ini saya tahu.. Tangerang adalah salah satu penghasil kecap sejak jaman penjajahan Belanda. Dan ternyata, sejak dulu slogan “Kecap Nomer 1” sudah ada. Bahkan, karena semua ingin jadi nomer satu, tidak mau jadi nomer dua apalagi 10, akhirnya pada masa itu disepakati ada No 1a, 1b, 1c dan seterusnya yang didasarkan atas tingkat rasa manis atau asin masing-masing kecap. Hahahaha..

 

Kecap SH, sudah berdiri sejak 1920.

Kalau dilihat dari sejarahnya, Tangerang memang tidak mempunyai penduduk asli. Suku Betawi dan Keturunan Tionghoa sudah membaur jadi satu. Wilayahnya yang masuk Provinsi Banten (yang pecahan dari Jawa Barat), membuat disini juga banyak didiami orang Sunda. Kini, sebagai kota penyanggah, lebih banyak lagi asal muasal penduduk yang tinggal disini. Mungkin tingkat pluralismenya belum semajemuk Jakarta, tapi untuk ukuran Kota kecil dan menengah, harmoni keberagaman di Tangerang pantas jadi contoh daerah lain.

Foto foto : Team Kamadigital.com

 

 

 

 

Hits: 2199