Harmoni Keberagaman dari Tepi Cisadane


Jalan Jalan / Monday, December 4th, 2017

Katanya, topik-topik keberagaman sekarang lagi sangat seksi. Di tengah gempuran berbagai pihak untuk memecah belah Bhinneka Tunggal Ika, masih banyak orang yang berjuang untuk tetap mengutamakan perbedaan sebagai kekayaan bangsa. Saat membaca postingan orang-orang di Sosial Media yang penuh ujaran kebencian, saya sempat berpikir; beginikah sebenarnya wajah orang Indonesia di dunia nyata? Ternyata dunia sosmed, cenderung melebih-lebihkan alias lebay.

Tahun lalu saya ke Semarang, menyaksikan dari dekat bagaimana keberagamaan itu membaur menjadi bagian kehidupan masyarakatnya. Di Pohuwato, sebuah kabupaten yang ditempuh sekitar 4 jam dari Ibukota Gorontalo ada satu desa kecil yang dihuni lima agama sekaligus lengkap dengan rumah ibadahnya yang besar-besar. Atau tidak usah jauh-jauh sampai ke Indonesia Timur, coba deh perhatikan kota kalian masing-masing. Hampir semua kota di Indonesia punya daerah Pecinan yang tinggal berdampingan dengan penduduk asli. Bahkan di Aceh, -yang 99% penduduknya muslim yang taat dan peraturan Pemerintahnya dibuat dalam Syariat Islam- ada kawasan Pecinan-nya. Dan hebatnya, semua hidup aman bersama. Eniwei, di berbagai kota-kota besar di dunia daerah Pecinan adalah lokasi pariwisata unggulan, loh!

Minggu lalu, saya berkesempatan mengeksplor Kota Tangerang dan baru saya tahu bahwa daerah di pinggiran Jakarta ini, dahulu kala dibangun oleh berbagai suku dan golongan. Saya dan teman-teman blogger menyambangi Pasar Lama, sebuah kawasan yang merupakan cikal bakal Kota yang dibelah oleh Sungai Cisadane ini. Dulunya wilayah ini dibangun bersama antara orang-orang Betawi, SukuTionghoa dan para perantau dari Timur seperti Suku Bugis dan Makassar.

Pintu Air 10, Landmark Kota Tangerang

Di kawasan Pasar Lama ada beberapa klenteng diantaranya Klenteng Boen Tek Bio yang usianya sudah ratusan tahun dan masih difungsikan hingga sekarang. Letaknya yang berada tempat di tengah-tengah pasar tradisional keberadaannya yang menyatu dengan seluruh kelas masyarakat. Tidak jauh dari sana, ada Mesjid Kalipasir, masjid tua sederhana yang dibangun pada abad ke 17 dan arsitekturnya juga mengadopsi budaya Tionghoa. Konon, keduanya dibangun bersamaan dan dikerjakan juga secara bersama antara muslim dan Tionghoa.

Boen Tek Bio

Nah, yang paling baru disini adalah museum Benteng Heritage. Museum memang terhitung baru (sekitar 6 tahunan), tapi bangunan museum ini sama tuanya dengan Mesjid Kalipasir dan Klenteng Boen Tek Bio. Adalah seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang membeli dan merestorasi bangunan ini menjadi museum yang bernilai sejarah tinggi. Bentuk bangunan dan isinya persis seperti Museum Peranakan Penang yang saya kunjungi tahun lalu, hanya ukurannya saja yang lebih kecil.

Pintu Utama Benteng Heritage, sayang kamera gak boleh masuk…
Rombongan Blogger Kamadig

Bedanya, disini diceritakan bagaimana akulturasi Budaya antara Tionghoa, Betawi dan perantauan dari Bugis Makassar membangun Tangerang bersama-sama. Mirip-mirip dengan Klenteng Sam Poo Kong di Semarang, disini diceritakan juga perjalanan Laksamana Ceng Ho seorang muslim yang mendarat di Teluk Naga Tangerang dan diyakini sebagai nenek moyang orang Tangerang.

Btw, dari museum ini saya tahu.. Tangerang adalah salah satu penghasil kecap sejak jaman penjajahan Belanda. Dan ternyata, sejak dulu slogan “Kecap Nomer 1” sudah ada. Bahkan, karena semua ingin jadi nomer satu, tidak mau jadi nomer dua apalagi 10, akhirnya pada masa itu disepakati ada No 1a, 1b, 1c dan seterusnya yang didasarkan atas tingkat rasa manis atau asin masing-masing kecap. Hahahaha..

 

Kecap SH, sudah berdiri sejak 1920.

Kalau dilihat dari sejarahnya, Tangerang memang tidak mempunyai penduduk asli. Suku Betawi dan Keturunan Tionghoa sudah membaur jadi satu. Wilayahnya yang masuk Provinsi Banten (yang pecahan dari Jawa Barat), membuat disini juga banyak didiami orang Sunda. Kini, sebagai kota penyanggah, lebih banyak lagi asal muasal penduduk yang tinggal disini. Mungkin tingkat pluralismenya belum semajemuk Jakarta, tapi untuk ukuran Kota kecil dan menengah, harmoni keberagaman di Tangerang pantas jadi contoh daerah lain.

Foto foto : Team Kamadigital.com

 

 

 

 

Hits: 951
Share

16 Replies to “Harmoni Keberagaman dari Tepi Cisadane”

  1. Aku sedang duduk di tepian Cisadane ini, baca blog post ini, jadi tambah meresapi lingkungan… Bentar lagi mau eksplorasi kampung bekelir .. Tangerang keren juga kalau dituliskan ya :-):-)

  2. yang membeda-bedakan pribumi dan nonpribumi, mengkotak-kotakkan agama dan suku, adalah mereka yang pemahaman agamanya dangkal dan pengetahuan sejarahnya nol besar.

    mereka yang berkoar-koar di media sosial, pada akhirnya cuma melempem bagai kerupuk direndam dalam kuah soto kalau ketemu di dunia nyata.

  3. Dulu ada planning jelajah banten, tapi gak terealisasi sampe akhirnya balik ke situbondo. Hoaammm… Ahaha. Kesel kalo inget… Gara gara ga jadi.

    Aku sudah dari kecil digembleng buat jadi beda, Kak Soimah. Hem.. Bukan beda sok beda. Tapi tersisih gitu gara gara beda. Wkwkwk…. Ya beda pemikiran, beda hobi, beda ini itu. Akhrnya temenku dikit. Tp dr situ si belajar buat nerima orang yang beda. Paling inget pas kuliah. Saat temen2 secara alamiah membentuk kelompok karena hobi ato kepopuleran mereka, aku justru memilih duduk sama temen yang kuliat sering sendiri, kek g punya temen. Dan akhirnya kita tu jadi temen akrab, temen absurd, ngetawain hal gak jelas, banyolannya juga gak lucu, sering garing, tp kita ngetawain bagian garingnya…

    Sampe akhrnya beberapa temen yg semula ada di grup2 eksklusif, memisahkan diri dan gabung sama kita2, jadi geng absurd.

    Jadi kalo udah ngumpul tu kita asyik sendiri. Temen2 yg laen cm bisa ngeliat dr jauh tp gak bisa masuk gara2 mereka ga paham sama banyolan kita. Wkwkwk

    *entah kenapa tiap komen di blog orang aku kok jadi curhat ya?*

  4. Aku dari dulu kepengen mampir Klenteng yang paling tersohor di Tangerang itu, tapi gak pernah kesampean. Padahal dulu tinggal di sana lebih dari 10 tahun. Pernah jadi tempat syuting video klipnya Cokelat tuh yang Karma. #InformasiGakPenting 😀

Leave a Reply to Evi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *